Keuangan Publik di Eropa pada Abad Pertengahan
2. Keuangan Publik di Eropa pada Abad Pertengahan
Dalam sejarah tercatat bahwa abad pertengahan di Eropa bercirikan struktur sosial dan ekonomi masyarakat yang menganut feodalisme. Karena
B. Lal Sharma, Economic Ideas in Ancient India before Kautiliya, 73 & 93.
B. Lal Sharma, Economic Ideas in Ancient India before Kautiliya, 88. 232 Beni Prasad, Theory of Government in Ancient India, 52-53.
bersifat feodal, masyarakat tersusun atas kelas-kelas bangsawan dan budak (pengolah tanah). Para penguasa memperoleh pendapatan dari tanah-tanah yang dimiliki atau upeti yang dibayarkan sebagai kewajiban rakyat kepada mereka. Beberapa catatan tentang keuangan publik pada masa ini 233 adalah tugas praktis pemerintah dalam bentuk melindungi rakyat, memenuhi kebutuhan orang miskin, membangun jalan yang aman dan bebas, sistem timbangan dan ukuran, serta uang logam khusus.
Pada periode pertama abad ini atau fase kegelapan Eropa (476-1200 M) tidak ditemukan studi penting tentang keuangan publik. Adapun pada periode kedua atau masa pencerahan (abad ke-12 sampai 15) bermunculan para sarjana seperti Thomas Aquinas (1225-1247), Albertus Magnus (1200-1280) dan Luis Malina, yang dipengaruhi filsafat moral dan etika dari Gereja Katolik Roma
yang mengkaji masalah keuangan. Studi keuangan publik secara umum yang dikembangkan antara lain keadilan perpajakan, sifat pajak, dan hubungan
negara dan rakyat. Menurut Schumpeter, 234 studi para sarjana abad ini terkait dengan prinsip-prinsip dasar keuangan publik meskipun kurang analitis dan
tidak spesifik membahas peristiwa perpajakan, pengaruh ekonomi terhadap pembelanjaan pemerintah, dan sebagainya.
Materi keuangan publik pada masa ini dapat dikelompokkan pula pada aspek pembelanjaan publik dan pengeluaran publik (pajak). Pembelanjaan publik (public expenditure) hanya dikaji dari sisi pembelanjaan pribadi pejabat yang tidak sistematis yang saat itu menganut feodalisme. Kemudian pada fase kedua mulai muncul kesadaran negara-bangsa akibat pengeluaran dan pembelanjaan yang boros, sedangkan kepentingan nasional perlu dilindungi serta keinginan mencapai kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.
Catatan penting dapat ditemukan pada gagasan Carava, 235 penulis Italia abad ke-15, bahwa perlu banyak anggaran bagi biaya kesejahteraan. Karena itu, industri, pertanian, dan perniagaan perlu didorong dengan pinjaman lunak dan cara lainnya. Di samping itu, dana publik digunakan untuk tujuan mempertahankan bangsa, mendukung penguasa, dan memenuhi kebutuhan darurat.
Terkait dengan masalah perpajakan, pada abad ini tergambar dalam sistem feodal hubungan sosial dan ekonomi negara dan rakyat yang hampir sama di beberapa negara Eropa, serta tidak menganut sistem keuangan publik tertentu. Di Inggris sampai abad ke-12, misalnya, tidak ada biro pusat yang khusus menangani keuangan. Meskipun demikian, pajak atas tanah menjadi sumber utama pendapatan, selain berbentuk harta benda, biaya pasar, bea cukai,
233 Salah satu studi yang cukup penting tentang keuangan publik pada abad pertengahan antara lain dapat dibaca Lewis H. Haney, History of Economic Thought (New York: Macmillan, 1921), 85-86.
234 Lihat J.A. Schumpeter, History of Economic Analysis (London: George Allen & Unwin Ltd., 1961), 98. 235 Hunter & Allen, Principles of Public Finance, 19.
denda, dan sumber feodal lainnya. Semua kebutuhan penguasa tercover dalam wilayah yang dikuasainya. Sumber pendapatan lain berupa pajak kepala yang berlaku pada abad ke-14 bagi laki-laki dan perempuan, kecuali pengemis. 236
Di Perancis sampai abad ke-14, pendapatan gereja bersumber dari amal
sepersepuluh dari penghasilan, di samping jenis pajak taille berupa pajak atas produksi yang diharapkan dan diukur melalui nilai kebun mereka, pajak atas barang-barang di perbatasan kota dan negara dengan tingkat yang berbeda setiap wilayah, dan pajak kepala berdasarkan kelas, kekayaan, kepemilikan, atau jumlah pajak lainnya. Bahkan penguasa secara sewenang-wenang membebankan pajak atas tungku, jendela, dan kereta kuda. 237 Dengan kata lain, semua kekayaan dan pendapatan seseorang meskipun miskin dikenai pajak yang memberatkan kehidupan rakyat.
Pada awalnya, pemerintah memiliki kekuasaan cukup besar atas perekonomian dan memakai sumber-sumber daya dengan jumlah yang besar pula untuk melakukan perang. Kekuatan dan peran pemerintah menurun ketika berlangsung reaksi “laissez-faire” (kebebasan ekonomi) terhadap campur tangan pemerintah. Pada abad ke-19 di Inggris, doktrin-doktrin “laissez faire” menekankan bahwa pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit melakukan sesuatu.
Adam Smith dengan pemikirannya “ invisible hand” (tangan yang tidak terlihat) menekankan bahwa bila orang-orang dibiarkan melakukan usaha mereka sendiri, maka hal itu akan paling baik bagi kepentingan masyarakat. Pada satu sisi, “laissez-faire” ini berhasil menyebabkan pembangunan ekonomi yang pesat, namun sebagaimana digambarkan Charles Dicken di Inggris dan Upton Sinclair di AS, 238 justru menyebabkan pemerasan atau eksploitasi tenaga kerja yang tidak terlatih, keadaan perumahan yang menyedihkan, dan kekayaan besar sebagai hasil dari pemerasan monopoli dan spekulasi tanah.
Dari uraian di atas, studi atas keuangan publik pada abad pertengahan ditandai dengan bentuk-bentuk perpajakan sebagai sumber pendapatan negara yang diberlakukan secara sewenang-wenang hingga memberatkan rakyat. Praktek keuangan lebih menunjukkan hubungan antara penguasa feodal dengan rakyat. Karena itu, studi keuangan publik oleh kaum skolastik saat itu dipengaruhi ajaran etika dan moral gereja, namun tidak ditemukan kajian secara khusus, sehingga tetap menjadi “abad kegelapan” untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang studi ini pada abad pertengahan. Perkembangan berikutnya menunjukkan kemunculan “laissez faire” yang merubah peran pemerintah semakin kecil dalam perekonomian.
a Short History of Taxation (London: Butterworths, 1980), 2. B.E.V. Sabine, 237 H.M Groves, Financing Government, 593-595.
238 John F. Due & Ann F. Friedlaender, Government Finance, Penerjemah (ed.):Rudy Sitompul, Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Publik (Jakarta: Erlangga, 1981), 3.