Analisis Perbandingan Peranan Jalur Suku Bunga Dan Jalur Nilai Tukar Pada Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN PERANAN JALUR SUKU

BUNGA DAN JALUR NILAI TUKAR PADA MEKANISME

TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

OLEH

MARTHA SIMBOLON 080501080

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERBANDINGAN PERANAN JALUR SUKU BUNGA DAN JALUR NILAI TUKAR DALAM MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN

MONETER DI INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan jalur suku bunga dan jalur nilai tukar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Variabel dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI, suku bunga PUAB, suku bunga deposito, suku bunga kredit, investasi, interest rate differentials, capital

inflows, nilai tukar, ekspor neto, output gap, dan inflasi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Vector Auto Regression (VAR), yaitu Impulse Response Function dan Varians Decomposition

dengan program Eviews 6. Dalam aplikasi model VAR mensyaratkan beberapa pengujian, yaitu uji stationeritas, uji kointegrasi, uji kausalitas Granger, dan penentuan Lag Optimal. Penelitian ini dimulai dari periode tahun 2004 kuartal I hingga tahun 2011 kuartal IV.

Hasil penelitian dari Varians Decomposition menjelaskan bahwa pada jalur suku bunga dalam variasi sasaran akhir yaitu inflasi yang dijelaskan suku bunga SBI cukup kuat yaitu 43,88% dan pada periode kedua meningkat menjadi 53,07% hingga pada periode kesepuluh juga menunjukkan variasi yang cukup kuat yaitu sebesar 42,82 %. Sedangkan pada jalur nilai tukar, variasi inflasi dijelaskan suku bunga SBI pada periode pertama adalah 45,51% dan pada periode kedua adalah 52,94% hingga pada periode kesepuluh juga menunjukkan variasi yang cukup kuat, namun menurun menjadi 37,07%. Hasil Impulse Response Function (IRF) dijelaskan bahwa jalur suku bunga membutuhkan time lag untuk mencapai inflasi adalah selama 9 kuartal. Sedangkan pada jalur nilai tukar membutuhkan time lag untuk mencapai inflasi adalah selama 10 kuartal.

Dengan demikian, berdasarkan hasil pengujian Varians Decomposition dan hasil IRF, peranan jalur suku bunga lebih efektif dan lebih cepat merespon inflasi dari pada jalur nilai tukar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Kata Kunci : Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar, Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter


(3)

ABSTRACT

ANALYSIS COMPARATIVE THE ROLE OF INTEREST RATE CHANNEL AND EXCHANGE RATE CHANNEL IN MONETARY POLICY

TRANSMISSION MECHANISM IN INDONESIA

This research aims to determine the role of interest rate channel and exchange rate channel in transmission mechanism of monetary policy in Indonesia. The variables in this study are SBI rates, interbank rates, deposit rates, lending rates, investment, interest rate differentials, capital inflows, exchange rate, net exports, output gap and inflation. The method of analysis used in this research is Vector Auto Regression (VAR), namely Impulse Response Function and Variance Decomposition with the program Eviews 6. In applications require multiple testing VAR models, namely stationer test, cointegration test, Granger causality test, and determination of Optimal Lag. This study starts from the first quarter period of 2004 until the fourth quarter of 2011.

The results of Variance Decomposition explain that interest rate channel in the variation of the end of the inflation target is described SBI interest rate that is strong enough namely 43.88% and in the second period increased to 53.07% up on the tenth period also show a strong variation in the amount of 42.82 %. While the exchange rate channel, inflation variation explained SBI rate in the first period was 45.51% and in the second period was 52.94% up on the tenth period also shows strong variations, but decreased to 37.07%. Results Impulse Response Function (IRF) explained that the interest rate channel requires a time lag to reach the inflation was over 9 quarters. While the exchange rate channel requires a time lag to reach the inflation is over 10 quarters.

Thus, based on test results of Variance Decomposition and IRF, the role of interest rate channel more effectively and more quickly response to the inflation than in the exchange rate channel in monetary policy transmission mechanism in Indonesia.

Keywords: Interest Rates channel, Exchange Rate channel, Monetary Policy Transmission Mechanism


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis nyatakan dan persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas anugerah dan pernyertaanNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul skripsi ini adalah Analisis Perbandingan Peranan Jalur Suku Bunga dan Jalur Nilai Tukar dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Skripsi ini penulis ajukan unutk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program Strata-1 di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Departemen Ekonomi Pembangunan dengan Konsentrasi Perbankan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bantuan, dorongan, bimbingan serta fasilitas-fasilitas dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dengan ketulusan hati, yang telah berkorban baik doa, memberi semangat maupun materil dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan kuliah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua penulis yaitu bapak J.Simbolon dan ibu R.Simamora yang terus mendukung dalam doa, semangat, dana, dan kasih sayang.

2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec selaku Ketua Departemen S1 Ekonomi Pembangunan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing penulis.


(5)

4. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan.

5. Bapak Irsad Lubis, M.Soc., Sc., Phd., selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Dosen Pembaca skrispsi penulis. 7. Dosen-dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, terkhusus dosen

Ekonomi Pembangunan yang telah membimbing selama perkuliahan dan para staf fakultas.

8. Pengurus UKM KMK USU UP FE periode 2012 yang selalu mendukung dalam doa dan semangat serta teman-teman KTB dan Kelompok Kecilku. 9. Teman-teman seperjuangan Ekonomi Pembangunan stambuk 2008.

Penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini, disebabkan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu penulis tidak menutup diri atas kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.

Medan, 16 Juni 2012 Penulis

Martha Simbolon NIM 080501080


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Moneter ... 8

2.1.1 Pengertian Kebijakan Moneter ... 8

2.1.2 Target Kebijakan Moneter ... 8

2.1.3 Indikator Kebijakan Moneter ... 9

2.1.3.1 Tingkat Suku Bunga ... 10

2.1.3.2 Uang Beredar ... 10

2.1.4 Instrumen Kebijakan Moneter... 10

2.1.4.1 Instrumen Langsung ... 10

2.1.4.2 Instrumen Tidak Langsung ... 12

2.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter... 14

2.3 Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 17

2.3.1 Jalur Suku Bunga... 17

2.3.2 Jalur Nilai Tukar ... 19

2.3.3 Jalur Kredit ... 21

2.3.4 Jalur Harga Aset ... 23

2.3.5 Jalur Ekspektasi Inflasi ... 24

2.4 Variabel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dalam Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar 25 2.4.1 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia ... 25

2.4.2 Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank ... 26

2.4.3 Suku Bunga Deposito ... 27

2.4.4 Suku Bunga Kredit ... 28

2.4.4.1 Total Biaya Dana ... 28


(7)

2.4.4.4 Laba yang Diinginkan ... 29

2.4.4.5 Pajak ... 29

2.4.5 Investasi ... 29

2.4.5.1 Tingkat Bunga ... 30

2.4.5.2 Marginal Efficiency of Capital... 30

2.4.5.3 Peningkatan Aktifitas Perekonomian 31 2.4.5.4 Kestabilan Politik Suatu Negara ... 31

2.4.6 Nilai Tukar ... 31

2.4.7 Capital Inflow... 33

2.4.7.1 Transaksi Modal Jangka Pendek ... 33

2.4.7.2 Transaksi Modal Jangka Panjang ... 33

2.4.8 Interest Rate Differentials ... 34

2.4.9 Ekspor Neto... 35

2.4.10 Output Gap ... 37

2.4.10.1 Metode Pendapatan ... 37

2.4.10.2 Metode Produksi... 37

2.4.10.3 Metode Pengeluaran ... 37

2.4.11 Inflasi ... 39

2.4.11.1 Penggolongan Parah Tidaknya Inflasi ... 39

2.4.11.2 Penggolongan Berdasarkan Sebab Awal dari Inflasi ... 39

2.4.11.3 Penggolongan Berdasarkan Asal Inflasi ... 40

2.5 Kerangka Konseptual ... 42

2.6 Hipotesis ... 46

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Batasan Operasional ... 47

3.3 Definisi Operasional ... 47

3.4 Skala Pengukuran Variabel ... 48

3.5 Jenis Data ... 49

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.7 Teknik Analisis Data ... 49

3.7.1 Pengujian Stationeritas ... 52

3.7.2 Pengujian Kointegrasi ... 53

3.7.3 Penentuan Lag Optimal ... 53

3.7.4 Pengujian Kausalitas Granger ... 54

3.7.5 Estimasi VAR ... 55

3.7.6 Impulse Response Function ... 55


(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Mekanisme Transmisi Kebijakan

Moneter di Indonesia ... 57

4.2 Perkembangan Variabel pada Jalur Suku Bunga ... 59

4.2.1 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia ... 59

4.2.2 Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank ... 60

4.2.3 Suku Bunga Deposito ... 62

4.2.4 Suku Bunga Kredit... 63

4.2.5 Investasi... 64

4.2.6 Output Gap ... 65

4.3 Perkembangan Variabel pada Jalur Nilai Tukar ... 66

4.3.1 Interest Rate Differentialsi ... 66

4.3.2 Capital Inflows ... 68

4.3.3 Nilai Tukar ... 69

4.3.4 Ekspor Neto ... 71

4.4 Perkembangan Sasaran Akhir Kebijakan Moneter ... 72

4.5 Analisis Hasil Penelitian ... 76

4.5.1 Hasil Uji Stationeritas ... 76

4.5.1.1 Jalur Suku Bunga ... 76

4.5.1.2 Jalur Nilai Tukar ... 77

4.5.2 Hasil Uji Kointegrasi ... 77

4.5.2.1 Jalur Suku Bunga ... 78

4.5.2.2 Jalur Nilai Tukar ... 78

4.5.3 Hasil Uji Kausalitas ... 79

4.5.3.1 Jalur Suku Bunga ... 79

4.5.3.2 Jalur NIlai Tukar ... 81

4.5.4 Hasil Penentuan Lag Optimal... 83

4.5.4.1 Jalur Suku Bunga ... 83

4.5.4.2 Jlaur Nilai Tukar ... 84

4.5.5 Hasil Estimasi VAR ... 84

4.5.5.1 Jalur Suku Bunga ... 85

4.5.5.2 Jalur Nilai Tukar ... 86

4.5.6 Hasil Impulse Response Function... 88

4.5.6.1 Jalur Suku Bunga ... 88

4.5.6.2 Jalur Nilai Tukar ... 91

4.5.7 Hasil Varians Decomposition ... 94

4.5.7.1 Jalur Suku Bunga ... 94

4.5.7.2 Jalur Nilai Tukar ... 96

4.6 Analisis Pembahasan ... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 102

5.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(9)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Judul Halaman

4.1 Hasil Pengujian Stationeritas pada Variabel

Jalur Suku Bunga ... 76 4.2 Hasil Pengujian Stationeritas pada Variabel

Jalur Nilai Tukar ... 77 4.3 Hasil Pengujian Kointegrasi pada Variabel

Jalur Suku Bunga ... 78 4.4 Hasil Pengujian Kointegrasi pada Variabel

Jalur Nilai Tukar ... 78 4.5 Hasil Pengujian Kausalitas pada Variabel

Jalur Suku Bunga ... 79 4.6 Hasil Pengujian Kausalitas pada Variabel

Jalur Nilai Tukar ... 81 4.7 Hasil Penentuan Lag Optimal pada Jalur

Suku Bunga ... 83 4.8 Hasil Penentuan Lag Optimal pada Jalur

Nilai Tukar ... 84 4.9 Hasil Varians Decomposition pada Jalur

Suku Bunga ... 94 4.10 Hasil Varians Decomposition pada Jalur


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

dalam Black Box ... 15

2.2 Mekanisme Transmisi Jalur Suku Bunga ... 17

2.3 Mekanisme Transmis Jalur Nilai Tukar ... 19

2.4 Mekanisme Transmisi Jalur Kredit ... 21

2.5 Mekanisme Transmisi Jalur Harga Aset ... 23

2.6 Mekanisme Transmisi Jalur Ekspektasi ... 25

2.7 Kerangka Konseptual ... 45

4.1 Penentuan Time Lag pada Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 100


(11)

DAFTAR GRAFIK

No.Grafik Judul Halaman

4.1 Perkembangan Suku Bunga SBI ... 59

4.2 Perkembangan Suku Bunga PUAB ... 61

4.3 Perkembangan Suku Bunga Deposito ... 62

4.4 Perkembangan Suku Bunga Kredit ... 63

4.5 Perkembangan Investasi ... 64

4.6 Perkembangan Output Gap ... 66

4.7 Perkembangan Interest Rate Differentials.... 67

4.8 Perkembangan Capital Inflows ... 68

4.9 Perkembangan Nilai Tukar ... 69

4.10 Perkembangan Eksporneto ... 71

4.11 Hasil Impulse Response Function pada Jalur Suku Bunga ... 88

4.12 Hasil Impulse Response Function pada Jalur Nilai Tukar ... 91


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Variabel Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar.. 108

2 Hasil Pengujian Stationeritas………. 110

3 Penentuan Lag Optimal………. 113

4 Hasil Pengujian Kausalitas……… 114

5 Hasil Pengujian Kointegrasi……….. 117

6 Hasil Estimasi Regresi……….. 118

7 Hasil Varians Decomposition……… 122


(13)

ABSTRAK

ANALISIS PERBANDINGAN PERANAN JALUR SUKU BUNGA DAN JALUR NILAI TUKAR DALAM MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN

MONETER DI INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan jalur suku bunga dan jalur nilai tukar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Variabel dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI, suku bunga PUAB, suku bunga deposito, suku bunga kredit, investasi, interest rate differentials, capital

inflows, nilai tukar, ekspor neto, output gap, dan inflasi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Vector Auto Regression (VAR), yaitu Impulse Response Function dan Varians Decomposition

dengan program Eviews 6. Dalam aplikasi model VAR mensyaratkan beberapa pengujian, yaitu uji stationeritas, uji kointegrasi, uji kausalitas Granger, dan penentuan Lag Optimal. Penelitian ini dimulai dari periode tahun 2004 kuartal I hingga tahun 2011 kuartal IV.

Hasil penelitian dari Varians Decomposition menjelaskan bahwa pada jalur suku bunga dalam variasi sasaran akhir yaitu inflasi yang dijelaskan suku bunga SBI cukup kuat yaitu 43,88% dan pada periode kedua meningkat menjadi 53,07% hingga pada periode kesepuluh juga menunjukkan variasi yang cukup kuat yaitu sebesar 42,82 %. Sedangkan pada jalur nilai tukar, variasi inflasi dijelaskan suku bunga SBI pada periode pertama adalah 45,51% dan pada periode kedua adalah 52,94% hingga pada periode kesepuluh juga menunjukkan variasi yang cukup kuat, namun menurun menjadi 37,07%. Hasil Impulse Response Function (IRF) dijelaskan bahwa jalur suku bunga membutuhkan time lag untuk mencapai inflasi adalah selama 9 kuartal. Sedangkan pada jalur nilai tukar membutuhkan time lag untuk mencapai inflasi adalah selama 10 kuartal.

Dengan demikian, berdasarkan hasil pengujian Varians Decomposition dan hasil IRF, peranan jalur suku bunga lebih efektif dan lebih cepat merespon inflasi dari pada jalur nilai tukar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Kata Kunci : Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar, Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter


(14)

ABSTRACT

ANALYSIS COMPARATIVE THE ROLE OF INTEREST RATE CHANNEL AND EXCHANGE RATE CHANNEL IN MONETARY POLICY

TRANSMISSION MECHANISM IN INDONESIA

This research aims to determine the role of interest rate channel and exchange rate channel in transmission mechanism of monetary policy in Indonesia. The variables in this study are SBI rates, interbank rates, deposit rates, lending rates, investment, interest rate differentials, capital inflows, exchange rate, net exports, output gap and inflation. The method of analysis used in this research is Vector Auto Regression (VAR), namely Impulse Response Function and Variance Decomposition with the program Eviews 6. In applications require multiple testing VAR models, namely stationer test, cointegration test, Granger causality test, and determination of Optimal Lag. This study starts from the first quarter period of 2004 until the fourth quarter of 2011.

The results of Variance Decomposition explain that interest rate channel in the variation of the end of the inflation target is described SBI interest rate that is strong enough namely 43.88% and in the second period increased to 53.07% up on the tenth period also show a strong variation in the amount of 42.82 %. While the exchange rate channel, inflation variation explained SBI rate in the first period was 45.51% and in the second period was 52.94% up on the tenth period also shows strong variations, but decreased to 37.07%. Results Impulse Response Function (IRF) explained that the interest rate channel requires a time lag to reach the inflation was over 9 quarters. While the exchange rate channel requires a time lag to reach the inflation is over 10 quarters.

Thus, based on test results of Variance Decomposition and IRF, the role of interest rate channel more effectively and more quickly response to the inflation than in the exchange rate channel in monetary policy transmission mechanism in Indonesia.

Keywords: Interest Rates channel, Exchange Rate channel, Monetary Policy Transmission Mechanism


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat penting, sehingga dampak jumlah uang beredar dapat mempengaruhi perekonomian. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga yang melebihi tingkat yang diharapkan. Sebaliknya jika peningkatan jumlah uang beredar sangat rendah, maka akan menimbulkan kelesuan dalam perekonomian. Situasi ini melatarbelakangi usaha yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas moneter dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter Bagehot bahwa “Money will not manage itself”, ini menunjukkan pengendalian jumlah uang beredar merupakan faktor yang sangat penting dalam seluruh kegiatan ekonomi suatu negara.

Lembaga yang memiliki tugas dalam otoritas moneter ini di Indonesia adalah Bank Indonesia. Kebijakan yang diambil otoritas moneter sangat mewarnai bagaimana perkembangan ekonomi makro yang terjadi. Kebijakan moneter memiliki tiga terminologi umum. Pertama, target kebijakan moneter atau sering disebut sasaran akhir. Bank Indonesia telah menetapkan yang menjadi sasaran tunggal, ini tertuang dalam revisinya pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Pasal 7 menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan


(16)

tunggal tersebut terangkum dalam kerangka strategis penargetan inflasi ( inflation targeting framework). Kedua, indikator kebijakan moneter atau sasaran antara, yang dapat memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha pencapaian sasaran akhir yang telah ditetapkan atau tidak. Ketiga,

instrumen kebijakan moneter dalam mencapai sasaran.

Dalam mencapai sasaran akhirnya, ada hal yang harus dilalui yaitu mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral bekerja dan mempengaruhi berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan. Mekanisme ini dimulai dari tindakan bank sentral menggunakan instrumen moneter, dalam melaksanakan kebijakannya.

Bekerjanya kebijakan moneter dilihat dari mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga, kredit, harga aset, nilai tukar, dan ekspektasi inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag setiap jalur berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam perjalanannya, mekanisme transmisi kebijakan moneter berpengaruh terhadap sektor perbankan, keuangan, dan bahkan sektor riil.

Dalam memulai mekanisme transmisi kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan


(17)

moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter.

Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen

Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities

dilakukan atas inisiatif bank.

Dari sisi mekanisme jalur suku bunga dinyatakan bahwa pengaruh suku bunga BI Rate yang ditransmisikan pada suku bunga SBI ke suku bunga PUAB O/N cukup mengalami peningkatan . Hal tersebut terkait dengan aspek positif dari penguatan kerangka operasional termasuk penyempitan koridor suku bunga khususnya sejak awal tahun 2008. Pengaruh dari suku bunga PUAB ke suku bunga simpanan dan kredit serta pengaruh dari suku bunga simpanan terhadap suku bunga kredit tidak sebesar pengaruh BI Rate yang ditransmisikan pada suku bunga SBI terhadap suku bunga PUAB O/N. Hal ini antara lain terkait dengan


(18)

berbagai kondisi mikro yang masih dihadapi pelaku pasar di tengah persepsi terhadap kondisi makroekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascakrisis keuangan global.

Pada pertengahan tahun 2010, jalur suku bunga merupakan lanjutan kebijakan pada tahun 2009 sebagai respons terhadap krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008, jalur suku bunga pada saat itu dimaksudkan masih dapat memberi sinyal kesiagaan dan komitmen untuk menjaga keberlangsungan pasar uang di tengah distribusi likuiditas antarbank yang belum merata. Tujuan utama kebijakan tersebut adalah meningkatkan keyakinan antarpelaku di pasar uang. Pada periode tersebut, efektivitas transmisi kebijakan moneter ke suku bunga pasar uang cukup kuat.

Pada tahun laporan 2010, respons suku bunga kredit dan suku bunga simpanan tidak sebesar respons suku bunga pasar uang terhadap BI Rate. Rigiditas suku bunga kredit antara lain disebabkan oleh berbagai variabel yang mempengaruhi penentuan suku bunga simpanan dan kredit seperti faktor inefisiensi dan kompetisi perbankan. Dalam praktiknya, inefisiensi yang relatif tinggi di industri perbankan nasional cenderung dibebankan pada suku bunga kredit seperti tercermin pada tingginya margin perbankan. Mengingat kompleksitas yang dihadapi, kebijakan suku bunga dilengkapi dengan kebijakan lainnya dalam rangka membantu pencapaian sasaran inflasi dengan tetap konsisten pada pencapaian sasaran makroekonomi lain

Bila dibandingkan dalam perjalanan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar, sistem yang dianut Indonesia sistemnya


(19)

mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perjalanan sistem kurs mengambang terkendali di Indonesia bertahan cukup lama yaitu periode 1977 sampai dengan 1997. Selama periode tersebut pemerintah Indonesia membuat suatu indikator kurs mata uang dengan cara menetapkan spread pada pergerakan kurs di pasar uang. Sampai pada akhirnya terjadi krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang berawal pada bulan Juli 1997, kemudian pemerintah menetapkan sistem nilai tukar mengambang bebas (freely float) pada 14 Agustus 1997, yang artirnya mulai saat itu pemerintah melepaskan pergerakan rupiah pada kekuatan permintaan dan penawaran uang. (Rimsky, 2002).

Pergerakan nilai tukar selama ini mengalami fluktuatif. Dalam periode tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan terutama disebabkan oleh derasnya aliran masuk modal asing. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh keseimbangan interaksi permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik serta fundamental perekonomian domestik yang kuat. Nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak awal tahun dan mencapai level Rp 9.081 per dolar AS atau menguat secara rata-rata sebesar 3,8% dibandingkan dengan akhir tahun 2009. Secara point-to-point rupiah terapresiasi sebesar 4,4%. Apresiasi yang terjadi secara gradual tersebut disertai tingkat volatilitas sebesar 0,4%, lebih rendah dibandingkan volatilitas yang terjadi pada 2009 yaitu 0,9% . Di satu sisi, apresiasi rupiah dapat membantu menurunkan tekanan inflasi melalui penurunan harga barang-barang impor. Di sisi lain, apresiasi rupiah juga berpotensi meningkatkan tekanan pada neraca transaksi berjalan akibat peningkatan impor.


(20)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “ Analisis Perbandingan Peranan Jalur Suku Bunga dan Jalur Nilai Tukar pada Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat saling pengaruh antara variabel dalam penelitian yaitu suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, suku bunga Pasar Uang Antar Bank, suku bunga deposito, suku bunga kredit, investasi, output gap, dan inflasi dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga?

2. Apakah terdapat saling pengaruh antara variabel dalam penelitian yaitu suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, interest rate differentials, capital inflow, nilai tukar,ekspor neto, output gap, dan inflasi dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar?

3. Bagaimana perbandingan peranan mekanisme transmisi kebijakan moneter antara jalur suku bunga dan nilai tukar di Indonesia selama periode penelitian?

1.3 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel dalam penelitian yaitu suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, suku bunga Pasar Uang Antar Bank, suku bunga deposito, suku bunga kredit, investasi, output gap, dan inflasi dalam menstransmisikan kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur suku bunga.


(21)

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel dalam penelitian yaitu suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, interest rate differentials,

capital inflow, nilai tukar, ekspor neto, output gap, dan inflasi dalam menstransmisikan kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar. 3. Untuk mengetahui perbandingan mekanisme transmisi kebijakan moneter

antara jalur suku bunga dan nilai tukar di Indonesia selama periode penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan bagi penulis dalam disiplin ilmu yang ditekuni penulis.

2. Sebagai tambahan informasi dan tambahan literatur bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Sebagai tambahan informasi dan tambahan literatur bagi mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan.

4. Sebagai bahan masukan bagi otoritas moneter dalam kebijakan moneter yang dilaksanakan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Moneter

2.1.1 Pengertian Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (monetary aggregates) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan ekonomi makro yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara, serta faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya. (Warjiyo, 2004)

2.1.2 Target Kebijakan Moneter

Target akhir sebuah kebijakan moneter adalah suatu kondisi ekonomi makro yang ingin dicapai. Target akhir tersebut tidak sama dari satu negara dengan negara lainnya serta tidak sama dari waktu ke waktu. Target kebijakan moneter tidak statis, namun bersifat dinamis karena selalu disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian suatu negara. Akan tetapi, kebanyakan negara menetapkan empat hal yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter, yaitu :

a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, b. Kesempatan kerja,

c. Kestabilan harga, dan

d. Keseimbangan neraca pembayaran.

Idealnya, semua sasaran perekonomian tersebut dapat dicapai secara serentak dan optimal. Namun, karena usaha-usaha untuk mencapai


(23)

sasaran-sasaran tersebut dapat menimbulkan dampak yang kontradiktif, sangat sulit untuk mencapai semua sasaran dengan serempak san optimal.

Menyadari adanya hal yang bertolak belakang tersebut, otoritas moneter biasanya harus memilih berbagai alternatif yang memungkinkan dan menguntungkan. Alternatif pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Alternatif kedua adalah mengupayakan untuk mencapai semua target dengan resiko tidak ada satupun yang tercapai secara optimal. Alternatif ini dipilih dengan alasan karena semua indikator yang menjadi target kebijakan ekonomi itu sama pentingnya.

Betapa pentingnya semua target itu membuat kebijakan moneter yang diambil oleh suatu negara bukanlah sebuah langkah mudah. Namun, sejalan dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah direvisi dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004, tujuan Bank Indonesia telah bersifat tunggal, yaitu menjaga kestabilan harga atau inflasi. (Aulia Pohan, 2008) 2.1.3 Indikator Kebijakan Moneter

Di dalam proses pencapaian sasaran kebijakan moneter, sering dihadapkan dengan gejolak perkembangan perekonomian yang menghambat sasaran yang ditetapkan. Sehubungan dengan itu, diperlukan indikator (sasaran antara) yang dapat memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha pencapaian sasaran akhir yang ditetapkan atau tidak. Indikator tersebut umumnya dua hal, yakni suku bunga dan atau uang beredar. Dengan demikian, kedua variabel tersebut mempunyai dua fungsi, yakni sebagai sasaran menengah dan indikator.


(24)

2.1.3.1 Tingkat Suku Bunga

Kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran antara akan menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi. Apabila suku bunga menunjukkan kenaikan melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter agar suku bunga turun sampai pada tingkat yang ditetapkan tersebut, dan begitu sebaliknya. 2.3.1.2Uang Beredar (Monetary Aggregate)

Kebijakan moneter yang menggunakan monetary aggregate atau uang beredar sebagai sasaran menengah mempunyai dampak positif berupa tingkat harga yang stabil. Apabila terjadi gejolak dalam jumlah besaran moneter, yaitu melebihi atau kurang dari jumlah yang ditetapkan, bank sentral akan melakukan kontraksi atau ekspansi moneter sedemikian rupa sehingga besaran moneter akan tetap pada suatu jumlah yang ditetapkan. (Aulia Pohan, 2008)

2.1.4 Instrumen Kebijakan Moneter

Di dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bank sentral biasanya menggunakan berbagai piranti sebagai instrumen dalam mencapai sasaran. Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.

2.1.4.1 Instrumen Langsung

Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara langsung menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan, ini juga disebut kebijakan moneter yang bersifat kualitatif, diantaranya adalah


(25)

a. Penetapan Suku Bunga

Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Dengan penetapan suku bunga ini, bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan. Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin hari makin tidak effektif. Lagi pula, efektivitas penetapan suku bunga akan sangat tergantung pada penegakan aturan dari pihak regulator, dalam hal ini bank sentral.

Di masa lalu, Indonesia pernah menggunakan instrumen ini sebagai salah satu langkah dalam kebijakan moneternya. Namun, kini sudah tidak lagi. Besaran suku bunga, baik simpanan maupun pinjaman, dilepas ke mekanisme pasar. b. Pagu Kredit

Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang lazim disebut sebagai pagu kredit. Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya diatur oleh otoritas moneter. Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Pagu kredit inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan.

c. Kredit Langsung

Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan proiritas tertentu. Misalnya terkait dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalakkan


(26)

oleh pemerintah. Kredit langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank sentral. Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak efektif dan sangat mahal.

d. Moral Suasion

Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan inbauan moral. Instrumen ini tidak menuntut bank umum untuk menaatinya. Biasanya imbauan moral merupakan pernyataan bank sentral (misalnya oleh Gubernur Bank Indonesia) yang bersifat mengarahkan atau memberi informasi yang lebih bersifat makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam pengelolaan asset dan kewajibannya.

2.1.4.2 Instrumen Tidak Langsung

Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen tidak secara langsung mempengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya jumlah uang beredar dapat dikendalikan, atau disebut kebijakan moneter yang bersifat kuantitatif, diantaranya adalah :

a. Cadangan Wajib Minimum

Cadangan wajib minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar kemampuan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank untuk memberikan pinjaman.


(27)

Memberikan cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk rekening giro di bank sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk yakni cadangan primer dan cadangan sekunder. Yang dimaksud dengan cadangan wajib minimum lebih mengacu kepada cadangan primer. Sementara itu, cadangan sekunder merupakan tambahan, biasanya terdiri atas surat-surat berharga.

Persentase cadangan wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika bank sentral menurunkannya maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat, sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya, jika persentasenya dinaikkan maka daya ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar juga berkurang. (Mandala Manurung, 2004).

b. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter dalam mempengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi, bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank akan meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.

c. Operasi Pasar Terbuka

Operasi Pasar Terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumlah uang beredar


(28)

atau suku bunga jangka pendek. Di Indonesia, salah satu sekuritas yang sering digunakan Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang beredar adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dikeluarkan BI. Kepada setiap pemilik SBI Bank Indonesia memberikan balas jasa berupa pendapatan bunga.

Jika bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang yang beredar, bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga kemampuan bank-bank-bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi moneter. Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-surat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan surat-surat berharga tersebut dapat pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat menambah/mengurangi jumlah uang beredar. (Aulia Pohan, 2008)

2.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Kerangka strategis kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral banyak dipengaruhi oleh keyakinan bank sentral yang bersangkutan terhadap suatu proses tertentu mengenai bagaimana kebijakan moneter berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Proses yang dimaksud dikenal dengan sebutan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Secara spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Mekanisme transimisi moneter dimulai sejak otoritas moneter atau bank sentral bertindak menggunakan instrumen moneter dalam implementasi


(29)

kebijakan moneternya sampai terlihat pengaruhnya terhadap aktivitas perekonomian, baik secara langsung maupun bertahap.

Gambar 2.1 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dalam Black Box

Sumber : Veithzal Rivai, 2007

Mengingat kompleksitasnya, dalam teori ekonomi moneter, mekanisme transmisi kebijakan moneter sering disebut “black box” (Mishkin, 1995), karena transmisi dimaksud banyak dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : (1) perubahan perilaku bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya; (2) lamanya tenggat waktu (time lag) sejak tindakan otoritas moneter sampai pada akhir tercapai; (3) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi dan keuangan di negara yang bersangkutan.

Menurut teori moneter Keynes tradisional, mekanisme transmisi (pemindahan) merupakan mekanisme yang memindahkan dorongan-dorongan dari sektor moneter ke sektor riil. (Dudeley G. Luckett, 1994)

Dalam literatur ekonomi moneter, kajian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter pada awalnya mengacu peranan uang dalam perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Quantity Theory of Money ( Teori Kuantitas Uang). Teori ini pada dasarnya menggambarkan analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan jumlah uang yang beredar dengan inflasi, yang

Kebijakan

Moneter

?

Tujuan Akhir Inflasi


(30)

dinyatakan dalam suatu identitas yang dikenal sebagai “The Equation of Exchange”.

MV = PT

dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan volume output atau transaksi ekonomi secara riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output, yang dihitung dengan harga yang berlaku, ditransaksikan (PT).

Berdasarkan mekanisme transmisi ini, dalam jangka pendek pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil. Selanjutnya, dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga (inflasi), yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam keseimbangan jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil, tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional.

Jalur moneter yang bersifat langsung ini dianggap tidak dapat menjelaskan pengaruh faktor-faktor selain uang terhadap inflasi, seperti suku bunga, nilai tukar, harga aset, kredit, dan ekspektasi. Dalam perkembangan selanjutnya, selain jalur moneter langsung (direct monetary channel), mekanisme transmisi pada umumnya juga dapat terjadi melalui lima jalur lainnya, yaitu interest rate channel


(31)

(jalur harga aset), credit channel (jalur kredit), dan expectation channel (jalur ekspektasi). Dalam praktik, transmisi kebijakan moneter masing-masing negara berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada perbedaan struktur perekonomian, perkembangan pasar keuangan, dan sistem nilai tukar yang dianut. (Warjiyo, 2003)

2.3 Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 2.3.1 Jalur Suku Bunga

Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktifitas ekonomi di sektor riil. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Mekanisme Transmisi Jalur Suku Bunga

Sumber : Veithzal Rivai, 2007

Suku Bunga Deposito

Investasi Konsumsi

Output Gap

Inflasi Suku Bunga

Kredit

Kebijakan Moneter

Suku Bunga - SBI - PUAB

Permintaan Agregat Transmisi di

Sektor Riil

Transmisi di Sektor Keuangan


(32)

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi proses perputaran uang, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Tahap pertama, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek (misalnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Pasar Uang Antar Bank) di pasar uang rupiah. Perkembangan ini selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya. Proses transmisi suku bunga tersebut biasanya tidak berlangsung secara segera, artinya ada tenggat waktu, terutama karena kondisi internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya.

b. Tahap kedua, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi

(substitution effect). Sementara itu, pengaruh suku bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital), di samping yield obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi. Pengaruh melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam ekonomi.


(33)

2.3.2 Jalur Nilai Tukar

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar, sama seperti jalur suku bunga, menekankan pentingnya aspek perubahan harga asset finansial terhadap berbagai aktifitas perekonomian. Dalam kaitan ini, pentingnya jalur nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh asset finansial dalam valuta asing yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Pengaruhnya bukan saja terjadi pada perubahan nilai tukar, tetapi juga pada aliran dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi, antar lain karena aktivitas perdagangan antarnegara dan aliran modal investasi, seperti tercermin pada neraca pembayaran. Selanjutnya, perubahan nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan mempengaruhi kegiatan ekonomi riil di negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian suatu negara yang disertai dengan sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri. Berikut mekanisme transmisinya.

Gambar 2.3 Mekanisme Transmisi Jalur Nilai Tukar

Kebijakan Moneter

Perbedaan Suku Bunga DN-LN

Aliran Modal LN & Supply-Demand Valas

Nilai Tukar

Harga Traded Goods

Ekspor Neto PDB Output Gap

Risiko

Inflasi

Transmisi di Sektor Riil

Transmisi di Sektor Keuangan


(34)

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Pada tahap awal, operasi moneter oleh bank sentral akan mempengaruhi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi sehubungan dengan operasi moneter melalui intervensi, jual atau beli, valuta asing dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan oleh bank sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga dipasar uang dalam negeri sehingga mempengaruhi perbedaan suku bunga didalam negeri dan suku bunga di luar negeri (interest rate differential), yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya aliran dana dari dan ke luar negeri.

b. Pada tahap kedua, perubahan nilai tukar berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi kegiatan ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan harga-harga barang dan jasa.

2.3.3 Jalur Kredit

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit berasumsi bahwa fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, sehingga yang


(35)

lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan. Selain dana yang tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri seperti permodalan (CAR), jumlah kredit macet, Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya karena kondisi keuangan debitur yang dinilai oleh bank tidak feasible

antara lain karena tingginya rasio utang terhadap terhadap modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak simetris antara bank dengan debitur seperti itu menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.

Gambar 2.4 Mekanisme Transmisi Jalur Kredit

NFA Uang Primer NFA Uang Beredar

NCG OPT Reserves (M1, M2)

NCB NOI SB & PUAB

Kredit Modal

Kegiatan Ekonomi kredit modal kerja & investasi

Sumber : Veithzal Rivai, 2007

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam tahapan proses perputaran uang dalam ekonomi, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit adalah sebagai berikut.

a. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan terjadi di pasar uang rupiah. BANK SENTRAL

Pasar Uang Rupiah

PERBANKAN


(36)

moneter untuk pencapaian sasaran operasionalnya baik berupa uang primer ataupun suku bunga jangka pendek, dan di sisi lain bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan likuiditasnya. Interaksi ini akan mempengaruhi tidak saja perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang, tetapi juga besarnya dana yang akan dialokasikan bank dalam bentuk instrumen likuiditas maupun untuk penyaluran kreditnya.

b. Jalur kredit lebih menekankan pentingnya pasar kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak selalu berada dalam kondisi keseimbangan karena adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) atau sebab lain. Dalam kaitan ini, terdapat dua jenis jalur yang mempengaruhi transmisi moneter dari sektor keuangan ke sektor riil, yaitu jalur kredit bank dan neraca perusahaan. Jalur kredit bank lebih menekankan pada perilaku bank yang cenderung melakukan seleksi kredit karena informasi asimetris atau sebab-sebab lain tersebut. Di sisi lain, saluran neraca perusahaan lebih menekankan pada kondisi keuangan perusahaan yang berpengaruh dalam penyaluran kredit, khususnya kondisi leverage

perusahaan. 2.3.4 Jalur Harga Aset

Kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti yield obligasi dan harga saham, maupu harga aset fisik khususnya harga aset properti dan emas. Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasinya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen lainnya di pasar uang rupiah dan valuta


(37)

asing, tetapi juga bentuk obligasi, saham, dan aset fisik. Dengan demikian, perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, saham, dan aset fisik tersebut. Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.5 Mekanisme Transmisi Jalur Harga Aset

Sumber : Veithzal Rivai, 2007

Pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan harga aset selanjutnya akan berdampak pada berbagai aktifitas sektor rill. Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset ini terjadi melalui pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi bagi para investor, baik karena perubahan kekayaan yang dimiliki maupun perubahan tingkat pendapatan yang dikonsumsi yang timbul dari penerimaan hasil penanaman aset finansial dan asset fisik tersebut. Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sektor riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh perusahaan. Hal ini disebabkan oleh perubahan harga aset tersebut, baik yield obligasi, return saham, dan harga set properti, berpengaruh terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan

Kebijakan Moneter Suku Bunga - SBI - PUAB - Deposito - Kredit

Harga Aset Financial - Yield Obligasi - Harga Saham

Harga Aset Fisik Harga Properti Harga Emas Transmisi di Sektor Riil Konsumsi Investasi Permintaan Agregat Output Gap Inflasi Transmisi di Sektor Keuangan


(38)

dalam produksi dan investasi oleh perusahaan. Selanjutnya, pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi tersebut akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi.

2.3.5 Jalur Ekspektasi Inflasi

Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi.

Dalam konteks kebijakan moneter, yang paling diperhatikan adalah ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Teori ekspektasi berpendapat bahwa apabila masyarakat cukup rasional, mereka akan mengambil tindakan untuk mengantisipsi kemungkinan terjadinya inflasi. Tindakan tersebut adalah berupa pengurangan jumlah uang yang mereka pegang dengan membelanjakannya ke dalam bentuk barang-barang riil sehingga risiko kerugian memegang uang karena inflasi dapat dihindari. Berikut mekanisme transmisi jalur ekspektasi.


(39)

Gambar 2.6 Mekanisme Transmisi Jalur Ekspektasi

Sumber : Veithzal Rivai, 2007

Ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga pada gilirannya akan mendorong kenaikan tingkar suku bunga. Apabila suku bunga meningkat lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga, secara riil rate of return atas aset finansial menurun dan penurunan tersebut akan mendorong orang mengalihkan kekayaannya dari bentuk aset finansial ke bentuk aset riil.

2.4 Variabel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dalam Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar

2.4.1 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Suku Bunga SBI dihitung menggunakan metode rata-rata tertimbang dengan membobot suku bunga dengan volume transaksi SBI di masing-masing suku bunga yang tidak melebihi SOR pada setiap periode lelang.

Stop-out Rate (SOR) adalah tingkat diskonto tertinggi yang dihasilkan dari lelang

Kebijakan Moneter Suku Bunga - SBI - PUAB - Deposito - Kredit Nilai Tukar Ekspektasi Inflasi Suku Bunga Riil Pola Pembentukan Harga Permintaan Agregat - Konsumsi - Investasi Permintaan Agregat Output Gap Inflasi Transmisi di Sektor Riil

Transmisi di Sektor Keuangan


(40)

dalam rangka mencapai target kuantitas SBI yang akan diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Suku bunga SBI ditetapkan dengan metode harga tetap (fixed rate) dan harga beragam (variable rate). Suku bunga SBI dengan harga tetap (fixed rate) ditentukan oleh BI dan mengacu pada BI Rate (terhitung mulai Mei 2006 s.d Januari 2008). Suku bunga SBI dengan harga beragam (variable rate) dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang (digunakan mulai Januari 1998 s.d April 2006 dan berlaku kembali sejak Februari 2008 s.d sekarang).

2.4.2 Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Pasar Uang Antar bank (PUAB) merupakan kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya. bank yang kelebihan dana (surplus unit) akan meminjamkan dananya kepada bank yang kekurangn dana (deficit unit). Sebagai kompensasi, bank pemberi pinjaman akan mengenakan suku bunga tertentu. Suku bunga itulah yang disebut suku bunga pasar uang antar bank.

Secara umum jangka waktu pinjam meminjam ini berlangsung dalam waktu relaitf pendek. Biasanya transaksi di pasar uang antarbank berjangka waktu satu hari (overnight), hingga 90 hari. Pasar uang antar bank diperlukan oleh bank-bank untuk menutupi kekurangan dana jangka pendek (mismatch). Dapat dikatakan bahwa pasar uang antar bank adalah “deposit market” di mana bank-bank yang memiliki kelebihan dana menempatkan dananya pada bank-bank yang memerlukan. PUAB terdiri dari PUAB Rupiah Pagi, PUAB Rupiah Sore, dan PUAB valas.


(41)

Suku bunga PUAB Overnight (O/N) adalah suku bunga PUAB dengan tenor 1 hari pada periode akhir bulan yang dihitung menggunakan metode rata-rata tertimbang pada periode yang bersangkutan. Suku bunga PUAB Keseluruhan adalah suku bunga PUAB seluruh tenor pada periode akhir bulan yang dihitung menggunakan metode rata-rata tertimbang pada periode yang bersangkutan. 2.4.3 Suku Bunga Deposito

Menurut teori klasik tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga dimana pergerakan tingkat bunga pada perekonomian akan mempengaruhi tabungan yang terjadi. Berarti keinginan masyarakat untuk menabung sangat bergantung pada tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga, semakin besar keinginan masyarakat untuk menabung atau masyarakat akan terdoron untuk mengorbankan pengeluarannya guna menambah besarnya tabungan. Jadi, tngkat bunga menurut klasik adalah balas jasa yang diterima seseorang karena menunda konsumsinya. Pendapat klasik ini didasarkan kepada hukum Say (pendapat Baptis Say) bahwa penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri.

Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima seseorang karena orang tersebut tidak menimbun uang atau balas jasa yang diterima seseorang karena orang tersebut mengorbankan liquidity preferencenya. Makin besar liquidity preference seseorang makin besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, maka makin besar tingkat bunga yang diterima orang tersebut bilamana dia meminjamkan uang tersebut kepada orang lain.

Pengaruh penambahan jumlah uang beredar akan mempengaruhi tingkat bunga yang terjadi. Dimana penambahan uang beredar tersebut dilakukan melalui


(42)

kebijakan moneter. Keynes mengatakan suku bunga merupakan fenomena moneter yang ditentukan perpotongan antara skedul permintaan uang dan jumlah uang beredar. (Mulia Nasution, 1998). Dalam hal perbankan, suku bunga deposito adalah suku bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank.

2.4.4 Suku Bunga Kredit

Suku bunga kredit adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Adapun komponen dalam menentukan suku bunga kredit antar lain sebagai berikut :

2.4.4.1Total biaya dana

Merupakan total bunga yang dikeluarkan oleh bank untuk memperoleh dana simpanan baik dalam bentuk simpanan giro, tabungan maupun deposito. Semakin besar bunga yang dibebankan terhadap bunga simpanan, semakin tinggi pula biaya dananya demikian sebaliknya.

2.4.4.2Biaya operasi

Dalam melakukan setiap kegiatan setiap bank membutuhkan berbagai sarana dan prasarana baik berupa manusia maupun alat. Penggunaan sarana dan prasarana baik manusia maupun alat. Penggunaan sarana dan prasarana ini memerlukan sejumlah biaya yang yang harus ditanggung bank sebagai biaya operasi.

2.4.4.3Cadangan risiko kredit macet

Merupakan cadangan terhadap macetnya kredit yang akan diberikan, hal ini disebabkan setiap kredit yang diberikan pasti menanggung suatu risiko yang


(43)

tidak berbayar. Oleh karena itu, pihak bank perlu mencadangkannya sebagai sikap bersiaga menghadapinya dengan cara membebankan sejumlah persentase tertentu terhadap kredit yang akan disalurkan.

2.4.4.4Laba yang diinginkan

Setiap kali melakukan transaksi bank selalu ingin memperoleh laba yang maksimal. Penentuan ini ditentukan oleh beberapa pertimbangan penting, mengingat penentuan besarnya laba sangat mempengaruhi besarnya bunga kredit.

2.4.4.5Pajak

Pajak merupakan kewajban yang dibebankan pemerintah kepada bank yang memberikan fasilitas kredit kepada nasabahnya. (Kasmir, 2008)

2.4.5 Investasi

Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam pendapatan nasional. Teori investasi pada umumnya hendak menjelaskan faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi investasi. (Nopirin, 1987)

Teori tentang investasi yang dikemukakan oleh oleh para pakar ekonomi diantaranya adalah teori Keynes. Teori ini membahas tentang anggaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Keynes mengatakan bahwa untuk memengaruhi jalannay perekonomian, pemerintah dapat memperbesar anggaran pengeluaran saat perekonomian mengalami kelesuan sehingga lapangan pekerjaan meningkat dan akhirnya pendapatan riil masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Perubahan yang diakibatkan oleh pengeluaran pemerintah akan berpengaruh pada besarnya pendapatan nasional selanjutnya akan menimbulkan


(44)

perubahan pada golongan pengeluaran tertentu dan pada akhirnya pendapatan nasional akan bertambah.

Investasi mempunyai peran penting dalam perekonomian suatu negara. Alasan yang pertama, investasi mampu menciptakan pendapatan dan kedua investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal. (Irham Fahmi, 2006)

Mankiw, 2000 menyatakan bahwa meningkatkan investasi menjadi salah satu cara pemerintah untuk mendorong pertumbuhan, dan dalam jangka panjang menaikkan standar hidup sebuha negara. Negara-negara yang mencurahkan sebagian besar GDP untuk investasi, seperti Singapura dan Jepang, cenderung memiliki laju pertumbuhan yang tinggi.

Faktor-faktor yang menentukan tingkat investasi adalah : 2.4.5.1Tingkat bunga

Tingkat bunga sangat berperan dalam menentukan tingkat investasi yang terjadi dalam suatu negara. Kalau tingkat bunga rendah, maka tingkat investasi yang terjadi akan tinggi, karena kredit dari bank masuh menguntungkan untuk mengadakan investasi. Begitu juga sebaliknya bila tingkat bunga tinggi, maka investasi dari kredit bank tidak menguntungkan.

2.4.5.2Marginal Efficiency of Capital (MEC)

MEC merupakan salah satu konsep yang dikeluarkan Keynes untuk menentukan tingkat investasi yang terjadi dalam suatu perekonomian. MEC merupakan tingkat keuntungan yang diharapkan dari investasi yang dilakukan. Bila keuntungan yang diharapkan (MEC) lebih besar dari tingkat suku bunga yang


(45)

berlaku secara riil, maka investasi akan dilakukan. Bila keuntungan yang diharapkan (MEC) lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku secara riil, maka investasi tidak akan dijalankan. Bila MEC yang diharapkan sama dengan tingkat bunga secara riil, maka pertimbangan untuk mengadakan investasi sudah dipengaruhi oleh faktor lain.

2.4.5.3Peningkatan Aktifitas Perekonomian

Harapan adanya peningkatan aktifitas perekonomian di masa mendatang, merupakan salah satu faktor penentu untuk mengadakan investasi atau tidak. Faktor ini merupakan pertimbangan yang diperhitungkan para investor bila ingin mengadakan investasi.

2.4.5.4Kestabilan politik suatu negara

Kestabilan politik suatu negara merupakan satu pertimbangan yang sangat penting untuk mengadakan investasi. Kestabilan politik meningkatkan keyakinan investor untuk mengadakan investasi ke dalam negeri.

2.4.6 Nilai Tukar

Nilai tukar suatu mata uang didefenisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai tukar, yaitu : (1) fixed exchange rate ‘sisem nilai tukar tetap’, (2) managed floating exchange rate ‘sistem nilai tukar mengambang tekendali’, dan (3) flating exchange rate ‘sistem nilai tukar mengambang’. Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu mata uang terhadap mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu. Pada nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilaii tukar yang ditetapkan. Apalagi


(46)

nilai tukar tersebut tidak lagi dapat dipertahankan, maka bank sentral dapat melakukan devaluasi ataupun revaluasi atau nilai tukar yang ditetapkan.

Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan menguat apabila terjadi kelebihan penawaran di atas permintaan, dan sebaliknya nilai tukar akan melemah apabila terjadi kelebihan permintaan di atas penawaran yang ada di pasar valuta asing. Bank sentral dapat saa melakukan intervensi di pasar valuta asing, yaitu dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan pasokan atau membeli devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi, intervensi dimaksud tidak diarahkan untuk mencapai target tingkat nilai tukar tertentu atau dalam kisaran tertentu.

Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem yang berada di antara kedua sistem nilai tukar di atas. Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral membuat batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar yang disebut

intervention band ‘batas pita intervensi’. Nilai tukar akan ditentukan sesuai mekanisme pasar sepanjang berada dalam batas kisaran pita intervensi tersebut. Apabila niai tukar menembus batas atas atau batas bawah dari kisaran tersebut, bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di pasar valuta asing sehingga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi.

Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan nonfundamental. Faktor fundamental tercermin dari variabel-variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, perkembangan ekspor impor,


(47)

dan sebagainya. Sementara itu, faktor nofundamental antara lain berupa sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi para pelaku pasar dalam “memperhitungkan” informasi, rumors, atau perkembangan lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari. (Warjiyo, 2004)

2.4.7 Capital Inflow

Capital Inflow merupakan bagian dari transaksi modal. Transakasi modal biasanya berada pada necara pembayaran. Yang termasuk transaksi modal adalah : 2.4.7.1Transaksi modal jangka pendek, meliputi :

a. Kredit untuk perdagangan dari negara lain (transaksi kredit) atau kredit perdagangan yang diberikan kepada penduduk negara lain (transaksi debet). b. Deposito bank di luar negeri (transaksi debet) atau deposito bank di dalam

negeri milik penduduk negara lain (transaksi kredit).

c. Pembelian surat berharga lur negeri jngka pendek (transaksi debet) atau penjualan surat berharga dalam negeri jangka pendek kepada penduduk negara lain (transaksi kredit).

2.4.7.2 Transaksi modal jangka panjang, meliputi :

a. Investasi langsung di luar negeri (transaksi debet) atau investasi asing dalam negeri (transaksi kredit)

b. Pembelian surat-surat berharga jangka panjang milik penduduk negara lain (transaksi debet) atau pembelian surat-surat berharga jangka panjang dalam negeri oleh penduduk asing (transaksi kredit).


(48)

c. Pinjaman jangka panjang yang diberikan kepada penduduk negara lain (transaksi debet) atau pinjaman jangka panjang yang diterima dari penduduk negara lain (transaksi kredit).

Jadi, setiap transaksi modal yang menyebabkan kenaikan (penurunan) kekayaan suatu negara di luar negeri merupakan aliran modal keluar (masuk) atau merupakan transaksi debet (kredit). Demikian juga transaksi modal yang menyebabkan kenaikan (penurunan) kekayaan asing di dalam negeri merupakan aliran modal masuk (keluar) atau merupakan transaksi debet (kredit). (Nopirin, 1987)

2.4.8 Interest Rate Differentials (Perbedaan suku bunga dalam negeri dengan suku bunga internasional)

Interest rate differentials yang dimaksud dalam hal ini adalah selisih antara suku bunga dalam negeri dengan suku bunga internasional. Di Indonesia, penurunan dan kenaikan tingkat bunga di dalam negeri ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk mengupayakan perbedaan selisih antara tingkat suku bunga domestik dengan suku bunga internasional. Berada pada tingkat yang wajar, guna mengurangi ekspansi moneter yang berasal dari aliran modal masuk, terutama yang berjangka pendek.

Perubahan suku bunga internasional relatif beresiko dan juga mempunyai potensi besar dalam mempengaruhi tingkat potensi besar dalam mempengaruhi investasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa pengeluaran untuk investasi pada umumnya adalah inelastis terhadap tingkat bunga. Fakta ini adalah disebabkan


(49)

bunga merupakan pinjaman bagi peran investor pada perbankan internasional. Oleh karena itu, suku bunga memiliki pengaruh terhadap penanaman modal asing.

Mobilitas arus modal luar negeri di Indonesia pada umumnya, selain didorong oleh tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia, juga sangat terkait dengan besarnya tingkat kepercayaan investor terhadap fundamental perekonomian dan perbedaan suku bunga dalam negeri (interst rate) yang cukup tinggi.

Suku bunga LIBOR (London Inter Bank Offering Rate) merupakan suku bunga internasional yang digunakan sebagai suku bunga perkiraan antar bank di negara yang berbeda. Suku bunga ini memiliki jangka waktu antara 1, 3, 6 bulan dan 1 tahun. Pergerakan suku bunga ini sesuai dengan pergerakan pasar uang, yang mengikuti kondisi ekonomi dunia. Suku bunga LIBOR merupakan suku bunga yang digunakan oleh bank – bank di dunia jika jenis surat atau jenis tabungan itu didominasi oleh mata uang asing atau dalam bentuk US$. Suku bunga yang diberikan atas jenis tabungan atau surat berharga ini juga akan diukur sesuai dengan pergerakan nilai US$.

2.4.9 Ekspor Neto

Transaksi barang dan jasa merupakan transaksi yang meliputi ekspor maupun impor barang-barang dan jasa, disebut pula transaksi berjalan. Ekspor barang meliputi barang-barang yang bisaa dilihat secara fisik, seperti minyak, kayu, tembakau, timah. Ekspor jasa seperti penjualan jasa-jasa angkutan, turisme dan asuransi. Dalam transaksi jasa ini, termasuk juga pendapatan dari investasi kapital di luar negeri. Ekspor barang-barang dan jasa merupakan transaksi kredit


(50)

sebab transaksi ini menimbulkan hak untuk menerima pembayaran (menyebabkan terjadinya aliran dana masuk). Impor barang meliputi misalnya : barang-barang konsumsi, bahan mentah untuk industri dan kapital; sedang impor jasa meliputi pembelian jasa-jasa dari negara-negara lain. Termasuk dalam impor jasa adalah pembayaran pendapatan (bunga, dividen, atau keuntungan) untuk modal yang ditanam di dalam negeri oleh penduduk negara lain. Impor barang-barang dan jasa merupakan transaksi debet sebab transaksi ini menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada penduduk negara lain (menyebabkan aliran dana keluar negeri).

Transaksi yang sedang berjalan mempunyai arti khusus. Surplus transaksi yang sedang berjalan menunjukkan bahwa ekspor lebih besar dari impor. Ini berarti bahwa suatu negara mengalami akumulasi kekayaan valuta asing, sehingga mempunyai saldo positif dalam investasi luar negeri. Sebaliknya defisit dalam transaksi yang sedang berjalan berarti impor lebih besar dari ekspor, sehingga terjasi pengurangan inveatasi luar negeri. Dengan demikian, transaksi yang sedang berjalan sangat erat hubungannya dengan penghasilan nasional, sebab ekspor dan impor merupakan komponen penghasilan nasional. Hal ini dapat dilihat dari persamaan penghasilan nasional sebagai berikut ini :

Y = C + I + G + X – M dimana :

Y = penghasilan nasional C = pengeluaran konsumsi I = pengeluaran investasi G = pengeluaran pemerintah

(X-M) = net ekspor / neraca perdagangan


(1)

9 6547.387 3.671122 15.43055 4.216474 33.92543 20.59596 19.53716 2.623303 10 6826.120 3.387421 15.67744 3.971216 33.22825 18.94864 22.36833 2.418700 Variance

Decompo sition of OUTPUT GAP:

Period S.E. RSBI RPUAB RDEPOSITO RKREDIT INVESTASI OUTPUTGAP INFLASI 1 23505.80 9.926510 0.007109 0.003986 25.80148 1.376080 62.88484 0.000000 2 34503.52 4.860148 0.867405 2.760341 33.98726 9.074739 47.09521 1.354898 3 41819.19 3.600922 1.626576 2.035270 48.81168 9.516585 32.50629 1.902673 4 48446.93 3.409940 8.729721 1.717966 53.04483 7.151888 24.22166 1.724001 5 55354.15 3.247548 11.22637 1.806932 55.83203 5.552112 20.17131 2.163689 6 63854.56 2.875776 11.30545 2.104562 58.08442 6.053480 16.96182 2.614489 7 70897.58 2.427024 10.72614 2.047806 61.22143 6.478798 13.81657 3.282238 8 76402.57 2.089879 12.14759 1.871676 62.67387 5.771771 11.91482 3.530381 9 81627.31 1.844390 13.13393 1.803079 62.97325 5.174193 11.44789 3.623265 10 87611.70 1.618807 12.92906 1.809493 63.09822 5.462591 11.59471 3.487122 Variance

Decompo sition of INFLASI:

Period S.E. RSBI RPUAB RDEPOSITO RKREDIT INVESTASI OUTPUTGAP INFLASI 1 1.931597 43.88674 1.891347 0.205421 4.132745 6.856963 0.146485 42.88030 2 2.616161 53.07443 10.13699 0.396545 2.485829 4.171744 0.905542 28.82892 3 2.839462 45.91748 20.26257 0.342646 3.254695 3.868847 1.520235 24.83353 4 3.153764 45.23813 23.11814 0.522737 4.013376 3.136139 1.885418 22.08606 5 3.492772 44.70540 22.58785 0.896880 4.090514 2.675465 5.507333 19.53655 6 3.659852 42.88424 23.64378 1.075579 3.934321 2.524244 8.010653 17.92719 7 3.728613 42.01208 23.30148 1.121093 3.818582 2.843415 8.086952 18.81640 8 3.740333 41.85348 23.21686 1.178974 3.802047 2.830592 8.044578 19.07348 9 3.772607 41.81378 23.35015 1.159659 3.987006 3.025716 7.913046 18.75065 10 3.853845 42.82163 22.65264 1.234691 4.759464 2.899498 7.658874 17.97320 Cholesky

Ordering: RSBI RPUAB RDEPOSI

TO RKREDIT INVESTA

SI OUTPUT

GAP INFLASI


(2)

7.2 Jalur Nilai Tukar

Variance Decompos ition of

RSBI:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 0.690839 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 1.073651 80.60479 12.31579 0.081099 1.298747 1.049504 2.674837 1.975233 3 1.262220 65.23786 14.57002 3.605915 1.342270 1.974650 1.998881 11.27041 4 1.443539 50.78682 11.78982 12.63962 2.339347 1.541577 4.826730 16.07609 5 1.564516 43.26920 10.41437 15.27740 6.443275 1.847980 7.626276 15.12149 6 1.614052 41.64503 10.22703 14.88183 7.566318 3.362387 8.103644 14.21376 7 1.670167 42.93529 9.720052 13.95895 7.066508 4.716267 8.000615 13.60232 8 1.730706 43.88008 9.057446 13.01389 6.823228 5.503836 7.781176 13.94035 9 1.771919 43.12627 8.667731 12.46706 7.018990 6.231661 7.513537 14.97475 10 1.796983 41.95285 8.486717 12.24152 7.842298 6.602989 7.307936 15.56569 Variance

Decompos ition of

IRD:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 0.875611 44.94130 55.05870 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 1.186980 53.20113 34.07097 1.354722 5.900589 5.305892 0.046119 0.120581 3 1.468179 42.81718 25.03057 1.444561 13.35626 11.89607 0.549557 4.905799 4 1.683296 34.69352 23.65118 1.218428 15.13371 11.36674 0.714406 13.22202 5 1.786268 31.05138 22.09672 1.146555 18.91245 10.77785 1.645331 14.36971 6 1.850063 29.74591 20.62983 1.863564 22.64048 10.08298 1.557866 13.47938 7 1.931699 31.06599 18.98456 3.875676 22.04232 9.387725 1.750902 12.89282 8 1.997245 32.60066 17.78346 5.456381 20.68719 8.812747 1.848906 12.81066 9 2.052227 32.14891 16.92242 6.480954 20.53017 8.346864 2.184027 13.38666 10 2.100683 30.77760 16.44363 7.081717 21.29214 7.972780 2.886700 13.54544 Variance

Decompos ition of CAPIN:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 908.1317 1.311908 5.102517 93.58558 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 1027.501 1.288202 4.956694 73.14641 2.123180 0.002665 8.215742 10.26711 3 1123.411 1.164855 6.563515 63.15700 11.46280 0.156652 6.872808 10.62237 4 1211.950 4.569139 9.247539 56.34387 11.88001 1.998408 6.458966 9.502065 5 1296.027 9.755849 9.150149 50.71700 10.44169 2.548626 5.834062 11.55262 6 1333.164 12.50853 8.733202 47.95810 10.11888 2.896065 5.551520 12.23370 7 1352.871 12.45047 8.500239 46.62543 12.13272 2.817562 5.439895 12.03368 8 1376.201 12.10680 8.294988 45.08469 14.46032 2.885060 5.486878 11.68126 9 1388.404 12.17380 8.247164 44.32928 15.12547 2.927770 5.719026 11.47749 10 1394.597 12.36443 8.175557 44.13299 15.03108 3.063751 5.789459 11.44273


(3)

Variance Decompos ition of NT:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 526.2069 5.408820 16.26060 2.014089 76.31649 0.000000 0.000000 0.000000 2 700.2673 9.687013 21.29307 2.602027 64.08511 1.416181 0.326137 0.590458 3 788.5665 9.587840 17.37038 8.203754 56.30262 5.550780 0.854978 2.129641 4 836.3489 8.878993 15.66842 11.23178 50.08734 6.762615 0.853497 6.517368 5 841.2484 8.779707 15.56708 11.28966 49.60181 6.688521 1.005458 7.067761 6 856.9254 8.873898 15.72119 10.96228 49.07378 6.700433 1.010797 7.657617 7 874.6089 9.889050 15.32638 10.92904 47.38747 6.799252 1.342418 8.326390 8 882.9864 10.56315 15.10888 10.99957 46.93747 6.734212 1.361124 8.295590 9 891.1513 10.41194 15.13663 10.82997 47.46150 6.612693 1.339333 8.207929 10 899.4652 10.31350 15.39724 10.63501 47.61943 6.558469 1.349736 8.126613 Variance

Decompos ition of EKSPORN

ETO:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 4011.869 15.81900 1.097153 0.315167 6.500637 76.26805 0.000000 0.000000 2 5213.231 9.368994 18.84760 3.974459 11.37381 45.69080 2.899542 7.844804 3 6046.000 12.12592 15.93446 8.446112 8.546869 39.79228 7.001457 8.152913 4 6441.802 10.72618 16.41323 7.446155 7.534242 35.05552 6.918631 15.90604 5 6870.938 11.97691 14.53974 6.704258 10.97339 30.96430 7.052795 17.78861 6 7154.608 11.06720 18.20870 6.924174 10.68205 28.75705 7.235287 17.12554 7 7349.670 12.91158 17.96018 6.719837 10.37486 27.35207 8.121103 16.56037 8 7439.009 14.63899 17.67781 6.657815 10.15294 26.69956 7.927941 16.24494 9 7492.537 14.81746 17.50510 6.565583 10.51917 26.72851 7.831257 16.03291 10 7612.419 14.50413 17.66704 6.646492 11.20269 25.96967 8.386011 15.62396 Variance

Decompos ition of OUTPUTG

AP:

Period S.E. RSBI IRD CAPIN NT EKSPORNETO OUTPUTGAP INFLASI 1 30598.93 1.497274 16.34905 2.605667 19.18329 21.16295 39.20177 0.000000 2 41748.68 1.846739 15.50957 1.446785 24.08664 20.31450 35.47345 1.322305 3 47724.99 3.074079 16.63626 1.956310 22.52518 20.67883 31.68252 3.446818 4 51949.96 3.860949 18.85331 2.010241 20.93216 20.43124 30.63688 3.275207 5 57854.11 5.524388 21.88854 1.627170 19.67114 18.07421 30.56226 2.652299 6 65217.90 8.353735 23.20367 1.280694 20.45130 15.47605 29.13788 2.096661 7 72771.60 10.52265 23.88300 1.090977 22.09625 13.52420 27.19251 1.690404 8 79978.08 11.32175 24.76483 0.957967 23.60749 11.93446 25.96127 1.452222 9 87353.63 11.19600 25.50616 0.853230 25.42622 10.57452 25.19097 1.252906 10 94740.34 10.75434 26.09303 0.881208 27.13100 9.641632 24.42645 1.072346 Variance

Decompos ition of INFLASI:


(4)

1 2.141357 45.51873 1.518191 1.099743 0.284660 8.961532 0.118727 42.49842 2 3.040849 52.94294 3.890330 3.099355 2.276440 5.603048 1.036624 31.15126 3 3.500883 43.85259 13.97874 8.611132 2.331002 4.228135 0.782966 26.21543 4 3.736818 39.19764 13.76639 12.02440 4.808517 4.227954 1.327643 24.64746 5 3.961255 37.88899 12.34771 13.99233 5.933769 4.408201 3.214225 22.21478 6 4.079044 38.92121 11.87255 13.34626 5.736433 5.045357 3.970809 21.10737 7 4.226652 39.25729 11.44540 12.55510 6.319596 6.126456 3.718281 20.57788 8 4.390569 38.52787 10.82907 11.65743 8.165582 6.746022 3.447188 20.62684 9 4.481492 37.52353 10.42605 11.21136 9.251349 6.829029 3.321886 21.43679 10 4.511918 37.07878 10.31461 11.07054 9.800159 6.808781 3.292166 21.63496 Cholesky

Ordering: RSBI IRD CAPIN NT EKSPORN

ETO OUTPUTG

AP INFLASI


(5)

Lampiran 8

Hasil

Impulse Response Function

8.1 Jalur Suku Bunga

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to R SBI

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to R PU AB

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to R D EPO SITO

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to R KR ED IT

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to IN VESTASI

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to O U TPU TG AP

-1 0 1

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R SBI to IN FL ASI

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to R SBI

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to R PU AB

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to R D EPO SITO

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to R KR ED IT

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to IN VESTASI

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to O U TPU TG AP

-2 -1 0 1 2

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R PU AB to IN FL ASI

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to R SBI

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to R PU AB

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to R D EPO SITO

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to R KR ED IT

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to IN VESTASI

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to O U TPU TG AP

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R D EPO SITO to IN FL ASI

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to R SBI

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to R PU AB

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to R D EPO SITO

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to R KR ED IT

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to IN VESTASI

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to O U TPU TG AP

-.50 -.25 .00 .25 .50

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f R KR ED IT to IN FL ASI

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to R SBI

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to R PU AB

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to R D EPO SITO

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to R KR ED IT

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to IN VESTASI

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to O U TPU TG AP

-4,000 0 4,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN VESTASI to IN FL ASI

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to R SBI

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to R PU AB

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to R D EPO SITO

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to R KR ED IT

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to IN VESTASI

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to O U TPU TG AP

-80,000 -40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f O U TPU TG AP to IN FL ASI

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to R SBI

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to R PU AB

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to R D EPO SITO

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to R KR ED IT

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to IN VESTASI

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to O U TPU TG AP

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 R e s p o n s e o f IN FL ASI to IN FL ASI Res pons e to Choles ky One S.D. Innovations ± 2 S.E.


(6)

8.2 Jalur Nilai Tukar

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to RS B I

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to IRD

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to CA P IN

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to NT

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to E K S P ORNE TO

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to OUTP UTGA P

-0.5 0.0 0.5 1.0

2 4 6 8 10 Response of RS B I to INFLA S I

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to RS B I

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to IRD

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to CA P IN

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IR D to NT

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to E K S P ORNE TO

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to OUTP UTGA P

-1 0 1

2 4 6 8 10 Response of IRD to INFLA S I

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to RS B I

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to IRD

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to CA P IN

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to NT

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to E K S P ORNE TO

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to OUTP UTGA P

-800 -400 0 400 800 1,200

2 4 6 8 10 Response of CA P IN to INFLA S I

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to RS B I

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to IR D

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to CA P IN

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to NT

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to E K S P ORNE TO

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to OUTP UTGA P

-800 -400 0 400 800

2 4 6 8 10 Response of NT to INFLA S I

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to RS B I

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to IRD

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to CA P IN

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to NT

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to E K S P ORNE TO

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to OUTP UTGA P

-5,000 -2,500 0 2,500 5,000

2 4 6 8 10 Response of E K S P ORNE TO to INFLA S I

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to RS B I

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to IRD

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to CA P IN

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OU TP UTGA P to NT

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to E K S P ORNE TO

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to OUTP UTGA P

-40,000 0 40,000

2 4 6 8 10 Response of OUTP UTGA P to INFLA S I

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to RS B I

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to IRD

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to CA P IN

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to NT

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to E K S P ORNE TO

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to OUTP UTGA P

-4 -2 0 2 4

2 4 6 8 10 Response of INFLA S I to INFLA S I Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.