Sistematika Penulisan Kerangka Berpikir

10

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teorotis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan wacana dan kajian psikologi sosial mengenai pengendalian diri self-control dan agresivitas. 2. Secara praktis, penelitian ini berguna bagi remaja untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menurunkan agresiviatas dan memiliki pengendalian diri.

1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, sitematika penulisan yang akan digunakan adalah :

BAB 1 : Pendahuluan berupa latar belakang masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB 2 : Kajian Teori berisi uraian pendapat para ahli mengenai pengendalian diri self-control dan agresivitas. Kerangka Berpikir dan Hipotesis.

BAB 3 : Pendekatan Penelitian, Populasi dan Sampel, Variabel Penelitaian,

Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Teknik Analisis Statistik, Prosedur Penelitian. BAB 4 : Hasil penelitian, meliputi gambaran umum responden, pengkategorian skor masing-masing skala, hipotesis dan data tambahan.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran.

11 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Bab ini akan menjelaskan empat subbab. Subbab pertama menjelaskan teori mengenai agresivitas yang terdiri dari definisi agresivitas, jenis-jenis agresivitas, faktor-faktor penyebab agresivitas. Subbab kedua menjelaskan teori mengenai pengendalian diri self-control yang terdiri dari definisi pengendalian diri self-control, manfaat pengendalian diri self-control, aspek pengendalian diri self-control, pengaruh pengendalian diri self-control terhadap perilaku. Subbab ketiga merupakan uraian mengenai kerangka berpikir dan subbab keempat merupakan uraian mengenai hipotesis. 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Menurut Sears dkk 1994 agresi adalah tindakan yang dilakukan untuk melukai diri sendiri atau orang lain. Atkinson dan Hilgard 1993 mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal dan merusak harta benda. Arti agresi menurut Chaplin 2002 adalah kecenderungan habitual yang dibiasakan untuk memamerkan permusuhan. Agresif menggambarkan kekecewaan dan kemarahan seseorang dan bertindak untuk melepas perasaan 12 emosi tersebut terhadap orang lain bahkan sampai menyakiti orang lain secara sadar. Sikap agresif ialah perilaku yang menyakiti orang lain yang bersifat fisik mupun non fisik. Sementara itu, Baron 2005 memberikan pengertian bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Elliot Aronson dalam Koeswara 1988 mengajukan definisi agresi sebagai tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu, Moore dan Fine 1968 mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik atau pun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek- objek. Agresi menurut Berkowitz 1995 adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Agresi dapat berarti pelanggaran hak asasi orang lain dan tindakan atau cara yang menyakitkan, juga perilaku yang memaksakan kehendak. Menurut Sarason dalam Dayakisni 2009 agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, objek lain atau pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua mahluk vertebrata, sementara pada tingkat manusia masalah agresi sangat kompleks karena adanya peranan perasaan dan proses-proses simbolik. David O. Sears dkk 1985 mengemukakan bahwa terdapat tiga perbedaan definisi agresi. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku Behavioristik adalah bahwa agresi merupakan 13 perilaku yang melukai orang lain. Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Agresi ini merupakan tindakan yang disetujui, meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar standar norma yang telah diterima. Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresif dengan perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah, mungkin saja seseorang yang sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Krahe 1997 mendefinisikan agresi berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat merugikan atau menyakitkan, niat dan harapan untuk merugikan, dan keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimuli yang merugikan itu. Agresi lebih difokuskan pada pengertian perilaku agresif itu sendiri, yang menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut: menurut Myers 2005 perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Sedangkan menurut Setiadi 2001 perilaku agresif adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental. Dalam pengertian ini pengrusakan benda-benda baru dianggap merupakan perilaku agresif bila tujuan akhirnya menyakiti orang. Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang Berkowitz, 2003. Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi fighting, mengata-ngatai name-calling, bullying, mempelonco hazing, mengancam making threats, dan berbagai perilaku 14 as intimidasi lainnya Wilson, 2003. Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas Hidayat Ma’ruf, 2010. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah perilaku yang ditujukan kepada seseorang secara sadar dengan tujuan tertentu sehingga dapat menyakiti orang lain. Dalam penelitian ini, agresivitas pada anak jalanan yang dilakukan kepada temannya. Sehingga dengan perlakuannya itu, mereka yang agresif dapat memuaskan keinginannya untuk menyakiti teman- temannya.

2.1.2 Jenis-Jenis Agresivit

Buss dalam Dayakisni 2009 mengelompokkan agresi manusia dalam delapan jenis, yaitu: 1. Agresi fisik aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan individukelompok dengan cara berhadapan langsung dengan individukelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dll. 2. Agresi fisik pasif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan individukelompok dengan cara berhadapan dengan individukelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam. 3. Agresi fisik aktif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara berhadapan langsung dengan 15 individukelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dll. 4. Agresi fisik pasif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individukelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh. 5. Agresi verbal aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara berhadapan langsung dengan individukelompok lain, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat. 6. Agresi verbal pasif langsung yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara berhadapan dengan individukelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam. 7. Agresi verbal aktif tidak langsung yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individukelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba. 8. Agresi verbal pasif tidak langsung yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individukelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individukelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara. 16 Myers 2005 membagi agresi dalam dua jenis, yaitu: 1. Agresi rasa benci atau agresi emosi hostile aggression Jenis agresi ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri, jadi agresi sebagai agresi itu sendiri. Contonhnya: remaja yang berkelahi massal karena ada temannya yang katanya dikeroyok. 2. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain instrumental aggression Jenis agresi instrumental pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan antara pelaku dan koban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi. Agresi jenis ini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. Sementara itu, Medinus dan Johnson dalam Dayakisni 2009 mengelompokkan agresi menjadi empat kategori, yaitu: 1. Menyerang fisik, yang termasuk di dalamnya adalah memukul, mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi dan merampas. 2. Menyerang suatu objek, menyerang benda mati atau binatang. 3. Secara verbal atau simbolis, yang termasuk di dalamnya adalah mengancam secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap mengancam dan menuntut. 4. Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain. 17 Buss dan Perry 1992 mengelompokkan agresivitas ke dalam empat bentuk agresi, yaitu: agresi fisik, agresi verbal, agresi dalam bentuk kemarahan anger dan agresi dalam bentuk kebencian hostility. Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan kognitif. 1. Agresi fisik Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain secara fisik. Misalnya menyerang atau memukul. 2. Agresi verbal Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain melalui verbalis. Misalnya berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gosip dan kadang bersikap sarkastis. 3. Agresi marah Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bersikap agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah. 4. Sikap permusuhan Yang juga meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Dari berbagai pendapat mengenai jenis agresivitas tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agresivitas dapat dilakukan dengan cara langsung 18 maupun tidak langsung, secara fisik seperti; menendang, memukul, menginjak maupun non fisik contohnya; mencibir, memeletkan lidah, verbal aktif seperti; berbicara kasar dan kotor, mengata-ngatai maupun verbal pasif mengumpat, berbisik-bisik dengan teman membicarakan temannya yang lain, yang memiliki caranya sendiri. Sehingga dari berbagai macam jenis perilaku agresif tersebut, peneliti akan menggunakan jenis perilaku agresif menurut Buss dan Perry 1992 sebagai alat ukur dalam penyusunan skala sikap agresif anak jalanan. 2.1.3 Faktor-Faktor Pencetus Agresivitas Menurut Berkowitz 1995 ada dua faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu : 1. Faktor langsung terhadap agresivitas - Faktor langsung terhadap agresivitas, hadiah langsung untuk agresi artinya sebagian orang yang berkecendurungan kekerasan terus menjadi agresif selama bertahun-tahun karena mendapat imbalan dari perilaku seperti itu. Mereka menyerang orang lain cukup sering dan mendapati bahwa kebanyakan perilaku agresif mereka ada hasilnya. Seperti; 1. Dukungan orang tua, 2. Hadiah dari teman-teman, 3. Pengaruh kelompok dan geng. - Kondisi tak menyenangkan yang diciptakan orang tua, jika perasaan tak enak menyebabkan dorongan ke arah agresi, mungkin orang yang sering mengalami kejadian tak menyenangkan pada masa kecil kemudian mempunyai dorongan untuk sangat agresif setelah remaja dan dewasa. Misalnya; 1. Perilaku buruk dari orangtua, 2. Penolakan orang tua, 3. Perlakuan keras orang tua. 19 2. Faktor tak langsung terhadap agresivitas - Konflik keluarga Banyak ilmuan sosial dan orang awam beranggapan bahwa banyak anak nakal merupakan korban penyimpangan sosial dari kondisi keluarga abnormal. Karena mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi juga hanya mempunyai satu orang tua, mereka belajar untuk tidak menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat, misalnya; 1. Konflik antara ibu dan ayah, 2. Konflik dan perceraian. Menurut Willis dalam Ikawati dan Akhmad Purnama 1998 faktor-faktor penyebab timbulnya agresivitas pada remaja adalah: 1. Kondisi pribadi, yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun psikis, lemahnya kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan, kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kurangnya dasar keagamaan. 2. Lingkungan keluarga, yaitu keluarga yang kurang memberi kasih sayang dan perhatian, sehingga mereka mencarinya dalam kelompok teman sebaya, keadaan ekonomi keluarga yang rendah, dan keluarga yang kurang harmonis. 3. Lingkungan masyarakat, yaitu lingkungan masyarakat kurang sehat, keterbelakangan pendidikan, kurangnya pengawasan terhadap remaja, dan pengaruh norma-norma baru yang ada di luar. 4. Lingkungan sekolah, yaitu kurangnya perhatian guru, kurangnya fasilitas pendidikan sebagai tempat penyaluran bakat dan minat, dan norma-nnorma pendidikan kurang diterapkan. 20 Koeswara dalam Ikawati dan Akhmad Purnama 1998 menyebutkan faktor-faktor pencetus agresivitas adalah sebagai berikut: a. Frustasi b. Stres c. Penghilangan identitas diri d. Pengaruh alkohol dan obat-obatan e. Suhu udara f. Serangan dari luar g. Kromosom yang tidak normal h. Kelainan pada otaknya Menurut Sears, dkk 1985, sumber-sumber perilaku agresif adalah sebagai berikut : 1. Perasaan agresif Keadaan internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Kita semua pernah marah, dan sebenarnya setiap orang pada suatu saat pernah ingin melukai orang lain. Memang, banyak orang mengatakan bahwa mereka sedikit marah atau cukup marah beberapa kali dalam sehari atau beberapa kali dalam seminggu. Salah satu sumber amarah yang paling umum adalah serangan atau gangguan yang dilakukan oleh orang lain 2. Frustrasi Sumber utama kedua adalah frustrasi. Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dasar dalam psikologi 21 adalah bahwa frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresif. Misalnya, depresi ekonomi menyebabkan frustrasi, yang hampir mempengaruhi semua orang. Orang tidak memperoleh pekerjaan atau tidak dapat membeli sesuatu yang diinginkan, dan lebih dibatasi dalam semua segi kehidupan. Akibatnya, berbagai bentuk agresi menjadi lebih umum. 3. Peran Atribusi Suatu kejadian akan menimbulkan amarah dan perilaku agresif bila sang korban mengamati serangan atau frustrasi itu dimaksudkan sebagai tindakan yang menimbulkan bahaya. Hal ini mudah dipahami dalam teori atribusi. Bila korban menghubungkan frustrasi dengan keadaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak akan timbul amarah yang lebih besar. Tetapi, bila tidak ada pembenaran faktor eksternal semacam itu dan bila dibuat pertalian internal, amarah yang timbul akan lebih besar. Misalnya, kemarahan akan lebih banyak muncul pada seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai tidak sesuai dengan harapan karena adanya anggapan bahwa dosen tidak menyukai mahasiswa tersebut sehingga akan mengakibatkan perilaku agresif yang lebih besar dibandingkan jika mahasiswa menyadari bahwa nilai yang didapatkan akibat kurangnya usaha ketika ujian berlangsung. Menurut Koeswara 1988 agresivitas dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal pada individu. Gambaran faktor internal agresivitas ada pada setiap individu sebagai ciri bawaan. Manusia menurut kodratnya bersifat kejam dan sadistis, hanya dengan jalan represi dan sublimasi sajalah maka sifat-sifat primitif 22 itu dapat dijinakkan dalam bentuk tingkah laku budaya. Sedangkan faktor eksternal, manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesamanya. Maka munculah adanya pengaruh satu sama lain. Pengaruh tersebut menjadi penyebab timbulnya agresivitas pada individu. Beberapa faktor agresivitas menurut Koeswara yang berkaitan dengan penelitian ini, akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Frustrasi Situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak untuk mencapai tujuan 2. Stres Stres adalah suatu keadaan tertekan, baik fisik maupun psikologis. Berasal dari stimulus internal dan eksternal, yaitu : a. Stress internal intrapsikis Perasaan tertekan yang muncul dalam diri individu karena adanya permasalahan yang tidak bisa dipecahkan sehingga menyebabkan timbulnya agresi. b. Stress Eksternal sosiologis dan situasional Muncul karena adanya perubahan sosial dan memburuknya perekonomian menyebabkan meningkatnya kriminalitas termasuk di dalamnya kekerasan dan agresi. 23 Menurut Supratiknya 1995 penyebab agresif seringkali adalah pengalaman dalam keluarga yang bersifat destruktif, berupa penolakan, disiplin yang keras namun tidak konsisten, frustrasi akibat orang tua tidak rukun, orang tua kurang memberikan bimbingan dan sebagainya. Menurutnya, gangguan agresif disebut juga sebagai gangguan perilaku asosial dan mirip dengan kasus kepribadian psikopatik pada orang dewasa. Ciri-cirinya sulit diatur, suka berkelahi, menunjukkan sikap bermusuhan, tidak patuh, agresif baik secara verbal maupun behavioral, senang membalas dendam, senang merusak, suka berdusta, mencuri dan sering mengalami temper-tantrum atau mengamuk, cenderung agresif dalam bidang seks, cenderung terlibat dalam berbagai bentuk vandalisme atau perilaku merusak, bahkan mungkin sampai ke pembunuhan. Baron 2005 mengemukakan bahwa manusia diprogram sedemikian rupa untuk melakukan kekerasan oleh sifat alamiah mereka. Teori seperti ini menyatakan bahwa kekerasan manusia berasal dari kecenderungan bawaan yang diturunkan untuk bersikap agresif satu sama lain. Pendukung lain adalah Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa agresi terutama timbul dari keinginan untuk mati death wishthanatos yang kuat yang dimiliki oleh semua orang. Sementara itu, Konrad Lorenz 1988 berpendapat bahwa agresi muncul terutama dari insting berkelahi fighting instinct bawaan yang dimiliki oleh manusia dan spesies lainnya. Diasumsikan, insting ini berkembang selama terjadinya evolusi karena hal tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya individu yang terkuat dan terhebatlah yang akan menurunkan gen mereka pada generasi berikutnya. 24 Dari beberapa pendapat tersebut di atas, faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berarti bahwa agresivitas muncul dari dalam diri individu, penurunan gen atau kecenderungan bawaan. Sedangkan faktor eksternal, faktor dari luar dirinya. Berupa pengaruh lingkungan, baik keluarga maupun di luar dari lingkungan keluarga, teman sebaya dan lain sebagainya.

2.2 Pengendalian Diri Self-Control

2.2.1 Definisi Pengendalian Diri Self-Control

Pengedalian diri menurtut Goleman 2004 ialah mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar terungkap dengan pas. Mahoney dan Thoresen dalam Robert 1975 menjelaskan bahwa pengendalian diri merupakan jalinan yang utuh yang dilakukan individu terhadap lingkungannya. Individu dengan pengendalian diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial, dengan cara mengatur kesan yang dibuat lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersifat hangat dan terbuka. Pengendalian diri menurut Blackburn 1993 adalah kemampuan untuk menunda atau menghalangi suatu respon kekhawatiran dalam semua analisis perkembangan dan belajar, dan telah diperiksa secara mendalam yang meliputi pengendalian dorongan, pengendalian diri, toleransi terhadap frustasi, penundaan pemuasan keputusan. 25 Menurut Chaplin 2002 self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Sedangkan Henry 1994 mendefinisikan kontrol diri sebagai pengendalian yang yang dilakukan oleh individu terhadap perasaan-perasaan, impuls-impuls, dan tindakannya sendiri. Snyder dan Gangestad 1986 mengatakan bahwa pengendalian diri sangat relevan untuk melihat hubungan pribadi dengan ligkungan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif. Goldfried dan Merbaum dalam Lazarus 1976 juga mengartikan pengendalian diri sebagai suatu kesempatan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Plato dalam Howard Rachlin 2000 mendefinisikan kontrol diri self- control sebagai sesuatu yang bisa diciptakan, jika kita mempunyai kemampuan atau motivasi yang kuat untuk melakukannya. Tidak ada perbedaan antara kognisi knowledge dan motivasi self-control dimana seseorang dikatakan bijaksana, apabila dia memiliki perilaku baik dan memiliki pengetahuan yang benar. Dan seseorang tidak sepenuhnya mengerti apa yang terbaik terhadap dirinya, sebelum dia melakukan kesalahan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan akan mudah baginya untuk mengontrol segala perilakunya. Hurlock 1980 mengatakan bahwa kontrol diri bisa muncul karena adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya 26 motivasi, dan kemampuan mengelola segala potensi dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri itu sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Menurut Ubaydillah 2008, self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi agar tetap di bawah kontrol under-control dan kemampuannya dalam menahan diri dari tindakan brutal ketika ada pemicu atau berada dalam kondisi yang menegangkan stressful condition. Seseorang yang memiliki kemampuan mengontrol diri akan mampu menggunakan akal sehat, tetap bisa memunculkan pandangan positif dan tenang stabil. Sebagaimana yang dikemukakan Goldfried dan Merbau dalam Lazarus 1976, pengontrolan diri merupakan suatu proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur dan mengarahkan perilaku yang dapat membawanya ke arah konsekuensi positif. Zerotothree 2004 mengatakan self-control adalah kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tentang bagaimana dan kapan mengekspresikan perasaan-perasaan dan tindakan impuls-impuls. Pengendalian diri menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan Lazarus, 1976. Menurut Berk dalam Singgih 2006 pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan 27 dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Messina dan Messina dalam Singgih 2006 menyatakan bahwa pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan menangkal pengrusakan diri self-destructive, perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri autonomy atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasan dan pemikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi. Pengendalian diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya Hurlock, 1984. Hurlock 1973 menyebutkan terdapat tiga kriteria emosi dalam pengendalian diri, yaitu: a. Dapat melakukan pengendalian diri yang bisa diterima secara sosial. b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat. c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara bereaksi terhadap situasi tersebut.

2.2.2 Manfaat Pengendalian Diri

Self-Control Christoper dan Albert dalam Atwater 1999 mengembangkan manfaat teori pengendalian diri self-control, yang meliputi hal-hal di bawah ini: 28 1. Pengendalian setiap individu berbeda, dimana mereka yakin dapat menjalani kehidupannya. 2. Pengendalian diri seseorang tergantung pada interaksi antara individu tersebut dan lingkungannya. Dan juga tergantung faktor disposisi dalam diri dan karakteristik lingkungan. 3. Faktor penting dalam pengendalian diri adalah keyakinan bahwa kita dapat mempengaruhi hasilaktual, memilih alternatif yang ada, membuat konsekuensi dan mematuhinya. 4. Dalam beberapa situasi, kemapuan pengendalian diri yang kuat sangat diperlukan supaya kita dapat bertahan, beradaptasi dan mampu dalam menghadapi perubahan dan kekurangberuntugan. 5. Pengendalian diri menjadi faktor pendukung mencapai kesusksesan dan menghambat kegagalan. Oleh karena itu, individu memerlukan tingkat pengendalian diri yang berbeda untuk menghadapi persoalan di dalam kehidupannya.

2.2.3 Aspek-Aspek Pengendalian Diri Self-Control

Berdasarkan konsep Averil 1973, terdapat 3 aspek yang tercakup dalam kemampuan mengontrol diri, yaitu: a. Mengontrol perilaku behaviour 29 Mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: mengatur pelaksanaan regulated administration, dan memodifikasi stimulus stimulus modifiability. Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan dirinya sendiri atau seseuatu di luar dirinya. Individu yang mempunayi kemampuan mengontrol diri yang baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan jika tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mngetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. b. Mengontrol kognisi cognitive control Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: memperoleh informasi information gain dan melakukan penilaian apparsial. Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan auatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. 30 c. Mengontrol keputusan decisional control Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memillih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu: mengantisisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, yaitu kemampuan menahan diri. Aspek ini merujuk pada kemampuan individu dalam membuat pertimbangan dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Kemampuan mengontrol diri terletak pada kekuatan dari ketiga aspek tersebut. Kemampuan mengontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh salah satu aspek mendominasi, atau kombinansi tertentu dari berbagai aspek dalam mengontrol diri.

2.2.4 Pengaruh Pengendalian Diri Self-Control Terhadap Perilaku

Calhoun dan Acocella 1990 menyatakan bahwa kontrol diri self-control dapat dijadikan sebagai kekuatan sesorang dalam mempengaruhi diri, pengaturan terhadap fisik, sikap, dan proses-proses yang bersifat psikologis dengan kata lain, pengaturan terhadap segala proses yang menentukan diri seseorang. Dengan begitu, individu dengan kontrol diri yang tinggi akan sangat memperhatikan cara- 31 cara yang tepat untuk bagaimana berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia cenderung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat. Selain itu, perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka dengan orang lain. Seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan intraksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya. Calhoun dan Acocella 1990 mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. 1. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. 2. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. 32

2.3 Kerangka Berpikir

Keberadaan peran dari sebuah kontrol dalam kaitannya untuk mengurangi tingkat kriminalitas telah menjadi fokus utama dalam kajian psikologi sosial. Kontrol tersebut berkembang saat seseorang masih berada dalam masa kanak- kanak, baik secara langsung maupun tidak lagnsung yang berkaitan erat dengan norma sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kontrol dalam diri seorang individu dapat diklasifikasikan atas dua macam, kontrol internal self-control kontrol diri yang terkait dengan individu itu sendiri dan kontrol eksternal social control kontrol sosial yang melihat adanya batasan-batasan norma masyarakat Bustanova, 2009. Averil 1973 menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek dalam kontrol diri self-control yaitu: mengontrol tingkah laku, mengontrol kognisi, dan mengontrol keputusan. Seseorang melakukan kontrol diri agar sikap dan perilakunya sesuai dengan tuntutan lingkungan di sekelilingnya. Baron byrne dalam Walgito, 2002 mengatakan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: komponen kognitif, komponenn afektif, dan komponen konantif. Seseorang yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya, Dengan kontrol diri yang rendah, meraka tidak mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku. Mereka tidak mempu menginterpretasikan stimulus yang dihadapi, tidak mampu mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga tidak mampu memilih tindakan yang tepat Abdul Muhid, 2009. Sehingga dapat diasumsikan bahwa kemampuan mengontrol perilaku rendah mempunyai agresivitas tinggi, kemampuan mengontrol kognitif rendah mempunyai agresivitas tinggi, dan kemampuan mengambil keputusan rendah mempunyai agresivitas tinggi. Hal ini didukung dengan penelitian Slaby dan Guerra Anwar, 1998 menunjukkan bahwa individu dengan tingkat agresivitas yang tinggi berhubungan dengan kemampuan mereka dalam mengatasi permasalahan yang rendah. Sedangkan orang yang mempunyai kontrol diri yang tinggi akan mampu mengatur perilakunya Abdul Muhid, 2009. Yaitu apabila kemampuan mengontrol perilaku tinggi mempunyai agresivitas rendah, kemampuan mengontrol kognitif tinggi mempunyai agresivitas rendah, dan kemampuan mengontrol keputusan tinggi mempunyai agresivitas rendah. Agresivitas rendah 33 Self-control Rendah Self-control Tinggi Anak Jalanan Agresivitas tinggi

2.4 Hipotesis