keutuhan akan dananya. Kalau dalam pemenuhan kebutuhan dana dari sumber ekstern tersebut kita lebih mengutamakan pada hutang saja maka ketergantungan
kita pada pihak luar akan makin besar dan resiko finansialnya pun makin besar. Sebaliknya kalau kita hanya mendasarkan pada saham saja, biayanya akan sangat
mahal. Oleh karena itu perlu diusahakan adanya keseimbangan yang optimal antara kedua sumber dana tersebut. Kalau kita mendasarkan pada prinsip hati-hati,
maka kita mendasarkan pada aturan struktur financiil konservatif dalam mencari struktur modal yang optimal Bambang Riyanto, 2001.
B. Teori Struktur Modal
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, kalau keputusan investasi dan kebijakan dividen
dipegang konstan. Dengan kata lain, seandainya perusahaan mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang atau sebaliknya apakah harga saham akan berubah,
apabila perusahaan tidak merubah keputusan-keputusan keuangan lainnya. Dengan kata lain, kalau
perubahan struktur modal tidak merubah nilai perusahaan, berarti bahwa tidak ada struktur modal yang terbaik. Semua struktur
modal adalah baik. Tetapi kalau dengan merubah struktur modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal yang terbaik. Struktur
modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan, atau harga saham, adalah struktur modal yang terbaik Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 263.
37
1. Struktur Modal Pada Pasar Modal Sempurna dan Tidak Ada Pajak Pasar modal yang sempurna adalah pasar modal yang sangat kompetitif.
Dalam pasar modal tersebut antara lain tidak dikenal biaya kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi, bunga simpanan dan pinjaman sama yang berlaku untuk
semua pihak. Sebagai tambahan, diasumsikan tidak ada pajak penghasilan income tax. Tentu saja asumsi-asumsi tersebut tidak akan dijumpai dalam
dunia nyata Husnan dan Pudjiastuti: 264. a. Pendekatan Tradisional
Menurut pendekatan tradisional, dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan bisa
dirubah dengan cara merubah struktur modalnya yaitu BS. Pendapat ini dominan sampai dengan awal tahun 1950-an Husnan dan Pudjiastuti, 2004:
265. Dalam pendekatan tradisional, jika leverage keuangan meningkat, maka
nilai perusahaan total akan meningkat sampai titik tertentu. Setelah mencapai titik tersebut, dengan meningkatnya leverage, justru akan
menurunkan nilai perusahaan total Warsono, 2003. b. Pendekatan Modigliani dan Miller MM
Salah satu pertanyaan yang sering membingungkan manajer keuangan adalah hubungan antara struktur modal dan nilai perusahaan. Berapa modal
asing dan berapa modal sendiri yang harus digunakan. Baru pada tahun 1958, 2 ahli manajemen keuangan Franco Modigliani dan Merton Miller
mengajukan teori struktur modal perusahaan.
38
Menurut MM dalam artikelnya menunjukkan bahwa pendapat
pendekatan tradisional adalah tidak benar. Mereka menunjukkan kemungkinan munculnya proses arbitrage yang akan membuat harga saham
atau nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang maupun yang menggunakan hutang, akhirnya sama. Proses arbitrage muncul karena
investor selalu lebih menyukai investasi yang memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan risiko yang
sama pula. Dengan demikian, MM menunjukkan bahwa dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, maka keputusan pendanaan
financing decisions menjadi tidak relevan. Artinya penggunaan hutang ataukah modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran
pemilik perusahaan Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 266. Asumsi-asumsi MM- tanpa pajak Lukas Setia Atmaja, 2008: 249:
1. Resiko bisnis perusahan diukur dengan deviasi standar EBIT. 2. Investor memiliki pangharapan yang sama tentang EBIT perusahaan
dimasa mendatang. 3. Saham dan obligasi diperjualbelikan disuatu pasar modal yang
sempurna. 4. Hutang adalah tanpa resiko sehingga suku bunga pada hutang adalah
suku bunga bebas resiko. 5. Seluruh aliran kas adalah perpetuitas sama jumlahnya setiap periode
hingga waktu tak terhingga. Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol atau EBIT selalu sama.
39
6. Tidak ada pajak perusahaan maupun pajak pribadi. 2. Struktur Modal Pada Pasar Modal Sempurna dan Ada Pajak
Munculnya teori struktur modal pada pasar modal sempurna dengan memasukkan unsur pajak, dilatarbelakangi oleh dua hal, yang pertama bunga
yang dibayarkan sebagai konsekuensi atas penggunaan hutang dapat dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang di kenakan pajak taxable
income . Kedua, perusahaan yang mempunyai hutang dan harus membayar
bunga akan membayar pajak income tax dalam jumlah lebih kecil, karena bunga merupakan pos deduksi perhitungan pajak Warsono, 2003.
Tahun 1963, MM menerbitkan artikel sebagai lanjutan teori MM tahun 1958. Asumsi yang diubah adalah adanya pajak terhadap panghasilan
perusahaan corporate income taxes. Dengan adanya pajak ini, MM menyimpulkan bahwa penggunaan hutang leverage akan meningkatkan nilai
perusahaan karena biaya bunga hutang adalah biaya yang mengurangi pembayaran pajak a tax-deductible expense Lukas Setia Atmaja, 2008:
254. Dalam keadaan ada pajak, MM berpendapat bahwa keputusan pendanaan
menjadi relevan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya bunga yang dibayarkan karena
menggunakan hutang bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak bersifat tax deductible.
Dengan kata lain, apabila ada dua perusahaan yang memperoleh laba operasi sama, tetapi yang satu menggunakan hutang dan membayar bunga sedangkan
satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak
40
penghasilan income tax yang lebih kecil. Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan
yang menggunakan hutang akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 269.
3. Financial Distress dan Agency Cost Financial distress
adalah kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam bangkrut. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan,
maka akan timbul biaya kebangkrutan bankruptcy cost yang disebabkan oleh: keterpaksaan menjual aktiva dibawah harga pasar, biaya likuidasi perusahaan,
rusaknya aktiva tetap dimana waktu sebelum tejual. Bankruptcy cost ini termasuk “direct cost of financial distress”. Selain itu, ancaman akan terjadinya
financial distress juga merupakan biaya karena manajemen cenderung
menghabiskan waktu untuk menghindari kebangkrutan dari pada membuat keputusan perusahaan yang baik. Ini temasuk “indirect cost of financial
distress ”. Pada umumnya, kemungkinan terjadinya financial distress semakin
meningkat dengan meningkatnya penggunaan hutang. Logikanya adalah semakin besar penggunaan hutang, semakin besar pula beban biaya bunga,
semakin besar probabilita bahwa penurunan penghasilan akan menyebabkan financial distress
Lukas Setia Atmaja, 2008: 258. Agency cost
atau biaya keagenan adalah biaya yang timbul karena perusahaan menggunakan hutang dan melibatkan hubungan antara pemilik
perusahaan pemegang saham dan kreditor. Biaya keagenan ini muncul dari problem keagenan agency problem. Jika perusahaan menggunakan hutang,
41
ada kemungkinan pemilik perusahaan melakukan tindakan yang merugikan kreditor. Misalnya perusahaan melakukan investasi pada proyek-proyek
berisiko tinggi. Ini jelas merugikan kreditor. Karena menerima keuntungan yang tetap bunga hutang berapapun keuntungan perusahaan. Ini tidak sesuai
dengan konsep “jika rasio bertambah, keuntungan juga harus bertambah”. Untuk menghindari kerugian semacam ini, kreditor melindungi diri dengan
perjanjian-perjanjian pada saat penandatanganan pemberian kredit covenant. Covenant
ini mengurangi kebebasan perusahaan dalam membuat keputusan. Selain itu perusahaan harus dimonitor untuk menjamin bahwa covenant ditaati.
Biaya untuk memonitor ini dibebankan pada perusahaan dalam bentuk bunga hutang yang lebih tinggi. Jadi agency costs terdri dari biaya kehilangan
kebebasan atau efisien dan biaya untuk memonitor perusahaan Lukas Setia Atmaja, 2008: 259.
Pihak manajemen dapat dianggap sebagai agen dari para pemilik perusahaan, yaitu para pemegang saham. Para pemegang saham ini, dengan
harapan bahwa agen akan bertindak demi kepentingan para pemegang saham, akan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan ke pihak manajemen.
Agar pihak manajemen dapat membuat keputusan yang optimal atas nama para pemegang saham, merupakan hal yang penting agar pihak manajemen tidak
hanya mendapat insentif yang tepat gaji, bonus, opsi saham, dan kompensasi, tetapi mereka akan diawasi juga. Pengawasan dapat dilakukan melalui berbagai
metode seperti pengikatan agen, audit laporan keuangan, dan secara eksplisit membatasi keputusan pihak manajemen. Para kreditor mengawasi perilaku
42
pihak manajemen dan pemegang saham dengan membebankan perjanjian jaminan dalam kesepakatan pinjaman antara pihak peminjam dan pemberi
pinjaman. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut dengan biaya agensi. Biaya agensi merupakan biaya-biaya yang berhubungan
dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan
kreditor dan pemegang saham Van Horne dan Wachowicz, 2007: 243. Salah satu pendapat dari teori agensi adalah siapapun yang mengeluarkan
biaya pengawasan, biaya tersebut pada akhirnya ditanggung oleh pemegang saham. Contohnya, para pemilik hutang, karena mengantisipasi biaya
pengawasan, akan membebankan bunga yang lebih tinggi. Semakin besar kemungkinan biaya pengawasan, semakin tinggi biaya bunga dan semakin
rendah nilai perusahaan bagi para pemegang saham. Jumlah pengawasan yang diisyaratkan oleh pemilik hutang akan naik sejalan dengan jumlah hutang yang
belum dilunasi. Jika hanya ada sedikit atau tidak ada hutang, para pemberi pinjaman hanya dapat melakukan pengawasan terbatas, sementara jika terdapat
banyak hutang, mereka mungkin dapat mendesak pengawasan yang ekstensif. Biaya pengawasan cenderung akan meningkat sejalan dengan leverage
keuangan Van Horne dan Wachowicz, 2007: 244. 4. Trade Off Theory TOT
Pengembangan teori MM adalah teori perimbangan statis static trade-off. Utang memiliki manfaat dan biaya. Utang menguntungkan perusahaan karena
pembayaran bunga, tidak seperti pembayaran dividen, diperhitungkan sebagai
43
biaya dan mengurangi penghasilan kena pajak, sehingga jumlah pajak yang dibayarkan berkurang Budi Frensidy, 2008.
Disebut model trade off karena struktur modal yang optimal dapat ditemukan dengan menyeimbangkan keuntungan penggunaan hutang tax
shield benefits of leverage dengan biaya financial distress dan agency problem
Warsono, 2003. Berbagai faktor, seperti adanya corporate tax, biaya kebangkrutan, dan
personal tax , telah dipertimbangkan untuk menjelaskan mengapa suatu
perusahaan akhirnya memilih struktur modal tertentu. Penjelasan tersebut termasuk dalam lingkup balancing theories. Esensi balancing theories adalah
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih lebih besar, hutang akan ditambah.
Tetapi apabila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar, maka hutang tidak boleh lagi ditambah Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 275.
Perusahaan mendasarkan keputusan pendanaan pada struktur modal yang optimal. Struktur modal optimal dibentuk dengan menyeimbangkan manfaat
dari penghematan pajak atas penggunaan hutang terhadap biaya kebangkrutan. Penggunaan hutang mengakibatkan peningkatan EBIT yang mengalir ke
investor, jadi semakin besar hutang perusahaan, semakin tinggi nilainya dan harga saham perusahaan. Berdasarkan makalah Modigliani-Miller dengan
pajak, harga saham perusahaan akan dimaksimumkan jika menggunakan hutang 100 persen. Dalam kenyataannya, jarang ada perusahaan yang
menggunakan hutang 100 persen karena perusahaan membatasi penggunaan
44
hutang untuk menekan biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan Brigham dan Houston, 2006.
Teori struktur modal yang disebut sebagai balancing theories Myers, 1984 dan Bayles and Diltz, 1994. Disebut sebagai teori-teori keseimbangan,
karena tujuannya adalah untuk menyeimbangkan komposisi hutang dan modal sendiri. Pembicaraan balancing theories dimulai dari keadaan ekstrem, yaitu
pada kondisi pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak. Tentu saja kondisi seperti ini tidak ada dalam dunia nyata Husnan,2000: 324.
Model trade off tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal karena sulit untuk menentukan secara tepat PV biaya financial distress
dan PV agency cost. Namun demikian model ini memberikan 3 masukan penting Lukas Setia Atmaja, 2008: 260:
a. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi variabilitas keuntungannya akan memiliki probabilita financial distress yang besar. Perusahaan
semacam ini harus menggunakan sedikit hutang. b. Aktiva tetap yang khas tidak umum, aktiva yang tidak nampak intangible
assets dan kesempatan bertumbuh akan kehilangan banyak nilai jika terjadi
financial distress. Perusahaan yang menggunakan aktiva semacam ini seharusnya menggunakan sedikit hutang.
c. Perusahaan yang membayar pajak yang tinggi dikenai tingkat pajak yang besar sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang dibanding perusahaan
yang membayar pajak yang rendah tingkat pajak rendah.
45
5. Teori Informasi Tidak Simetris Asymmetric Information Theory Awal dekade 1960-an, Gordon donalson dari Harvard Universit y
mengajukan teori tentang informasi yang tidak simetris. Asymmetric information
adalah kondisi dimana suatu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain. Karena asymmetric information, manajemen
perusahaan lebih tahu lebih banyak tentang perusahaan dibanding investor dipasar modal. Jika manajemen perusahaan ingin memaksimumkan nilai untuk
memegang saham saat ini current stockholder, bukan pemegang saham baru, maka ada kecenderungan bahwa Lukas Setia Atmaja, 2008: 261:
a. Jika perusahaan memiliki prospek yang cerah, manajemen tidak akan menerbitkan saham baru tapi menggunakan laba ditahan supaya prospek
cerah tersebut dapat dinikmati current stockholder. b. Jika prospek kurang baik, manajemen menerbitkan saham baru untuk
memperoleh dana. Ini akan menguntungkan current stockholder karena tanggung jawab mereka berkurang.
Masalahnya adalah para investor tahu kecederungan ini sehingga mereka melihat penawaran saham baru sebagai sinyal berita buruk sehingga harga
saham cenderung turun jika saham baru diterbitkan. Ini menyebabkan biaya modal sendiri cost of equity menjadi tinggi, WACC semakin tinggi dan nilai
perusahaan cenderung turun. Hal ini mendorong perusahaan untuk menerbitkan obligasi atau berhutang daripada menerbitkan saham baru Lukas Setia Atmaja,
2008: 261.
46
Asymmetric Information Informasi Asimetris menurut Brigham dan
Houston 2006 adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda yang lebih baik daripada yang dimiliki investor. Informasi Asimetris
ini terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak daripada para pemodal. Dengan demikian, pihak manajemen mungkin berpikir
bahwa harga saham saat ini sedang overvalue terlalu mahal. Kalau hal ini yang diperkirakan terjadi, maka manajemen tentu akan berpikir untuk lebih
baik menawarkan saham baru sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal dengan yang seharusnya. Tetapi pemodal akan menafsirkan kalau
perusahaan menawarkan saham baru, salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal sesuai dengan persepsi manajemen.
Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah, karena itu emisi saham baru akan menurunkan
harga saham. Karena adanya asymmetric information, Gordon donalson menyimpulkan
bahwa perusahaan lebih senang menggunakan dana dengan urutan Lukas Setia Atmaja, 2008: 261: laba ditahan dan dana dari depresiasi, hutang dan
penjualan saham baru. 6. Pecking Order Theory POT
Menurut Husnan dan Pudjiastuti 2004: 275 dalam buku “dasar-dasar manajemen keuangan
”, disebut sebagai pecking order theory karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang
paling disukai. Teori ini mendasarkan diri atas informasi asimetrik asymmetric
47
information , suatu istilah yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai
informasi yang lebih banyak tentang prospek, risiko, dan nilai perusahaan daripada pemodal publik. Manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak
dari pemodal karena merekalah yang mengambil keputusan-keputusan keuangan, yang menyusun berbagai rencana perusahaan, dan sebagainya.
Kondisi ini dapat dilihat dari reaksi harga saham pada waktu manajemen mengumumkan sesuatu seperti peningkatan pembayaran deviden.
Informasi asimetrik ini mempengaruhi pilihan antara sumber dana internal yaitu dana dari hasil operasi perusahaan ataukah eksternal, dan antara
penerbitan hutang baru ataukah ekuitas baru. Karena itu teori ini disebut sebagai pecking order theory. Disebut sebagai pecking order theory karena
teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai. Sesuai dengan teori ini, maka investasi akan dibiayai
dengan dana internal terlebih dahulu yaitu laba yang ditahan, kemudian baru diikuti oleh penerbitan saham hutang baru, dan akhirnya dengan penerbitan
ekuitas baru. Dengan adanya asimetrik informasi tersebut juga akan mengakibatkan perusahaan lebih suka pendanaan internal daripada eksternal.
Penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi baru kepada pemodal sehingga dapat menurunkan harga saham
Husnan dan Pudjiastuti, 2004: 278. Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena
ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan eksternal. Modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang
48
berasal dari luar perusahaan. POT menjelaskan mengapa perusahaan- perusahaan yang profitabel umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit.
Hal tersebut bukan disebabkan karena mereka mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena mereka memerlukan external financing yang
sedikit. Perusahaan yang kurang profitabel akan cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dua alasan, yaitu dana internal tidak cukup, dan hutang
merupakan sumber eksternal yang disukai Husnan, 1996. Pecking Order Theory
adalah salah satu teori yang mendasari keputusan pendanaan perusahaan. Pecking Order Theory, secara ringkas menyatakan
bahwa Brealey dan Myers, 1991 dalam Husnan 2000: 324: a. Perusahaan menyukai dana internal pendanaan dari hasil operasi
perusahaan. b. Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang
ditargetkan, dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran deviden secara drastis.
c. Kebijakan deviden yang relatif segan untuk dirubah, disertai dengan fluktuasi probabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga,
mengakibatkan bahwa dana hasil operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun pada kesempatan yang lain,
mungkin kurang. Apabila dana hasil operasi kurang dari kebutuhan investasi capital expenditure, maka perusahaan akan mengurangi saldo kas atau
menjual yang dimiliki.
49
d. Apabila sumber pendanaan dari dalam tidak mencukupi barulah beralih kesumber dana dari luar, mulai dari yang resikonya lebih kecil, yaitu
dimulai dengan hutang, penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi seperti obliasi konversi, baru akhirnya apabila
masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan. 7. Signaling Theory
Model ketiga tentang struktur modal adalah teori signaling yang dikembangkan Ross 1977. Model ini, seperti juga pecking order, berdasarkan
asumsi adanya asimetri informasi antara manajer dan investor Budi Frensidy, 2008.
Signaling Theory Teori Persinyalan menurut Brigham dan Houston
2006 merupakan suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang
prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru
yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk menggunakan utang di luar sasaran struktur modal yang normal. Perusahaan yang kurang menguntungkan
akan cenderung untuk menjual sahamnya, yang artinya menarik investor- investor baru untuk berbagi kerugian yang mereka alami. Adanya
pengumuman penawaran saham biasanya akan dianggap sebagai suatu sinyal bahwa prospek perusahaan seperti yang dilihat manajemen tidak terlalu cerah.
Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan
50
mengumumkan penawaran saham baru, biasanya harga sahamnya akan menurun.
Karena asimetri ini, pemegang saham tidak memercayai pernyataan manajemen bahwa prospek perusahaan bagus karena manajemen perusahaan
lain juga akan berkata sama. Bukankah berbicara dan berjanji itu mudah dan murah. Kalau mau, manajer perusahaan bagus dapat melakukan signaling yang
tidak dapat diikuti perusahaan yang tidak bagus karena berharga terlalu mahal untuk mereka. Ross mengatakan hanya perusahaan bagus yang dapat dipercaya
kreditor untuk berhutang banyak atau memperoleh hutang baru dan tetap dapat bertahan. Perusahaan-perusahaan jelek tidak dapat mengambil langkah ini.
Kalaupun dipaksakan, sangat mungkin mereka akan berakhir dengan kebangkrutan karena harus membayar bunga bankobligasi yang sangat besar.
Menurut model ini, rasio hutang itu bergantung pada bagus jeleknya perusahaan. Perusahaan bagus akan mempunyai rasio hutang yang besar
sementara perusahaan jelek akan menjaga rasio hutangnya tetap rendah Budi Frensidy, 2008.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal