kencang dan kurang peka terhadap intensitas nyeri yang dirasakan, sedangkan pekerjaan non fisik sebaliknya. Pada penelitian ini, jenis pekerjaan responden
mayoritas wiraswasta 43,8 dan tidak bekerja 43,8. Bila ditinjau dari status pernikahan, responden pada penelitian ini, setengahnya 50 berstatus menikah
dan lebih dari setengah 56,3 responden menikah tersebut merasakan intensitas nyeri pada tingkat sedang.
Ditinjau dari hasil penelitian yang berhubungan dengan suku, kurang dari setengah responden 43,8 berasal dari suku jawa. dan lebih dari setengah
57,1 dari responden bersuku jawa ini melaporkan intensitas nyeri pada tingkat sedang. Menurut penjelasan Brunner dan Sudart 2006 menyatakan bahwa
budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri. Namun Zatzick dan Dimsdale 1990, berpendapat sebaliknya, yang menyatakan bahwa budaya dan
etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang merespon terhadap nyeri.
2.2 Perilaku Nyeri
Pada penelitian ini perilaku nyeri yang diekspresikan oleh pasien yang diindikasikan laparotomi diobservasi melalui empat parameter perilaku nyeri yaitu,
restlessness gelisah, tense muscle ketegangan otot, frowninggrimacing merengut meringis dan patient sound suara pasien
. Dimana keempat parameter tersebut diterapkan dalam tingkat perilaku nyeri tertentu yaitu, tidak nyeri, ringan,
sedang dan berat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hampir
dua pertiga responden 65,63 mengekspresikan nyeri pada tingkat perilaku nyeri sedang,
diikuti oleh perilaku nyeri ringan
31,25 dan sisanya 21,88 mengalami perilaku
Universitas Sumatera Utara
nyeri berat.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, agama, sukubudaya, tingkat pendidikan, dan diagnosa penyakit.
Menurut Berman, et al., 2009 faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah budaya, usia, lingkungan,
pengalaman nyeri sebelumnya, kecemasan dan lain-lain.
Dari kelompok usia, responden mayoritas berada pada rentang usia 17-25 tahun dan 26-35 tahun, yang masing-masing adalah 31,3. Menurut Hurlock, 1996
rentang usia seperti ini termasuk kedalam masa remaja akhir dan masa dewasa awal. Menurut pendapat Brunner Suddart, 2001 yang menegaskan bahwa semakin
tinggi usia maka respon terhadap nyeri semakin menurun.
Menurut Berkley 1998 wanita lebih sering melaporkan nyeri yang dirasakan dan lebih mengekspresikan perilaku nyeri sedangkan pria lebih jarang
melaporkan nyeri. Pada penelitian ini jumlah laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda masing-masing adalah 56,25 dan 43,75. Hasil penelitian Lofvander dan
Forhoff 2002, dan Aghari dan Nicholas 2001, menyatakan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri.
Tingkat pendidikan responden kurang dari setengah 43,8 adalah SMA. Berdasarkan dari data yang ditemukan pada penelitian ini, lebih dari setengah
85,7 responden dengan tingkat pendidikan SMA tersebut memperlihatkan perilaku nyeri sedang. Menurut pendapat Gill 1990, menyatakan bahwa tingkat
pengetahuan berpengaruh terhadap pengalaman dalam menangani nyeri yang dirasakannya.
Responden yang mayoritas bekerja wiraswasta 43,8 dan tidak bekerja 43,8 tersebut memperlihatkan perilaku nyeri umumnya perilaku nyeri sedang,
Universitas Sumatera Utara
dimana 71,4 responden yang bekerja wiraswasta dan 71,4 responden yang tidak bekerja memperlihatkan perilaku nyeri sedang.
Kelompok suku dan budaya berbeda-beda dalam mengekspresikan perilaku nyeri LofVander dan Furhoff, 2001 dalam Harahap, 2007. pada penelitian ini
kurang dari seperdua responden 43,75 adalah suku jawa. Suku jawa merupakan suku yang bersikap tenang dalam merespon nyeri, berusaha tidak mengeluh atas nyeri
yang dirasakan Suza, 2003. Hal ini didukung oleh pernyataan Gill 1990, dalam Potter Perry 2005, yang mengatakan bahwa orang belajar dari budayanya,
bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. misal, suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
Empat parameter perilaku nyeri pada penelitian ini yaitu, restlessness gelisah, tense muscle ketegangan otot, frowninggrimacing merengut
meringis dan patient sound suara pasien, parameter perilaku restlessness gelisah mean: 1,41, SD: 0,56, dan tense muscle ketegangan otot mean: 1,41,
SD: 0,56 merupakan perilaku yang sering terlihat ketika responden merasakan nyeri, sedangkan perilaku yang jarang terlihat adalah perilaku patient sound suara
pasien mean: 1,19, SD: 0,69, hal ini dapat disebabkan sulitnya menilai suara yang dikeluarkan oleh reponden, apalagi mayoritas dari responden adalah suku
jawa yang berusaha untuk tenang dan tidak mengeluh dalam merespon nyeri yang dirasakan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien yang di indikasikan laparotomi di ruang rawat inap RSUD Pirngadi Medan
dengan 32 responden, dapat diambil kesimpulan yaitu: 1.
Kurang dari seperdua dari responden 46,88 merasakan intensitas nyeri pada tingkat sedang, diikuti nyeri ringan dan berat yang masing-masing
adalah 31,25 dan 21,88. 2.
Dua pertiga responden 65,63 mengekspresikan prilaku nyeri pada tingkatan sedang , dan diikuti oleh perilaku nyeri ringan 31,25 dan
perilaku nyeri berat 3,13. 3.
Dari keempat parameter perilaku nyeri yang diekspresikan oleh responden perilaku restlessness gelisah dan tense muscle ketegangan otot
merupakan perilaku nyeri yang frekuensinya paling banyak diekspresikan oleh responden dimana nilai rata-ratanya masing-masing adalah 1,41,
dengan simpangan deviasi 0,56. Sedangkan frowninggrimacing merengut meringis dan patient sound suara pasien diekpresikan oleh
responden. dengan nilai rata-ratanya adalah 1,31 dan 1,19 dan simpangan deviasi masing-masing 0,74 dan 0,69
Universitas Sumatera Utara