BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Setiap orang dalam menentukan pasangan atau pendamping hidupnya untuk membentuk berumah tangga yang diawali dengan suatu perkawinan tentu tidak ada
sedikitpun yang tersirat maupun yang tersurat dalam benak mereka bahwa tujuan berumah tangga adalah untuk melakukan tindak kekerasan. Jika diperhatikan dengan
sekasama pada setiap pasangan pengantin yang bersanding di pelaminan, maka yang nampak adalah nada-nada kebahagiaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan
membentuk rumah tangga adalah tidak lain untuk membina rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam membentuk rumah tangga. Untuk mewujudkan
hal tersebut sangat tergantung dari setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Bagaimana untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan harmonis
jelas setiap keluarga mempunyai cara dan strategi tersendiri, karena jelas bahwa perlu disadari keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga itu tidak datang dengan
sendirinya, melainkan harus dicari, diusahakan dan dibina oleh pihak keluarga itu sendiri.
Namun dalam kenyataan di masyarakat, bahwa bahtera rumah tangga yang dibangun, dan dibina tersebut tidak jarang pula diterpa oleh badai yang kadang kala
STISIP “Merdeka” Manado 1
sulit diduga kapan datangnya. Suatu hal yang sering dilupakan bahwa bersatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin tentunya mempunyai karakter yang berbeda pula.
Perbedaan lainnya adalah latar belakang sosial budaya, bila perbedaan ini tidak dapat dikelola dengan baik jelas akan menimbulkan konflik yang bisa membawa petaka
atau permalahan yang tidak diinginkan bersama. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan yang sifat kecil tidak bisa dibiarkan menjadi besar, karena tidak dapat menutup
kemungkinan justru dapat menimbulkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Pada umumnya bila terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, maka yang menjadi korbannya adalah mereka yang mempunyai posisi yang lemah baik secara fisik
maupun psikis. Akibat lebih jauh munculnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini bisa membawa dampak yang cukup serius dalam kelangsungan hidup berumah
tangga. Dalam arti bahwa sekalipun rumah tangga ini secara formal kelihatannya masih utuh, namun secara batiniah sebenarnya sudah tidak menyatu. Dalam kondisi yang
demikian jelas bahwa makna rumah tangga sebagai tempat berteduhnya bagi seisi rumah telah kehilangan rohnya.
Dalam kondisi yang demikian tersebut, maka persoalan yang muncul adalah masih pantaskah para penghuni rumah tersebut adalah keluarga yang harmonis dan
bahagia, bila yang terdengar dari anggota keluarga adalah keluh kesah adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang merasa mempunyai kekuasaan apa saja
dalam rumah tangga tersebut. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka keadaan yang lebih buruk mungkin bisa
saja terjadi, bahkan sering terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, dan hal ini sering kita melihat dan
STISIP “Merdeka” Manado 2
membaca di berbagai media cetak dan elektronik atas berbagai peristiwa tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga hal demikian telah melanggar hak asasi yang
paling mendasar yakni hak untuk hidup. Persoalan yang muncul dengan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah
adakah pihak ketiga yang bisa atau berani masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain untuk menghentikan atau paling tidak meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Hal ini agak sulit dilakukan oleh pihak-pihak lain untuk masuk ke wilayah privasi seseorang. Namun dengan adanya Undang-Undang RI Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah merupakan secercah harapan, bahwa rumah tangga yang merupakan pranata hukum, dan atau
pranata sosial dapat dijadikan laboratorium hidup untuk berbagai pendidikan dasar bagi seisi rumah.
Hadirnya Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tersebut, dalam kenyataannya dilapangan atau dalam pergaulan hidup masyarakat masih kurang yang
memahami atau masih banyak yang belum mengetahuinya. Sehingga masih banyak ditemukan beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dilaporkan atau
diproses secara hukum dan hanya diselesaikan di tataran lingkup pemerintah mulai dari Ketua RT, Kepala Lingkungan dan Kelurahan saja. Akan tetapi bagi mereka yang sudah
mengetahui akan adanya jalur hukum, mereka akan melaporkan kepada pihak yang berwajib seperti Kepolisian, Komnas Perlindungan Perempuan atau Komnas
Perlindungan Ibu dan Anak. Pada sisi lainnya sebagaimana yang sering terjadi di lingkup Kelurahan Girian
Indah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga KDRT, maka ada pula yang mengadukan, melaporkan kepada para pelayan khusus
STISIP “Merdeka” Manado 3
GMIM Penatua, Syamas, Guru Agama dan Pendeta. Sehingga dengan keberadaan para pelayan khusus Pelsus GMIM tersebut dipandang dapat memberikan solusi damai
yang terbaik dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga KDRT. Hal menarik dalam hal ini adalah adanya kecenderungan bagi warga masyarakat
atau keluarga-keluarga yang mengalami KDRT tersebut untuk meminta para pelayan khusus Pelsus tersebut dapat memberikan jalan keluar terbaik. Walaupun juga
dijumpai adanya kerja sama antara Ketua RT dan Kepala Lingkungan dengan para Pelayan Khusus Pelsus tersebut secara bersama-sama menganani KDRT yang ada di
lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini menurut hemat penulis adalah penting untuk dilakukan kajian, karena bila
dilihat dari aspek hukum, maka penanganan KDRT melalui para Pelayan Khusus Pelsus GMIM tersebut jelas kurang tepat, akan tetapi justru bagi warga masyarakat
yang mengalami KDRT cenderung untuk meminta campur tangan permasalahan mereka kepada para Pelayan Khusus Pelsus GMIM. Sehingga apapun solusi yang
dipandang baik bagi mereka yang berperkara, setelah bersama-sama mencari solusi dengan melibatkan peran serta para Pelayan Khusus Pelsus GMIM tersebut akan
mereka laksanakan. Pada satu sisi hadirnya Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tersebut telah
diketahui, dipahami oleh anggota masyarakat, sehingga wajar bilamana banyak mereka yang merasa dirugikan atas tindak kekerasan yang dialami dalam rumah tangga mereka
melaporkan kepada pihak yang berwajib. Tetapi dari sisi lainnya juga dengan banyaknya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini Kepolisian, menunjukkan masih kurangnya anggota masyarakat
STISIP “Merdeka” Manado 4
yang belum mengerti atau mengetahui dan memahami akan Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran dari para Pelayan Khusus GMIM
yang ada di Kelurahan Girian Indah, khususnya dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga KDRT. Sehingga hal ini penting untuk diketahui dan dilakukan
penelitian. Oleh karena itu dalam penelitian ini diusulkan judul yang diangkat adalah :
“Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.
1.2. Perumusan Masalah