1
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Salah satu masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia adalah KVA Kekurangan Vitamin A yang banyak diderita oleh anak-anak.
Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai prevalensi tertinggi terhadap penyakit avitaminosis ini diantara negara-negara berkembang lainnya.
Untuk itu diperlukan sekali penggunaan sumber-sumber vitamin A untuk menanggulangi masalah ini, salah satunya yaitu dengan minyak sawit karena
mengingat jumlah produksi minyak sawit Indonesia yang setiap tahun terus meningkat.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Volume ekspor minyak sawit menunjukkan peningkatan yang cukup
besar setiap tahunnya. Pada tahun 2001, volume ekspor minyak sawit sebesar 4 903 218 ton dengan nilai ekspor US 1 080 906 dan terus meningkat setiap
tahunnya. Besarnya peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia dipengaruhi oleh bertambahnya luas areal pengusahaan kelapa sawit. Pada tahun
2001, areal perkebunan seluruh Indonesia menurut status pengusahaannya seluas 4 713 435 ha dan meningkat menjadi 5 597 158 ha pada tahun 2004 Direktorat
Jendral Perkebunan, 2006. Peningkatan areal perkebunan sawit menyebabkan peningkatan produksi
dan ekspor CPO. Dari data tahun 1998 diperkirakan produksi CPO sejumlah 5.7 juta ton. Dari jumlah tersebut sekitar 3.2 juta ton 54 diperlukan untuk
konsumsi lokal yang meliputi 2.6 juta ton untuk industri minyak makan dan 0.6 juta ton untuk industri lain. Sedangkan sisa produksi CPO yaitu sekitar 2.5 juta
ton digunakan untuk ekspor. Setiap tahunnya terus terjadi peningkatan produksi dan ekspor CPO Indonesia. Proyeksi ekspor CPO Indonesia tahun 2000-2010
dapat dilihat pada Gambar1. Belum kuatnya industri hilir kelapa sawit atau karena rendahnya kapasitas
dari industri pengolah, berimplikasi pada ekspor sawit indonesia dalam bentuk CPO. Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat
2 dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 dan produk non-pangan
sejumlah 10 berupa produk-produk sabun dan oleokimia
Gambar 1 . Proyeksi Ekspor CPO Indonesia, 2000-2010 BPSN, 2003
Sekitar 90 minyak sawit selama ini digunakan sebagai bahan pangan seperti minyak goreng, margarine, shortening, minyak salad dan sebagainya.
Sisanya yang 10 lagi digunakan untuk industri non-pangan seperti produk- produk kosmetik oleokimia dan sebagainya Kosasih dan Harsono, 1991. Nilai
tambah yang dapat diperoleh dalam minyak sawit dibandingkan dengan minyak yang lain adalah kandungan karotennya yang berwarna merah-kuning, yang
setara dengan 60.000 IU aktivitas vitamin A. Namun, selama ini pada proses pengolahan, warna merah dalam minyak sawit dihilangkan untuk memperoleh
minyak goreng jernih. Minyak sawit memiliki banyak keunggulan yang dapat dieksploitasi
sedemikian rupa untuk produk-produk farmasetikal dan nutraseutikal, di antaranya karoten dan tokoferol. Kandungan karoten di dalam minyak sawit
berkisar antara 400 – 700 ppm dan tokoferol vitamin E berkisar antara 500 – 700 ppm Muchtadi, 1992.
Karoten pada minyak sawit merupakan komponen minor yang bermanfaat bagi kesehatan antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena
xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit
degeneratif. Selain itu minyak sawit juga memiliki kandungan komponen
3 tokoferol vitamin E yang tinggi. Dengan semakin populernya penggunaan
senyawa alami untuk bahan suplemen kesehatan, maka karoten dan tokoferol sawit memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di masa depan.
Senyawa beta-karoten memiliki sifat yang sangat labil terhadap panas dan reaksi oksidasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk melindungi
senyawa tersebut dari lingkungan sekitarnya yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan cara melindunginya dalam matriks polimer yang biasanya disebut dengan proses enkapsulasi dan jika matriks yang melindungi merupakan
matriks yang berukuran 0.2 µm sampai beberapa milimeter disebut juga dengan mikroenkapsulasi.
Mikroenkapsulasi minyak sawit merah akan menghasilkan produk dalam bentuk bubuk yang memiliki kandungan beta karoten tinggi dengan stabilitas
yang tinggi selama penyimpanan. Produk dalam bentuk bubuk ini memudahkan aplikasi penambahan beta karoten pada bermacam-macam produk pangan
sehingga bermanfaat sebagai food inggridient yang fungsional, serta merupakan salah satu upaya diversifikasi produk minyak sawit terutama untuk mengatasi
kekurangan vitamin A di Indonesia.
B. TUJUAN
1. Mengkaji kondisi pengeringan lapis tipis agar dapat digunakan untuk
pengeringan mikroenkapsulat minyak sawit merah. 2.
Menentukan proporsi minyak sawit merah, maltodekstrin, gelatin dan CMC untuk mendapatkan formula mikroenkapsulat optimum.
3. Melakukan uji coba terhadap formula optimum.
C. MANFAAT
1. Memberikan alternatif proses pengeringan mikroenkapsulat minyak sawit merah dengan thin layer drying.
2. Memperluas pemanfaatan minyak sawit merah sebagai produk suplemen makanan dan fortifikan produk pangan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT