1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Di era globalisasi seperti saat ini, sangat beragam masalah sosial yang belum teratasi atau ditemukan solusi. Diantaranya adalah masalah kemiskinan,
keterbelakangan, putus sekolah, dan maraknya anak jalanan yang semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Ini merupakan hal yang menarik untuk
ditelusuri sebab akibatnya sehingga dapat dipikirkan bersama solusipenanganan yang tepat dalam setiap permasalahan yang ada.
Salah satu masalah sosial yang ada saat ini adalah fenomena anak jalanan yang jumlahnya semakin bertambah. Mereka bertebaran di jalan raya, tempat-
tempat keramaian, kolong jembatan dan tempat-tempat kumuh lainnya. Mereka juga menjalani kehidupan keras yang penuh resiko, hidup dalam kemiskinan yang
seolah tidak teratasi, keterbelakangan, minimnya pengetahuan karena pendidikan yang rendah atau tidak
pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Pada data BPS Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial dalam
Jurnal Masyarakat dan Budaya 2005 yang dikutip dari Harian Suara Karya 2003 menyatakan bahwa jumlah anak jalanan semakin meningkat, yaitu pada
tahun 1998 disebutkan bahwa terdapat 2,5 juta lebih anak terlantar usia 6-18 tahun. Sedangkan menurut hasil survey dan pemetaan sosial pusat kajian
2
pembangunan masyarakat Universitas Atmajaya Jakarta disebutkan bahwa tahun 1999 jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia mencapai 39.861 orang.
Dan menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dr. Pudji Hastuti Msc. PH, mengungkapkan bahwa pada tahun 2003 jumlah anak jalanan telah
meningkat menjadi tiga kali lipat, yakni mencapai 150.000 anak jalanan Nyanyu Fatimah, 2005.
Jalanan seolah menjadi konotasi yang tidak menyenangkan, para pelakunya tidak memiliki aturan, bebas, seolah tidak merasakan beban hidup yang
melilit dalam keluarganya. Seperti yang diungkapkan oleh Irawan 1996 bahwa anak jalanan biasanya ingin hidup bebas di tengah masyarakat dengan aturan yang
mereka ciptakan sendiri. Sebagian besar waktu hidupnya digunakan untuk berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-teman di tempat umum seperti
pasar, terminal, halte, pertokoan, pinggir jalan, stasiun kereta api dan gang-gang sempit.
Interaksi yang terjadi di jalanan, baik antara anak dengan anak, anak dengan orang dewasa, maupun anak dengan lingkungan memunculkan tuntutan
tersendiri untuk bertahan hidup. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan dan kemanjaan, digantikan dengan perjuangan mempertahankan hidup
di jalanan. Pada umumnya yang mereka lakukan adalah pekerjaan kasar seperti
mengamen, semir sepatu, ojek payung, pengasong dan lain-lain. Hal ini seperti yang disebutkan dari hasil penelitian individu yang diolah dari data arsip Yayasan
Dian Nanda, Jakarta dalam Nyanyu Fatimah 2005 yaitu: pengemis, pengamen,
3
pelayankuli, dagang, semir sepatu, ojeg payung, tukang pulung, dan lain-lain. Dengan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, memberikan indikasi
bahwa pekerjaan anak jalanan ini cukup atau bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Disamping bekerja di tempat yang relatif dekat dengan
tempat tinggal, mereka juga memilih tempat-tempat yang strategis misalnya terminal, stasiun, alun-alun, lampu merah, pusat-pusat perbelanjaan maupun
fasilitas-fasilitas umum yang ramai. Selain kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan, anak jalanan
memiliki masalah dalam aspek sosial. Dari hasil penelitian Ali Khomsan 2010, diketahui terdapat beragam perilaku antisosial yang sering ditemukan di kalangan
anak jalanan, misalnya agresivitas perkelahian 87, menggertakmengancam 47, merusak milik orang lain 45 dan penyalahgunaan zat adiktif 66.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya tiga faktor psikososial yang secara bermakna berpengaruh terhadap munculnya perilaku antisosial pada anak
jalanan, yaitu lamanya anak telah menjalani kehidupan jalanan, lingkungan tempat tinggal, dan relasi anak dengan orangtuanya.
Latar belakang anak jalanan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, faktor keluarga struktur
sosial ekonomi keluarga yang tidak produktif, hubungan keluarga yang tidak harmonis, faktor biologis yang bersumber dari keturunan, terutama yang
berkaitan dengan kemampuan intelektual Irawan, 1996. Hal ini diperlihatkan dengan tingkah laku mereka yang suka merusak,
berkelahi, mengganggu orang lain, mengancam, bullying, mengata-ngatai,
4
memukul, menendang, tidak dapat mengendalikan marah, dan lain sebagainya. Tidak heran jika perilaku agresif sangat dekat dengan mereka, dengan melihat
salah satu faktor yang menyebabkan perilaku agresif adalah lingkungan keluarga, yaitu keluarga yang kurang memberi kasih sayang dan perhatian, sehingga mereka
mencarinya dalam kelompok teman sebaya. Kebiasaan hidup yang mereka jalani yang di luar kebiasaan layaknya anak-anak maupun remaja lainnya, menjadikan
mereka seperti terjebak dalam perilaku agresif. Menurut Kartono dalam Wisnubroto 2009 kelompok teman sebaya
menyediakan suatu tempat yaitu dunia tempat remaja melakukan sosialisasi dengan norma yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa,
melainkan oleh teman seusianya dan tempat dalam rangka remaja menemukan jati dirinya. Namun apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah
nilai yang negatif, maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa remaja.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan UNICEF 1997, anak-anak jalanan cenderung terlibat dalam pekerjaan illegal dan marginal, seperti mengemis dan
mencuri kecil-kecilan. Banyak diantara mereka masuk dalam dunia sindikat kejahatan yang gelap, mengerikan dan berbahaya, yang menyebabkan serangkaian
pencopetan, perampokan, mengedarkan obat bius dan pelacuran. Budaya yang menyelimuti kehidupan anak-anak ini ditandai dengan agresi dan penyalahgunaan,
menyebabkan mereka terkena bahaya yang ekstrim.
Pada umumnya remaja memiliki sifat agresif, dimana suka baku hantam dengan siapapun tanpa sebab yang jelas dengan tujuan sekedar mengukur kekuatan sendiri atau
5 kelompok. Sebenarnya remaja yang melakukan agresivitas itu adalah anak-anak normal,
mereka hanya berupaya mencari kompensasi dari kekurangan yang didapatkannya dalam keluarga atau lingkungan, tapi justru ditemukannya dalam kelompok remaja seperti
status, posisi sosial, pribadi idola, aksi bersama, persahabatan, simpati, kasih sayang, prestise, harga diri, rasa aman terlindungi dan sebagainya.
Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan sosial. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Mereka tidak ingin diperlakukan
seperti anak-anak, tetapi juga tidak ingin diberi hak seperti orang dewasa. Hal inilah yang membuat remaja selalu memberontak dan serba salah. Remaja juga mengalami kesulitan
dengan diri sendiri, orang tua, guru, dan juga orang-orang dewasa lainnya yang tugasnya melatih, mendidik, membimbing, dan mengarahkan Kartini Kartono, 2002.
Secara umum, Brehm Kassin dalam Susetyo 1999 mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain.
Agresivitas dapat muncul dari segala macam kelompok: mulai dari kelompok informal dan tanpa struktur, seperti kelompok anak sekolah yang terlibat tawuran,
kelompok masa yang berkelahi dikarenakan kepentingan tertentu, termasuk sekelompok anak jalanan.
Moyer dalam Susetyo 1999 mengemukakan bahwa agresivitas berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap emosi dalam diri individu. Emosi yang
meledak-ledak biasanya diwujudkan dalam bentuk amarah. Weiner dalam Sears, Freedman Peplau 1991 menyatakan bahwa amarah akan muncul bila serangan
atau frustasi yang dialami dianggap sebagai akibat pengendalian internal dan pribadi orang lain. Hal ini dapat diminimalisasi dengan orientasi religius pada
6
faktor kemampuan mengontrol diri. Dimana orientasi religius merupakan salah satu yang mempengaruhi kondisi internal masing-masing individu. Bergin 1980
berpendapat bahwa orientasi religius dapat memiliki beberapa konsekuensi positif, termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan
irasional, depresi, affect dan sifat kepribadian yang lain. Perilaku agresif individu salah satunya disebabkan oleh kepentingan
kelompok yang harus di penuhi tanpa mempedulikan tindakan yang dilakukan sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku. Pengendalian diri atau kontrol diri
yang kurang merupakan salah satu hal yang memunculkan tindakan yang tidak sesuai dengan norma tersebut yang berwujud kekerasan atau agresi.
Kontrol diri sebagai cara individu untuk untuk mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Kontrol diri merupakan salah satu potensi
yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terjadi di lingkungan
tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek yang negatif dari stresor-stresor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan
sebagai suatu intervensi intervensi yang bersifat pencegahan Zulkarnain, 1997. Bentuk-bentuk dari agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan
Anger dan kecurigaan Hostility. Agresi fisik dan agresi verbal dapat dikontrol dengan kemampuan mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol
dirinya dengan baik dan diharapkan mampu mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya. Contohnya: walaupun individu dipukul oleh seseorang, dia
7
tidak akan membalasnya. Selain itu agresi fisik dan agresi verbal juga dapat dikontrol dengan kemampuan mengontrol stimulus sehingga dapat menghadapi
stimulus agresivitas yang tidak diinginkan. Contohnya: ketika individu dihadapkan suatu perselisahan maka individu tersebut akan mengontrol dirinya
dengan menyelesaikan perselisihan tanpa pertengkaran. Kemarahan Anger dapat dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi
peristiwa, sehingga kemarahan dapat dikendalikan dengan cara mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan secara relatif objektif. Contohnya:
individu tetap diam walaupun diejek oleh teman sehingga tidak menambah keruh suasana.
Sedangkan kecurigaan Hostility dapat dikontrol dengan kemampuan menafsirkan peristiwa, hal ini karena adanya kemampuan menilai dan penafsiran
suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. Contohnya: individu merasa ada sebagian orang menatapnya dengan
sinis, kecurigaan itu tidak akan terjadi jika individu selalu berpikir positif terhadap orang lain. Selain itu kecurigaan juga dapat dikontrol dengan kemampuan
mengambil keputusan, karena hal ini didukung dengan adanya kemampuan untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujui.
Contohnya: individu merasa temannya tidak bersahabat, kecurigaan itu tidak akan terjadi jika individu yakin pada dirinya bahwa menjalin hubungan dengan teman
tidak akan merugikan dirinya.
8
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas yaitu kebiasaan belajar, kondisi internal, faktor penghambat, faktor situasional. Salah satu faktor dari
agresivitas yaitu kondisi internal, meliputi adanya insting agresivitas abnormalitas secara fisiologis, reaksi emosi penolakan frustasi, marah, takut dan sakit, efek
minuman keras dan faktor bawaan sejak lahir. Keadaan tersebut bisa saja terjadi karena manusia tidak mampu menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya.
Ketidakmampuan dalam menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya tersebut dapat dinyatakan sebagai ketidakmampuan dalam mengontrol diri,
sehingga kemampuan mengontrol diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas.
Menurut Sarlito 2005 salah satu faktor yang bisa dikendalikan untuk mengurangi kemungkinan kekerasan adalah secara teknis, yaitu peningkatan
pengandalian. Aldi 2008 mengatakan bahwa pengendalian diri dapat dilakukan dengan prinsip kemoralan. Prinsip kemoralan mengacu pada perilaku baik dan
buruk. Pengendalian diri dapat dilakukan juga dengan menggunakan kesadaran, perenungan, mengendalikan diri dengan menyibukkan diri dengan pikiran atau
aktivitas yang positif. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti berasumsi bahwa salah satu
variable yang diduga dapat mengurangi agresivitas anak jalanan adalah pengendalian diri self-control. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
peneliti memilih judul “Hubungan Antara Pengendalian Diri Self-Control Dengan Agresivitas Anak Jalanan”.
9
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah