Faktor Penghambat Nilai-nilai Karakter yang dikembangkan melalui Mata Pelajaran Sejarah

Gambar 5. Poster yang mengandung nilai karakter Sumber: dokumentasi pribadi

b. Faktor Penghambat

Pelaksanaan pendidikan karakter untuk mengembangkan karakter siswa di SMA Negeri 1 Purwokerto tidak serta merta berjalan lancar. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pengembangan karakter peserta didik ke arah yang lebih baik. Adapun hambatan tersebut selain dari dalam diri siswa juga dari luar lingkungan sekolah yang justru lebih sulit untuk menanganinya. Diantara hambatan-hambatan tersebut adalah karena latar belakang masing-masing siswa yang berbeda. Seperti yang disampaikan oleh Restu Wardhani selaku waka kurikulum di SMA Negeri 1 Purwokerto yakni “yang agak menghambat itu karena mungkin anak-anak itu dari golongan ekonomi yang berbeda-beda, kebiasaan yang berbeda juga nah itu kita harus meluruskan mereka yang bener itu apa, yang baik itu bagaimana, kan karena semuanya kan dari lingkungan yang berbeda-beda itu ya”. Hampir sama dengan pernyataan dari Restu wardhani, Erlina mengatakan bahwa kultur atau budaya siswa juga mempengaruhi sikap siswa, dimana siswa siswi yang merupakan keturunan Cina sikapnya tidak seperti siswa yang keturunan Jawa. Keturunan Cina biasanya cerdas namun sikapnya cenderung lebih cuek atau kurang peka dengan lingkungannnya dan kurang bisa “ngajeni” terhadap guru. Walaupun begitu, tidak semua siswa-siswi keturunan china kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya karena berdasarkan pengamatan peneliti ketika sedang melakukan pengamatan di SMA Negeri 1 Purwokerto terdapat siswa keturunan china yang tersenyum dan menyapa kepada peneliti walaupun tidak saling mengenal. Hambatan berikutnya yakni, dari pihak guru sejarah sendiri belum memiliki instrumen khusus yang digunakan untuk menilai karakter siswa. Hambatan lain dalam pembentukan karakter siswa tidak berasal dari diri siswa akan tetapi lingkungan di luar sekolah. Saat ini banyak sekali terdapat warnet- warnet serta game on line yang tempat dan harga yang ditawarkan terjangkau oleh siswa. Di tempat-tempat tersebut tidak diberlakukan larangan bagi pelajar di jam sekolah untuk masuk ke dalamnya. Sehingga sering ditemukan para pelajar di jam aktif sekolah ternyata sedang bermain di tempat-tempat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Dayono: “yah justru keprihatinan kita yah, justru sekarang itu keprihatinan kita ya, itu sebenarnya begini.. ketika ada anak berani kepada guru, ketika ada anak tertangkap mengkonsumsi sabu-sabu, ketika tertangkap anak menjadi penjahat, siswa lho ya.. ya atau anak tawuran biasanya kan yang disalahkan sekolah. Kurikulumnya belum benar, gurunya salah, lembaganya tidak konsisten dan sebagainya kan mereka itu tidak berpikir masyarakat termasuk kadang-kadang pengambil kebijakan tidak berpikir. Bahwa yang namanya sekolah itu hanya dari jam 7 sampai jam 2, dan mereka ndak berpikir..selebihnya itu anak itu di...bimbing, dipantau yah.. apa ndak oleh orang tuanya, oleh masyarakat, kan ndak.. malah justru masyarakat menyediakan berbagai fasilitas yang me.. yang keberadaannya bertolak belakang yah dengan pendidikan. Jangan dikira jam kaya gini yah ada sebagian siswa berseragam OSIS sedang main game di salah satu warnet. Mestinya kalau kita tu bener-bener istilahnya itu ee... mensuport untuk pembentukan karakter yang kaya gitu itu ditutup atau yang datang kesana yah, anak-anak berseragam atau anak-anak yang sekolah ndak boleh”.hasil wawancara dengan Dayono pada tanggal 06 April 2013

C. Pembahasan 1. Pelaksanaan Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Sejarah di