Sirih merah biasanya hidup di daerah dataran tinggi. Bila sirih merah di tanam didaerah yang memiliki kadar panas atau terkena sinar matahari langsung
maka batang pada sirih merah akan cepat mengering dan zat warna merah pada bagian daun akan perlahan memudar Nurmalina dan Valley, 2012.
2. Taksonomi tanaman
Kingdom : Plantae Tumbuhan
Subkingdom : Tracheobionta Tumbuhan berpembuluh Super Divisi : Spermatophyta Menghasilkan biji
Divisi : Magnoliophyta Tumbuhan berbunga
Kelas : Magnoliopsida berkeping dua dikotil
Sub Kelas : Magnoliidae Ordo
: Piperales Famili
: Piperaceae suku sirih-sirihan Genus
: Piper Spesies
: Piper crocatum Ruiz. Pav Plantamor, 2011
3. Kandungan kimia
Kandungan kimia yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri, hidroksikaficol, kaficol, kafibetol, allylprokatekol, karfakrol, eugenol, p-cymene,
cineole, caryofelen, kadimen, estragol, terpena, dan fenil propada Agoes, 2010. Selain itu kandungan lainnya adalah flavonoid, polifenol, alkaloid, tannin, saponin
Nurmalina dan Valley, 2012.
Secara empiris, khasiat kandungan senyawa dari sirih merah antara lain, flavonoid dan polifenol berfungsi sebagai antioksidan, antidiabetes, antikanker,
antiseptik, dan antiinflamasi. Senyawa eugenol berfungsi sebagai analgetik, senyawa tanin sebagai penyembuh sakit perut pada diare dan antiseptik pada luka
Nurmalina dan Valley, 2012.
4. Khasiat dan penggunaan
Sirih merah digunakan untuk mengobati diabetes melitus, hipertensi, kanker, keputihan, radang mata, batu ginjal, dan asam urat Agoes, 2010. Khasiat
sirih merah antara lain, antioksidan, antidiabetes, antikanker, antiseptik, dan
antiinflamasi Handita, 2010. Selain sebagai obat, sirih merah juga dimanfaatkan
sebagai alat kecantikan yaitu untuk menghaluskan kulit Nurmalina dan Valley, 2012.
B. Toksikologi
Loomis 1978 mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu tentang aksi berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi ini bermakna
suatu senyawa kimia yang dipelajari memiliki interaksi terhadap sistem biologi dengan mekanisme tertentu kemudian dapat menimbulkan efek toksik dengan
wujud dan sifat tertentu. Dengan mempelajari wujud dan sifat efek toksik yang ditimbulkan, dapat mengetahui seberapa bahaya penggunaan bahan kimia
tersebut, dan dapat ditentukan batas keamanan penggunaannya. Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan biokimia,
fungsional, dan struktural. Berbagai perubahan ini memiliki ciri yang khas, yakni
terbalikkan atau tak terbalikkan. Jenis wujud perubahan biokimia tidak menunjukkan bukti secara langsung terhadap patologi organ, apabila mekanisme
homeostatis normal makhluk hidup masih dapat bekerja maka perubahan biokimia bersifat timbal balik Donatus, 2005.
Menurut Williams, James, dan Roberts 2000 keterbalikan toksisitas terjadi apabila efek buruk atau efek yang tidak diinginkan dapat dikembalikan
apabila pemaparan dihentikan. Keterbalikan toksisitas tergantung pada sejumlah faktor, termasuk tingkat pemaparan waktu dan jumlah racun dan kemampuan
jaringan yang terkena untuk memperbaiki atau meregenerasi. Uji toksikologi dibagi menjadi dua yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji
ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam
jenis hewan uji, sedangkan uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu
senyawa pada semua hewan uji. Uji potensiasi, kekarsinogenetikan, kemutagenetikan, keteratogenetikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku
termasuk dalam uji ketoksikan khas Donatus, 2005. Konsep dosis merupakan prinsip dasar dalam toksikologi. Pernyataan
tersebut memberi gambaran bahwa adanya toksisitas yang timbul dipengaruhi oleh paparan dosis yang diberikan Schrager, 2006.
Ada banyak cara organisme dapat
menanggapi senyawa beracun, jenis respon tergantung pada banyak faktor. Oleh karena itu jenis respon beracun dibedakan menjadi :