Kajian Pengolahan Cumi-Cumi (Loligo sp.) Siap Saji

(1)

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

Dilahirkan di Banjar pada tanggal 25 Mei 1984

Tanggal lulus:

Bogor, 24 Januari 2008 Menyetujui,

Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. Dr. Indah Yuliasih , STP, MSi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(4)

Kurnia Meirina. F34102031. Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution dan Indah Yuliasih. 2008.

RINGKASAN

Cumi merupakan produk laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (Dahuri, 2004). Cumi memiliki sifat mudah mengalami penurunan mutu sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan segera agar cita rasa cumi tidak berkurang. Produk olahan cumi-cumi sebagai konsumsi lokal di Indonesia masih terbatas pada cumi-cumi kertas, cumi kering asin, cumi asap dan cumi kaleng. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilakukan pengembangan produk, misalnya dengan membuat cumi-cumi olahan yang merupakan produk praktis dalam cara konsumsi maupun penyajiannya. Cumi-cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Produk ini merupakan produk siap saji yang dapat dikonsumsi langsung maupun dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan melakukan pengukusan, penggorengan, pemanggangan menggunakan api, oven atau microwave. Cara saji cumi-cumi olahan ini dilakukan dengan berbagai variasi waktu, pada suhu dan kekuatan daya yang ditentukan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara saji cumi olahan yang disukai panelis. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut (kukus, goreng, panggang api, oven dan microwave).

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan memiliki warna (oHue) pada bagian dalam 73,14 dan bagian luar 82,55; nilai kekerasan (tekstur) 1,36 mm/g.dt; kadar air 72,57%; kadar protein (%bk) 14,54%; kadar lemak kasar (%bk) 1,98%; kadar fosfor (%bk) 1,37%; kadar besi 2,31 mg/kg serta tidak ditemukannya mikroorganisme Salmonella, Escherichia coli

dan mikroorganisme lain pada uji mikroba.

Pengolahan lebih lanjut diberikan pada cumi-cumi olahan yaitu kukus, goreng, panggang menggunakan api, oven dan microwave. Perlakuan tersebut dilakukan dalam tiga variasi waktu yaitu 2 menit, 5 menit dan 7 menit. Suhu yang digunakan pada oven 200 oC, sedangkan power level yang digunakan pada microwave adalah 30%. Produk cumi olahan yang telah diolah lebih lanjut diuji penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa melalui uji organoleptik (uji hedonik). Selain itu juga dilakukan analisa, meliputi warna, tekstur, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan uji mikroba (Salmonella, Escherichia coli, dan mikroorganisme lainnya).


(5)

Hasil uji organoleptik untuk penampakan umum menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi dihasilkan pada perlakuan panggang api dan goreng yang dilakukan selama 7 menit. Rata-rata tertinggi untuk warna dihasilkan pada perlakuan goreng selama 5 menit, untuk aroma rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan goreng selama 7 menit, untuk tekstur pada kukus selama 2 menit dan untuk rasa pada microwave selama 5 menit. Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan goreng cenderung lebih disukai oleh panelis sedangkan berdasarkan hasil analisa mutu pada cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut, perlakuan kukus dapat menjadi pertimbangan dalam cara penyajian cumi olahan dilihat dari nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Kadar protein pada perlakuan kukus memiliki nilai yang berkisar antara 19,09-19,99%, kadar lemak 1,44-1,59%, tekstur 1,17-1,27 mm/g.dt serta untuk uji mikroba tidak ditemukan mikroorganisme


(6)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2008 Yang Membuat Pernyataan

Nama : Kurnia Meirina NRP : F34102031


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Banjar, Ciamis. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Atman dan Ibu Misriyati.

Pendidikan Dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN II Banjar, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 1 Banjar dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Banjar.

Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama pendidikannya di IPB, penulis pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan IPB diantaranya Stadium General “ Succes Story Alumni Teknologi Industri Pertanian” (2003), Six Sigma (2005), dan lain-lain. Pada tahun 2005, penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Raya Sugarindo Inti dengan judul laporan “ Aspek Teknologi Proses Produksi di PT. Raya Sugarindo Inti, Tasikmalaya-Jawa Barat”.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan segala nikmat, petunjuk, kehendak, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan hasil penelitan penulis dalam bentuk skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang berjudul “Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo

sp.) Siap Saji”.

Penulis sadar, bahwa usaha penulis dari saat akan memulai penelitian hingga tertuliskannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. M. Zein Nasution, MAppSc sebagai dosen pembimbing I yang telah mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,

2. Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan pada penulis selama penyusunan skripsi, 3. Drs. Purwoko, MSi sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada

skripsi ini,

4. Bapak, Ibu, kakak (dan keluarga) serta adik atas do’a, kesabaran, perhatian, kasih sayang, dan saran-saran bijaknya,

5. Pihak PT. AGFI, khususnya Pak Johan dan mbak Wiwit yang telah menyediakan bahan baku penelitian serta atas semangat yang diberikan,

6. Seluruh staf dan karyawan serta laboran Departemen TIN yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian,

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini kemungkinan besar masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2008


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

A. CUMI-CUMI ... 3

B. PENGOLAHAN BAHAN PANGAN ... 5

C. BUMBU ... 9

D. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI ... 13

III. METODOLOGI ... 14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

B. METODE PENELITIAN ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

A. PROSES PENGOLAHAN CUMI SEGAR ... 18

B. KARAKTERISTIK CUMI SEGAR DAN OLAHAN... 19

C. KARAKTERISTIK CUMI SETELAH PENGOLAHAN LANJUTAN... D. UJI ORGANOLEPTIK... 24 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 35

A. KESIMPULAN ... 35

B. SARAN ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia dan gizi cumi-cumi (Loligo sp.) per 100 gram

bahan ... 5 Tabel 2. Perubahan Nilai gizi cumi-cumi sebelum dan setelah

pengukusan per 100 gram bahan ... 8 Tabel 3. Karakteristik awal cumi segar dan cumi olahan... 20 Tabel 4. Karakteristik cumi setelah pengolahan lanjutan ... 25


(11)

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (

Loligo

sp.) SIAP SAJI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

KURNIA MEIRINA F34102031

Dilahirkan di Banjar pada tanggal 25 Mei 1984

Tanggal lulus:

Bogor, 24 Januari 2008 Menyetujui,

Ir. M. Zein Nasution, MAppSc. Dr. Indah Yuliasih , STP, MSi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(14)

Kurnia Meirina. F34102031. Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution dan Indah Yuliasih. 2008.

RINGKASAN

Cumi merupakan produk laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (Dahuri, 2004). Cumi memiliki sifat mudah mengalami penurunan mutu sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan segera agar cita rasa cumi tidak berkurang. Produk olahan cumi-cumi sebagai konsumsi lokal di Indonesia masih terbatas pada cumi-cumi kertas, cumi kering asin, cumi asap dan cumi kaleng. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilakukan pengembangan produk, misalnya dengan membuat cumi-cumi olahan yang merupakan produk praktis dalam cara konsumsi maupun penyajiannya. Cumi-cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Produk ini merupakan produk siap saji yang dapat dikonsumsi langsung maupun dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan melakukan pengukusan, penggorengan, pemanggangan menggunakan api, oven atau microwave. Cara saji cumi-cumi olahan ini dilakukan dengan berbagai variasi waktu, pada suhu dan kekuatan daya yang ditentukan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara saji cumi olahan yang disukai panelis. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut (kukus, goreng, panggang api, oven dan microwave).

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa cumi-cumi olahan memiliki warna (oHue) pada bagian dalam 73,14 dan bagian luar 82,55; nilai kekerasan (tekstur) 1,36 mm/g.dt; kadar air 72,57%; kadar protein (%bk) 14,54%; kadar lemak kasar (%bk) 1,98%; kadar fosfor (%bk) 1,37%; kadar besi 2,31 mg/kg serta tidak ditemukannya mikroorganisme Salmonella, Escherichia coli

dan mikroorganisme lain pada uji mikroba.

Pengolahan lebih lanjut diberikan pada cumi-cumi olahan yaitu kukus, goreng, panggang menggunakan api, oven dan microwave. Perlakuan tersebut dilakukan dalam tiga variasi waktu yaitu 2 menit, 5 menit dan 7 menit. Suhu yang digunakan pada oven 200 oC, sedangkan power level yang digunakan pada microwave adalah 30%. Produk cumi olahan yang telah diolah lebih lanjut diuji penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa melalui uji organoleptik (uji hedonik). Selain itu juga dilakukan analisa, meliputi warna, tekstur, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan uji mikroba (Salmonella, Escherichia coli, dan mikroorganisme lainnya).


(15)

Hasil uji organoleptik untuk penampakan umum menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi dihasilkan pada perlakuan panggang api dan goreng yang dilakukan selama 7 menit. Rata-rata tertinggi untuk warna dihasilkan pada perlakuan goreng selama 5 menit, untuk aroma rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan goreng selama 7 menit, untuk tekstur pada kukus selama 2 menit dan untuk rasa pada microwave selama 5 menit. Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan goreng cenderung lebih disukai oleh panelis sedangkan berdasarkan hasil analisa mutu pada cumi olahan yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut, perlakuan kukus dapat menjadi pertimbangan dalam cara penyajian cumi olahan dilihat dari nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Kadar protein pada perlakuan kukus memiliki nilai yang berkisar antara 19,09-19,99%, kadar lemak 1,44-1,59%, tekstur 1,17-1,27 mm/g.dt serta untuk uji mikroba tidak ditemukan mikroorganisme


(16)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo sp.) Siap Saji” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2008 Yang Membuat Pernyataan

Nama : Kurnia Meirina NRP : F34102031


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Banjar, Ciamis. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Atman dan Ibu Misriyati.

Pendidikan Dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN II Banjar, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 1 Banjar dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Banjar.

Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama pendidikannya di IPB, penulis pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan IPB diantaranya Stadium General “ Succes Story Alumni Teknologi Industri Pertanian” (2003), Six Sigma (2005), dan lain-lain. Pada tahun 2005, penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Raya Sugarindo Inti dengan judul laporan “ Aspek Teknologi Proses Produksi di PT. Raya Sugarindo Inti, Tasikmalaya-Jawa Barat”.


(18)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan segala nikmat, petunjuk, kehendak, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan hasil penelitan penulis dalam bentuk skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang berjudul “Kajian Pengolahan Cumi-cumi (Loligo

sp.) Siap Saji”.

Penulis sadar, bahwa usaha penulis dari saat akan memulai penelitian hingga tertuliskannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. M. Zein Nasution, MAppSc sebagai dosen pembimbing I yang telah mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,

2. Dr. Indah Yuliasih, STP, MSi sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan pada penulis selama penyusunan skripsi, 3. Drs. Purwoko, MSi sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada

skripsi ini,

4. Bapak, Ibu, kakak (dan keluarga) serta adik atas do’a, kesabaran, perhatian, kasih sayang, dan saran-saran bijaknya,

5. Pihak PT. AGFI, khususnya Pak Johan dan mbak Wiwit yang telah menyediakan bahan baku penelitian serta atas semangat yang diberikan,

6. Seluruh staf dan karyawan serta laboran Departemen TIN yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian,

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini kemungkinan besar masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2008


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

A. CUMI-CUMI ... 3

B. PENGOLAHAN BAHAN PANGAN ... 5

C. BUMBU ... 9

D. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI ... 13

III. METODOLOGI ... 14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

B. METODE PENELITIAN ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

A. PROSES PENGOLAHAN CUMI SEGAR ... 18

B. KARAKTERISTIK CUMI SEGAR DAN OLAHAN... 19

C. KARAKTERISTIK CUMI SETELAH PENGOLAHAN LANJUTAN... D. UJI ORGANOLEPTIK... 24 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 35

A. KESIMPULAN ... 35

B. SARAN ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia dan gizi cumi-cumi (Loligo sp.) per 100 gram

bahan ... 5 Tabel 2. Perubahan Nilai gizi cumi-cumi sebelum dan setelah

pengukusan per 100 gram bahan ... 8 Tabel 3. Karakteristik awal cumi segar dan cumi olahan... 20 Tabel 4. Karakteristik cumi setelah pengolahan lanjutan ... 25


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagian tubuh cumi-cumi ... 3 Gambar 2. Microwave ... 7 Gambar 3.

Gambar 4. Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7. Gambar 8.

Gambar 9.

Diagram Alir Penelitian ... Diagram Warna untuk Cumi Segar dan Olahan ... Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Nilai Tekstur Cumi ... Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Air Cumi ... Pengaruh Cara Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi ... Pengaruh Lama Waktu Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi ... Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Lemak Cumi ...

18 21 27

28 29

30


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis Karakterisasi Cumi-cumi ... 40 Lampiran 2. Format Uji Organoleptik ... 46 Lampiran 3. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Segar dan Cumi

Olahan ... 48 Lampiran 4. Analisa Statistik Karakteristik Cumi Segar dan Cumi

Olahan ... 49 Lampiran 5. Data Hasil Analisa Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan

Lanjutan ... 52 Lampiran 6.

Lampiran 7. Lampiran 8.

Analisa Statistik Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan... Uji Kruskal-Wallis pada Parameter Uji Organoleptik ... Uji Lanjut Dunn ...

53 58 61


(23)

I.PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cumi merupakan produk laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Sebagian besar cumi diolah menjadi bahan makanan protein tinggi. Cumi memiliki sifat mudah mengalami penurunan mutu sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan segera agar cita rasa cumi tidak berkurang. Jenis produk olahan cumi sebagai konsumsi lokal masih terbatas antara lain cumi kertas, cumi kering asin, cumi asap dan cumi kaleng.

Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (Dahuri, 2004). Hasil produksi yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa cumi mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi berbagai macam produk yang lebih praktis dalam cara konsumsi maupun penyajiannya.

Konsumsi makanan yang berasal dari laut (termasuk cumi-cumi) semakin meningkat setelah adanya kesadaran akan pentingnya bahan makanan tersebut sebagai sumber nutrisi bagi tubuh. Protein, lemak, dan komponen lain yang berasal dari seafood memiliki keistimewaan tersendiri. Pada cumi-cumi selain dagingnya yang mudah dicerna, juga mengandung asam amino esensial serta kaya akan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan dan pembangunan tulang.

Cumi olahan merupakan salah satu alternatif yang dapat dibuat dalam pengembangan produk makanan berbahan baku cumi. Cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Proses penambahan bumbu ini mempunyai tujuan untuk mengubah rasa dan meningkatkan daya terima makanan. Penambahan bumbu yang dilakukan dapat berupa penambahan minyak esensial, rempah-rempah, gula, asam dan garam.

Menurut Takahashi (1965) rasio bagian tubuh cumi yang dapat dimakan dibandingkan keseluruhan tubuhnya sebesar 80%, terdiri dari 50% bagian mantel, 30% bagian lengan dan sisanya sebesar 20% dibuang. Produk ini masih mempertahankan bentuk utuh dari cumi dan kekenyalan daging cumi. Produk


(24)

cumi olahan ini dapat dikonsumsi secara langsung maupun dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mengkonsumsinya seperti pengukusan, penggorengan dan pemanggangan menggunakan api, oven atau microwave. Pengolahan lanjutan tersebut merupakan suatu pengolahan bahan pangan yang menggunakan panas. Pengolahan lebih lanjut dilakukan agar bahan pangan tersebut aman dan mudah dikonsumsi, serta untuk meningkatkan kelezatan, kualitas dan daya simpannya. Produk ini diharapkan dapat dijadikan salah satu produk yang cukup berpotensi dalam pengembangan usaha produk makanan berbahan baku hasil perikanan.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini antara lain untuk :

1. Mengetahui karakteristik cumi olahan dan cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut (kukus, goreng, panggang api, oven dan microwave) 2. Mengetahui cara saji cumi olahan yang disukai oleh panelis melalui uji


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. CUMI-CUMI

Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk organisme pelagik, tetapi kadang-kadang digolongkan demersal karena sering terdapat di dasar perairan, pergerakan yang dilakukannya diurnal yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan malam hari akan menyebar pada kolom perairan. Cumi-cumi termasuk karnivora dan bersifat fototaksis positif tertarik terhadap cahaya.

Cumi-cumi adalah binatang yang termasuk golongan Mollusca atau bertubuh lunak, kelas Cephalopoda yang menggunakan kepala untuk bergerak, kepala dikelilingi 8 atau 10 tentakel, dalam mulut terdapat bentuk seperti paruh burung yang kuat dan terdapat gigi kecil yang runcing dan tajam pada lidahnya (Johnson et al., 1977).

Gambar 1. Bagian Tubuh Cumi-cumi

Tubuh cumi-cumi terdiri dari kepala di bagian ventral, leher yang pendek dan badan berbentuk tabung dengan sirip berbentuk segitiga di tiap sisinya. Pada kepala terdapat sepasang mata yang berkembang dengan sempurna, mulut yang terletak di ujung, dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel (Sugiri, 1989).


(26)

Klasifikasi cumi-cumi sebagai berikut : (Hegner dan Engemann, 1968) Filum : Mollusca

Kelas : Cephalopoda Subkelas : Coleoidea Ordo : Decapoda Subordo : Teuthoidea Famili : Loliginidae Genus : Loligo

Spesies : Loligo sp.

Hamann dan Lanier (1987), menjelaskan bahwa adanya struktur mantel yang kompleks dan mengandung kolagen yang tinggi menjadikan daging cumi-cumi mempunyai tekstur kenyal. Adanya lapisan-lapisan dalam mantel tersebut berpengaruh terhadap teknik penanganan, pengolahan, dan tekstur. Menurut Takahashi (1965) rasio bagian tubuh cumi-cumi yang dapat dimakan dibandingkan keseluruhan tubuhnya rata-rata mencapai 80% yang terdiri dari 50% bagian mantel, 30% bagian lengan, dan sisanya 20% dibuang, sedangkan untuk jenis ikan sebesar 40-70%.

Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain (Johnson et al., 1977).

Cumi-cumi memiliki daging yang bersih, licin dan memiliki aroma yang khas serta mengandung nilai gizi yang cukup baik (Kreuzer, 1986). Selain itu cumi-cumi juga memiliki beberapa kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Zaitsev et al., 1969). Komposisi kimia dan zat gizi cumi-cumi (Loligo sp.) secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Cumi-cumi mengandung sekitar 80% protein miofibril, 12-20% protein mioplasma dan 2-3% protein miostroma. Tingginya kandungan protein miofibril pada cumi-cumi memungkinkan untuk membekukan produk sehingga


(27)

memudahkan dalam proses diversifikasi produk cumi-cumi. Hal ini disebabkan jaringannya tidak rusak dalam keadaan beku. Selain kaya akan protein, cum-cumi juga kaya akan kandungan vitamin. Vitamin yang terdapat pada cumi-cumi berdasarkan kelarutannya terbagi menjadi vitamin larut air dan vitamin larut lemak. Vitamin larut air yang terkandung pada cumi-cumi adalah vitamin B1, B2, B6 dan vitamin C. Vitamin larut lemak yang terkandung pada cumi-cumi adalah vitamin A, D, E dan K (Okuzumi dan Fujii, 2000).

Tabel 1. Komposisi kimia dan gizi per 100 gr cumi-cumi (Loligo sp.)

Komposisi Jumlah

Energi Karbohidrat Protein Lemak Abu Kalsium Fosfor Besi Natrium Kalium Retinol

Tiamin (Vitamin B1) Riboflavin Niasin 75 kalori 82 g 15.3 g 0.8 g 1.2 g 15 mg 194 mg 1 mg 176 mg 266 mg 15 mg 0.03 mg 0.08 mg 3.2 mg

Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)

B. PENGOLAHAN BAHAN PANGAN

Tujuan pengolahan bahan pangan adalah agar bahan pangan tersebut aman dan mudah dikonsumsi, serta untuk meningkatkan kelezatan, kualitas dan daya simpannya. Ada tiga jenis cara pengolahan atau pemasakan yaitu pertama dry heat method (contoh pemanggangan dan pengovenan), kedua moist heat method

(contoh perebusan dan pengukusan) dan ketiga penggorengan. Dry heat method

biasa dilakukan dalam oven merupakan metode pemasakan yang relatif lambat, tetapi memiliki beberapa keuntungan antara lain bisa memasak dalam jumlah banyak dan panasnya merata. Moist heat method adalah metode pamasakan yang melibatkan air dan merupakan metode pemasakan yang relatif cepat, karena air memiliki kemampuan untuk menyerap panas. Penggorengan adalah metode


(28)

pemasakan cepat dengan menggunakan minyak panas untuk memasak bahan pangan (Cameron, 1988).

1. Microwave

Microwave dapat dimanfaatkan dalam pengolahan bahan pangan. Teknologi

microwave banyak diaplikasikan dalam pemasakan, pemanasan, pasteurisasi dan sterilisasi serta proses pengolahan bahan lainnya secara tepat (George et al., 1993).

Keuntungan dari pengeringan menggunakan microwave ini adalah konversi energi microwave ke energi panasnya lebih efisien dan penetrasi gelombang elektromagnetnya ke dalam makanan lebih mudah. Kemudahan penetrasi energi ini berhubungan dengan mekanisme konduksi pada bejana, udara panas dan sistem infra merah. Selain itu keuntungan proses microwave yang lain adalah waktu proses yang pendek (singkat), tidak ada kemungkinan tumbuh bakteri dan lebih fleksibel dalam produksinya. Pada pengeringan menggunakan microwave

dimungkinkan untuk memasukkan produk beserta kemasannya ke dalam ruang pengering. Energi microwave diaplikasikan sebagai perkembangan dari teknik pengering lain yang sudah umum yaitu vacuum-drying dan freeza-drying. Aplikasi energi microwave ini dapat mengurangi biaya operasi, waktu proses dan kerusakan produk untuk membantu meningkatkan kualitas produk (George et al., 1993).

Microwave oven beroperasi dengan pelepasan gelombang mikro oleh tabung elektron sehingga molekul-molekul air dalam makanan akan teragitasi, yang kemudian menimbulkan getaran, dan akhirnya akan memproduksi panas. Dalam oven ini, gelombang mikro akan masuk melalui bagian atas ruang oven yang dilengkapi dengan kipas pemusing yang bertugas untuk menyebarkan panas yang dihasilkan tadi ke seluruh bagian oven, dapat dilihat pada Gambar 2. Kombinasi panas berintensitas tinggi dengan pusingan tadi menyebabkan cepatnya proses pemasakan. Uniknya panas yang dihasilkan ini tak dapat menembus wadah (container) logam, tetapi dapat dengan mudah menembus wadah non logam. Itu sebabnya makanan yang akan diolah dengan microwave oven dimasukkan dalam wadah khusus, biasanya terbuat dari plastik.


(29)

Gambar 2. Microwave

2. Pengukusan

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan untuk menginaktifkan enzim yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna, citarasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Harris dan Karmas, 1989). Menurut Laconi (1995) didalam Soeparno (1994) pengukusan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Pengukusan sering diartikan pula sebagai pemasakan yang dilakukan melalui media uap panas dengan suhu pemanasan sekitar 100 oC dengan lama yang bervariasi sesuai dengan sifat bahan. Kisaran waktu pada umumnya adalah 1-11 menit.

Pengukusan atau perebusan membantu menghilangkan bau amis ikan menjadi

seafood dengan aroma segar, menginaktifkan enzim dekomposisi dan lainnya, mengubah tekstur melalui denaturasi protein dan dengan demikian memberikan karakteristik rasa pada produk (Okuzumi dan Fujii, 2000). Pengukusan pada suhu 85 oC selama 3 menit akan menyebabkan perubahan kandungan nutrisi pada cumi-cumi meskipun hanya sedikit, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.


(30)

Tabel 2. Perubahan nilai gizi cumi-cumi sebelum dan setelah pengukusan per 100 gram bahan

Kadar (%) Air Protein

Kasar Lemak KH Abu

Sodium

(mg) pH

Bahan Mentah Cumi-cumi Kukus 76,7 74,2 19,5 22,5 0,8 1,5 1,4 0,7 1,6 1,1 121 125 6,6 7,0

Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)

3. Pemanggangan

Pemanggangan daging atau ikan terutama ditujukan untuk mengawetkan dan menambah cita rasa. Selain itu pemanggangan juga dapat menghambat oksidasi lemak di dalam bahan pangan tersebut (Winarno, 1991).

Pada dasarnya pemanggangan ikan merupakan gabungan aktivitas penggaraman, pengeringan dan pengasapan. Proses pemanggangan menyebabkan turunnya kadar air, naiknya kadar garam dan tertinggalnya bahan-bahan pembentuk asap pada permukaan ikan. Selain dapat memperpanjang masa simpan ikan, pemanggangan juga akan menimbulkan rasa dan aroma yang khas (Cutting, 1965).

4. Pemanggangan Oven

Pada proses pemanggangan terjadi tiga perubahan, yaitu terjadi perubahan struktur, perubahan warna permukaan, dan pengurangan kadar air menjadi sekitar 1-4%. Proses pemanggangan menggunakan oven akan menghasilkan produk yang dipengaruhi oleh suhu dan waktu yang digunakan selama pemasakan. Menurut Fellows (2000), pemanggangan didefinisikan sebagai pengoperasian panas pada produk dalam oven. Tujuan dari proses pemanggangan yaitu untuk meningkatkan sifat sensori dan memperbaiki sifat palatabilitas dari bahan pangan. Pemanggangan juga dapat menghancurkan enzim dan mikroorganisme serta menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengawetkan makanan.


(31)

5. Penggorengan

Proses penggorengan adalah salah satu proses pemasakan yang populer karena masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat. Berbeda dengan pengolahan pangan yang lain, pada penggorengan selain berfungsi sebagai media penghantar panas, minyak juga akan diserap oleh pangan (Damayanthi, 1994).

Pada umumnya, sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam, yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari proses gangsa adalah karena bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak, sedangkan pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak (Ketaren, 1986).

C. BUMBU 1. Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan makanan atau produk lain sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Seperti bumbu masakan lainnya, bawang putih harus digunakan dengan hati-hati karena adanya bau yang kuat dan rasa yang kurang disukai bila digunakan secara berlebihan (Farrel, 1990).

Bawang putih yang utuh tidak menimbulkan bau atau rasa yang spesifik. Namun apabila teriris akan terjadi perubahan kimia, yaitu enzim allinase memecahkan allin menjadi allicin, suatu zat yang menyebabkan timbulnya rasa pada umbinya (Ashari, 1995). Allicin yang terbentuk ini berperan memberikan aroma bawang putih dan merupakan salah satu zat aktif yang bersifat anti bakteri, selain itu terdapat scordinin, senyawa kompleks thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Menurut Barnes et al. (2002), allicin pada bawang putih menunjukkan aktivitas antibakteri, diantaranya pada spesies Staphylococcus, Escherichia, dan Salmonella.


(32)

2. Bawang Merah

Bawang merah (Allium cepa L.) seperti halnya bawang putih, juga berfungsi sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan bawang merah lebih utama karena aromanya yang kuat (Wibowo, 1991).

Karakteristik bau bawang merah dipengaruhi oleh kandungan minyak volatil yang sebagian besar terdiri dari komponen sulfur. Komponen volatil tidak terdapat dalam sel secara utuh. Ketika sel pecah, terjadi reaksi antara enzim liase dan komponen flavor seperti metil dan turunan propil (Lewis, 1984). Bawang merah juga mengandung allin yang karena suatu hal berubah menjadi allicin, setelah bereaksi dengan vitamin B1 berubah menjadi allithiamin. Zat ini membentuk vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan oleh tubuh (Wibowo, 1991).

3. Kunyit

Kunyit (Curcuma domestica Val.) termasuk famili Zingiberaceae, memiliki kandungan minyak atsiri sebesar 5%, terdiri dari turmeron, borneol, cineol, cireol. Felandren, kurkumin dan zingeron (Farrel, 1990).

Menurut Buckle et al. (1987) minyak Curcumin mengandung 60% “turmerone”. Salah satu komponen lain ialah minyak “Zingiberene” 25%, yang keseluruhannya memberi bau yang khas, yaitu bau kunyit. Sifat-sifat minyak curcumin ialah merupakan bahan antioksidan dan anti bakteri. Di Indonesia, kunyit banyak dimanfaatkan untuk penyedap sekaligus pewarna masakan telur, daging, ikan, nasi kuning dan sebagainya. Parutan kunyit yang halus dapat menghilangkan bau amis/ hanyir dari daging ayam maupun ikan.

4. Jahe

Komposisi kimiawi rimpang jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan pedasnya rimpang jahe. Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri (ginger oil) 0,25-0,33% pembawa aroma dari jahe (bau khas jahe), minyak tersebut terdiri atas beberapa jenis minyak terpentin, zingiberene, curcumene, philandren dan sebagainya, rasa pedas tidak berada di dalam minyak jahe, yang menghasilkan rasa pedas adalah gingerols dan shogaols yang banyak berada


(33)

dalam oleoresin jahe, oleoresin jahe mengandung 33% gingerols, terdapat pula beberapa jenis lipid sebanyak 6-8% yang terdiri atas asam phosphatidic, lechitins, asam lemak bebas dan sebagainya, protein 9%, zat tepung lebih dari 50%, vitamin khususnya niacin dan vitamin A, serta beberapa jenis zat mineral, asam amino, damar dan sebagainya (Rismunandar, 1988).

Menurut Rismunandar (1988), zat enzim protease yang dalam rimpang jahe segar terdapat sebanyak + 2,26%, dapat mempercepat pencernaan masakan daging. Jahe dapat pula dimanfaatkan untuk melunakkan daging sebelum dimasak. Menurut Mazza dan Oomah (1998), gingerols pada jahe memperlihatkan efek antibakteri pada Bacillus subtilis, Escherichia coli, bakteri gram postif dan bakteri gram negatif.

5. Cabai Merah

Cabai memiliki rasa pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin dan

dihidricapsaicin sebanyak 1,5% (w/w). Selain itu pada cabai juga terdapat karotenoid (capsanthin, capsorubin, carotene, dan lutein) sebesar 0,1-0,5%, lemak (9-17%), protein (12-15%), vitamin A dan C (Lukmana, 1994).

Warna merah pada cabai disebabkan oleh adanya pigmen yang terdiri dari campuran karotenoid sebanyak 0,1-0,5% untuk cabai merah. Karotenoid merupakan senyawa yang apabila mengalami pemanasan, proteinnya akan terdenaturasi (Winarno, 1991).

6. Kemiri

Setiap 100 gram daging biji kemiri mengandung 636 kalori, 19 gram protein, 63 gram lemak, 8 gram karbohidrat, 80 miligram kalsium, 200 miligram fosfor, 2 miligram besi, 0,06 miligram vitamin B dan 7 gram air. Buah kemiri tidak dapat langsung dimakan mentah karena beracun, yang disebabkan oleh toxalbumin. Persenyawaan toxalbumin dapat dihilangkan dengan cara pemanasan dan dapat dinetralkan dengan penambahan bumbu lainnya seperti garam, merica dan terasi. Daging buah kemiri digunakan sebagai bumbu dalam jumlah yang relatif kecil (Ketaren, 1986).


(34)

7. Garam

Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan atau salting out dan rasa produk menjadi asin (Buckle et al., 1987).

Penggunaan garam dalam pengolahan makanan telah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu. Selain digunakan sebagai bahan pengawet, garam berfungsi juga sebagai penambah cita rasa pada bahan pangan dalam konsentrasi tertentu (Soeparno, 1994).

Garam sebagai bahan pembantu sangat berperan untuk menambah cita rasa produk akhir. Pada konsentrasi rendah (1-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme, tetapi hanya sebagai bumbu yang dapat memberikan cita rasa gurih pada bahan pangan (Buckle et al., 1987).

8. Gula

Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis. Dalam industri pangan, gula yang banyak digunakan adalah sukrosa. Gula banyak digunakan dalam pengolahan buah-buahan, sayuran maupun bumbu untuk produk daging (Buckle et al., 1987).

Pemberian gula dapat mempengaruhi cita rasa yaitu menambah rasa manis, kelezatan, dapat mempengaruhi aroma, tekstur daging dan mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi. Selain itu gula dapat berfungsi sebagai pengawet (Buckle et al., 1987).

Adanya glukosa, sukrosa pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada bahan makanan. Misalnya sukrosa menimbulkan rasa manis, pati menimbulkan rasa khusus pada makanan karena tekstur yang dimilikinya, demikian juga bila gula dipanaskan atau bereaksi dengan asam amino akan terbentuk warna coklat yang membuat bahan lebih menarik (Winarno, 1991).


(35)

9. Santan

Santan merupakan cairan berwarna putih yang dipisahkan dari daging buah kelapa. Santan kelapa termasuk emulsi minyak dalam air yang berarti terdiri dari fasa terdispersi berupa minyak dan fasa pendispersi berupa air. Santan kelapa mengandung protein lebih banyak daripada susu sapi. Santan kelapa mengandung 2,68% protein, sedangkan susu sapi hanya 1,63%. Menurut Ketaren (1986), santan kelapa dapat dijadikan sebagai bahan pengganti susu.

D. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI

Pengolahan pangan mengandung maksud mengolah bahan pangan (bahan mentah) menjadi produk jadi (pangan), baik yang dapat langsung dikonsumsi maupun yang harus melalui proses pemasakan lebih lanjut. Jadi dalam kata pengolahan terkandung maksud adanya perubahan bentuk bahan asal menjadi produk jadi. Proses pengolahan dapat dilakukan dengan pemanasan (penggunaan suhu tinggi) misalnya blancing, pasteurisasi, sterilisasi, pengeringan dan pemanggangan; penggunaan suhu rendah (cooling, freezing); penggunaan bahan kimia (asam, alkali, garam, aditif); fermentasi (tape, tempe, yoghurt) atau kombinasi dari dua atau tiga perlakuan tersebut (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Pengolahan bahan bertujuan untuk mengawetkan, mengemas dan menyimpan. Selama pengolahan bahan pangan kerusakan gizi terjadi berangsur-angsur. Perubahan zat gizi ini dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengolahan (Harris dan Karmas, 1989). Selain itu, kehilangan zat gizi dapat diakibatkan oleh pengolahan dengan menggunakan panas terutama zat-zat yang labil seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang modern dapat memperkecil kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan harus dioptimalisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba (Buckle et al., 1987).

Pemanasan tidak banyak menurunkan nilai gizi protein. Tetapi panas yang terlalu tinggi dan lama akan mengakibatkan nilai gizi menurun dan hilangnya cita rasa (Winarno, 1991).


(36)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumi-cumi (Loligo

sp) segar dan cumi-cumi olahan yang diperoleh dari salah satu rumah makan di Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis seperti HNO3, H2SO4 pekat, HCl 0,02 N, NaOH 50%, NaOH 0,02 N, hexan, Plate Count Agar (PCA),

Salmonella-Shigella Agar (SSA), Eosin Methylene Blue Agar (EMB) dan pereaksi Vanadat-Molibdat. Bahan lain yang juga digunakan adalah minyak goreng.

Peralatan penelitian yang digunakan adalah oven, microwave, kompor gas, loyang, wajan, panci, dan alat panggang. Alat-alat untuk analisa yaitu inkubator, penetrometer, kolorimeter, spektrofotometer, desikator, timbangan analitik, pemanas listrik, Erlenmeyer, tabung reaksi, autoklaf, labu kjeldahl, alat ekstraksi

soxhlet lengkap dengan kondensor dan labu lemak, blender, gelas piala, pipet, buret, cawan porselen.

B. METODE PENELITIAN 1. Pengolahan Cumi Segar

Cumi segar dicuci bersih, dibuang bagian yang tidak bisa dikonsumsi (benda seperti plastik pada tubuhnya) dan kantung tinta pada tubuhnya dibuang. Bumbu berupa bumbu bubuk yang terdiri dari cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, gula, garam dan santan, serta bumbu halus berupa kemiri yang dihaluskan disiapkan. Wajan bersih yang siap pakai dipanaskan, kemudian bumbu (bumbu bubuk dan bumbu halus) dan air (+ 50 ml) dimasukkan. Cumi segar yang telah dibersihkan dimasukkan dan dilakukan pengadukan sampai bumbu merata. Pemasakan dilakukan selama + 15 menit. Setelah matang, cumi diangkat dan ditiriskan. Sisa air bumbu dipanaskan kembali sampai kental. Jika sudah kental, cumi dimasukkan kembali. Aduk sebentar lalu api dimatikan.


(37)

2. Karakterisasi cumi segar dan olahan

Karakterisasi cumi-cumi bertujuan untuk mengetahui kondisi awal cumi sebagai acuan untuk mengetahui perubahan mutu cumi setelah dilakukan pengolahan (pemasakan). Ada dua macam cumi-cumi yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu cumi segar dan cumi setelah pemasakan (cumi olahan). Uji-uji yang dilakukan terhadap cumi segar dan cumi olahan meliputi kadar air, protein, lemak, fosfor, besi, total mikroba, tekstur dan warna. Metode analisis karakterisasi cumi segar dan cumi olahan disajikan pada Lampiran 1.

3. Pengolahan Untuk Penyajian a. Pengukusan

Cumi olahan dimasukkan kedalam panci pengukus setelah air mendidih (suhu 100 oC) menggunakan api kecil (pada tingkat perapian 1), kemudian dihitung waktu pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang memiliki 5 tingkat perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling rendah). Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.

b. Penggorengan

Cumi olahan dimasukkan ke dalam wajan setelah minyak panas (suhu 80 oC) menggunakan api kecil (pada tingkat perapian 1), kemudian dihitung waktu pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang memiliki 5 tingkat perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling rendah). Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.

c. Pemanggangan dengan api

Cumi olahan diletakkan di atas pemanggang setelah api menyebar ke seluruh permukaan alas pemanggang (menggunakan api pada tingkat l), kemudian dihitung waktu pemasakannya. Pada penelitian digunakan kompor gas yang memiliki 5 tingkat perapian (5 berarti tingkat yang paling tinggi dan 1 yang paling rendah). Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.


(38)

d. Pemanggangan dengan oven

Cumi olahan diletakkan di atas wadah (loyang) kemudian dimasukkan ke dalam setelah suhu oven mencapai 200 oC, kemudian dihitung waktu pemasakannya. Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.

e. Pemanggangan dengan microwave

Cumi olahan diletakkan pada wadah khusus microwave (wadah yang tahan terhadap gelombang elektromagnetik) kemudian dimasukkan ke dalam microwave. Microwave yang digunakan memiliki daya 1000 watt. Pemanggangan dilakukan pada tingkat daya 30% yang berarti bahwa daya yang dikeluarkan oleh microwave sebesar 300 watt. Variasi waktu yang digunakan dalam proses ini adalah 2, 5 dan 7 menit.

Pada masing-masing produk yang dihasilkan dari pengolahan tersebut dilakukan karakterisasi meliputi kadar air, protein, lemak, warna, tekstur dan uji mikroba.

4. Pengujian organoleptik cumi siap saji

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengolahan lanjutan yang disukai oleh panelis. Parameter yang diuji meliputi warna, tekstur, aroma, rasa dan penilaian umum. Format isian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.


(39)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

Cumi segar

Pengolahan (pemasakan selama + 15 menit) - Bumbu bubuk :

Cabe merah, bawang merah,

bawang putih, kunyit, jahe, gula, garam dan santan - Bumbu halus :

kemiri Cumi olahan

Pengolahan untuk Penyajian

Analisis mutu

Cumi panggang microwave Cumi panggang

oven Cumi panggang api

Cumi goreng Cumi kukus

Pengujian Organoleptik Pengukusan

(2, 5 dan 7 menit)

Penggorengan (2, 5 dan 7 menit)

Pemanggangan api (2, 5 dan 7 menit)

Pemanggangan oven

(2, 5 dan 7 menit)

Pemanggangan microwave (2, 5 dan 7 menit) Analisis mutu


(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PENGOLAHAN CUMI SEGAR

Cumi olahan merupakan cumi yang diberi bumbu dan telah mengalami pemasakan sehingga memiliki penampakan yang menarik dan aroma yang khas. Pada pengolahan cumi segar menjadi cumi olahan dilakukan beberapa proses yaitu pencucian dan pembuangan bagian yang tidak dapat dikonsumsi, penambahan bumbu dan pengolahan menggunakan panas.

Pencucian yang dilakukan pada cumi segar bertujuan menghilangkan kotoran yang terdapat pada bahan agar produk yang dihasilkan terjamin kebersihannya. Pada proses ini juga dilakukan pembuangan bagian yang tidak dapat dikonsumsi, diantaranya benda seperti plastik yang terdapat pada tubuh cumi serta kantung tinta sehingga warna produk yang dihasilkan tetap menarik (tidak dipengaruhi warna hitam dari tinta).

Penambahan bumbu pada proses pengolahan ini mempunyai tujuan untuk mengubah rasa dan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap makanan tersebut. Penambahan bumbu yang dilakukan berupa bumbu bubuk yang terdiri dari cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, gula, garam dan santan, serta bumbu halus berupa kemiri. Bumbu yang dicampurkan pada cumi dapat membangkitkan selera makan karena mutu bahan makanan yang meliputi warna, aroma dan tekstur akan meningkat. Garam dan gula selain berfungsi untuk menambah cita rasa, juga dapat berfungsi sebagai pengawet. Masakan yang ditambahkan kemiri dan santan akan menjadi lebih gurih dan lebih kental.

Pengolahan cumi segar dilakukan untuk mendapatkan produk cumi yang aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung cumi tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu produk cumi olahan tersebut dapat diterima oleh konsumen berdasarkan penampakannya (aroma, rasa) dan teksturnya (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan). Pengolahan yang sering dilakukan terhadap cumi segar yaitu pemasakan dengan menggunakan panas. Selama pemasakan akan terjadi perubahan warna, tekstur dan rasa, meningkatkan daya cerna komponen pangan, terjadi destruksi


(41)

mikroorganisme dan toksin serta inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Pemasakan dilakukan menggunakan kompor gas dengan tingkat perapian 1 (tingkat yang paling rendah) pada suhu + 100 oC. Selama pemasakan daging cumi akan melunak (empuk), warna daging cumi menjadi kuning serta rasa yang meningkat akibat penambahan bumbu.

Pengolahan dengan pemanasan dapat meningkatkan nilai gizi bahan pangan, misalnya karena terjadinya destruksi senyawa anti-nutrisi, terjadinya denaturasi molekul sehingga meningkatkan daya cerna dan ketersediaan zat gizi. Tetapi proses pengolahan dengan suhu tinggi bila tidak terkontrol dengan baik justru akan menurunkan nilai gizi bahan pangan, misal terjadinya reaksi antar molekul nutrien, hancurnya nutrien yang tidak tahan panas atau terbentuknya molekul kompleks yang tidak dapat diuraikan/dicerna oleh enzim tubuh.

Pemasakan cumi tidak dilakukan sampai air bumbu mengental. Pengentalan sisa air bumbu dilakukan setelah cumi diangkat dan ditiriskan karena jika cumi mengalami pemasakan dalam waktu yang terlalu lama akan menyebabkan daging cumi menjadi liat (tidak empuk) saat dikonsumsi. Pengentalan sisa air bumbu dilakukan selama + 5 menit pada suhu 100 oC.

B. KARAKTERISTIK CUMI SEGAR DAN OLAHAN

Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui mutu awal cumi segar dan cumi olahan sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut. Karakterisasi yang dilakukan meliputi warna, tekstur, kadar protein kasar, lemak, air, besi, fosfor, dan uji mikroba. Hasil karakterisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Pengukuran terhadap warna cumi dilakukan pada dua sisi, yaitu sisi bagian dalam dan sisi bagian luar. Nilai chroma menunjukkan intensitas warna sampel. Semakin tinggi nilai chroma maka warna akan terlihat semakin tua. Derajat Hue digunakan untuk mengidentifikasikan warna sampel, menunjukkan posisi warna dalam diagram warna.

Nilai warna (oHue) untuk cumi segar adalah 63,6 (bagian dalam) dan 68,32 (bagian luar) menunjukkan warna cenderung kemerahan karena pada cumi segar terdapat selaput tipis yang berwarna merah-ungu berbintik, dengan intensitas (nilai chroma) 30,35 (bagian dalam) dan 52,02 (bagian luar). Warna (oHue) cumi


(42)

olahan adalah 73,14 (bagian dalam) dan 82,55 (bagian luar) menunjukkan warna kuning pada intensitas (nilai chroma) 48,91 (bagian dalam) dan 53,72 (bagian luar), karena pada proses pengolahan diberikan bumbu diantaranya kunyit yang merupakan bahan pewarna alami untuk makanan sehingga menyebabkan warna cumi olahan menjadi kuning.

Tabel 3. Karakteristik Cumi Segar dan Cumi Olahan

Analisa Cumi segar Cumi olahan

Warna (oHue) Dalam 63,6 Dalam 73,14 Luar 68,32 Luar 82,55 (Chroma) Dalam 30,35 Dalam 48,91

Luar 52,02 Luar 53,72

Tekstur (mm/g.dt) 0,75 1,36

Kadar Air (%) 84,54 72,57

Kadar Protein (% bk) 8,24 14,54

Kadar Lemak (% bk) 0,57 1,98

Kadar Fosfor (% bk) 1,10 1,37

Kadar Besi (mg/kg) 8,21 2,31

Uji mikroba : - Salmonella 4,7 x 102 0

(koloni) - E. Coli 9,1 x 102 0

- total mikroba 3,8 x 104 0 Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan warna yang berbeda. Hal ini berarti terjadi perubahan yang signifikan pada warna cumi dan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap warna. Analisis statistik warna cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4. Warna cumi segar dan olahan dapat lebih jelas dilihat dengan diagram warna yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan (Winarno, 1991). Nilai keempukan cumi segar lebih kecil yaitu 0,75 (mm/g.dt) daripada cumi olahan 1,36 (mm/g.dt). Pengolahan dengan pemanasan menyebabkan terjadinya perubahan tekstur yang semula liat/kenyal menjadi lebih lunak. Panas yang diberikan pada cumi mengakibatkan otot daging cumi yang banyak mengandung protein diantaranya kolagen mengalami perubahan sifat fisik sehingga daging cumi empuk. Selain itu, penambahan bumbu (diantaranya jahe) juga menyebabkan tekstur cumi menjadi lebih lunak setelah


(43)

mengalami pemasakan. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi

α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan tekstur yang tidak berbeda nyata. Analisis statistik nilai tekstur cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 4. Diagram Warna untuk Cumi Segar dan Cumi Olahan

Kadar air menunjukkan kualitas produk. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan produk menjadi cepat rusak. Menurut Sudarmadji et al. (1989), apabila kandungan air dalam bentuk bebas tinggi, maka dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik bahkan aktivitas serangga perusak.

Pengukuran kadar air cumi segar dan olahan menunjukkan bahwa kadar air cumi segar lebih tinggi dibandingkan cumi olahan. Kadar air cumi segar sebesar 84,54%, sedangkan cumi olahan sebesar 72,57%. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar air yang berbeda.

2

1

cumi segar (luar)

cumi segar (dalam) 3 cumi olahan (dalam) 4 cumi olahan (luar)


(44)

Pemanasan mengunakan wadah terbuka mengakibatkan sejumlah air pada bahan berkurang (sejumlah air mengalami penguapan) sehingga menurunkan kadar air. Selain itu, penambahan bumbu seperti gula karena memiliki daya larut yang tinggi dapat mengikat air suatu bahan dan garam yang bersifat higroskopis dapat menyerap air pada bahan yang digarami sehingga menurunkan kadar air. Analisis statistik kadar air cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Pengolahan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan gizi termasuk protein. Kadar protein cumi segar sebesar 8,24 %, sedangkan cumi olahan memiliki kadar protein sebesar 14,54 %. Menurut Sudarmadji et al. (1989), kandungan N yang terukur tidak hanya menunjukkan kadar protein tetapi senyawa-senyawa lain yang mengandung unsur N yang jumlahnya lebih sedikit dari protein seperti asam amino bebas dan amoniak.

Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar protein yang tidak berbeda. Penambahan bumbu diantaranya santan, jahe, cabai merah dan kemiri yang mengandung protein akan menambah kadar protein terukur. Analisis statistik kadar protein cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Pengukuran kadar lemak dilakukan untuk mengetahui nilai gizi lemak yang terdapat pada cumi segar dan olahan. Pengukuran kadar lemak terhadap cumi segar dan cumi olahan menunjukkan hasil 0,57 % dan 1,98 %. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi 0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar lemak yang berbeda. Hal ini berarti terjadi perubahan signifikan dan menunjukkan bahwa pengolahan memberikan pengaruh terhadap kadar lemak, karena pada pengolahan dilakukan penambahan bumbu yang mengandung minyak atau lemak seperti kemiri dan santan sehingga menambah kandungan lemak terukur. Analisis statistik kadar lemak cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Sumber fosfor yang utama adalah bahan makanan dengan kadar protein tinggi seperti daging, unggas, ikan dan telur. Bahan pangan yang kaya protein dan kalsium biasanya juga kaya akan fosfor (Winarno,1991). Hasil pengukuran


(45)

menunjukkan bahwa kadar fosfor pada cumi segar sebesar 1,10 %, sedangkan pada cumi olahan sebesar 1,37 %. Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar fosfor yang tidak berbeda. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan yang signifikan dan menunjukkan bahwa pengolahan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan kadar fosfor. Analisis statistik kadar fosfor cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Berdasarkan Gaman dan Sherrington (1981), fungsi zat besi adalah sebagai salah satu pembentuk sel darah merah. Kandungan zat besi cumi segar lebih tinggi dibandingkan cumi olahan. Cumi segar memiliki kandungan zat besi sebanyak 8,21 mg/kg, sedangkan cumi olahan sebesar 2,31 mg/kg.

Berdasarkan analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan terhadap cumi segar menghasilkan cumi olahan dengan kadar besi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan dengan pemanasan (pemasakan) menyebabkan zat besi dalam cumi mengalami penurunan. Berdasarkan Bender (1987), hilangnya zat besi akibat pemasakan bisa mencapai 32%. Analisis statistik kadar besi cumi segar dan olahan disajikan pada Lampiran 4.

Uji mikroba dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme cumi segar dan cumi olahan. Uji yang dilakukan adalah uji total mikroba (TPC), uji Escherichia coli, dan uji Salmonella. Perhitungan TPC bertujuan untuk menghitung semua mikroba yang tumbuh dalam produk. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan, menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan terjadinya fermentasi (Buckle et al.,1987). E. coli

merupakan bakteri yang sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran.

Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pada perut juga menyebabkan demam tifus dan paratifus.

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa cumi segar tercemar oleh bermacam-macam mikroba, di antaranya adalah Escherichia coli dan Salmonella. Pengujian yang dilakukan terhadap cumi olahan menunjukkan bahwa tidak terdapat cemaran mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan cumi sudah cukup baik dan higienis. Selain itu, bahan tambahan berupa bumbu yang


(46)

digunakan pada saat pengolahan, antara lain bawang putih dan bawang merah yang memiliki senyawa anti mikroba (allicin) serta kunyit yang mengandung

curcumin merupakan senyawa antioksidan dan antibakteri.

C.KARAKTERISTIK CUMI SETELAH PENGOLAHAN LANJUTAN Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui mutu dan nilai gizi produk cumi-cumi setelah dilakukan pengolahan lebih lanjut. Karakterisasi yang dilakukan meliputi warna, tekstur, kadar protein kasar, lemak, air, dan uji mikroba. Hasil karakterisasi cumi setelah pengolahan lanjutan dapat dilihat pada Tabel 4.

Pengukuran terhadap warna cumi pada satu sisi cumi yaitu bagian luar. Warna bagian luar cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut berada pada kisaran oHue yang menunjukkan warna kuning-kemerahan. Kisaran oHue cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut berada pada kisaran 81,14 - 83,20 dan nilai chroma pada kisaran 48,59 - 56,65. Cumi panggang oven selama 5 menit memiliki nilai oHue tertinggi yang menunjukkan bahwa produk tersebut berwarna kuning. Nilai chroma tertinggi terdapat pada produk cumi microwave selama 7 menit yang menunjukkan bahwa produk ini memiliki warna yang lebih tua (kuning tua kecoklatan) dibandingkan dengan produk yang lain. Microwave sebaiknya tidak digunakan dalam waktu yang lama karena dengan panas tinggi dan cepat merata, produk akan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan warna, tekstur dan penampakan yang menyimpang.

Hasil analisis ragam pada tingkat signifikansi α=0,05 terhadap cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave) dan waktu pengolahan yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap warna. Hasil analisis statistik warna cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6.

Selama pemasakan terjadi empat mekanisme pokok terhadap tekstur bahan pangan yaitu : (1) enzim proteolitik endogenous dinonaktifkan, (2) denaturasi termal jaringan ikat mengakibatkan keempukan, (3) terjadi denaturasi protein kontraktil yang berakibat pengerasan, (4) turunnya WHC (Water Holding


(47)

Tabel 4. Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan

Uji Mikroba (koloni) Proses Pengolahan Warna

(oHue)

Warna (Chroma)

Tekstur (mm/g.dt)

Kadar Air (%)

Kadar Protein (%bk)

Kadar Lemak

(%bk) TPC Salmonella E. coli

Pemasakan awal 82,55 53,72 1,36 72,57 14,54 1,98 0 0 0

Pengukusan 82,19 49,05 1,27 60,87 19,99 1,59 0 0 0

82,43 51,70 1,24 59,98 19,74 1,44 0 0 0

81,14 52,02 1,17 59,24 19,09 1,46 0 0 0

Penggorengan 82,70 53,84 1,32 59,32 15,37 1,85 0 0 0

82,66 52,12 1,27 59,16 15,35 2,31 0 0 0

81,87 53,49 1,26 58,68 15,03 2,91 0 0 0

Pemanggangan Api 82,97 51,84 1,29 58,72 15,47 1,48 0 0 0

82,64 51,89 1,19 58,49 15,23 1,47 0 0 0

82,30 49,69 1,11 58,12 14,98 1,47 0 0 0

Pemanggangan

Oven 82,45 52,38 1,33 58,23 15,05 1,51 0 0 0

83,20 56,65 1,33 58,08 14,87 1,49 0 0 0

81,29 49,82 1,27 57,89 14,75 1,49 0 0 0

Microwave 82,89 53,68 1,30 50,56 10,92 1,50 0 0 0

82,84 51,18 0,47 24,65 8,76 1,47 0 0 0


(48)

Capacity), kekurangan cairan seperti air, lemak dan terjadi penyusutan diameter dan panjang sel serta peningkatan densitas (Wirakartakusumah et al., 1992).

Tekstur cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan didasarkan pada nilai keempukannya. Nilai keempukan tertinggi terdapat pada produk cumi panggang oven selama 2 dan 5 menit yaitu 1,33 (mm/g.dt), sedangkan yang terendah pada produk cumi microwave selama 7 menit yaitu 0,25 (mm/g.dt). Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave) dan waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) serta interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan tekstur yang berbeda (Gambar 5). Jenis pengolahan yang diberikan mempengaruhi nilai keempukan produk karena pada pengolahan kukus dan goreng digunakan bahan tambahan berupa uap air dan minyak sebagai penghantar panas sehingga tekstur menjadi lunak dan empuk. Pengolahan panggang api dan oven yang dilakukan menyebabkan panas diserap oleh cumi sampai ke bagian dalam sehingga akan merubah tekstur yang semula liat menjadi lunak. Sedangkan pada perlakuan pengolahan panggang menggunakan microwave, panas yang tinggi dan cepat merata menyebabkan hanya bagian permukaan cumi saja yang mengalami perubahan tekstur sehingga tekstur keras bahkan jika dilakukan dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan kerusakan (produk menjadi kering dan liat). Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan, tekstur produk pun menjadi semakin keras karena air yang terdapat pada bagian luar bahan pangan akan berkurang akibat adanya pemanasan. Hasil analisis statistik tekstur cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6.

Kadar air cumi setelah mengalami pengolahan lanjutan yang tertinggi terdapat pada perlakuan kukus selama 2 menit yaitu sebesar 60,87 % karena pada proses pengolahan lanjutannya digunakan uap air sebagai media penghantar panas sehingga kemungkinan penyerapan air oleh bahan akan terjadi. Pada waktu pengolahan yang sama, perlakuan pengolahan dengan microwave selama 2 menit menghasilkan kadar air cumi 50,56 %. Hal ini diduga disebabkan oleh pemanasan dengan microwave lebih cepat panas dan merata sehingga penguapan air berlangsung lebih cepat. Menurut George et al. (1993), keuntungan proses


(49)

microwave adalah waktu proses yang pendek (singkat), tidak ada kemungkinan tumbuh bakteri dan lebih fleksibel dalam produksinya. Oleh karena itu, kadar air yang terkandung pada bahan akan mengalami penurunan secara drastis.

Gambar 5. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Nilai Tekstur Cumi

Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave), waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) serta interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan kadar air yang berbeda (Gambar 6). Perlakuan pengolahan yang menggunakan media penghantar panas, seperti air dan minyak goreng memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan tanpa media penghantar panas (panggang api, oven dan microwave). Kontak langsung dengan panas menyebabkan air di permukaan cumi menguap lebih cepat sehingga mengurangi kadar air cumi. Semakin lama waktu pengolahan yang digunakan mengakibatkan kandungan air pada cumi menguap lebih banyak. Hasil analisis statistik kadar air cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6.


(50)

Gambar 6. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Air Cumi

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini dapat berfungsi sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Selain itu juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1991).

Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar, yang berarti bahwa kandungan N yang terukur tidak hanya menunjukkan kadar protein tetapi senyawa-senyawa lain yang mengandung unsur N yang jumlahnya lebih sedikit dari protein seperti asam amino bebas dan amoniak. Kadar protein cumi-cumi setelah pengolahan lanjutan berada pada kisaran 8,24 - 19,99 % , nilai tertinggi pada produk cumi kukus selama 2 menit (19,99 % bk). Pada waktu pengolahan yang sama, cumi yang diolah menggunakan microwave menghasilkan kadar protein 10,92 % bk. Menurut deMan (1999), perlakuan menggunakan panas secara lunak (uap air) dapat mempertahankan nilai gizi protein, sedangkan panas yang berlebihan dapat merusak mutu protein.

Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan (kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave) dan waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) menghasilkan kadar protein yang berbeda. Pada pengolahan menggunakan


(51)

microwave, cumi akan mendapatkan panas dengan cepat dan merata sehingga protein yang terkandung dalam cumi akan lebih banyak mengalami kerusakan dibandingkan dengan pengolahan lain yang penyebaran panasnya tidak terlalu cepat. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan, kadar protein pada bahan semakin menurun karena semakin banyak protein pada cumi yang mengalami kerusakan (denaturasi protein) akibat adanya pemanasan. Hasil analisis statistik kadar protein cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Pengaruh cara pengolahan dan lama waktunya terhadap kadar protein cumi, berturut - turut disajikan pada Gambar 7 dan 8.

Lemak merupakan zat makanan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda, tetapi lemak sering ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan diantaranya untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa makanan (Winarno,1991).


(52)

Gambar 8. Pengaruh Lama Waktu Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi yang telah diolah lebih lanjut menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada cumi yang mendapat perlakuan goreng selama 7 menit yaitu sebesar 2,91 % bk, karena pada perlakuan tersebut ada penambahan minyak goreng yang akan diserap oleh cumi. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan (goreng), jumlah minyak yang diserap cumi juga akan semakin banyak. Sedangkan pada perlakuan kukus, panggang api, oven dan microwave kadar lemak yang terkandung dalam cumi lebih rendah karena tidak ada penambahan minyak pada pengolahan yang dilakukan. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 1991).

Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa waktu yang digunakan (2, 5 dan 7 menit) dan interaksi antara perlakuan pengolahan dengan waktu yang digunakan menghasilkan kadar lemak yang berbeda. Hasil analisis statistik kadar lemak cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Pengaruh interaksi antara cara pengolahan dan lama waktunya terhadap kadar lemak ditunjukkan pada Gambar 9.

Uji mikroba dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut. Uji yang dilakukan adalah uji total mikroba (TPC), uji Escherichia coli, dan uji Salmonella.


(53)

Gambar 9. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Lemak Cumi

Perhitungan TPC bertujuan untuk menghitung semua mikroba yang tumbuh dalam produk. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan, menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan terjadinya fermentasi (Buckle et al.,1987). E. coli merupakan bakteri yang sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pada perut juga menyebabkan demam tifus dan paratifus.

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada cumi-cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut tidak terdapat cemaran mikroba (baik

Escherichia coli, Salmonella maupun mikroorganisme lain). Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan lanjutan yang dilakukan pada cumi sudah cukup baik dan higienis.

D. UJI ORGANOLEPTIK

Nilai organoleptik merupakan faktor yang penting untuk mengetahui penerimaan konsumen dan kesukaannya terhadap suatu produk makanan. Penerimaan uji organoleptik yang dilakukan terhadap produk cumi setelah pengolahan lebih lanjut meliputi uji hedonik (kesukaan) pada parameter penilaian


(54)

umum, warna, aroma, tekstur dan rasa. Skala yang digunakan adalah 1 (tidak suka), 2 (agak tidak suka), 3 (netral atau biasa), 4 (suka) dan 5 (sangat suka). Uji ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan/pengolahan lanjutan apa yang lebih disukai oleh panelis.

1. Warna

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya tergantung dari beberapa faktor seperti cita rasa, tekstur dan nilai gizi. Tetapi sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan suatu bahan. Baik tidaknya pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam (Winarno, 1991). Oleh karena itu, warna memiliki peranan penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk.

Menurut Soekarto (1985), warna mempunyai arti dan peranan dalam produk pangan, yaitu sebagai tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu, dan pedoman proses pengolahan. Warna merupakan atribut yang pertama kali diterima oleh indera manusia, dan perbedaan warna meskipun sedikit memberikan efek yang berbeda terhadap penerimaan setiap individu. Nilai rata-rata warna pada cumi-cumi setelah pengolahan lanjutan berkisar antara 3,04 - 3,88 (biasa sampai suka). Nilai rata-rata tertinggi pada produk goreng selama 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tersebut paling disukai oleh panelis pada parameter warna.

Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan dan waktu yang digunakan tidak mempengaruhi persepsi panelis terhadap warna (P>0,05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 7.

2. Aroma

Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Untuk pengukuran dan identifikasi aroma, cara yang paling sering dan mudah digunakan adalah dengan memanfaatkan alat indera manusia (Winarno, 1991).


(1)

Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis pada Parameter Uji Organoleptik

Kruskal-Wallis Test: penilaian versus perlakuan

Kruskal-Wallis Test on penilaian

perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 4.000 167.0 -1.00 291 25 4.000 200.5 0.59 328 25 3.000 170.1 -0.86 374 25 4.000 182.8 -0.25 457 25 4.000 207.9 0.95 483 25 3.000 155.4 -1.56 493 25 3.000 174.2 -0.66 527 25 3.000 162.4 -1.22 614 25 4.000 213.9 1.23 628 25 4.000 178.6 -0.45 658 25 4.000 194.7 0.32 713 25 4.000 203.7 0.75 729 25 4.000 196.2 0.39 812 25 4.000 199.1 0.53 859 25 4.000 213.7 1.23 Overall 375 188.0

H = 10.97 DF = 14 P = 0.688

H = 11.83 DF = 14 P = 0.620 (α=0,05)

Kruskal-Wallis Test: warna versus perlakuan

Kruskal-Wallis Test on warna

perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 164.1 -1.14 291 25 4.000 199.6 0.55 328 25 3.000 153.1 -1.67 374 25 3.000 178.4 -0.46 457 25 4.000 224.7 1.75 483 25 3.000 146.7 -1.97 493 25 3.000 161.2 -1.28 527 25 3.000 160.2 -1.33 614 25 4.000 195.0 0.33 628 25 4.000 196.0 0.38 658 25 3.000 190.2 0.11 713 25 4.000 229.4 1.98 729 25 4.000 208.0 0.95 812 25 4.000 200.7 0.60 859 25 4.000 212.7 1.18 Overall 375 188.0

H = 20.35 DF = 14 P = 0.120

H = 21.95 DF = 14 P = 0.080 (α=0,05)


(2)

Kruskal-Wallis Test: aroma versus perlakuan

Kruskal-Wallis Test on aroma

perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 120.1 -3.24 291 25 4.000 214.5 1.26 328 25 3.000 154.3 -1.61 374 25 3.000 163.4 -1.17 457 25 4.000 202.7 0.70 483 25 3.000 144.3 -2.09 493 25 3.000 147.0 -1.96 527 25 4.000 181.5 -0.31 614 25 5.000 259.2 3.40 628 25 4.000 180.0 -0.38 658 25 4.000 200.0 0.57 713 25 4.000 226.9 1.86 729 25 4.000 190.1 0.10 812 25 4.000 212.1 1.15 859 25 4.000 223.8 1.71 Overall 375 188.0

H = 41.59 DF = 14 P = 0.000

H = 44.88 DF = 14 P = 0.000 (α=0,05)

Kruskal-Wallis Test: tekstur versus perlakuan

Kruskal-Wallis Test on tekstur

perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 125.8 -2.97 291 25 3.000 154.2 -1.61 328 25 4.000 179.0 -0.43 374 25 4.000 158.2 -1.42 457 25 4.000 204.5 0.79 483 25 3.000 170.4 -0.84 493 25 4.000 177.2 -0.52 527 25 4.000 242.0 2.58 614 25 4.000 198.5 0.50 628 25 4.000 226.2 1.82 658 25 3.000 161.4 -1.27 713 25 4.000 215.2 1.30 729 25 4.000 219.1 1.48 812 25 4.000 201.4 0.64 859 25 4.000 186.9 -0.05 Overall 375 188.0

H = 29.27 DF = 14 P = 0.010

H = 31.52 DF = 14 P = 0.005 (α=0,05)


(3)

Kruskal-Wallis Test: rasa versus perlakuan

Kruskal-Wallis Test on rasa

perlakuan N Median Ave Rank Z 256 25 3.000 164.3 -1.13 291 25 4.000 230.8 2.04 328 25 3.000 147.9 -1.91 374 25 4.000 231.2 2.06 457 25 3.000 153.0 -1.67 483 25 3.000 153.6 -1.64 493 25 4.000 190.4 0.12 527 25 4.000 191.6 0.17 614 25 4.000 220.4 1.55 628 25 4.000 194.6 0.32 658 25 3.000 157.4 -1.46 713 25 3.000 169.2 -0.90 729 25 4.000 221.9 1.62 812 25 4.000 193.7 0.27 859 25 4.000 200.1 0.58 Overall 375 188.0

H = 25.54 DF = 14 P = 0.030

H = 27.21 DF = 14 P = 0.018 (α=0,05)

Keterangan :

812 : Goreng selama 2 menit 713 : Goreng selama 5 menit 614 : Goreng selama 7 menit 527 : Kukus selama 2 menit 628 : Kukus selama 5 menit 729 : Kukus selama 7 menit

457 : Panggang api selama 2 menit 658 : Panggang api selama 5 menit 859 : Panggang api selama 7 menit 256 : Panggang oven selama 2 menit 328 : Panggang oven selama 5 menit 493 : Panggang oven selama 7 menit 483 : Microwave selama 2 menit 374 : Microwave selama 5 menit 291 : Microwave selama 7 menit


(4)

61

Lampiran 8. Uji lanjut multiple comparison (Dunn) untuk Aroma

Keterangan : * menunjukkan hasil berbeda nyata (

α

=0,05)

Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05

812 – 713 14,84 76,46 628 – 859 43,82 76,46

812 – 614 47,1 76,46 628 – 256 59,86 76,46

812 – 527 30,56 76,46 628 – 328 25,66 76,46

812 – 628 32,08 76,46 628 – 493 32,96 76,46

812 – 729 21.96 76,46 628 – 483 35,74 76,46

812 – 457 9,38 76,46 628 – 374 16,56 76,46

812 – 658 12,12 76,46 628 – 291 34,48 76,46

812 – 859 11,74 76,46 729 – 457 12,58 76,46

812 – 256 91,94 * 76,46 729 – 658 9,84 76,46

812 – 328 57,74 76,46 729 – 859 33,7 76,46

812 – 493 65,04 76,46 729 – 256 69,98 76,46

812 – 483 67,82 76,46 729 – 328 35,78 76,46

812 – 374 48,64 76,46 729 – 493 43,08 76,46

812 – 291 2,4 76,46 729 – 483 45,86 76,46

713 – 614 32,26 76,46 729 – 374 26,68 76,46

713 – 527 45,4 76,46 729 – 291 24,36 76,46

713 – 628 46,92 76,46 457 – 658 2,74 76,46

713 – 729 36,8 76,46 457 – 859 21,12 76,46

713 – 457 24,22 76,46 457 – 256 82,56 * 76,46

713 – 658 26,96 76,46 457 – 328 48,36 76,46

713 – 859 3,1 76,46 457 – 493 55,66 76,46

713 – 256 106,8 * 76,46 457 – 483 58,44 76,46

713 – 328 72,58 76,46 457 – 374 39,26 76,46

713 – 493 79,88 * 76,46 457 – 291 11,78 76,46

713 – 483 82,66 * 76,46 658 – 859 23,86 76,46

713 – 374 63,48 76,46 658 – 256 79,82 * 76,46

713 – 291 12,14 76,46 658 – 328 45,62 76,46

614 – 527 77,66 * 76,46 658 – 493 52,92 76,46

614 – 628 79,18 * 76,46 658 – 483 55,7 76,46

614 – 729 69,06 76,46 658 – 374 36,52 76,46

614 – 457 56,48 76,46 658 – 291 14,52 76,46

614 – 658 59,22 76,46 859 – 256 103,68 * 76,46

614 – 859 35,36 76,46 859 – 328 69,48 76,46

614 – 256 139 * 76,46 859 – 493 76,78 * 76,46

614 – 328 104,8 * 76,46 859 – 483 79,56 * 76,46

614 – 493 112,1 * 76,46 859 – 374 60,38 76,46

614 – 483 114,9 * 76,46 859 – 291 9,34 76,46

614 – 374 95,74 * 76,46 256 – 328 34,2 76,46

614 – 291 44,7 76,46 256 – 493 26,9 76,46

527 – 628 1,52 76,46 256 – 483 24,12 76,46

527 – 729 8,6 76,46 256 – 374 43,3 76,46

527 – 457 21,18 76,46 256 – 291 94,34 * 76,46

527 – 658 18,44 76,46 328 – 493 7,3 76,46

527 – 859 42,3 76,46 328 – 483 10,08 76,46

527 – 256 61,38 76,46 328 – 374 9,1 76,46

527 – 328 27,18 76,46 328 – 291 60,14 76,46

527 – 493 34,48 76,46 493 – 483 2,78 76,46

527 – 483 37,26 76,46 493 – 374 16,4 76,46

527 – 374 18,08 76,46 493 – 291 67,44 76,46

527 – 291 32,96 76,46 483 – 374 19,18 76,46

628 – 729 10,12 76,46 483 – 291 70,22 76,46

628 – 457 22,7 76,46 374 - 291 51,04 76,46


(5)

62

Uji lanjut multiple comparison untuk rasa

Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05

812 – 713 24,46 68,17 628 – 859 5,46 68,17

812 – 614 26,7 68,17 628 – 256 30,32 68,17

812 – 527 2,1 68,17 628 – 328 46,72 68,17

812 – 628 0,98 68,17 628 – 493 4,2 68,17

812 – 729 28,22 68,17 628 – 483 41,06 68,17

812 – 457 40,7 68,17 628 – 374 36,58 68,17

812 – 658 36,28 68,17 628 – 291 36,14 68,17

812 – 859 6,44 68,17 729 – 457 68,92 * 68,17

812 – 256 29,34 68,17 729 – 658 64,5 68,17

812 – 328 57,74 68,17 729 – 859 21,78 68,17

812 – 493 3,22 68,17 729 – 256 57,56 68,17

812 – 483 40,08 68,17 729 – 328 73,96 * 68,17

812 – 374 37,56 68,17 729 – 493 31,44 68,17

812 – 291 37,12 68,17 729 – 483 68,3 * 68,17

713 – 614 51,16 68,17 729 – 374 9,34 68,17

713 – 527 22,36 68,17 729 – 291 8,9 68,17

713 – 628 25,44 68,17 457 – 658 4,42 68,17

713 – 729 52,68 68,17 457 – 859 47,14 68,17

713 – 457 16,24 68,17 457 – 256 11,36 68,17

713 – 658 11,82 68,17 457 – 328 5,04 68,17

713 – 859 30,9 68,17 457 – 493 37,48 68,17

713 – 256 4,88 68,17 457 – 483 0,62 68,17

713 – 328 21,28 68,17 457 – 374 78,26 * 68,17

713 – 493 21,24 68,17 457 – 291 77,82 * 68,17

713 – 483 15,62 68,17 658 – 859 42,72 68,17

713 – 374 62,02 68,17 658 – 256 6,94 68,17

713 – 291 61,58 68,17 658 – 328 9,46 68,17

614 – 527 28,8 68,17 658 – 493 33,06 68,17

614 – 628 25,72 68,17 658 – 483 3,8 68,17

614 – 729 1,52 68,17 658 – 374 73,84 * 68,17

614 – 457 67,4 68,17 658 – 291 73,4 * 68,17

614 – 658 62,98 68,17 859 – 256 35,78 68,17

614 – 859 20,26 68,17 859 – 328 52,18 68,17

614 – 256 56,04 68,17 859 – 493 9,66 68,17

614 – 328 72,44 * 68,17 859 – 483 46,52 68,17

614 – 493 29,92 68,17 859 – 374 31,12 68,17

614 – 483 66,78 68,17 859 – 291 30,68 68,17

614 – 374 10,86 68,17 256 – 328 16,4 68,17

614 – 291 10,42 68,17 256 – 493 26,12 68,17

527 – 628 3,08 68,17 256 – 483 10,74 68,17

527 – 729 30,32 68,17 256 – 374 66,9 68,17

527 – 457 38,6 68,17 256 – 291 66,46 68,17

527 – 658 34,18 68,17 328 – 493 42,52 68,17

527 – 859 8,54 68,17 328 – 483 5,66 68,17

527 – 256 27,24 68,17 328 – 374 83,3 * 68,17

527 – 328 43,64 68,17 328 – 291 82,86 * 68,17

527 – 493 1,12 68,17 493 – 483 36,86 68,17

527 – 483 37,98 68,17 493 – 374 40,78 68,17

527 – 374 39,66 68,17 493 – 291 40,34 68,17

527 – 291 39,22 68,17 483 – 374 77,64 * 68,17

628 – 729 27,24 68,17 483 – 291 77,2 * 68,17

628 – 457 41,68 68,17 374 - 291 0,44 68,17

628 – 658 37,26 68,17


(6)

63

Uji lanjut multiple comparison untuk tekstur

Antar Perlakuan Nilai α=0,05 Antar Perlakuan Nilai α=0,05

812 – 713 13,72 75,51 628 – 859 39,28 75,51

812 – 614 2,92 75,51 628 – 256 100,4 * 75,51

812 – 527 40,56 75,51 628 – 328 47,16 75,51

812 – 628 24,76 75,51 628 – 493 49,04 75,51

812 – 729 17,64 75,51 628 – 483 55,84 75,51

812 – 457 3,08 75,51 628 – 374 68 75,51

812 – 658 40,08 75,51 628 – 291 72 75,51

812 – 859 14,52 75,51 729 – 457 14,56 75,51

812 – 256 75,6 * 75,51 729 – 658 57,72 75,51

812 – 328 22,4 75,51 729 – 859 31,16 75,51

812 – 493 24,28 75,51 729 – 256 93,24 * 75,51

812 – 483 31,08 75,51 729 – 328 40,04 75,51

812 – 374 43,24 75,51 729 – 493 41,92 75,51

812 – 291 47,24 75,51 729 – 483 48,72 75,51

713 – 614 16,64 75,51 729 – 374 60,88 75,51

713 – 527 26,84 75,51 729 – 291 64,88 75,51

713 – 628 11,04 75,51 457 – 658 43,16 75,51

713 – 729 3,92 75,51 457 – 859 17,6 75,51

713 – 457 10,64 75,51 457 – 256 78,68 * 75,51

713 – 658 53,8 75,51 457 – 328 25,48 75,51

713 – 859 28,24 75,51 457 – 493 27,36 75,51

713 – 256 89,32 * 75,51 457 – 483 34,16 75,51

713 – 328 36,12 75,51 457 – 374 46,32 75,51

713 – 493 38 75,51 457 – 291 50,32 75,51

713 – 483 44,8 75,51 658 – 859 25,56 75,51

713 – 374 56,96 75,51 658 – 256 35,52 75,51

713 – 291 60,96 75,51 658 – 328 17,68 75,51

614 – 527 43,48 75,51 658 – 493 15,8 75,51

614 – 628 27,68 75,51 658 – 483 9 75,51

614 – 729 20,56 75,51 658 – 374 3,16 75,51

614 – 457 6 75,51 658 – 291 7,16 75,51

614 – 658 37,16 75,51 859 – 256 61,08 75,51

614 – 859 11,6 75,51 859 – 328 7,88 75,51

614 – 256 72,68 75,51 859 – 493 9,76 75,51

614 – 328 19,48 75,51 859 – 483 16,56 75,51

614 – 493 21,36 75,51 859 – 374 28,72 75,51

614 – 483 28,16 75,51 859 – 291 32,72 75,51

614 – 374 40,32 75,51 256 – 328 53,2 75,51

614 – 291 44,32 75,51 256 – 493 51,32 75,51

527 – 628 15,28 75,51 256 – 483 44,52 75,51

527 – 729 22,92 75,51 256 – 374 32,36 75,51

527 – 457 37,48 75,51 256 – 291 28,36 75,51

527 – 658 80,64 * 75,51 328 – 493 1,88 75,51

527 – 859 55,08 75,51 328 – 483 8,68 75,51

527 – 256 116,16 * 75,51 328 – 374 20,84 75,51

527 – 328 62,96 75,51 328 – 291 24,84 75,51

527 – 493 64,84 75,51 493 – 483 6,8 75,51

527 – 483 71,64 75,51 493 – 374 18,96 75,51

527 – 374 83,8 * 75,51 493 – 291 22,96 75,51

527 – 291 87,8 * 75,51 483 – 374 12,16 75,51

628 – 729 7,12 75,51 483 – 291 16,16 75,51

628 – 457 21,68 75,51 374 - 291 4 75,51

628 – 658 64,84 75,51