11 2. Political Cost Hypohtesis
Political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan besar cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba dibandingkan perusahaan kecil, karena ukuran perusahaan merupakan sesuatu yang paling
diperhatikan dalam hal ini. Hipotesis ini juga memaparkan semakin besar biaya politis yang dihadapi perusahaan maka semakin besar pula keinginan
perusahaan untuk menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, sebab perusahaan dengan tingkat laba yang tinggi dinilai akan
mendapat perhatian yang luas dari konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan
terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai tuntutan lain yang dapat
meningkatkan biaya polits. Berdasarkan teori ini, manajer lebih memilih untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat meminimalkan
pendapatan.
2.1.2 Hipotesis Ricardian Ricardian Hypohtesis
Lee dan Heish 1985 mengungkapkan, bahwa faktor yang paling mempengaruhi perusahaan adalah peraturan perpajakan, dimana tujuan yang
ingin dicapai oleh manajemen adalah memaksimalkan nilai perusahaan dengan cara meminimalkan biaya pajak namun tetap respek terhadap
kendala hukum. Hipotesis ini disebut hipotesis pajak atau ricardian hypothesis.
Kaitan hipotesis ini dengan metode penilaian persediaan,
Universitas Sumatera Utara
12 membuat manajer perlu mempertimbangkan pengaruh pajak saat
memutuskan memilih metode penilaian persediaan yang akan digunakan.
2.1.3 Persediaan
2.1.3.1 Pengertian Persediaan
Sama halnya dengan persediaan dalam perusahaan dagang, persediaan dalam perusahaan manufaktur juga merupakan aset yang
sangat penting, meskipun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada perusahaan barang konsumsi. Berdasarkan PSAK No.14 revisi
2008, persediaan adalah aset: a tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa; b dalam proses produksi untuk tersebut; atau c dalam
bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Persediaan merupakan aset perusahaan yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, atau barang yang akan digunakan
atau dikonsumsi dalam memproduksi barang yang akan dijual Kieso dkk, 2011 : 408.
Persediaan terdiri dari barang-barang dagangan yang dimaksudkan untuk diperjualbelikan, serta bahan baku dan bahan
pembantu yang dipakai dalam proses produksi dari barang yang akan dijual. Dalam defenisi yang tradisional, persediaan termasuk current
asset karena umumnya dia dapat dikonversikan ke dalam kas dalam
suatu daur kegiatan usaha perusahaan Tuanakotta, 2000 : 2.
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.3.2 Sistem Pencatatan Persediaan
1. Sistem Pencatatan Persediaan Periodik Periodik Inventory
System Menurut Kieso dkk, 2011:410, “sistem periodik mencatat
semua perolehan persediaan selama periode akuntansi dengan mendebit rekening pembelian. Kemudian perusahaan menambahkan
total dalam akun pembelian di akhir dari periode akuntansi untuk biaya barang yang tersedia untuk dijual selama periode tersebut”.
Untuk memahami sistem pencatatan persediaan periodik, maka di bawah ini akan diilustrasikan transaksi dari sebuah perusahaan,
misalkan PT.Jaya Selalu selama suatu periode tertentu:
Tabel 2.1 Ilustrasi Sistem Pencatatan Persediaan
PT.Jaya Selalu
Transaksi Unit
Harga per Unit
Total
Persediaan awal 100 unit
Rp 100 Rp 10.000
Pembelian selama periode tersebut
200 unit 100
20.000 Penjualan selama periode
tersebut 250 unit
150 37.500
Persediaan akhir perhitungan fisik
50 unit 100
5.000
Universitas Sumatera Utara
14 Ayat jurnal untuk mencatat pembelian dan penjualan untuk
sistem periodik sebagai berikut: Pembelian selama periode tersebut
Pembelian……………………………. Rp 20.000
Utang Usaha……………………… Rp 20.000
Penjualan selama periode tersebut Piutang usaha……………………… Rp 37.500
Penjualan………………………. Rp 37.500
Untuk kasus dimana barang dagangan secara fisik dikembalikan kepada pemasok disebabkan rusak atau lain hal dan
pemasok memberikan potongan pembelian, dimisalkan PT.Jaya Selalu memberikan potongan pembelian sebesar Rp 2.000 maka jurnal untuk
mencatat transaksi tersebut dalam sistem pencatatan persediaan periodik sebagai berikut:
Utang Usaha…………………………. Rp 2.000 Retur dan potongan pembelian…….
Rp 2.000 2.
Sistem Pencatatan Persediaan Perpetual Perpetual Inventory System
Sistem persediaan perpetual merupakan sistem pencatan alternatif dari sistem pencatatan periodik, dimana harga jual maupun
jenis barang yang terjual dicatat dalam setiap transaksi penjualan. Menurut Kieso dkk, 2011:409-410, “sistem persediaan
perpetual secara terus menerus menelusuri perubahan dalam akun
Universitas Sumatera Utara
15 persediaan. Yakni, perusahaan mencatat semua pembelian dan
penjualan barang secara langsung diakun persediaan pada saat terjadinya”. Meskipun nilai persediaan akhir dapat diketahui tanpa
harus melakukan pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan fisik tetap dilakukan untuk menyesuaikan antara catatan persediaan dengan
pemeriksaan fisik. Untuk memahami sistem pencatatan persediaan perpetual
maka akan diilustrasikan jurnal yang mencatat transaksi, dimana contoh transaksi yang digunakan sama dengan contoh sebelumnya.
Ayat jurnal untuk mencatat pembelian dan penjualan untuk sistem pencatatan perpetual sebagai berikut:
Pembelian selama periode tersebut Persediaan………………………… Rp 20.000
Utang Usaha…………………… Rp 20.000
Penjualan selama periode tersebut Piutang Usaha……………………. Rp 37.500
Penjualan…………………… Rp 37.500
Harga Pokok Penjualan………….. Rp 25.000 Persediaan…………………….
Rp 25.000 Untuk kasus dimana barang dagangan secara fisik
dikembalikan kepada pemasok disebabkan rusak atau lain hal dan pemasok memberikan potongan pembelian, dimisalkan PT.Jaya Selalu
memberikan potongan pembelian sebesar Rp 2.000 maka jurnal untuk
Universitas Sumatera Utara
16 mencatat transaksi tersebut dalam sistem pencatatan persediaan
perpetual sebagai berikut: Utang Usaha………………………… Rp 2.000
Persediaan………………….. Rp 2.000
2.1.3.3 Pemilihan Metode Penilaian Persediaan
Metode yang umun digunakan adalah metode identifikasi khusus spesific identification, biaya rata-rata average cost, masuk
pertama keluar pertama first-in, first-out, dan masuk tertakhir keluar pertama last-in, first-out.
Keempat metode tersebut akan diilustrasikan dengan contoh dari PT.Jaya Selalu, perusahaan ini tidak memiliki persediaan awal
pada tahun 2009.
Tabel 2.2 Ilustrasi Transaksi
PT.Jaya Selalu
Jumlah Unit Biaya per Unit
Total Biaya Pembelian
1 Januari 200
Rp 100 Rp 20.000
23 April 100
120 12.000
15 Juli 500
110 55.000
6 November 200
130 26.000
Total Pembelian 1.000
Rp 113.000 Penjualan: 500 unit dengan harga Rp10 per unit. Diasumsikan semua
penjualan terjadi 31 Desember.
Universitas Sumatera Utara
17 1.
Metode Identifikasi Khusus Specific Identification Metode identifikasi khusus merupakan metode dimana unit fisik
aktual yang dijual diidentifikasi secara khusus dan keseluruhan biaya dicatat sebagai harga pokok penjualan Stice dkk, 2009:639.
Metode identifikasi khusus sangat menarik jika dilihat dari sudut pandang teoritis, khususnya ketika setiap unsur persediaan unik dan
memiliki biaya yang tinggi. Namun, ketika persediaan terdiri atas berbagai unsur-unsur yang idientik pada saat yang berlainan dengan
harga yang berbeda, maka identifikasi khusus akan menjadi lamban, membebani, dan memakan biaya Stice dkk, 2009:586.
untuk melihat penggunaan metode penilaian ini diuraikan sebagai berikut.
Tabel 2.3 Ilustrasi Perhitungan Metode Identifikasi
PT.Jaya Selalu Metode Identifikasi Khusus
Perhitungan Harga Pokok Penjualan Batch yang di beli pada:
Jumlah unit
Biaya per Unit
Total Biaya 1 Januari
200 Rp100
Rp 20.000 15 Juli
300 110
33.000 Total harga pokok
penjualan 500
Rp 53.000
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa PT.Jaya Selalu menjual 500 unit dengan menggunakan persediaan yang memiliki biaya per unit
yang rendah yaitu persediaan yang dibeli pada tanggal 1 Januari dan 15
Universitas Sumatera Utara
18 Juli, sehingga PT. Laris Jaya dapat meminimalkan harga pokok
penjualan dalam upaya untuk memaksimalkan laba. 2.
Metode Biaya Rata-Rata Average Cost Menurut Stice dkk, 2009:587, “metode biaya rata-rata
membebankan biaya rata-rata yang sama ke setiap unit. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa barang yang terjual seharusnya
dibebankan dengan biaya rata-rata, yaitu rata-rata tertimbang dari jumlah unit yang dibeli pada tiap harga”.
Apabila metode rata-rata digunakan dalam sistem persediaan perpetual, biaya rata-rata per unit untuk masing-masing barang dihitung
setiap kali pembelian dilakukan. Biaya per unit kemudian digunakan untuk menentukan harga pokok setiap penjualan sampai pembelian
berikutnya dilakukan dan rata-rata baru dihitung. Teknik perhitungan rata-rata ini dinamakan dengan rata-rata bergerak moving average.
Metode biaya rata-rata dalam sistem periodik biasa disebut dengan metoda rata-rata tertimbang atau weighted average method Warren
dkk, 2006 : 462-466. Dengan menggunakan data PT.Jaya Selalu, metode biaya rata-rata
dapat dihitung sebagai berikut: Biaya rata-rata tertimbang = total biaya total unit
= Rp 113.000 1.000 unit = Rp 113 per unit
Universitas Sumatera Utara
19 Metode biaya rata-rata dapat dianggap sebagai metode yang
realistis dan paralel dengan arus fisik barang. Tidak seperti metode persediaan yang lain, pendekatan biaya rata-rata memberikan nilai yang
sama untuk unsur serupa dengan penggunaan yang sama. Metode ini tidak memperbolehkan manipulasi keuntungan. Keterbatasan dari
metode ini adalah bahwa nilai persediaan dapat tertinggal secara signifikan terhadap harga dalam periode dimana terdapat kenaikan atau
penurunan harga yang cepat Stice dkk, 2009 : 588. 3.
Metode FIFO First-in, First-out Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang lebih dahulu
masuk adalah barang yang pertama terjual. Perusahaan yang menggunakan metode ini adalah perusahaan yang memproduksi atau
menjual barang yang sifatnya cepat berubah atau tidak tahan lama, seperti makanan dan obat-obatan.
FIFO dapat dianggap sebagai sebuah pendekataan yang logis dan realistis terhadap arus biaya ketika penggunaan metode identifikasi
khusus tidak memungkinkan atau tidak praktis. FIFO mengasumsikan bahwa arus biaya yang mendekati paralel dengan arus fisik barang yang
terjual. FIFO memberikan kesempatan kecil untuk manipulasi keuntungan karena pembebanan biaya ditentukan oleh urutan terjadinya
biaya. Selain itu, dalam FIFO, unit yang tersisa pada persediaan akhir adalah unit yang paling akhir dibeli, sehingga biaya yang dilaporkan
Universitas Sumatera Utara
20 akan mendekati atau sama dengan biaya penggantian di akhir periode
Stice dkk, 2009 : 588. Dengan menggunakan data PT.Jaya Selalu, metode FIFO dapat
dihitung sebagai berikut:
Tabel 2.4 Ilustrasi Perhitungan Metode FIFO
PT.Jaya Selalu Metode FIFO
Batch yang dibeli pada:
Jumlah Unit Biaya per Unit
Total Biaya 1 Januari
200 Rp 100
Rp 2.000 23 April
100 120
12.000 15 Juli
200 110
22.000 Total harga pokok
penjualan 500
Rp 36.000
Namun metode FIFO gagal untuk mencocokkan biaya saat ini terhadap pendapatan saat ini pada laporan laba rugi. Perusahaan
membebankan biaya yang lama terhadap pendapatan saat ini, yang kemungkinan menyebabkan distorsi antara laba kotor dan laba bersih
Keiso dkk, 2011: 423. 4.
Metode LIFO Last-in First-out Metode LIFO didasarkan pada asumsi bahwa barang yang paling
barulah yang terjual. Metode ini dianggap tidak cocok untuk arus barang yang terjadi dalam perusahaan karena dianggap akan
menghasilkan nilai lama dalam neraca dan akan memberikan angka harga pokok penjualan yang aneh saat tingkat penjualan menurun, tetapi
metode ini juga memiliki keunggulan karena dianggap paling baik
Universitas Sumatera Utara
21 dalam mencocokkan biaya persediaan saat ini dengan pendapatan saat
ini Stice dkk, 2009:589. Dengan menggunakan data PT. Jaya Selalu, metode LIFO dapat
dihitung sebagai berikut.
Tabel 2.5 Ilustrari Perhitungan Metode LIFO
PT.Jaya Selalu Metode LIFO
Batch yang dibeli pada:
Jumlah Unit Biaya per Unit
Total Biaya 6 November
200 Rp 130
Rp 26.000 15 Juli
300 110
33.000 Total harga pokok
penjualan 500
Rp 59.000
Dari tabel 2.5 di atas dapat dilihat bahwa PT. Jaya Selalu menggunakan harga pokok penjualan dari harga barang yang terakhir
dibeli. Namun, pada penelitian ini hanya menggunakan metode biaya
rata-rata dan FIFO, sesuai dengan PSAK No.14 revisi 2008 dan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008, yang hanya
memperbolehkan perusahaan menggunakan metode FIFO dan metode rata-rata. Hal ini sejalan dengan IFRS International Financial Reporting
Standards yang tidak memperbolehkan metode LIFO untuk tujuan
pelaporan keuangan disebabkan pernyataan IASB International Accounting Standard Board
yang menyatakan bahwa metode LIFO tidak memberikan representasi yang handal mengenai aliran persediaan
secara faktual.
Universitas Sumatera Utara
22 Selain tiga metode tersebut terdapat juga penilaian persediaan
dengan metode lain selain biaya yaitu penilaian pada mana yang lebih rendah antara harga pokok atau harga pasar lower of cost or market -
LCM dan penilaian pada nilai realisasi bersih net realizable. 5.
Lebih Rendah antara Harga Pokok atau Harga Pasar Lower of Cost or Market
- LCM Metode mana yang lebih rendah antara harga pokok atau harga
pasar adalah metode yang digunakan apabila biaya penggantian persediaan lebih rendah dibandingkan biaya pembeliannya Warren
dkk, 2006:468. Dalam menerapkan aturan mana yang lebih rendah antara biaya
dan harga pasar, harga persediaan akhir yang ditentukan dengan alokasi biaya yang sesuai akan dibandingkan dengan harga pasar periode akhir
Stice dkk, 2009:603. Untuk melihat perhitungan dengan metode LCM, maka disajikan
ilustrasi perhitungan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
23
Tabel 2.6 Ilustrasi Perhitungan Metode LCM
Komod -itas
Jumlah Perse-
diaan Biaya
per Unit
Harga Pasar
per Unit
Total Biaya
Pasar Lebih
rendah Biaya atau
Pasar LCM
A 200
Rp 100 Rp 90
Rp 20.000 Rp 18.000
Rp 18.000 B
100 220
115 22.000
11.500 11.500
C 300
150 145
45.000 43.500
43.500 D
350 250
220 87.500
77.000 77.000
Total Rp 174.500
Rp 150.000 Rp 150.000
Berdasarkan ilustrasi tabel 2.6 di atas dapat dilihat, komoditas A ssebanyak 200 unit merupakan persediaan yang dibeli seharga Rp100
per unit, jika pada saat tersebut dilakukan penggantian maka biayanya akan sebesar Rp 20.000, apabila dapat diganti dengan menggunakan
harga pasar per unit Rp 90 biaya penggantian menjadi Rp18.000, biaya ini akan digunakan untuk keperluan penilaian.
6. Penilaian pada Nilai Realisasi Bersih Net Realizable
Nilai realisasi bersih net realizable pada umumnya digunakan bila terjadi kemungkinan kerusakan pada barang dagang yang
menyebabkan harga pokok harus diturunkan. Menurut Warren dkk, 2006 : 469, “ nilai realisasi bersih net
realizable adalah estimasi harga jual dikurangi biaya pelepasan
Universitas Sumatera Utara
24 langsung, seperti komisi penjualan”. Misalkan, PT.Jaya Selalu memiliki
barang dagang yang rusak dengan harga pokok Rp 10.000, hanya dapat dijual dengan harga Rp8.500 dan biaya pelepasan langsung sebesar
Rp 500, maka persediaan dinilai sebesar Rp 8.000 Rp 8.500 – Rp500, nilai ini yang merupakan nilai realisasi bersih.
2.1.4 Ukuran Perusahaan
Menurut Lee dan Heish dalam Taqwa, 2001, “ukuran perusahaan akan mempengaruhi pemilihan metode akuntansi persediaan. Perusahaan
besar akan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menurunkan laba, agar laporan keuangan bisa rata”.
Menurut Watss dan Zimmerman dalam Marwah, 2012, “perusahaan besar cenderung memilih metode rata-rata karena biaya pajak yang
dibayarkan relatif lebih kecil dibandingkan ketika perusahaan menggunakan metode FIFO.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2008, dimana dalam peraturan tersebut menjelaskan empat jenis ukuran
perusahaan yaitu: 1.
Perusahaan dengan ukuran usaha mikro, memiliki kekayaan kurang dari Rp50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan; memiliki jumlah
penjualan tahunan maksimal Rp300.000.000,00. 2.
Perusahaan dengan ukuran usaha kecil, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 sampai Rp500.000.000,00 tidak termasuk tanah
Universitas Sumatera Utara
25 dan bangunan; memiliki hasil penjualan lebih dari Rp300.000.000,00
sampai Rp2.500.000.000,00. 3.
Perusahaan dengan usaha ukuran menengah, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 sampai Rp10.000.000.000,00 tidak
termasuk tanah dan bangunan; memiliki hasil penjualan lebih dari Rp2.500.000.000,00 sampai Rp50.000.000.000,00.
4. Perusahaan dengan usaha ukuran besar, memiliki kekayaan bersih lebih
dari Rp10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan; memiliki penjualan lebih dari Rp50.000.000.000,00.
2.1.5 Financial Leverage