Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap Semua Bangunan Bertingkat

(1)

TINJAUAN YURIDIS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP SEMUA

BANGUNAN BERTINGKAT

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM: 080200144 ERNY SUCIAPRIYANTI

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap Semua Bangunan Bertingkat

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

ERNY SUCIAPRIYANTI 080200144

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen HAN Ketua PK. Hukum Agraria

Suria Ningsih, SH.,MHum.

NIP : 19600214 198703 2 002 NIP : 19611231 198703 1 023

Prof. M.Yamin, SH.,MS.,CN.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. M.Yamin, SH.,MS.,CN.

NIP : 19611231 198703 1 023 NIP. 19571120 198601 1 002

Affan Mukti, SH., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim,

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang begitu besar sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktunya.

Judul skripsi ini adalah : “TINJAUAN YURIDIS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP SEMUA BANGUNAN BERTINGKAT” yang disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi S – 1 Program Ilmu Hukum dengan konsentrasi Hukum Agraria pada Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selanjutnya, terima kasih dan penghargaan disampaikan setulusnya kepada 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., MH., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

5. Ibu Surianingsih, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

6. Ibu Zaidar, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

7. Bapak Prof. Yamin, SH., MS.,CN, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus


(4)

Dosen Pembimbing I, terima kasih atas waktu, pikiran dan nasehat – nasehat bermanfaat yang diberikan dalam bimbingan penyelesaian skripsi ini,

8. Bapak Affan Mukti, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II terima kasih atas waktu, nasehat – nasehat yang berguna dan bimbingannya dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Terima kasih dan sayang yang terdalam saya sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta, Bapak Kuswadi, S.E dan Ibu Nani Sumaryani, yang telah tanpa lelah menyayangi saya dan selalu mendukung baik secara materil maupun immateril, mendo’akan, serta menasehati dalam penulisan skripsi saya.

10.Bapak Dr. Dedi Harianto SH., M.Hum selaku dosen pembimbing Akademik, terima kasih atas nasehat dan contoh teladan yang baik bagi saya.

11.Terima kasih kepada seluruh dosen pengajar Program Kekhususan Hukum Agraria yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Terima kasih kepada seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang telah diberikan dan pengalaman yang dibagi melalui kuliah – kuliah yang telah menginspirasi dlam penulisan skripsi ini.

13.Terima kasih kepada teman-teman sejurusan, Fadhila Soraya dan Agustina yang memberikan semangat dalam kuliah dan diskusi bersama.

14.Terima kasih kepada Rizki Wirdatul Husna, Fikka Habbina, Fatiya Rochimah, Lidya Rahmadhani dan, Berliana Nasution orang – orang hebat di masa depan, terima kasih untuk saling mengingatkan dan saling memberi semangat. Uhibbukifillah, ukhties.

15.Terima kasih kepada kakak – kakak senior yang sangat saya kagumi dan memotivasi saya selama ini, Beby Suryani, SH. Windy Sriwahyuni, SH. Mayasari Atmo, SH. Agmalun Hasugian, SH. Miftah Farid, SH. Ferdiansyah, SH. Sudirman Naibaho, SH. Inda Dian Maya Sari, SH.


(5)

16.Terima kasih kepada pengurus BTM Aladdinsyah SH, Fachurozy Affandy, Alia Falisha, Fitri Kesuma Zebua, Putri Rizkita, Adharry Kurniawan, Fachrurozy Nasution, Lia Nuraini, Yohana, Dian Novita Sari dan segenap pengurus stambuk 2008 dan 2009.

17.Terima kasih kepada adik-adik tercinta yang soleh, Priawan Harmasandi Raharjo, Dowang Fernando, Dwi Pranoto, Benni Iskandar, M. Ikhsan An Auali, M. Fauzi Habibullah, Fajrian Siregar, M. Reza WinataShanditya. Dan soleha, Arija br Ginting, Elly Syahfitri, Natasya Siregar, Dwi Susilawati, Syaravina Lubis, Wilda Yanti, Syahariska Dina, Kusuma Ambarwati, Solatia Nasution, segenap kabinet cappucino BTM Aladdinsyah, SH. Barakallah, ya dek.

18.Terima kasih kepada seluruh teman – teman di stambuk 2008.

19.Terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam pengerjaan skripsi ini.


(6)

TINJAUAN YURIDIS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP SEMUA

BANGUNAN BERTINGKAT

Prof. M.Yamin, SH.,MS.,CN.1 Affan Mukti, SH., M.Hum.2

Erny Suciapriyanti3

1

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

2

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

3

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ABSTRAK

Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman serta dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan permukiman, maka pembangunan rumah lebih diarahkan dalam bentuk vertikal yang kerap dinamakan rumah susun. Pada awalnya, rumah susun memang diperuntukkan untuk hunian. Namun, seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya jumlah penduduk maka peruntukkan rumah susun tidak hanya untuk hunian akan tetapi juga diperuntukkan untuk bukan hunian. Akibatnya, banyak bangunan bertingkat yang fungsinya bukanlah untuk hunian seperti hotel, kondominium, shopping mall, dan bangunan bertingkat lain yang bukan hunian mendapatkan status hak sebagai rumah susun. Kini, setelah lahirnya Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mencabut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sebelumnya kebutuhan akan rumah susun bukan hunian tidak lagi diakomodir. Maka dari itu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun status terhadap rumah susun yang bukan hunian perlu dipertanyakan kembali.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan membandingkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan fakta di lapangan dalam hal ini mengambil wilayah Kota Medan. Dari penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran bahan-bahan kepustakaan serta melalui wawancara terstruktur.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pembangunan bangunan bertingkat yang fungsinya bukan hunian masih tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lama mengingat belum ada peraturan pelaksana yang lahir dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Dengan demikian disarankan agar peraturan pelaksana tersebut segera dibentuk agar persoalan mengenai bangunan bertingkat bukan hunian dapat segera diakomodir.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN……….. i

KATA PENGANTAR……….. ii

ABSTRAK……… v

DAFTAR ISI ……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Perumusan Masalah……… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….. 8

D. Keaslian Penulisan ………. 9

E. Tinjauan Kepustakaan ……… 9

F. Metode Penelitian ……….. 11

G. Sistematika Penulisan……….. 14

BAB II RUMAH SUSUN DAN BANGUNAN BERTINGKAT A. Konsep Dasar Sistem Rumah Susun ………. 16

1. Pengertian Rumah Susun ………. 16

2. Asas-Asas Pembangunan Rumah Susun ……... 23

3. Tujuan Pembangunan Rumah Susun……… 26

4. Penerapan Asas Dalam Hukum Tanah Pada Konsep Rumah Susun……… 30

B. Definisi dan Klasifikasi Bangunan Bertingkat serta Batasan Rumah Susun………. 34


(8)

C. Perbedaan dan persamaan Bangunan Bertingkat Rumah Susun (hunian) dan Bangunan Bertingkat

Tempat Usaha Bersusun (bukan hunian) …………... 38

BAB III BANGUNAN BERTINGKAT DAN PENGATURAN

HUKUMNYA DI INDONESIA

A. Pembangunan Rumah Susun/Bangunan Bertingkat

dan Perolehan Hak Atas Tanahnya ……… 43

B. Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun/Bangunan Bertingkat ……….. 47

C. Perkembangan Pengaturan Rumah Susun/Bangunan

Bertingkat di Indonesia ……….. 50

BAB IV BANGUNAN BERTINGKAT DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN A. Perbandingan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun ... 61 B. Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

untuk Semua Bangunan Bertingkat ... 71 C. Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011 terhadap Semua Bangunan Bertingkat… 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………... 79

B. Saran……… 80


(9)

TINJAUAN YURIDIS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP SEMUA

BANGUNAN BERTINGKAT

Prof. M.Yamin, SH.,MS.,CN.1 Affan Mukti, SH., M.Hum.2

Erny Suciapriyanti3

1

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

2

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

3

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ABSTRAK

Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman serta dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan permukiman, maka pembangunan rumah lebih diarahkan dalam bentuk vertikal yang kerap dinamakan rumah susun. Pada awalnya, rumah susun memang diperuntukkan untuk hunian. Namun, seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya jumlah penduduk maka peruntukkan rumah susun tidak hanya untuk hunian akan tetapi juga diperuntukkan untuk bukan hunian. Akibatnya, banyak bangunan bertingkat yang fungsinya bukanlah untuk hunian seperti hotel, kondominium, shopping mall, dan bangunan bertingkat lain yang bukan hunian mendapatkan status hak sebagai rumah susun. Kini, setelah lahirnya Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mencabut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sebelumnya kebutuhan akan rumah susun bukan hunian tidak lagi diakomodir. Maka dari itu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun status terhadap rumah susun yang bukan hunian perlu dipertanyakan kembali.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan membandingkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan fakta di lapangan dalam hal ini mengambil wilayah Kota Medan. Dari penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran bahan-bahan kepustakaan serta melalui wawancara terstruktur.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pembangunan bangunan bertingkat yang fungsinya bukan hunian masih tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lama mengingat belum ada peraturan pelaksana yang lahir dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Dengan demikian disarankan agar peraturan pelaksana tersebut segera dibentuk agar persoalan mengenai bangunan bertingkat bukan hunian dapat segera diakomodir.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan saja tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkan masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut merupakan amanah dari mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945.4

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau.5

4

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung, Nuansa Aulia, 2009, hlm 13.

5


(11)

Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pengembang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Pembangunan perumahan ditujukan agar seluruh rakyat Indonesia menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah yang layak adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupa n minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, penguasaan hak atas tanah, dan kelayakan prasarana dan sarana lingkungannya.6

Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman sangat erat kaitannya dengan kependudukan, seperti jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa keluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang dihadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia, sepeti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang.7 Menurut A.P Parlindungan,8

Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan permukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan

pembangunan rumah susun, terutama di wilayah perkotaan, merupakan suatu kemutlakan sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan semakin tinggi.

6

Dr. Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana Prenada Group, 2010, hlm 75.

7

A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Bandung, Mandar Maju, 2001, hlm 91.

8


(12)

penataan atas tanah sehingga pemanfaatannya betul- betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Dengan demikian di kota-kota besar perlu diarahkan pembangunan perumahan dan permukiman yang diutamakan sepenuhnya pada pembangunan rumah susun.9

Pembangunan rumah susun menjadi solusi bagi penataan kawasan kumuh. Menurut Lampiran Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menyebutkan bahwa di wilayah perkotaan telah meningkat luas permukiman kumuh dari 40.053 Ha pada tahun 1996 menjadi 47.500 Ha pada tahun 2000. Pembangunan rumah susun juga akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat menekan inefisiensi di dalam pembangunan ekonomi Indonesia.10

9

Dr. Urip Santoso, Pendaftaran…Op.Cit., hlm 77

10

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan….. Op. Cit., hlm. 14.

Di samping itu, rumah susun dibangun sebagai upaya pemerintah guna memenuhi masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain itu, hal ini juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan lahan yang sangat sulit didapat di wilayah- wilayah kota-kota besar di Negara berkembang, seperti Indonesia yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi, misalnya yang terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan.

Guna memenuhi kebutuhan penting masyarakat perkotaan tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.


(13)

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut di bagian konsideran “menimbang a” menyatakan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan sebagaimana diamanatkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan peningkatan usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh dayaguna rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah. 11

Menurut A.P Parlindungan latar belakang diterbitkannya Undang Undang Rumah Susun tersebut adalah untuk menjamin dan mengusahakan rakyat banyak agar dapat memiliki tempat tinggal, dalam hal ini rumah susun, artinya di samping semakin sedikitnya tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah secara horizontal, aspek ekonomi dalam arti kebutuhan akan adanya tempat tinggal /

Selanjutnya konsideran “menimbang b” mengatakan bahwa dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan permukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya.

11

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium dan Permasalahannya, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 1998, hlm 14.


(14)

rumah untuk rakyat kebanyakan yang digunakan sebagai tempat hunian menjadi pertimbangan diterbitkannya undang-undang tersebut.12

Berdasarkan tujuan pembentukan UURS, sekaligus diketahui bahwa latar belakang pembangunan rumah susun adalah sebagai berikut 13

1. Untuk memenuhi pemerataan kebutuhan perumahan rakyat, khususnya yang berpenghasilan rendah.

:

Pasal 5 UURS menegaskan keberpihakan untuk mengutamakan pembangunan rumah susun bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. A.P Parlindungan menyayangkan ketentuan Pasal 5 UURS ini oleh karena pada waktu ini juga sudah berkembang rumah-rumah flat yang akan dihuni oleh penduduk golongan ekonomi menengah ke atas dengan fasilitas yang lebih baik. A.P Parlindungan berpendapat pembangunan rumah-rumah flat tersebut perlu diatur juga dalam suatu peraturan sendiri.

2. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pembangunan perumahan serta lebih meningkatkan lingkungan permukiman di daerah-daerah yang berpenduduk padat, tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas. Kedua hal itu mengharuskan dilaksanakan dan ditingkatkannya pembangunan rumah susun.

Seiring dengan berkembangnya zaman fungsi bangunan bertingkat tersebut tidak hanya untuk hunian namun juga untuk usaha ataupun perindustrian. Berbeda pendapat dengan A.P Parlindungan sebelumnya, Boedi Harsono mengatakan bahwa walaupun tujuan utama disusunnya UURS adalah untuk

12

Arie S Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Penerbit Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 282

13


(15)

memberikan landasan hukum bagi pembangunan gedung bertingkat dengan bagian-bagiannya untuk dihuni, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, namun ketentuan-ketentuannya dengan penyesuaian- penyesuaian seperlunya, menurut pasal 24 undang-undang rumah susun ini dapat diberlakukan juga untuk bangunan-bangunan bagi keperluan lain, seperti perkantoran dan pertokoan, dan lain sebagainya. Demikian pun ketentuan-ketentuan undang-undang rumah susun tersebut dapat diberlakukan juga bagi pembangunan rumah susun yang terdiri atas satuan rumah susun mewah.14

Namun peraturan yang ada saat ini tidaklah melaju secepat perkembangan jaman. Undang Undang Nomor 16 tahun 1985 tersebut dianggap tidak memadai lagi untuk menghadapi tuntutan demi tuntutan akan kebutuhan setiap orang terutama tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun. Untuk itu perlu diadakan penyempurnaan

Pertumbuhan bangunan bertingkat untuk hunian atau usaha akan semakin bertambah pesat, seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan yang semakin meningkat pendapatan per kapitanya. Di Kota Medan misalnya, bangunan bertingkat telah menjamur memenuhi kota. Di antaranya merupakan tempat usaha atau pusat perbelanjaan yang juga dikategorikan sebagai rumah susun, seperti Cambridge Square City, J.W Marriot dan lain-lain. Dikatakan demikian karena sertifikat atas bangunan bertingkat tersebut merupakan sertifikat rumah susun yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan.

14


(16)

peraturan perundang-undangan yang dapat mengcover semua permasalahan yang menyangkut rumah susun.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Lahirnya undang-undang tersebut juga merupakan instruksi dari Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai rumah susun diatur sendiri dengan undang-undang.

Terjadi perbedaan substansi antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985. Perbedaan substansi tersebut tentunya akan memberikan dampak bagi pembangunan rumah susun dan bangunan bertingkat ke depannya. Banyak hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 kini disempurakan dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Dengan demikian perlu ditilik sudah sampai manakah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diterapkan dan bagaimanakah dampaknya bagi perkembangan pembangunan rumah susun.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun yang menggambarkan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dewasa ini, maka untuk pahaman lebih lanjut, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang berkisar sebagai berikut :


(17)

1. Apa yang dimaksud dengan rumah susun dan bangunan bertingkat?

2. Bagaimana proses pembangunan rumah susun/bangunan bertingkat dan perkembangan pengaturannya di Indonesia

3. Bagaimanakah penerapan dan implikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan hukum tentang bangunan bertingkat di Indonesia

b. Untuk mengtahui penerapan serta implikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat

2. Manfaat

Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain:

a. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan pembangunan bangunan bertingkat di Indonesia serta dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum Agraria dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintah.


(18)

b. Secara praktis

Secara praktis penulisan skripsi diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapapun yang memiliki ketertarikan pada bidang agraria, khususnya mengenai pelaksanaan pembangunan rumah susun di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sepanjang yang telah ditelusuri dari perpustakaan dan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta sepengetahuan dari penulis, skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat ” belum pernah ditulis sebagai skripsi dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait dengan objek penelitian ini.


(19)

Bangunan Gedung Bertingkat menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengartikan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sedangkan kata “bertingkat” menunjukkan adanya lapis lantai pada bangunan gedung tersebut.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Satuan rumah susun atau yang disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Dengan demikian SRS adalah ruang dalam bangunan rumah susun yang akan dimiliki secara individual dan digunakan secara terpisah. Keharusan setiap SRS mempunyai sarana penghubung ke jalan umum merupakan penegasan hak pemilik SRS untuk mempunyai aksesibilitas ke jalan umum, dan antisipasi agar hak aksesibilitas tersebut tidak mengganggu SRS milik orang lain. Suatu penegasan


(20)

ketentuan yang dibutuhkan untuk mengakomodasi keamanan dan kenyamanan masing-masing pemilik SRS.

F. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini dan agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris, menggunakan studi lapangan (field research) sebagai sumber data utama dari penelitian, dan menggunakan studi literature sebagai data sekunder, mengambil lokasi kota Medan yang mencakup 21 kecamatan dengan luas wilayah 265,10 km2.

2. Sumber data

Isi atau materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah:

a. Bahan hukum primer,15

Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan

yakni :

15

Roni Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hlm 64.


(21)

oleh pihak yang berwenang.16

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan obyek yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya UUD 1945.

b. Bahan hukum sekunder, yakni :

17

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier, yakni :

18

3. Alat/ instrument penelitiaan

Alat atau instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

a. Studi dokumen (Library Research)

16

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 19.

17

Roni Hanitjo Soemitro, Op. Cit., hal 64.

18


(22)

Yaitu dengan mempelajari, mengumpulkan dan/atau mengutip bahan-bahan bacaan yang bersifat teoritis ilmiah baik milik umum maupun milik instansi terkait terkait, data dari arsip instansi pemerintahan yang berwenang dalam bidang pembangunan bangunan bertingkat, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bangunan bertingkat. b. Wawancara dan observasi (Field Research)

Yaitu dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan pejabat dari instansi yang berwenang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sumatera Utara dan Kantor Pertanahan Medan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran bangunan bertingkat di Kota Medan.

4. Analisis penelitian

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:19

19


(23)

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah, skripsi ini memiliki sistematika yang teratur, terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan tujuannya.

Tulisan ini terdiri dari lima bab yang akan diperinci lagi dalam sub bab. Adapun kelima bab itu terdiri dari:

1. BAB I PENDAHULUAN, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang apa yang menjadi latar belakang penulis tertarik dalam menyajikan materi yang diteliti, Perumusan Masalah yang akan diangkat dalam skripsi ini, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan di bagian akhir Sistematika Penulisan.

2. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SUSUN, pada bab ini

akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Rumah Susun, Asas-Asas Pembangunan Rumah Susun, Tujuan Pembangunan


(24)

Rumah Susun, Penerapan Asas dalam Hukum Tanah pada Konsep Rumah Susun, Tanah Untuk Pembangunan Rumah Susun, serta Prinsip Nasionalitas Pembangunan Rumah Susun.

3. BAB III BANGUNAN BERTINGKAT DAN PENGATURAN

HUKUMNYA DI INDONESIA, dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi dan klasifikasi bangunan bertingkat, Perbedaan dan Persamaan Bangunan Bertingkat Rumah Susun (Hunian) dan Bangunan Bertingkat Tempat Usaha Bersusun (Bukan Hunian), serta Perkembangan Pengaturan untuk Bangunan Bertingkat di Indonesia.

4. BAB IV BANGUNAN BERTINGKAT DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN, dalam bab ini akan dibahas mengenai Perbandingan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dengan Undang Nomor 20 Tahun 2011, Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 untuk Semua Bangunan Bertingkat, dan Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 terhadap Semua Bangunan Bertingkat.

5. BAB V PENUTUP, dalam bab ini memuat Kesimpulan dan Saran sebagai hasil dari pembahasan skripsi ini secara keseluruhan.


(25)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan saja tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkan masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut merupakan amanah dari mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945.4

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau.5

4

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung, Nuansa Aulia, 2009, hlm 13.

5


(26)

Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pengembang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Pembangunan perumahan ditujukan agar seluruh rakyat Indonesia menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah yang layak adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupa n minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, penguasaan hak atas tanah, dan kelayakan prasarana dan sarana lingkungannya.6

Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman sangat erat kaitannya dengan kependudukan, seperti jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa keluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang dihadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia, sepeti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang.7 Menurut A.P Parlindungan,8

Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan permukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan

pembangunan rumah susun, terutama di wilayah perkotaan, merupakan suatu kemutlakan sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan semakin tinggi.

6

Dr. Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana Prenada Group, 2010, hlm 75.

7

A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Bandung, Mandar Maju, 2001, hlm 91.

8


(27)

penataan atas tanah sehingga pemanfaatannya betul- betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Dengan demikian di kota-kota besar perlu diarahkan pembangunan perumahan dan permukiman yang diutamakan sepenuhnya pada pembangunan rumah susun.9

Pembangunan rumah susun menjadi solusi bagi penataan kawasan kumuh. Menurut Lampiran Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menyebutkan bahwa di wilayah perkotaan telah meningkat luas permukiman kumuh dari 40.053 Ha pada tahun 1996 menjadi 47.500 Ha pada tahun 2000. Pembangunan rumah susun juga akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat menekan inefisiensi di dalam pembangunan ekonomi Indonesia.10

9

Dr. Urip Santoso, Pendaftaran…Op.Cit., hlm 77

10

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan….. Op. Cit., hlm. 14.

Di samping itu, rumah susun dibangun sebagai upaya pemerintah guna memenuhi masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain itu, hal ini juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan lahan yang sangat sulit didapat di wilayah- wilayah kota-kota besar di Negara berkembang, seperti Indonesia yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi, misalnya yang terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan.

Guna memenuhi kebutuhan penting masyarakat perkotaan tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.


(28)

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut di bagian konsideran “menimbang a” menyatakan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan sebagaimana diamanatkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan peningkatan usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh dayaguna rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah. 11

Menurut A.P Parlindungan latar belakang diterbitkannya Undang Undang Rumah Susun tersebut adalah untuk menjamin dan mengusahakan rakyat banyak agar dapat memiliki tempat tinggal, dalam hal ini rumah susun, artinya di samping semakin sedikitnya tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah secara horizontal, aspek ekonomi dalam arti kebutuhan akan adanya tempat tinggal /

Selanjutnya konsideran “menimbang b” mengatakan bahwa dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan permukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya.

11

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium dan Permasalahannya, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 1998, hlm 14.


(29)

rumah untuk rakyat kebanyakan yang digunakan sebagai tempat hunian menjadi pertimbangan diterbitkannya undang-undang tersebut.12

Berdasarkan tujuan pembentukan UURS, sekaligus diketahui bahwa latar belakang pembangunan rumah susun adalah sebagai berikut 13

1. Untuk memenuhi pemerataan kebutuhan perumahan rakyat, khususnya yang berpenghasilan rendah.

:

Pasal 5 UURS menegaskan keberpihakan untuk mengutamakan pembangunan rumah susun bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. A.P Parlindungan menyayangkan ketentuan Pasal 5 UURS ini oleh karena pada waktu ini juga sudah berkembang rumah-rumah flat yang akan dihuni oleh penduduk golongan ekonomi menengah ke atas dengan fasilitas yang lebih baik. A.P Parlindungan berpendapat pembangunan rumah-rumah flat tersebut perlu diatur juga dalam suatu peraturan sendiri.

2. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pembangunan perumahan serta lebih meningkatkan lingkungan permukiman di daerah-daerah yang berpenduduk padat, tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas. Kedua hal itu mengharuskan dilaksanakan dan ditingkatkannya pembangunan rumah susun.

Seiring dengan berkembangnya zaman fungsi bangunan bertingkat tersebut tidak hanya untuk hunian namun juga untuk usaha ataupun perindustrian. Berbeda pendapat dengan A.P Parlindungan sebelumnya, Boedi Harsono mengatakan bahwa walaupun tujuan utama disusunnya UURS adalah untuk

12

Arie S Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Penerbit Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 282

13


(30)

memberikan landasan hukum bagi pembangunan gedung bertingkat dengan bagian-bagiannya untuk dihuni, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, namun ketentuan-ketentuannya dengan penyesuaian- penyesuaian seperlunya, menurut pasal 24 undang-undang rumah susun ini dapat diberlakukan juga untuk bangunan-bangunan bagi keperluan lain, seperti perkantoran dan pertokoan, dan lain sebagainya. Demikian pun ketentuan-ketentuan undang-undang rumah susun tersebut dapat diberlakukan juga bagi pembangunan rumah susun yang terdiri atas satuan rumah susun mewah.14

Namun peraturan yang ada saat ini tidaklah melaju secepat perkembangan jaman. Undang Undang Nomor 16 tahun 1985 tersebut dianggap tidak memadai lagi untuk menghadapi tuntutan demi tuntutan akan kebutuhan setiap orang terutama tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun. Untuk itu perlu diadakan penyempurnaan

Pertumbuhan bangunan bertingkat untuk hunian atau usaha akan semakin bertambah pesat, seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan yang semakin meningkat pendapatan per kapitanya. Di Kota Medan misalnya, bangunan bertingkat telah menjamur memenuhi kota. Di antaranya merupakan tempat usaha atau pusat perbelanjaan yang juga dikategorikan sebagai rumah susun, seperti Cambridge Square City, J.W Marriot dan lain-lain. Dikatakan demikian karena sertifikat atas bangunan bertingkat tersebut merupakan sertifikat rumah susun yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan.

14


(31)

peraturan perundang-undangan yang dapat mengcover semua permasalahan yang menyangkut rumah susun.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Lahirnya undang-undang tersebut juga merupakan instruksi dari Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai rumah susun diatur sendiri dengan undang-undang.

Terjadi perbedaan substansi antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985. Perbedaan substansi tersebut tentunya akan memberikan dampak bagi pembangunan rumah susun dan bangunan bertingkat ke depannya. Banyak hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 kini disempurakan dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Dengan demikian perlu ditilik sudah sampai manakah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diterapkan dan bagaimanakah dampaknya bagi perkembangan pembangunan rumah susun.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun yang menggambarkan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dewasa ini, maka untuk pahaman lebih lanjut, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang berkisar sebagai berikut :


(32)

1. Apa yang dimaksud dengan rumah susun dan bangunan bertingkat?

2. Bagaimana proses pembangunan rumah susun/bangunan bertingkat dan perkembangan pengaturannya di Indonesia

3. Bagaimanakah penerapan dan implikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan hukum tentang bangunan bertingkat di Indonesia

b. Untuk mengtahui penerapan serta implikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat

2. Manfaat

Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain:

a. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan pembangunan bangunan bertingkat di Indonesia serta dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum Agraria dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintah.


(33)

b. Secara praktis

Secara praktis penulisan skripsi diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapapun yang memiliki ketertarikan pada bidang agraria, khususnya mengenai pelaksanaan pembangunan rumah susun di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sepanjang yang telah ditelusuri dari perpustakaan dan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta sepengetahuan dari penulis, skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap semua bangunan bertingkat ” belum pernah ditulis sebagai skripsi dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait dengan objek penelitian ini.


(34)

Bangunan Gedung Bertingkat menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengartikan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sedangkan kata “bertingkat” menunjukkan adanya lapis lantai pada bangunan gedung tersebut.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Satuan rumah susun atau yang disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Dengan demikian SRS adalah ruang dalam bangunan rumah susun yang akan dimiliki secara individual dan digunakan secara terpisah. Keharusan setiap SRS mempunyai sarana penghubung ke jalan umum merupakan penegasan hak pemilik SRS untuk mempunyai aksesibilitas ke jalan umum, dan antisipasi agar hak aksesibilitas tersebut tidak mengganggu SRS milik orang lain. Suatu penegasan


(35)

ketentuan yang dibutuhkan untuk mengakomodasi keamanan dan kenyamanan masing-masing pemilik SRS.

F. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini dan agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris, menggunakan studi lapangan (field research) sebagai sumber data utama dari penelitian, dan menggunakan studi literature sebagai data sekunder, mengambil lokasi kota Medan yang mencakup 21 kecamatan dengan luas wilayah 265,10 km2.

2. Sumber data

Isi atau materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah:

a. Bahan hukum primer,15

Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan

yakni :

15

Roni Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hlm 64.


(36)

oleh pihak yang berwenang.16

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan obyek yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya UUD 1945.

b. Bahan hukum sekunder, yakni :

17

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier, yakni :

18

3. Alat/ instrument penelitiaan

Alat atau instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

a. Studi dokumen (Library Research)

16

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 19.

17

Roni Hanitjo Soemitro, Op. Cit., hal 64.

18


(37)

Yaitu dengan mempelajari, mengumpulkan dan/atau mengutip bahan-bahan bacaan yang bersifat teoritis ilmiah baik milik umum maupun milik instansi terkait terkait, data dari arsip instansi pemerintahan yang berwenang dalam bidang pembangunan bangunan bertingkat, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bangunan bertingkat. b. Wawancara dan observasi (Field Research)

Yaitu dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan pejabat dari instansi yang berwenang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sumatera Utara dan Kantor Pertanahan Medan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran bangunan bertingkat di Kota Medan.

4. Analisis penelitian

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:19

19


(38)

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah, skripsi ini memiliki sistematika yang teratur, terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan tujuannya.

Tulisan ini terdiri dari lima bab yang akan diperinci lagi dalam sub bab. Adapun kelima bab itu terdiri dari:

1. BAB I PENDAHULUAN, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang apa yang menjadi latar belakang penulis tertarik dalam menyajikan materi yang diteliti, Perumusan Masalah yang akan diangkat dalam skripsi ini, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan di bagian akhir Sistematika Penulisan.

2. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SUSUN, pada bab ini

akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Rumah Susun, Asas-Asas Pembangunan Rumah Susun, Tujuan Pembangunan


(39)

Rumah Susun, Penerapan Asas dalam Hukum Tanah pada Konsep Rumah Susun, Tanah Untuk Pembangunan Rumah Susun, serta Prinsip Nasionalitas Pembangunan Rumah Susun.

3. BAB III BANGUNAN BERTINGKAT DAN PENGATURAN

HUKUMNYA DI INDONESIA, dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi dan klasifikasi bangunan bertingkat, Perbedaan dan Persamaan Bangunan Bertingkat Rumah Susun (Hunian) dan Bangunan Bertingkat Tempat Usaha Bersusun (Bukan Hunian), serta Perkembangan Pengaturan untuk Bangunan Bertingkat di Indonesia.

4. BAB IV BANGUNAN BERTINGKAT DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN, dalam bab ini akan dibahas mengenai Perbandingan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dengan Undang Nomor 20 Tahun 2011, Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 untuk Semua Bangunan Bertingkat, dan Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 terhadap Semua Bangunan Bertingkat.

5. BAB V PENUTUP, dalam bab ini memuat Kesimpulan dan Saran sebagai hasil dari pembahasan skripsi ini secara keseluruhan.


(40)

BAB II

RUMAH SUSUN DAN BANGUNAN BERTINGKAT

A. Konsep Dasar Rumah Susun 1. Pengertian Rumah Susun

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun diundangkan pada tanggal 31 Desember 1985 dalam Lembaran Negara RI nomor 75/1985. Undang-undang ini dapat disebut dengan undang-undang kondominium Indonesia yang menjadi landasan hukum untuk mengatur rumah susun. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988. Mulai tanggal tersebutlah masalah hukum mengenai rumah susun mendapat jawaban yang pasti. Namun menimbang bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun sehingga perlu diganti.20

20

Lihat Konsideran bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Untuk menjawab perkembangan hukum serta kebutuhan masyarakat yang belum terakomodir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut maka pada tanggal 10 Nopember 2011 melalui sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.


(41)

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Pengertian mengenai rumah susun tersebut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian tidak ada perubahan mengenai pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik yang dijelaskan dalam UURS yang lama maupun yang baru.

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa rumah susun yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.

Dengan demikian berarti tidak semua bangunan bertingkat itu dapat disebut rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, tetapi setiap rumah susun adalah selalu bangunan bertingkat.21

21


(42)

Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya itu dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut :22

a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk

mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan perseorangan dan hak bersama. Dalam pengertian inilah, maka rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat atau apartment b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang distrukturkan

secara fungsional dalam arah horizontal maupun

22

Ibid, hlm. 16

vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS). Dalam Penjelasan UURS di atas menyatakan “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu dicermati oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS. Apakah pengaturan pemilikan satuan ruang dalam bangunan bertingkat selain rumah susun dapat tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun” serta “dan” tersebut semakin berarti, terutama jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yang mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri dan lain-lain” yang dibangun di atas tanah bersama sebagai bangunan bertingkat yang tidak termasuk dalam pengertian rumah susun. Selanjutnya, Penjelasan pasal 79 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh bangunan gedung tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah bersama dalam suatu lingkungan adalah rumah-rumah peristirahatan, rumah kota (town house), dan lain-lain .


(43)

Ahmad Chairudin dalam Surat Kabar Harian Suara Pembaruan tanggal 13 April 1994, menyatakan bahwa bangunan gedung bertingkat pada sistem ruko (rumah toko) dan rukan (rumah kantor) bagian- bagiannya terbagi dalam bagian- bagian yang distrukturkan dalam arah horizontal saja, tidak dalam arah vertikal. Tetapi karena dalam kata-kata kalimat Pasal 1 angka 1 UURS menyebut : “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal”, maka yang diartikan bangunan gedung bertingkat yang bagian-bagiannya hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat disebut rumah susun, asal memenuhi ketentuan-ketentuan lainnya tentang rumah susun.23

Selanjutnya Menteri Negara Agraria/Kepala BPN menyatakan bahwa sebagai akibat pesatnya kemajuan sektor ekonomi yang ditunjang kemajuan teknologi dalam pembangunan perumahan dan pemukiman serta lahirnya bentuk sertifikat baru yang berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, maka seharusnya bentuk kepemilikan rumah dan toko (ruko) atau

town house dapat menggunakan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagai alat untuk kepemilikannya. Hal ini mengingat bahwa bentuk bangunan dan penataan lingkungannya sesuai dengan ketentuan yang ada pada rumah susun yang bangunannya berupa bangunan yang tersusun secara horizontal dan memiliki jenis kepemilikan perseorangan dan pemilikan bersama.24

23

Ibid, hlm 16

24


(44)

Kedua pendapat Pejabat Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional tersebut setuju bahwa kepemilikan satuan bangunan pada bangunan yang hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat tunduk pada pengaturan UURS. Kiranya kedua pendapat tersebut dapat diterima logika hukum. Ketentuan pasal 1 UURS merupakan ketentuan yang berisi definisi/rumusan konsep-konsep yang menjadi kata-kata kunci atau terminologi teknis yuridis dalam keseluruhan ketentuan UURS. Oleh karena itu jika terdapat perbedaan pengertian rumah susun di dalam ketentuan pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan Umum UURS serta Penjelasan Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 sebagai peraturan pelaksana UURS, maka yang dijadikan pegangan adalah rumusan Pasal 1 angka 1 UURS.25

c. Rumah susun mengandung sistem pemilikan perseorangan (individual) dan hak bersama. Kita mengenal ada 3 (tiga) bentuk sistem pemilikan, yaitu :

a. sistem pemilikan perseorangan

b. sistem pemilikan bersama yang terikat

c. sistem pemilikan perseorangan yang sekaligus dilengkapi dengan sistem pemilikan bersama yang bebas (condominium)

Rumah susun merupakan kategori sistem pemilikan yang ketiga. Di dalam rumah susun secara simultan terkandung sistem pemilikan perseorangan

25

Dalam teori hukum, ketidaksinkronan pengertian rumah susun di dalam Pasal 1 angka 1 dengan Penjelasan Umum UURS akan “dimenangkan” Pasal 1 angka 1 UURS oleh karena Pasal 1 angka 1 yang lebih spesifik (rinci) merumuskan pengertian rumah susun dibandingkan dengan Penjelasan Umum UURS. Selanjutnya ketidaksinkronan (pertentangan) antara Pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 “dimenangkan “ Pasal 1 angka 1 oleh karena di dalam peraturan perundang-undangan diberlakukan asas “Hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah” (lex superior de rogat lex inferior)


(45)

dengan hak bersama yang bebas. Oleh karena itulah, maka hak pemilikan perseorangan atas satuan (unit) rumah susun meliputi pula hak bersama atas bangunan, benda dan tanahnya.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak milik (individual) atas satuan rumah susun juga meliputi hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun merumuskan bahwa bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah tidak untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Penjelasan Pasal 25 ayat 1 undang-undang tersebut memberi contoh bagian bersama adalah antara lain : pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaringan- jaringan listrik, gas dan telekomunikasi.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mendefinisikan bahwa benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Selanjutnya Penjelasan Pasal 25 ayat 1 mencontohkan benda bersama adalah ; ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan struktur bangunan rumah susun.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 merumuskan bahwa tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya


(46)

berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.

Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu istilah yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu perumahan yang dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah dengan segala kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan hunian, untuk perkantoran, usaha komersil dan lain-lain, dengan akses tersendiri untuk keluar ke jalan besar dan dengan segala hak dan kewajibannya dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya tersebut, dengan berdimensi horizontal dan vertikal.26

Soni Harsono dalam bukunya “Aspek Pertanahan Dalam Pembangunan Rumah Susun,” berpendapat bahwa inti sistem kondominium adalah pengaturan pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik di atasnya, karena itu pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menganut asas kondominium dalam pemilikan atas rumah susun. Masalah paling penting dalam asas kondominium adalah pemilikan dan penghunian secara terpisah bagian-bagian dari suatu bangunan bertingkat, di samping bangian-bagian lainnya serta tanah di atas mana bangunan yang bersangkutan berdiri, yang karena fungsinya harus digunakan bersama.

27

Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya “Membangun Condominium (Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam Penjualan, Pemilikan,

26

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang…hal 99

27


(47)

Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat, atau apartment. Kondominium berasal dari kata

condominium, jika dipenggal, co berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan. Istilah yang dipakai berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di Inggris disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium, sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di antara istilah-istilah tersebut di atas, istilah

strata title yang lebih memungkinkan adanya pemilikan bersama secara horizontal, di samping pemilikan secara vertikal. Walaupun di Indonesia digunakan istilah seperti: rumah susun, apartemen, flat, maupun kondominium, namun bahasa hukum semuanya disebut rumah susun, karena mengacu pada Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.28

2. Asas-Asas Pembangunan Rumah Susun

Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya menyatakan bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut: a. asas kesejahteraan

Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya

b. asas keadilan dan pemerataan

28


(48)

Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah memberikan hasil pembangunan di bidang rumah susun agar dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

c. asas kenasionalan

Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan landasan agar kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.

d. asas keterjangkauan dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR.

e. asas keefisienan dan kemanfaatan

Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan dengan memaksimalkan potensi sumber daya tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

f. asas kemandirian dan kebersamaan

Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan peran serta masyarakat sehingga mampu membangun


(49)

kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri serta terciptanya kerja sama antarpemangku kepentingan.

g. asas kemitraan

Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling mendukung.

h. asas keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan dengan mewujudkan keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan ruang.

i. asas keterpaduan

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.

j. asas kesehatan

Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan agar pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

k. asas kelestarian dan keberlanjutan

Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan menjaga keseimbangan


(50)

lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan.

l. asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan adalah memberikan landasan agar bangunan rumah susun memenuhi persyaratan keselamatan, yaitu kemampuan bangunan rumah susun mendukung beban muatan, pengamanan bahaya kebakaran, dan bahaya petir; persyaratan kenyamanan ruang dan gerak antar ruang, pengkondisian udara, pandangan, getaran, dan kebisingan; serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

m. asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan

Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan adalah memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah susun dapat menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala gangguan dan ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan kehidupan bertempat tinggal dan kehidupan sosialnya; serta keteraturan dalam pemenuhan ketentuan administratif.

3. Tujuan Pembangunan Rumah Susun

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu


(51)

usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di samping itu, pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional.29

Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah perkotaan yang berkembang pesat. Oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat perlu ditangani secara mendasar, menyeluruh, terarah, dan terpadu, oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan keikutsertaan secara aktif usaha swasta dan swadaya masyarakat. Pembangunan perumahan yang telah dirintis sejak Pelita I perlu ditingkatkan dan dikembangkan, khususnya perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.30

Sehubungan dengan uraian tersebut, maka kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:31

29

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 157

30

Ibid, hlm 158

31


(52)

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil, dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

b. Mewujudkan permukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah perkotaan yang berpenduduk padat, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, perlu dikembangkam pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya.32

32

Ibid, hlm 159.

Pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi dalam satu-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian bersama dari bangunan tersebut serta benda bersama dan tanah bersama yang di atasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur dengan undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia. Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun, yang meliputi:


(53)

a. Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah

b. Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun c. Hak bersama atas benda-benda

d. Hak bersama atas tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan

Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian, pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan permukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu, dalam pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian yang fungsinya memberikan lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, dan sebagainya, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 ini diberlakukan dengan penyesuaian menurut kepentingannya.33

a. menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya;

Adapun tujuan pembangunan rumah susun seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011:

33


(54)

b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

c. mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh;

d. mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif;

e. memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi MBR; f. memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah

susun;

g. menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu; dan

h. memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

4. Penerapan Asas Dalam Hukum Tanah Pada Konsep Rumah Susun


(55)

a. Asas Accesi (Asas Perlekatan) atau Accessie Schelding Beginsel

b. Asas pemisahan horizontal atau HorizontaleBeginsel

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya “Beberapa Analisa Tentang Hukum Agraria”, di dalam asas asas perlekatan, bangunan menjadi bagian dari tanahnya. Oleh karena itu, dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanahnya (hukum tanah). Atas asas itu pula, maka hak pemilikan atas tanah hak barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 ayat (1) KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah.34

Asas perlekatan yang dikenal di dalam KUHPerdata terdiri atas perlekatan secara mendatar dan perlekatan secara tegak lurus (vertikal). Perlekatan secara horizontal (mendatar) meletakkan suatu benda sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya atau balkon pada rumah induknya (Pasal 588 KUHPerdata). Berdasarkan asas perlekatan ini, pemilik benda pokok merupakan pemilik benda ikutan dan secara hukum benda ikutan tersebut mengikuti benda pokoknya. Sebaliknya, perlekatan vertikal adalah perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada di atasnya maupun di dalam tanah dengan tanah sebagai benda pokoknya (Pasal 571 KUHPerdata).

35

Sebagai kebalikan dari asas perlekatan vertikal adalah asas pemisahan horizontal. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang dianut dalam hukum adat

34

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op cit. hlm 8

35

Masnari Darnisa, Status Tanah Bersama Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dikaitkan Dengan Penetapan Keringanan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi: Rumah Susun Sukaramai Yang Diadakan Oleh Perum Perumnas).2007. hlm 24


(56)

yang menjadi dasar dari UUPA. Berdasarkan asas pemisahan horizontal ini pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu.36

Menurut A. Ridwan Halim dalam bukunya “Hak Milik Kondominium dan Rumah Susun”, asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal. Di dalam hukum adat Indonesia, asas pemisahan horizontal terejawantah dalam bentuk magersari yaitu hak menumpang dari seseorang yang mendirikan bangunan tempat tinggal di atas tanah milik orang lain yang diperbolehkan oleh si pemilik selama si pemilik tersebut belum merasa perlu untuk menggunakan tanahnya itu sendiri, serta sistem tumpang sari tanaman bagi hasil (sistem usaha bagi hasil).37

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa kedua asas tersebut mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang berbeda. Seperti dikatakan oleh Masjchoen Sofwan, di dalam salah satu bukunya sebagai berikut.38

36

M. Rizal Arif, Analisis…Op.Cit., hlm. 64.

37

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op cit. hlm 9

38

Masnari Darnisa, Op.Cit, hlm 10

“yang menjadi persoalan ialah bagaimana pengaturan lembaga jaminan atas tanah yang akan datang untuk tidak bertentangan dengan Asas Accessi yang tidak dikenal (digarisbawahi oleh penulis) dalam UUPA, sedangkan dalam Hukum Adat mengenal asas Pemisahan Horizontal”.

Pendapat ini dikuatkan oleh Saleh Adiwinata dalam bukunya “Hukum Adat”, yang menyatakan:


(57)

“Bahkan justru pada masa sekarang ini ada lebih lagi alasan dan rasio untuk memperlakukan asas pemisahan Horizontal ini secara lebih integral, lebih konsekuen dan terang-terangan lagi dari sebelum lahirnya UUPA sebab:…Ketiga: Di mana Pasal 5 menegaskan bahwa hukum agrarian baru: ialah hukum adat (namun oleh Boedi Harsono diperingatkan bahwa yang dimaksudkan adalah hukum adat yang telah disaneer), maka dengan sendirinya untuk asasi dari hukum adat yaitu Pemisahan Horizontal, turut meresap dalam seluruh tubuh hukum agrarian baru kita”.

Berdasarkan dua pendapat tersebut, berarti asas hukum tanah (hukum agraria sempit) adalah asas pemisahan horizontal yakni pemilikan atas benda di atas tanah tidak berarti atau dapat terpisah dengan pemilikan atas tanah tempat terletaknya benda-benda tadi. Sebagai kebalikannya adalah asas perlekatan yang berlaku pada kurun waktu sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya “Beberapa Analisa Tentang Hukum Agraria”, bahwa di dalam hukum adat berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Tanah tunduk pada hukum tanah, sedangkan bangunan tunduk pada hukum perutangan yang mempunyai sifat lain dari hukum tanah. Dengan demikian, tanah adat tidak dengan sendirinya meliputi bangunan yang ada di atasnya. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa pihak yang membangun dialah pemilik yang dibangunnya itu.39

39

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op cit. hlm 9

Jadi, adanya konsep rumah susun (kondominium) sebagai fenomena baru yang dibutuhkan masyarakat modern, justru sudah sesuai dengan asas hukum tanah yang ditetapkan oleh UUPA.


(58)

B. Definisi dan Klasifikasi Bangunan Bertingkat serta Batasan Rumah Susun

Bangunan bertingkat adalah bangunan yang mempunyai lebih dari satu lantai secara vertikal. Bangunan bertingkat ini dibangun berdasarkan keterbatasan tanah yang mahal di perkotaan dan tingginya tingkat permintaan ruang untuk berbagai macam kegiatan. Semakin banyak jumlah lantai yang dibangun akan meningkatkan efisiensi lahan perkotaan sehingga daya tampung suatu kota dapat ditingkatkan, namun di lain sisi juga diperlukan tingkat perencanaan dan perancangan yang semakin rumit, yang harus melibatkan berbagai disiplin bidang tertentu.40

Namun dengan menggunakan istilah yang berbeda, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengartikan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang Istilah bangunan bertingkat sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-Bagian pada Bangunan Bertingkat. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Bangunan bertingkat adalah bangunan yang terdiri atas beberapa tingkat/lantai dan terbagi dalam bagian-bagian yang merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat digunakan secara terpisah untuk tempat tinggal dan/ atau kegiatan usaha yang dilenngkapi dengan bagian-bagian yang digunakan bersama.

40


(1)

Meskipun belum berlaku sepenuhnya, namun ada hal-hal yang kemungkinan akan terjadi mengingat perbedaan materil dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dengan undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 memang tidak mengatur tentang rumah susun bukan hunian. Pasal 50 Undang Undang Nomor 20 tahun 2011 mengatur bahwa pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi: a) hunian; atau b) campuran. Diatur lebih lanjut bahwa pemanfaatan rumah susun tersebut dapat berubah dari fungsi hunian ke fungsi campuran karena perubahan rencana tata ruang. Perubahan fungsi yang diakibatkan oleh perubahan rencana tata ruang menjadi dasar mengganti sejumlah rumah susun dan/atau memukimkan kembali pemilik sarusun yang dialihfungsikan, sedang pihak yang melakukan perubahan fungsi rumah susun wajib menjamin hak kepemilikan sarusun.

Mengingat adanya aturan baru tersebut, Abdul Rahim Lubis, SH.,M.Kn dari Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sumatera Utara mengatakan bahwa kini rumah susun dengan fungsi bukan hunian kepentingan-kepentingan hukumnya tidak diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Akibatnya rumah susun bukan hunian yang saat ini berdiri di atas tanah Hak Guna Bangunan ataupun Hak Pakai dan telah habis waktunya maka hak atas tanah tersebut tidak dapat diperpanjang ataupun diperbaharui begitu juga dengan hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah tersebut juga tidak dapat diberikan oleh Kantor Pertanahan.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Istilah bangunan bertingkat sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985. Pertama, diawali dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 14 Tahun 1975. Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1974 selanjutnya direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977. Ketiga, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 selanjutnya direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983. Sampai kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 ini lahirlah Peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, Peraturan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1989, Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1989, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992. Kini, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 resmi dicabut dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. 2. Dalam praktiknya, pembangunan rumah susun tidaklah hanya berfungsi

sebagai tempat hunian, tetapi juga bukan hunian ataupun campuran. Melalui Pasal 24 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, dimungkinkan


(3)

susun. Namun dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tidak ada lagi pengaturan mengenai hal tersebut. Informan dari Badan Pertahanan Nasional Kantor Wilayah Sumatera Utara mengatakan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 ada kemungkinan jika bangunan bertingkat yang demikian tidak dapat lagi diberikan sertifikat rumah susun jika tidak ada peraturan yang dapat mengcover permasalahan ini.

B. Saran

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 memang belum sepenuhnya berlaku dalam penerapannya. Ini dikarenakan belum ada satupun peraturan pelaksana yang lahir dari undang-undang tersebut sehingga meskipun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 sudah dinyatakan berlaku namun tetap saja menggunakan peraturan pelaksana yang lahir dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985. Untuk itu saran dari penulis agar pemerintah dapat secepatnya membuat peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 agar dapat menjawab secara lengkap permasalahan-permasalahan hokum yang timbul karena pembangunan bangunan bertingkat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.

M. Rizal Arif, 2009, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung, Nuansa Aulia.

Literatur

Dr. Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana Prenada Group.

A.P.Parlindungan, 2001 Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Bandung, Mandar Maju. Oloan Sitorus & Balans Sebayang, 1998, Kondominium dan Permasalahannya,

Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Arie S Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Penerbit Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Roni Hanitjo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Soedikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Adrian Sutedi, 2009, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta. Masnari Darnisa, 2007, Status Tanah Bersama Pada Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun Dikaitkan Dengan Penetapan Keringanan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi: Rumah Susun Sukaramai Yang Diadakan Oleh Perum


(5)

R Soeprapto, 1986, Tata Cara Pendaftaran Bangunan Bertingkat di Indonesia dan Negara-Negara Lain UU No. 16 Tahun 1985, Jakarta.

Dedi Kurniadi, 1995, Aspek Hukum Hak Atas Tanah dan Bangunan Rumah Susun Sukaperdana Medan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun: Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia, Malang, Jawa Timur.

Marihot Pahala Siahaan, 2007, Hukum Bangunan Gedung di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Dwi Tangoro dkk, 2006, Struktur Bangunan Tinggi dan Bentang Lebar, Jakarta, UI-Press.

A. Ridwan Halim, 1990, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia.

B.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Peraturan Perundang – undangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya serta Penerbitan Sertifikatnya


(6)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara

Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-Bagian pada Bangunan Bertingkat

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun

Peraturan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun

Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Rumah Susun


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Pembangunan Rumah Susun Yang Dibangun Dengan Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

1 74 127

Analisis Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

1 67 140

KAJIAN YURIDIS TENTANG RUMAH SUSUN DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

0 25 13

Tinjauan Yuridis terhadap Iktikad Baik Pengembang Rumah Susun dalam Tindakan Hukum Pemesanan Rumah Susun Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

1 3 56

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Developer Untuk Membangun Rumah Susun Umum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

0 0 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

0 0 82

Analisis Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

0 0 17

Analisis Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

0 0 2

Analisis Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

0 0 24

Analisis Yuridis Pemberian Hak Tanggungan Pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

1 2 58