Mekanisme Disfungsi Organ TINJAUAN KEPUSTAKAAN

beberapa substansi pengaturan lain untuk mengatur tonus sel otot polos arteriole, serta pembuluh darah kapiler. Sinyal antar sel pada endotel mengirimkan informasi terkini mengenai kondisi hemodinamis. Endotel juga berperan penting dalam mengontrol fungsi koagulasi dan sistem imun, dimana keduanya secara langsung mempengaruhi dan menentukan fungsi sirkulasi mikro . 28,30 Pada sepsis berat, yang terjadi pada sirkulasi mikro menimbulkan hal-hal sebagai berikut: hipoksia jaringan menyeluruh, kerusakan keseluruhan sel endotel, aktivasi kaskade pembekuan, dan ” Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome ” MMDS. Faktor faktor di atas, secara sendiri ataupun kombinasi, merupakan penentu disfungsi organ akut pada sepsis berat. Petanda klinis pada hipoksia jaringan sangat tidak spesifik. Meskipun demikian, adanya hipoksia jaringan dapat diketahui dari adanya disfungsi organ, seperti peningkatan frekuensi pernafasan, organ perifer dapat terjadi hangatvasodilatasi atau dinginvasokonstriksi, jumlah urin yang sedikit oliguria, dan perubahan status mental. Disamping itu, adanya disfungsi organ juga ditandai dengan adanya asidosis metabolik, dan rasio oksigen yang rendah.

2.4 Mekanisme Disfungsi Organ

Mekanisme autoregulasi, dan fungsi sirkulasi mikro terganggu pada saat terjadi sepsis, dan disfungsi mekanisme autoregulasi serta fungsi sirkulasi mikro tersebut menjadi faktor penentu dalam patofisiologi yang ditandai beberapa kelainan heterogen dalam aliran darah dimana beberapa pembuluh darah kapiler menjadi turun perfusinya.Secara unit fungsional, sirkulasi mikro yang rentan menjadi hipoksia, dimana hal ini menjelaskan adanya defisit oksigen yang terkait dengan sepsis. Pada kondisi ini, tekanan parsial O 2 pada sirkulasi mikro μpO 2 jadi turun. Perbedaan ini disebut ”PO 2 gap” , pengukuran tingkat keparahan shunting fungsional, dimana bila terjadi akan lebih parah pada sepsis dibandingkan pada situasi perdarahan. Ini merupakan alasan utama mengapa pemantauan hemodinamik secara sistemik dan variabel oksigen tidak dapat mengetahui distres pada sirkulasi mikro, dan proses yang berjalan ini menjadi tertutupitidak diketahui. Pada sepsis, sel endotel sirkulasi mikro tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagi pengatur oleh karena terganggunya jalur sinyal transduksi dan kehilangan elektrofisiologis Universitas Sumatera Utara serta kontrol otot polos. Sistem Nitrit Oksida NO, komponen utama pada kontrol autoregulasi patensi sirkulasi mikro, menjadi sangat terganggu pada keadaan sepsis, hal ini diketahui dengan adanya ekspresi heterogen dari inducible nitric oxide synthase iNOS pada area yang berbeda pada tiap organ, sehingga menyebabkan terjadinya aliran shunting yang patologis. Karena iNOS tidak diekspresi secara homogen pada sistem organ, area yang kekurangan iNOS menjadi kurang vasodilatasi yang dipicu oleh NO dan perfusinya menurun. Sel otot polos yang melapisi arteriole dan mengatur perfusi menjadi kehilangan tonus dan sensitivitas terhadap respon adrenergik pada keadaan sepsis. Sel darah merah menjadi kurang dapat berubah bentuk dan cenderung beragregrasi. Sel darah merah juga memainkan peranan penting dalam pengaturan aliran darah sirkulasi mikro dengan kemampuannya melepaskan NO pada keadaan hipoksia dan menyebabkan vasodilatasi. Kemampuan pengaturan oleh sel darah merah ini terganggu pada keadaan sepsis. Defek yang parah ini bersama dengan terganggunya sistem koagulasi pada sepsis, akan lebih lanjut menganggu perfusi sirkulasi mikro dan fungsinya. Sebagai tambahan, lekosit yang diaktivasi oleh inflamasi sepsis akan menghasilkan oksigen reaktif yang secara langsung merusak struktur sirkulasi mikro, interaksi antar sel, dan fungsi koagulasi. Hal ini dan beberapa mediator inflamasi lainnya akan mengubah fungsi pertahanan pada sirkulasi mikro, termasuk hubungan antar sel, dan mungkin juga glikokaliks sel endotel, sehingga menyebabkan edema jaringan dan labih lanjut lagi menjadikan defisit ekstraksi oksigen. Bila tidak dikoreksi, disfungsi sirkulasi mikro akan menyebabkan distres respirasi sel parenkim dan menyebabkan kegagalan organ. Meskipun penyebab utama terjadinya defisit ekstraksi oksigen pada sepsis dapat dijelaskan dengan adanya kelemahan pada sistem shunting, hipoksia unit sirkulasi mikro, ketidakmampuan mitokondria untuk memproses oksigen masih merupakan perdebatan. Perjalanan sepsis dari awal kemudian menjadi berat terjadi bersamaan atau bahkan disebabkan oleh disfungsi sirkulasi mikro, yang seiring waktu akan menyebabkan disfungsi mitokondria. Brealey dkk, menunjukkan bahwa disfungsi mitokondria sungguh memainkan peranan penting pada sepsis dimana tingkat disfungsi respirasi mitokondria terkait dengan outcome penderita. Kegagalan mitokondria terkait dengan sepsis, berperan dalam distres respirasi, terutama pada Universitas Sumatera Utara daerah yang mengalami hipoksia, dan dapat menyebabkan distres jaringan yang selanjutnya menjadi disfungsi organ. Gambar 5. 34,35 Gambar 5. Kaskade dari Perjalanan SIRS dan Sepsis. 45

2.4.1 Hubungan Inflamasi dan Koagulasi

Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator- mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi.Pelepasan TNF- α, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor TF yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak langsung. Kolagen mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin.Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF- α. Respon sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan Universitas Sumatera Utara agregasi. Trombin menstimulasi chemo attractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor TFPI diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung. Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF- α menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Trombin akan menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang nantinya mengarah kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat. [PAI-1]. 33

2.4.2 Respon Homeostasis

Fibrinolisis merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen activator t-PA atau urokinase plasminogen activator u-PA. Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor TAFI. Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF- α mensupresi fibrinolisis dengan Universitas Sumatera Utara meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin fibrin degradation products seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator proinflamasi IL-6 dan TNF- α bekerja secara sinergis untuk meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombus pada pembuluh darah baik yang berukuran kecil maupun sedang, serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi sistem fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memperbaiki keadaan homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu.Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi meningokokus. Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya mortalitas menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit yang mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat kuantitas atau perbedaan faktor darah berdasarkan usia. 33,34 2.4.3 Systemic Inflammatory Response Syndrome SIRS Manifestasi klinis infeksi tergantung pada virulensi organisme yang terkena serta respon inflamasi tubuh terhadap agen infeksi. Istilah SIRS sering digunakan untuk menjelaskan keunikan proses infeksi serta respon sistemik yang mengikutinya. Selain infeksi, SIRS juga dapat dihasilkan dari trauma, syok hemoragik, penyebab- penyebab iskemia yang lain.Penderita-penderita dengan SIRS memiliki spektrum gejala klinis yang menampakkan proses patologis yang progresif. 14 Batasan SIRS ialah respon inflamasi sistemik terhadap gangguankerusakan klinis yang ditandai dengan adanya dua atau lebih hal-hal berikut: 1 Temperatur tubuh yang tidak stabil 36°C atau 38,5 °C, 2 Disfungsi respirasi tachipnoe atau hipoksemia Universitas Sumatera Utara 3 Disfungsi Cardiac heart rate 90 x menit, dan 4 Sel darah putih kurang dari 4000 sel mm ³ 4 x 109 sel L atau lebih besa dari 12.000 sel mm ³ 12 x 109 sel L, atau adanya neutrofil 10. Meningkatnya permeabilitas vaskuler menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan perifer dan paru-paru yang mengakibatkan terjadinya edem paru. Kerusakan jaringan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian. 1,14,35 2.5 Shock Index SI Shock Index SI, merupakan penilaian terhadap penderita dengan sepsis dan sepsis berat, dengan normal kisaran 0,5-0,7 pada orang dewasa sehat. Allgöwer dan Buri pertama kali memperkenalkan konsep pada tahun 1967 sebagai penilaian sederhana dan efektif guna mengukur derajat hipovolemia . Studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa SI berbanding terbalik dengan parameter fisologis, seperti cardiac index, stroke volume, dan rata-rata tekanan pembuluh arteri. Pada tahun 1994, Rady et all menemukan bahwa SI ≥ 0,9 memprediksikan bahwa prioritas penanganan serta terapi intensif terhadap penderita dengan sepsis kurang agresif di awal saat penderita tiba di unit gawat darurat. Hal ini menunjukkan bahwa SI dapat menjadi parameter untuk pengenalan dini dan evaluasi penyakit kritis di,unit gawat darurat serta sebagai sarana untuk mengetahui kemajuan dari resusitasi sebelumnya. 31 Sebagai tambahan, SI merupakan penilaian terhadap prognosa angka kelangsungan hidup penderita khususnya pada penderita dengan sepsis berat. Kelangsungan hidup penderita melibatkan pemantauan vital sign berupa tekanan darah, denyut jantung, frekwensi pernafasan,dan suhu. Namun untuk SI merupakan pemantauan hasil pembagian denyut jatung terhadap tekanan darah sistole pada penderita dengan sepsis berat yang dilakukan penilaiannya pada saat penderita tiba di Ruang Unit Gawat Darurat, setelah 2 jam diberikan bantuan resusitasi dan terapi di Unit Gawat Darurat dan selama 24 jam masa rawatan di rumah sakit. Dimana hal ini mudah dilakukan dan terjangkau dalam penanganan terhadap sepsis berat. 37,38 Dari penelitian sebelumnya, SI menjadi nilai prognosa jangka pendek dalam menilai kelangsungan hidup penderita dengan sepsis. Peneliti mempelajari nilai index dalam jangka pendek pada penderita sesuai dengan kriteria Sepsis berat. Dan Universitas Sumatera Utara pada penilaian terhadap tingkat mortalitas penderita dengan sepsis berat ini, menggunakan cut off Point SI sebesar = 1,0 dimana semakin tinggi nilai SI yang diperoleh dari cut off Point tersebut,maka dapat di prediksi bahwa akan semakin tinggi angka mortalitas pada penderita dengan sepsis berat tersebut. Hasil dari penelitian tersebut telah membuktikan bahwa SI berperan dalam deteksi dini kejadian syok yang memerlukan intervensi segera dalam hal penanganan dan SI dapat digunakan sebagai prediktor terhadap risiko stratifikasi pada penderita dengan sepsis berat. Sebagai dibandingkan dengan memvisualisasikan tanda dari vital sign HR,SBP,DBP sendiri, SI menggabungkan variabel-variabel ini menjadi rasio tunggal membuatnya menjadi fisiologis yang komprehensif variabel. Saat kritis penderita menunjukkan mekanisme kompensasi fisiologis, menjaga turunnya tekanan darah dari meskipun keadaannya dapat menurun volume sirkulasi darah, stroke volume, dan cardiac-output. Dalam hal ini, SI akan berfungsi sebagai prediktor awal melalui pemantauan vital sign . 31,36,37

2.6. Kriteria Klinis.