SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS PENENTUAN UMUR SIMPAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. SIFAT FISIS MEKANIS PLASTIK PENGEMAS

Sifat fisis-mekanis plastik yang digunakan untuk mengemas cumi-cumi olahan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa plastik PE yang digunakan untuk kemasan vakum lebih tipis daripada plastik PP dan HDPE. Perbandingan gramatur juga meperlihatkan bahwa plastik PE memiliki gramatur yang lebih rendah dibandingkan plastik PP dan HDPE. Sebaliknya, densitas menunjukkan bahwa plastik PE campuran memiliki densitas yang lebih tinggi daripada plastik PP dan HDPE. Plastik PP yang digunakan untuk kemasan vakum memiliki densitas terendah bila dibandingkan dengan dua jenis plastik lainnya. Nilai gramatur plastik menunjukkan bobot plastik per satuan luas, sedangkan densitas menunjukkan bobot plastik per satuan volume. Nilai densitas menunjukkan tingkat kerapatan plastik tersebut. Nilai densitas yang besar menunjukkan bahwa kerapatan plastik tersebut tinggi sehingga lebih sukar ditembus oleh uap air. Tabel 4.1. Sifat fisis-mekanis plastik polypropylene dan polyethylene Sifat HDPE kemasan non-vakum PE PP Tebal mm 0,103 0,0728 0,1026 Gramatur gm 2 90,71 68,79 82,78 Densitas gm 3 0,88068 0,944918 0,806823 Jika informasi pada Tabel 4.1 di atas dibandingkan dengan informasi yang didapat dari studi pustaka, maka dapat disimpulkan bahwa plastik yang paling dapat menghambat O 2 dan H 2 O adalah PE, kemudian HDPE dan PP. Hal ini dapat dimungkinkan karena jenis plastik PE yang digunakan merupakan jenis plastik campuran nylon-PE-LLDPE. 4.2. KARAKTERISASI AWAL CUMI-CUMI 4.2.1. Nilai pH 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 cumi-cumi N ila i p H segar olahan Gambar 4.1. Nilai pH cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan Dari Gambar 4.1 di atas terlihat bahwa pH cumi-cumi segar tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah diolah menjadi produk cumi-cumi olahan. Untuk memperkuat penilaian ini, dengan menggunakan analisis ragam terhadap atribut pH pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai pH cumi-cumi segar dengan pH cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam nilai pH disajikan pada Lampiran 3. Nilai pH cumi-cumi segar adalah 6,62 ± 0,02 dan nilai pH cumi-cumi olahan adalah 6,64 ± 0,05. Nilai pH yang berada pada kisaran 6 – 7 pada cumi-cumi olahan merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kondisi pH optimum bagi pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir berada pada kisaran 6,5 – 7,5, walaupun khamir lebih suka tumbuh pada kondisi asam pH 4 – 4,5.

4.2.2. Warna

Pengukuran terhadap warna cumi-cumi dilakukan pada dua sisi cumi. Sisi bagian dalam dan sisi bagian luar cumi-cumi. Hasil pengukuran terhadap warna cumi-cumi segar dan olahan disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil pengukuran terhadap warna cumi-cumi Sampel o hue Chroma Bagian dalam 63,52 ± 1,42 31,24 ± 3,74 Segar Bagian luar 78,67 ± 12,7 81,03 ± 6,16 Bagian dalam 84,37 ± 1,16 89,56 ± 8,74 Olahan Bagian luar 82,55 ± 0,99 139,00 ± 0,41 Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa antara bagian dalam dengan bagian luar cumi-cumi tidak terdapat perbedaan warna yang nyata. Warna kedua bagian tersebut, baik cumi-cumi segar maupun cumi-cumi olahan berada pada kisaran derajat hue yang menunjukkan warna yellow red kuning-merah. Diagram warna dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan keterangan warna sampel dalam derajat hue dapat dilihat pada Lampiran 5. Untuk intensitas warna, berdasarkan nilai chroma, warna cumi-cumi bagian dalam lebih tinggi intensitasnya daripada bagian luar. Hal ini berlaku pada cumi- cumi segar dan cumi-cumi olahan. Warna bagian luar cumi-cumi lebih redup daripada bagian dalam. Secara penglihatan visual pun dapat dilihat bahwa warna bagian dalam berwarna lebih putih cemerlang.

4.2.3. Kekerasan

Nilai kekerasan yang diperoleh berbanding terbalik dengan kekerasan. Semakin besar nilai, maka kekerasan cumi-cumi semakin lunak. Nilai yang diperoleh untuk cumi-cumi segar berada dalam kisaran 3,2 – 4,3 mm.det dan cumi-cumi olahan berada dalam kisaran 6,3 – 7,3 mm.det. Hasil analisis ragam terhadap nilai kekerasan pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara nilai kekerasan cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kekerasan cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 6. Cumi-cumi segar memiliki tekstur yang kenyal dan padat sedangkan cumi- cumi olahan karena pengaruh pemasakan terutama pemanasan, memiliki tekstur yang lebih lunak daripada cumi-cumi segar, seperti yang terlihat pada Gambar 4.2. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 cumi-cumi N ila i k eker as a n 1mm. d et segar olahan Gambar 4.2. Nilai kekerasan cumi-cumi segar dan olahan

4.2.4. Kadar Air

Pengukuran kadar air cumi-cumi segar dan olahan menunjukkan bahwa kadar air cumi-cumi segar lebih tinggi dari kadar air cumi-cumi olahan, seperti yang terlihar pada Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar sebesar 84,54, sedangkan kadar air cumi-cumi olahan sebesar 72,57. Kadar air yang cukup tinggi ini cocok untuk pertumbuhan mikrorganisme seperti bakteri, sehingga bahan makanan yang memiliki kadar air tinggi rentan terhadap kerusakan akibat bakteri. Selain bakteri, kapang dan khamir juga dapat hidup pada kondisi ini. 64 68 72 76 80 84 88 cumi-cumi Kad ar air segar olahan Gambar 4.3. Kadar air cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan Hasil analisis ragam terhadap kadar air cumi-cumi pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar air cumi- cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar air cumi- cumi dapat dilihat pada Lampiran 7. Penurunan kadar air cumi-cumi olahan ini disebabkan karena pemanasan yang dilakukan saat mengolah cumi-cumi. Pemanasan ini yang menyebabkan kadar air cumi-cumi menurun karena menguap. Selain itu, penambahan garam, yang merupakan salah satu bumbu yang digunakan untuk mengolah cumi-cumi, dapat mengikat air sehingga menurunkan kadar air cumi-cumi.

4.2.5. Kadar Protein

Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar dengan menggunakan metode Kjeldahl. Kadar protein untuk cumi-cumi segar adalah sebesar 5,9 – 10,3, sedangkan cumi-cumi olahan memiliki kadar protein sebesar 13,6 – 15,1 Gambar 4.4. Hasil analisis ragam terhadap kadar protein pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan nyata antara kadar protein cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar protein disajikan pada Lampiran 8. 0,0 3,0 6,0 9,0 12,0 15,0 18,0 cumi-cumi Kad ar Pr ot ein segar olahan Gambar 4.4. Kadar protein cumi-cumi segar dan olahan Berdasarkan Okuzumi dan Fujii 2000, kadar protein cumi-cumi segar berkisar antara 15 – 20. Rendahnya kadar protein cumi-cumi kemungkinan disebabkan variasi sampel yang diambil. Perbedaan spesies, waktu panen, masa kembang-biak, usia cumi-cumi bisa menjadi faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai protein yang diperoleh dibandingkan dengan literatur. Ini diakui juga oleh Okuzumi dan Fujii 2000, bahwa sifat umum cumi-cumi yang terdeteksi bisa berbeda-beda dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. Berdasarkan Sahidi dan Botta 1994, kebanyakan ikan segar mengandung 16 – 24 protein. Nilai ini dapat meningkat hingga 35 pada ikan yang sudah dimasak. Tingginya kadar air pada golongan moluska berpengaruh pada rendahnya kadar protein 8 – 18.

4.2.6. Kadar Lemak

Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan dengan dua kali ulangan menunjukkan hasil berada dalam kisaran 0,372 – 0,763 untuk cumi segar dan 1,727 – 2,213 untuk cumi olahan Gambar 4.5. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara nilai keduanya. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar lemak disajikan pada Lampiran 9. Dari grafik pada Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar lemak setelah cumi-cumi diolah. Peningkatan ini kemungkinan dikarenakan pada pengolahan cumi-cumi ditambahkan santan yang merupakan emulsi minyak dalam air, sehingga menambah kandungan lemak terukur. Berdasarkan Okuzumi dan Fujii 2000, cumi-cumi mengandung lemak kasar sebesar 1 – 10. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 cumi-cumi Ka d a r L e ma k segar olahan Gambar 4.5. Kadar lemak cumi-cumi segar dan cumi-cumi olahan

4.2.7. Kadar Fosfor

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar fosfor pada cumi-cumi segar sebesar 1,0 – 1,2. Pengukuran pada cumi-cumi olahan menunjukkan bahwa kadar fosfor yang terkandung di dalamnya sebesar 1,34 – 1,38. Hasil analisis ragam terhadap kadar fosfor pada taraf signifikansi = 0,05 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar fosfor cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar fosfor disajikan pada Lampiran 11. Pada Gambar 4.6 di bawah dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar fosfor selama pengolahan. Terjadi peningkatan kadar fosfor kemungkinan karena pengaruh penambahan bumbu saat pengolahan, sehingga menambah kandungan fosfor terukur. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 cumi-cumi Ka d a r Fo sfo r segar olahan Gambar 4.6. Kadar fosfor cumi-cumi segar dan olahan

4.2.8. Kadar Besi

Berdasarkan Gaman dan Sherrington 1981, fungsi zat besi adalah sebagai salah satu pembentuk sel darah merah. Zat besi tidak dirusakkan oleh pemasakan, tetapi sejumlah kecil akan hilang bersama air karena zat besi larut dalam air. Hasil pemeriksaan terhadap kandungan zat besi pada cumi segar dan olahan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di antara keduanya. Hasil analisis ragam terhadap kadar besi pada taraf signifikansi = 0,05 memperlihatkan perbedaan nyata antara kadar besi cumi-cumi segar dengan cumi-cumi olahan. Rekapitulasi analisis ragam kadar besi disajikan pada Lampiran 10. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 cumi-cumi K adar B e s i m g k g segar olahan Gambar 4.7. Kadar besi cumi-cumi segar dan olahan Dapat dilihat pada Gambar 4.7 bahwa kandungan zat besi cumi-cumi segar lebih tinggi dibandingkan cumi-cumi olahan. Cumi-cumi segar memiliki kandungan zat besi sebanyak 7,7 hingga – 8,7 mgkg 0,7 – 0,9 mg100g. Kandungan zat besi cumi-cumi olahan sebesar 1,7 – 2,9 mgkg 0,1 – 0,3 mg100g. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa kadar besi setelah pemasakan mengalami penurunan yang cukup besar. Adanya penurunan ini kemungkinan karena pengaruh pemasakan. Berdasarkan Bender 1987, hilangnya zat besi akibat pemasakan bisa mencapai 32.

4.2.9. Uji Mikroba

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa cumi-cumi segar tercemar oleh bermacam-macam mikroba. Pengujian yang dilakukan terhadap cumi-cumi olahan menunjukkan bahwa terdapat cemaran mikroba, tetapi tidak sebanyak seperti yang tampak pada cumi-cumi segar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan cumi-cumi dapat mengurangi mikroba yang terdapat pada cumi-cumi. Mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan tidak hanya bakteri, tetapi juga sedikit kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan rentan terhadap kerusakan akibat bakteri dan juga kapang dan khamir. Jumlah total mikroba yang terdapat pada cumi-cumi olahan masih berada dalam batas aman konsumsi jika dibandingkan dengan SNI 01-2719-1992 untuk cumi-cumi kering dan SNI 01-2731-1992 untuk cumi-cumi beku. Jumlah maksimum total mikroba untuk cumi-cumi kering adalah sebanyak 4 x 10 4 kolonig dan jumlah maksimum total mikroba untuk cumi-cumi beku adalah 5 x 10 5 kolonig. Tabel 4.3. Hasil uji mikroba pada cumi-cumi segar dan olahan Sampel Ulangan Standard Plate Count SPC Total Mikroba Segar I 4,00 x 10 4 kolonig II 1,20 x 10 4 kolonig Olahan I 5,50 x 10 2 kolonig II 2,10 x 10 2 kolonig Ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan lebih rendah daripada cumi-cumi segar. Salah satunya adalah pemanasan. Selama pengolahan, cumi-cumi mengalami pemanasan dengan memasaknya di atas api. Proses pemanasan ini menyebabkan sebagian besar mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi segar mati. Selain itu, bumbu yang digunakan juga berperan dalam mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada cumi-cumi. Beberapa bumbu yang digunakan seperti bawang merah, bawang putih, dan kunyit memiliki kandungan senyawa antimikroba. Pada bawang merah dan bawang putih terdapat senyawa allicin yang berperan sebagai zat antibakteri Palungkun dan Budhiarti, 1992; Wibowo 1991. Selain itu, kunyit mengandung minyak curcumin yang mempunyai sifat sebagai antioksidan dan antibakteri. 4.3. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN 4.3.1. Perubahan pH Derajat keasaman pH merupakan salah satu penyebab produk perikanan menjadi rusak. Derajat keasaman yang rendah menunjukkan produk mengalami proses pembusukan karena terjadi penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Derajat keasaman daging ikan yang cenderung netral yaitu 6,4 – 6,6 disebabkan oleh rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan, ini yang menjadikan produk perikanan mudah rusak. Nilai pH cumi-cumi olahan cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Gambar 4.8 menunjukkan grafik perubahan pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa ketiga perlakuan menunjukkan kecenderungan penurunan nilai pH selama penyimpanan. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa cumi-cumi olahan yang disimpan dengan menggunakan kemasan PE vakum cenderung mengalami penurunan pH yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan yang dapat mempertahankan pH tidak mengalami penurunan yang besar adalah penyimpanan dengan menggunakan PP vakum. Persentase penurunan pH terbesar terjadi pada jam penyimpanan ke-18 hingga jam ke-30. Persentase penurunan pH untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dalam kemasan PP sebesar 9,21; 11,10 untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dalam kemasan PE; dan sebesar 8,10 untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Titik pH terendah yang dicapai adalah 5,36. Sedangkan titik pH terendah yang dicapai oleh cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum dan dalam kemasan PP adalah 6,15 dan 5,93. Dari grafik perubahan pH selama penyimpanan pada Gambar 4.8, dapat dilihat bahwa pada awalnya pH meningkat kemudian menurun. Peningkatan nilai pH pada awal penyimpanan kemungkinan dikarenakan aktivitas mikroba yang mengurai asam amino yang menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat basa sehingga nilai pH meningkat. Nilai pH yang menurun kemungkinan disebabkan pertumbuhan mikroba yang menggunakan gula-gula sederhana sebagai sumner metabolismenya sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat asam sehingga menyebabkan nilai pH menurun. 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0 7,5 10 20 30 40 50 60 Lama Penyimpanan jam Nilai pH Non-vakum PP PE Gambar 4.8. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu 30±2 o C Kecenderungan ini juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 dan -15 o C. Hanya saja pada perlakuan penyimpanan di suhu 10 o C penurunan grafik perubahan pH tidak setajam perlakuan penyimpanan di suhu 30 o C. Kecenderungannya nilai pH mengalami peningkatan di awal dan kemudian menurun di akhir. Berdasarkan grafik Gambar 4.9, cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C dan dengan kemasan PE vakum mengalami penurunan pH yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada suhu penyimpanan yang sama. Nilai pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C berada pada kisaran 6,46 – 7,01. 5,8 6,2 6,6 7,0 7,4 2 4 6 8 10 12 14 16 Lama Penyimpanan hari Nilai pH Non-vakum PP PE Gambar 4.9. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu 10±2 o C Perbedaan kecenderungan terlihat pada cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C. Cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum dan PP vakum memiliki kecenderungan nilai pH yang menurun selama penyimpanan, tetapi cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum mengalami kecenderungan nilai pH yang meningkat Gambar 4.10. Peningkatan nilai pH ini kemungkinan karena adanya proses penguraian asam-asam amino menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti NH 3 yang bersifat basa, sehingga menyebabkan peningkatan nilai pH selama penyimpanan. Kondisi ini juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 dan 10 o C, hanya saja berlangsung lebih cepat di awal penyimpanan. 5,8 6,2 6,6 7,0 7,4 1 2 3 4 5 6 7 8 Lama Penyimpanan minggu Nilai pH Non-vakum PP PE Gambar 4.10. Grafik perubahan pH pada penyimpanan suhu -15±5 o C Untuk jenis kemasan yang sama, cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C mengalami penurunan pH yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi laju penurunan pH. Suhu penyimpanan yang tinggi semakin mempercepat laju penurunan pH cumi-cumi olahan. Selama penyimpanan, pH cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30, 10, dan -15 o C cenderung mengalami penurunan. Penurunan pH cumi-cumi olahan dikarenakan proses pembusukan yang menyebabkan daging cumi-cumi semakin asam. Berdasarkan Ilyas 1983, turunnya pH cumi-cumi disebabkan rendahnya cadangan glikogen, karena terurai menjadi asam laktat. Peningkatan jumlah asam laktat akibat terurainya glikogen inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan pH pada cumi-cumi olahan.

4.3.2. Kekerasan

Bahan pangan yang rusak dan mengalami pembusukan selama penyimpanan teksturnya akan melunak. Seiring dengan tingkat kerusakan, tekstur bahan pangan tersebut akan semakin lunak. Untuk produk perikanan dan sejenisnya, daging ikan akan terasa kenyal jika masih dalam keadaan segar, dan akan terasa lembeklunak jika sudah busuk. Untuk kasus penelitian ini, tekstur cumi-cumi olahan akan semakin melunak seiring dengan laju kerusakan atau pembusukan dari cumi-cumi tersebut. Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan pada suhu 30 o C Gambar 4.11 menunjukkan kecenderungan peningkatan nilai kekerasan yang berarti tekstur cumi-cumi olahan cenderung melunak. Peningkatan terbesar untuk nilai kekerasan dialami oleh cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum. Hal ini menunjukkan tingkat kerusakan terbesar dialami oleh cumi olahan dengan kemasan PE vakum. Jika dibandingkan dengan perubahan nilai pH, terlihat korelasi tingkat penurunan pH dengan peningkatan nilai tekstur. Penurunan pH sejalan dengan kerusakan daging cumi olahan yang ditandai dengan meningkatnya nilai tekstur daging cumi-cumi semakin lunak. 5 7 9 11 13 15 10 20 30 40 50 60 Lama Penyimpanan jam N ilai keke rasan 1 m m.det Non-vakum PP PE Gambar 4.11. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 30±2 o C Dari informasi daya tembus O 2 terhadap plastik, didapatkan bahwa plastik PE memiliki daya tembus O 2 yang paling kecil karena densitasnya yang besar, kemudian HDPE dan PP. Sedikitnya O 2 yang terdapat di dalam kemasan dapat memacu pertumbuhan mikroba anaerob. Pertumbuhan mikroba ini dapat menyebabkan penurunan mutu pada cumi-cumi olahan, salah satunya ditunjukkan dengan meningkatnya nilai kekerasan. Penyimpanan cumi-cumi olahan pada suhu 10 o C juga menunjukkan perubahan nilai tekstur yang cenderung meningkat. Hanya saja, perbandingan perubahan nilai tekstur cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata seperti yang terlihat pada perubahan nilai tekstur di dalam penyimpanan suhu 30 o C. Perubahan nilai tekstur cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C dapat dilihat pada Gambar 4.12. Bila dikaitkan dengan perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10 o C, hasil ini terlihat sejalan. Perubahan nilai pH pada penyimpanan suhu 10 o C cenderung tidak tampak perbedaan yang nyata, begitu juga perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10 o C. 5 7 9 11 13 15 2 4 6 8 10 12 14 16 Lama penyimpanan hari N ila i keker asan 1mm. de t Non-vakum PP PE Gambar 4.12. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu 10±2 o C Jika dilihat pada hari ke-4 penyimpanan, nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum lebih tinggi daripada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan dua jenis kemasan lainnya. Ini berhubungan dengan pertumbuhan mikroba yang terjadi selama penyimpanan di suhu 10 o C. Cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum menunjukkan pertumbuhan mikroba pada hari ke-4 penyimpanan. Hal yang sama juga terlihat pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Nilai kekerasan yang meningkat, terutama pada hari ke-6 penyimpanan, juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang terjadi pada hari ke-6 penyimpanan. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum menunjukkan nilai kekerasan yang tinggi pada hari ke-10 penyimpanan. Hal ini juga diiringi dengan pertumbuhan mikroba yang tinggi pada hari ke-10 penyimpanan. Hasil-hasil yang berkaitan ini menunjukkan bahwa nilai kekerasan pada penyimpanan cumi-cumi olahan di suhu 10 o C dipengaruhi oleh aktivitas mikroba. Cumi-cumi olahan yang kaya akan zat gizi dan memiliki kadar air yang tinggi merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada cumi-cumi olahan ini menyebabkan perubahan tekstur yang ditandai dengan meningkatnya nilai kekerasan. Perubahan nilai kekerasan selama penyimpanan suhu -15 o C dapat dilihat pada Gambar 4.13. Terlihat peningkatan nilai kekerasan yang cukup drastis pada minggu pertama penyimpanan. Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum pada minggu pertama sebesar 44,49. Peningkatan nilai kekerasan pada minggu pertama penyimpanan cumi- cumi olahan yang disimpan menggunakan plastik PP vakum sebesar 43,71. Peningkatan nilai kekerasan cumi-cumi olahan yang disimpan menggunakan plasitk PE vakum selama satu minggu pertama penyimpanan sebesar 44,85. Peningkatan nilai kekerasan pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o kemungkinan disebabkan oleh rusaknya tekstur akibat pembekuan freeze injury. Pendinginan cumi-cumi olahan di bawah suhu 0 o C memungkinkan terjadinya pengkristalan air yang terkandung di dalamnya. Terbentuknya kristal- kristal es ini dapat merusak tekstur cumi-cumi olahan sehingga nilai kekerasannya menjadi semakin tinggi. 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1 2 3 4 5 6 7 8 Lama penyimpanan minggu N il ai k ek er as an 1 mm .det Non-vakum PP PE Gambar 4.13. Grafik perubahan nilai kekerasan pada penyimpanan suhu -15±5 o C Nilai kekerasan cumi dengan berbagai suhu penyimpanan dan berbagai teknik pengemasan terlihat kecenderungan yang sama yaitu meningkat tajam pada awal penyimpanan dan kemudian cenderung stabil atau meningkat dengan lambat pada periode penyimpanan yang lama. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penurunan tekstur kekerasan cumi-cumi olahan selama penyimpanan mempunyai dua tahap laju penurunan yaitu laju penurunan cepat dan laju penurunan lambat dengan titik perubahan di jam ke-20 pada suhu 30 o C, 1 hari pada penyimpanan 10 o C dan 1 minggu pada penyimpanan -15 o C. 4.3.3. Pertumbuhan Total Mikroba Adanya mikroba merupakan salah satu penyebab kerusakan atau penurunan mutu pada bahan pangan. Ada tidaknya mikroba pada bahan pangan juga dapat digunakan sebagai indikator keamanan pangan. Pengujian total mikroba terhadap cumi-cumi olahan selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba baik kapang, khamir, maupun bakteri. Berdasarkan hasil analisis terhadap cumi-cumi yang disimpan pada suhu 30 o C, didapat bahwa pertumbuhan mikroorganisme tetap berjalan walaupun dikemas dengan kemasan vakum. Pertumbuhan mikroorganisme mengalami fase log pertumbuhan pada 24 jam pertama. Analisis yang dilakukan pada jam ke-12 penyimpanan sudah menunjukkan hasil yang positif adanya mikroorganisme pada makanan. Pada jam ke-12 penyimpanan, jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum adalah sebanyak 1,40 x 10 6 kolonig. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum menunjukkan jumlah mikroba sebanyak 1,77 x 10 5 kolonig. Jumlah mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum adalah 1,75 x 10 5 kolonig. Grafik pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C dapat dilihat pada Gambar 4.14. 2 4 6 8 12 24 36 48 Lama penyimpanan jam lo g Ju ml a h ko lo n i Non-vakum PP PE Gambar 4.14. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 30±2 o C Grafik pertumbuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva yang sedikit mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H 2 S oleh mikroorganisme itu sendiri. Dari Gambar 4.14 di atas dapat dillihat bahwa baik pada cumi-cumi olahan yang dikemas dengan kemasan vakum maupun non-vakum terdapat pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini bisa terjadi karena mikroba itu sendiri dibedakan menjadi mikroba aerobik, anaerobik, dan anaerobik fakultatif. Pada cumi-cumi olahan ini terdapat kemungkinan terdapatnya mikroba dari berbagai macam jenis tersebut, sehingga pada kondisi penyimpanan minim oksigen vakum maupun terdapat oksigen non-vakum masih terdapat mikroba yang tumbuh. Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C menunjukkan bahwa sudah terjadi pertumbuhan mikroorganisme semenjak hari kedua penyimpanan pada tiap perlakuan pengemasan. Grafik pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C dapat dilihat pada Gambar 4.15. 2 4 6 8 2 4 6 8 10 12 14 16 Lama Penyimpanan hari log J um lah k oloni Non-vakum PP PE Gambar 4.15. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu 10±2 o C Bedasarkan Gambar 4.15, grafik pertumbuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi terus tumbuh memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat di dalam cumi-cumi olahan. Kurva yang sedikit mendatar dan menurun kemungkinan menunjukkan adanya produksi senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, seperti H 2 S oleh mikroorganisme itu sendiri. Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C lebih sedikit bila dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C. Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi- cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C juga lebih lambat bila dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C. Hasil ini menunjukkan bahwa penyimpanan dingin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hasil analisis terhadap cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C Gambar 4.16 menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme sempat terhambat pada minggu pertama penyimpanan. Setelah minggu pertama penyimpanan terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada minggu ke-2 penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum. Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum terjadi pada minggu ke-4 penyimpanan. Sedangkan pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada penyimpanan. Terhambatnya pertumbuhan mikroba pada minggu pertama kemungkinan karena suhu -15 o C bukan merupakan suhu yang cocok untuk bakteri mesofilik untuk tumbuh, tetapi pada suhu ini bakteri psikrofilik dapat tumbuh dan pertumbuhannya dapat terlihat setelah minggu pertama penyimpanan. Grafik pertumbuhan total mikroba pada cumi- cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C dapat dilihat pada Gambar 4.16. 2 4 6 1 2 3 4 5 Lama Penyimpanan minggu lo g J u mlah Kolo ni Non-vakum PP PE Gambar 4.16. Grafik pertumbuhan total mikroba pada penyimpanan suhu -15±5 o C Pertumbuhan mikroorganisme pada cumi-cumi olahan kemasan PE vakum lebih awal terjadi daripada pada pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum dan non-vakum. Hal ini mungkin disebabkan karena pertumbuhan bakteri anaerob yang lebih cepat karena berada dalam kondisi minim oksigen. Plastik PE memiliki densitas yang besar, sehingga daya tembus oksigennya kecil dan merupakan kondisi yang baik bagi bakteri anaerob untuk tumbuh.

4.3.4. Analisis Proksimat setelah Penyimpanan

4.3.4.1. Kadar air

Dari grafik perubahan kadar air setelah penyimpanan yang disajikan pada gambar 4.17, 4.18 dan 4.19 menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C mengalami kecenderungan peningkatan kadar air sedangkan yang disimpan pada suhu dingin 10 dan -15 o C mengalami penurunan kadar air. Peningkatan kadar air pada penyimpanan suhu 30 o C ini diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme. Pada penelitian ini, selama penyimpanan pada suhu 30 o C dan cumi-cumi olahan mencapai kondisi busuk terjadi perubahan pada kemasan vakum yang digunakan selama penyimpanan berupa rongga di dalam kemasan yang seharusnya tidak ada pada kemasan vakum. Rongga tersebut terisi oleh cairan yang diduga berasal dari cumi-cumi dan bumbu yang digunakan untuk pengolahan. Keadaan tersebut diduga karena aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan pada cumi-cumi olahan yang ditandai dengan bau yang tak sedap dan cairan yang berada di dalam kemasan. Selain karena aktivitas mikroorganisme, adanya cairan di dalam kemasan plastik diduga karena bahan yang dikemas memang mengandung kadar air yang tinggi dan cukup berlemak sehingga membuat pengemasan vakum yang dilakukan tidak sempurna. 68 72 76 80 2 Lama penyimpanan hari K adar ai r Non-vakum PP PE Gambar 4.17. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 30±2 o C Dari Gambar 4.17 di atas dapat dilihat bahwa cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan HDPE dan PE vakum. Selain karena aktivitas mikroba yang sudah dijelaskan di atas, faktor lain yang juga berpengaruh adalah daya tembus plastik terhadap gas dan uap air. Densitas plastik PP yang lebih kecil dibandingkan dua plastik lainnya memungkinkan terjadinya transfer uap air dari lingkungan ke dalam kemasan. Hal ini yang dapat menyebabkan kadar air pada cumi-cumi olahan yang dikemas dengan PP vakum lebih besar dibandingkan dengan cumi-cumi olahan yang disimpan dengan dua kemasan lainnya. Kadar air cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan non-vakum pada suhu 10 o C mengalami penurunan sebesar 5,90 selama 16 hari penyimpanan dari 72,57 menjadi 66,67. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu yang sama dengan kemasan PP vakum mengalami penurunan kadar air sebanyak 6,57 selama 16 hari penyimpanan dari 72,57 menjadi 65,99. Penurunan kadar air cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum pada suhu 10 o C mencapai 3,84 selama 16 hari penyimpanan. Kadar air saat awal penyimpanan hari ke-0 adalah sebesar 72,57 dan pada hari ke-16 menjadi 68,73. 60 64 68 72 76 16 Lama penyimpanan hari K adar ai r Non-vakum PP PE Gambar 4.18. Kadar air selama penyimpanan pada suhu 10±2 o C Penurunan kadar air cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan non-vakum setelah penyimpanan pada suhu -15 o C sebesar 2,49 selama 8 minggu penyimpanan dari 72,57 menjadi 70,07. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C dengan kemasan PP vakum mengalami penurunan kadar air sebanyak 3,85 selama 8 minggu penyimpanan. Kadar air saat awal penyimpanan adalah sebesar 72,57 dan setelah penyimpanan mencapai sebesar 68,72. Penyimpanan cumi-cumi olahan dengan kemasan PE vakum pada suhu - 15 o C menunjukkan penurunan kadar air sebesar 0,20 selama 8 minggu penyimpanan. Kadar air cumi-cumi olahan awal adalah sebesar 72,57 dan setelah penyimpanan adalah sebesar 72,37. Penurunan kadar air selama penyimpanan pada suhu penyimpanan -15 o C dapat dilihat pada Gambar 4.19 di bawah ini. 64 68 72 76 8 Lama penyimpanan minggu K adar ai r Non-vakum PP PE Gambar 4.19. Kadar air selama penyimpanan pada suhu -15±5 o C Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu dingin 10 dan -15 C mengalami kecenderungan penurunan kadar air. Penurunan kadar air ini diduga karena terjadi dehidrasi pada cumi-cumi yang disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan Lanier di dalam Martin dan Flick 1988, tempat penyimpanan dingin seperti freezer kebanyakan tidak beroperasi pada suhu yang konstan dikarenakan aktivitas membuka-tutup pintu freezer. Saat produk perikanan dikemas dan disimpan di dalam freezer, kandungan air akan menguap dari permukaan ikan hingga udara di dalam kemasan menjadi jenuh dan mencapai keseimbangan dengan kelembaban. Saat temperatur freezer menaik, semakin banyak kandungan air yang menguap untuk mencapai keseimbangan baru dengan kelembaban relatif akibat perubahan suhu tersebut. Saat suhu freezer menurun, uap air akan mengembun sebagai butiran es di dalam kemasan. Evaporasi dan presipitasi yang berkelanjutan dengan suhu yang berfluktuasi akan bertindak sebagai pemompa air dari dalam bahan dan mengakibatkan dehidrasi pada daging produk.

4.3.4.2. Kadar protein

Grafik perubahan kadar protein yang disajikan pada Gambar 4.20, 4.21 dan 4.22 menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi penurunan kadar protein. Penyimpanan cumi-cumi olahan pada tiga suhu yang berbeda 30, 10, -15 o C menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Kadar protein akhir setelah penyimpanan berada pada kisaran 1,88 – 3,32. Kadar protein setelah penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C dengan kemasan non-vakum menurun sebesar 11,53 selama 2 hari penyimpanan. Kadar protein awal sebesar 14,43 dan setelah penyimpanan sebesar 2,90. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C dengan kemasan PP vakum adalah sebesar 11,11 selama 2 hari penyimpanan dari 14,43 menjadi 3,32. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C dengan kemasan PE vakum selama 2 hari penyimpanan adalah sebesar 11,51 dari 14,43 menjadi 2,92. Perubahan kadar protein setelah penyimpanan pada suhu 30 o C dapat dilihat pada Gambar 4.20. 4 8 12 16 2 Lama penyimpanan hari K adar prot e in Non-vakum PP PE Gambar 4.21. Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 30±2 o C Kadar protein akhir setelah penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C dengan kemasan non-vakum mengalami penurunan sebesar 11,51. Kadar protein awal sebesar 14,43 dan setelah penyimpanan mencapai 2,92. Penurunan kadar protein pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 10 o C dengan kemasan PP vakum sebesar 11,72 dari 14,43 menjadi 2,70. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum pada suhu 10 o C mencapai 11,40 dari 14,43 menjadi 3,02. Penurunan kadar protein selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.21 di bawah. 4 8 12 16 16 Lama penyimpanan hari K adar pro tein Non-vakum PP PE Gambar 4.21 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu 10±2 o C Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C dengan kemasan non- vakum mengalami penurunan kadar protein sebesar 12,54 dari 14,43 menjadi 1,89. Penurunan kadar protein cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu yang sama dengan kemasan PP vakum sebesar 11,65. Kadar protein awal sebesar 14,43 dan setelah penyimpanan sebesar 2,78. Cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C dengan kemasan PE vakum mengalami penurunan kadar protein sebesar 11,40 dari 14,43 menjadi 3,03. 4 8 12 16 8 Lama penyimpanan minggu K ad ar prot ei n Non-vakum PP PE Gambar 4.22 Kadar protein selama penyimpanan pada suhu -15±5 o C Penurunan kadar protein diduga karena adanya aktivitas mikroba. Protein yang terdapat pada cumi-cumi digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber nitrogen. Berdasarkan Buckle et al 1985, molekul kompleks dari zat-zat organik seperti protein harus dipecahkan terlebih dahulu menjadi unit yang lebih sederhana sebelum zat tersebut dapat masuk ke dalam sel dan dipergunakan. Pemecahan awal ini dapat terjadi akibat ekskresi enzim ekstraseluler, suatu sifat yang sangat erat hubungannya dengan pembusukan bahan pangan.

4.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN

Untuk menentukan umur simpan produk, perlu diketahui titik kritis produk tersebut sebagai acuan untuk menentukan umur simpan. Untuk kasus yang diangkat pada penelitian ini, titik kritis dari produk berupa bahan pangan adalah adanya pertumbuhan mikroba. Karena produk ini belum memiliki standar mutu, maka untuk menentukan batas aman konsumsi berdasarkan pertumbuhan mikroba mengacu pada SNI 01-2719-1992 untuk cumi-cumi kering di mana jumlah maksimum total mikroba yang terkandung adalah 4 x 10 4 kolonig dan SNI 01- 2731-1992 untuk cumi-cumi beku di mana jumlah maksimum total mikroba yang terkandung adalah 5 x 10 5 kolonig. Untuk cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 dan 10 o C menggunakan standar SNI 01-2719-1992, sedangkan untuk cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C menggunakan standar SNI 01- 2731-1992. Dari hasil analisis terhadap total pertumbuhan mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu 30 o C, pertumbuhan mikroba yang melebihi batas layak konsumsi terjadi pada jam ke-12 penyimpanan. Pertumbuhan ini terjadi pada tiap perlakuan kemasan, yaitu non-vakum, PP vakum, dan PE vakum. Hasil ini menunjukkan bahwa batas aman konsumsi adalah hingga 12 jam penyimpanan, dengan kata lain batas umur simpan cumi-cumi olahan pada suhu 30 o C adalah 12 jam. Berdasarkan uji pertumbuhan total mikroba pada suhu penyimpanan 10 o C, pertumbuhan mikroba yang melebihi batas aman konsumsi terjadi pada hari ke-6 penyimpanan pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan non-vakum. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum, pertumbuhan mikroba yang melebihi batas aman konsumsi terjadi pada hari ke-10 penyimpanan. Pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum, pertumbuhan total mikroba yang melebihi batas aman penyimpanan terjadi pada hari ke-4 penyimpanan. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa batas umur simpan untuk cumi-cumi yang disimpan pada suhu 10 o C dengan kemasan non-vakum adalah 6 hari, 10 hari untuk cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum, dan 4 hari untuk cumi-cumi yang disimpan dengan kemasan PE vakum. Berdasarkan analisis pertumbuhan total mikroba pada cumi-cumi yang disimpan pada suhu -15 o C didapatkan hasil yang menunjukkan penyimpanan pada suhu freezer lebih dapat mempertahankan mutu bahan makanan seperti cumi-cumi olahan ini. Pertumbuhan total mikroba pada cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu freezer -15 o C selama 4 minggu tidak menunjukkan pertumbuhan yang melebihi ambang batas layak konsumsi 5 x 10 5 kolonig berdasarkan SNI 01- 2731-1992. Jumlah total mikroba yang terlihat selama penyimpanan pada suhu - 15 o C hanya mencapai 1,3 x 10 5 kolonig pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PP vakum dan 2,5 x 10 5 kolonig pada cumi-cumi olahan yang disimpan dengan kemasan PE vakum. Penentuan umur simpan untuk cumi-cumi olahan yang disimpan pada suhu -15 o C didasarkan pada beberapa literatur. Berdasarkan Gorga dan Ronsivalli 1988, umur simpan produk perikanan yang disimpan pada suhu -12,2 o C bisa mencapai 2 bulan dan produk perikanan yang disimpan pada suhu -17,8 o C masih memiliki kualitas yang tinggi hingga penyimpanan selama 7 bulan. Berdasarkan van Laack 1994, umur simpan produk perikanan yang disimpan pada suhu -18 o C bisa mencapai 6 bulan. Sumber literatur lain menyatakan bahwa umur simpan produk perikanan yang sudah dimasak dan disimpan pada freezer bisa mencapai 4 hingga 6 bulan www.hormel.com. Berdasarkan hasil-hasil seperti yang disebutkan di atas, maka umur simpan cumi-cumi olahan berdasarkan adanya pertumbuhan total mikroba adalah seperti pada Tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4. Umur simpan cumi-cumi olahan pada tiap perlakuan Umur simpan Perlakuan Suhu 30 o C Suhu 10 o C Suhu -15 o C Non-vakum 12 jam 6 hari 4 bulan PP vakum 12 jam 10 hari 4 bulan PE vakum 12 jam 4 hari 4 bulan

4.5. ANALISIS BIAYA