PERLINDUNGAN ANAK
A. PERLINDUNGAN ANAK
Kebijakan nasional dalam bidang perlindungan anak sangat progresif. Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC), kebijakan yang bersifat progresif terus ditetapkan. Salah satunya adalah menetapkan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ini adalah momentum dimana Indonesia memberikan pelayanan kesejahteraan sosial anak berbasis hak. Selanjutnya pemerintah juga menetapkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang telah diubah dengan Undang- undang yang baru disahkan yaitu undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kebijakan lain yang sangat penting adalah mengenai penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Pada waktu yang lalu Kementerian Sosial RI yang juga diikuti oleh pemerintah di daerah menggunakan istilah anak nakal. Dalam
Pelatihan bagi Pembimbing kemasyarakatan, Tenaga Kesejahteraan sosial, pendamping tentang penanganan ABH dan proses peradilan pidana anak juga menjadi kebutuhan mendesak, sehingga keadilan restorative bisa diterapkan dan anak-anak terpenuhi dan terlindungi hak-haknya.
Penanganan anak jalanan dan anak terlantar juga menggunakan kebijakan yang baru. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak menjadi program terpadu yang berupaya memperjuangkan pemenuhan hak-hak anak dengan melibatkan berbagai stakeholder. Dalam hal ini Kementerian Sosial telah mendorong dikeluarkannya SKB 7 menteri yang dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak anak secara komprehensif. Kesulitan- kesulitan yang masih dihadapi dalam pemenuhan hak anak menjadi tantangan bagi penyelenggaraan program perlindungan anak untuk mencari strategi yang lebih tepat.
Pemerintah DIY juga telah menetapkan dua kebijakan di bidang Perlindungan anak, yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang hidup di Jalan dan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di jalan. Dua kebijakan pemerintah DIY tersebut juga akan mengubah pendekatan dan komponen pelayanan kesejahteraan sosial anak jalanan.
1. Arah Kebijakan
a. Menjalankan praktek terbaik pengasuhan anak dalam lembaga kesejahteraan sosial anak sesuai dengan Standar Nasional Pengasuhan Anak.
f. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang bekerja pada bidang perlindungan anak.
g. Meningkatkan sarana dan prasarana serta fasilitas untuk mndukung pelaksanaan program perlindungan anak
h. Membangun
menyelenggarakan perlindungan anak
kemitraan strategis
dalam
2. Tujuan
a. Memenuhi dan melindungi hak anak ( anak balita terlantar, anak terlantar, anak yang hidup di jalan, anak dengan kedisabilitasan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang membutuhkan perlindungan khusus).
b. Mewujudkan pengasuhan permanen sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
c. Melindungi anak-anak dari perlakuan salah, diskriminasi, eksploitasi dan tindakan kekerasan.
d. Menyediakan layanan pemulihan bagi anak-anak korban kekerasan
e. Mewujudkan restorative justice dalam penanganan ABH
3. Strategi Penyelenggaraan Perlindungan Anak
Kebijakan dalam penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) juga sangat penting diketahui para pekerja perlindungan anak baik yang berada di lembaga pemerintah maupun pada LKSA yang menjadi mitra kerja Dinas Sosial dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dalam perlindungan anak. Upaya tersebut dapat berbentuk pelatihan, bimbingan teknis, sosialisasi atau- pun bentuk edukasi lainnya. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia tidak hanya terbatas pada pekerja perlindungan anak pada Dinas Sosial, namun juga pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak serta lembaga lain yang mempunyai mandate dalam perlindungan anak. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak tidak hanya melibatkan aktor kebijakan dari Dinas Sosial tetapi juga satuan kerja perangkat daerah lain dan pemangku kepentingan lainnya.
b. Restrukturisasi dan Penguatan Kapasitas Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) dan Panti Sosial Bina Remaja (PSBR).
Dengan diberlakukannya SNPA, Panti Sosial Asuhan Anak dalam waktu dekat akan fokus pada kegiatan asesmen untuk mempersiapkan reunifikasi anak dengan keluarganya. Selain kapasitas sumber daya manusia, PSAA juga membutuhkan penguatan kelembagaan yang lain untuk mendukung proses reunifikasi, peningkatan volume kegiatan penelusuran keluarga, home visit, penguatan dukungan keluarga serta koordinasi dalam rangka menjamin pemenuhan dan perlindungan hak anak pasca reunifikasi. Rangkaian proses reunifikasi tersebut Dengan diberlakukannya SNPA, Panti Sosial Asuhan Anak dalam waktu dekat akan fokus pada kegiatan asesmen untuk mempersiapkan reunifikasi anak dengan keluarganya. Selain kapasitas sumber daya manusia, PSAA juga membutuhkan penguatan kelembagaan yang lain untuk mendukung proses reunifikasi, peningkatan volume kegiatan penelusuran keluarga, home visit, penguatan dukungan keluarga serta koordinasi dalam rangka menjamin pemenuhan dan perlindungan hak anak pasca reunifikasi. Rangkaian proses reunifikasi tersebut
c. Pengarusutamaan Perlindungan Anak dalam Penyusunan Kebijakan, Perencanaan Program dan Anggaran Pemerintah Daerah.
Mandate perlindungan anak adalah mandate negara, sehingga pemerintah/penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut. Dinas Sosial sebagai institusi yang selama ini men-leading penyelenggaraan perlindungan anak perlu membawa issu perlindungan anak ke dalam sistem penyusunan kebijakan, perencanaan program dan anggaran. Pemenuhan hak-hak atas tumbuh kembang, kesehatan, pendidikan, perlindungan dari tindakan diskriminasi lainnya membutuhkan keterpaduan dalam penyelenggaraan perlindungan anak di antara berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lembaga pemerintah lainnya serta lembaga masyarakat.
Perlindungan anak juga bukan merupakan issu tunggal yang terlepas dari persoalan lainnya. Kasus-kasus anak yang hak-haknya tidak dipenuhi atau bahkan dilanggar merupakan rangkaian sebab akibat dari persoalan lainnya. Misalnya persoalan anak jalanan, anak korban diskriminasi, keekrasan dan eksploitasi sangat erat kaitannya dengan problem kemiskinan keluarga dan rendahnya kapasitas pengasuhan keluarga. Mainstreaming juga dimaksudkan untuk mengajak lembaga lainnya yang mempunyai mandate dalam penyelanggaraan Perlindungan anak juga bukan merupakan issu tunggal yang terlepas dari persoalan lainnya. Kasus-kasus anak yang hak-haknya tidak dipenuhi atau bahkan dilanggar merupakan rangkaian sebab akibat dari persoalan lainnya. Misalnya persoalan anak jalanan, anak korban diskriminasi, keekrasan dan eksploitasi sangat erat kaitannya dengan problem kemiskinan keluarga dan rendahnya kapasitas pengasuhan keluarga. Mainstreaming juga dimaksudkan untuk mengajak lembaga lainnya yang mempunyai mandate dalam penyelanggaraan
Pada tingkat Propinsi dan kabupaten/kota kemitraan dapat dilakukan dengan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang memiliki kerja konseling, pendampingan, dan advokasi. Kemitraan ini akan memudahkan dalam tata laksana penanganan kasus, termasuk dalam mekanisme referal/rujukan. Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk Pusat Pelayanan Terpadu, LK3 kabupaten/Kota dan Propinsi adalah mitra strategis dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Perluasan kerjasama dengan mitra nasional dan internasional diarahkan untuk mendukung program capacity building dan program family support dan peningkatan kapasitas manajemen program perlindungan sosial dan advokasi.