Efek Antihiperurisemia Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea americana Mill.) pada Mencit Putih Jantan

(1)

EFEK ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL

BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.)

PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

OLEH:

MARTA PUSPITA

NIM 111501094

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL

BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.)

PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MARTA PUSPITA

NIM 111501094

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL

BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.)

PADA MENCIT PUTIH JANTAN

OLEH: MARTA PUSPITA

NIM 111501094

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 3 Agustus 2015 Disetujui oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195208241983031001 NIP 195103261978022001

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.

Pembimbing II, NIP 195208241983031001

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. NIP 197803142005011002 NIP 197506102005012003

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 19780603200512004

Medan, Agustus 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Efek Antihiperurisemia Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea americana Mill.) pada Mencit Putih Jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, MS., Apt., selaku dosen pembimbing akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, Ayahanda Rusly dan Ibunda Marlia, kakak tersayang


(5)

Lia Laila, S.Farm., M.Sc., Apt., beserta suami Bayu Eko Prasetyo, S.Farm., M.Sc., Apt., dan abang tersayang Herman Chandra, S.H., atas limpahan kasih sayang, semangat dan doa yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman asisten Farmakologi Farmasi USU Kak Tiwi, Albert, Nana, Maulida, Indah, Elvi, Gita, Rendy, Bang Yunus, Bang Fauzan, Kak Ridha, Kak Dara, Bang Denny, Bang Asyrun dan sahabat-sahabat tercinta Tiara, Khadijah, Nor Fasilla, Nurul, Desy, Sonia, Indah, Ricky dan Mahasiswa/I angkatan 2011 Fakultas Farmasi USU yang selalu mendoakan dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Marta Puspita NIM 111501094


(6)

EFEK ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.) PADA MENCIT PUTIH JANTAN

ABSTRAK

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal ( >7 mg/dL ). Kadar asam urat yang tinggi dalam tubuh lama kelamaan akan membentuk kristal dan akan mengakibatkan akumulasi pada sendi pergerakan yang akan menimbulkan rasa nyeri yang berlebihan. Salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengatasi hiperurisemia adalah biji alpukat (Persea americana Mill.) yang memiliki aktivitas antihiperurisemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat, efek ekstrak etanol biji alpukat dalam menurunkan kadar asam urat, dan mengetahui variasi dosis ekstrak etanol biji alpukat memiliki efek penurunan kadar asam urat yang sama seperti allopurinol.

Pengujian efek ekstrak etanol biji alpukat terhadap kadar asam urat dalam darah dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan alat pengukur kadar asam urat EasyTouch® dan diberikan campuran jus hati ayam dan jus melinjo selama 4 hari serta potassium oxonate sebagai penginduksi asam urat pada mencit. Dosis ekstrak etanol biji alpukat yang diujikan yaitu 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb yang diberikan secara oral dan pengamatan selang waktu 30 menit selama 2 jam. Sebagai kontrol positif digunakan allopurinol dosis 10 mg/kg bb dan CMC Natrium dosis 1% bb sebagai kontrol negatif. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) satu arah, kemudian dilanjutkan dengan Post-Hoc Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga dosis ekstrak etanol biji alpukat memberikan efek penurunan kadar asam urat. Pemberian ekstrak etanol biji alpukat dosis 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb memberikan hasil yang tidak berbeda secara signifikan dengan pemberian allopurinol dosis 10 mg/kg bb (p > 0,05) dan memberikan perbedaan yang signifikan dengan suspensi CMC Natrium dosis 1% bb (p < 0,05).

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa golongan senyawa metabolit yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat adalah flavonoid, glikosida, tanin, saponin dan triterpenoid. Semua ekstrak etanol biji alpukat dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan dosis efektif 50 mg/kg bb.

Kata Kunci: antihiperurisemia, ekstrak etanol biji alpukat, gout, Persea america na Mill., potassium oxonate


(7)

ANTIHYPERURICEMIC EFFECT OF AVOCADO SEED ETHANOL EXTRACT (Persea americana Mill.) IN WHITE MALE MICE

ABSTRACT

Hyperuricemic is a condition where there is an increase of uric acid level in blood above normal ( >7 mg/dL ). The high level of uric acid in our body over time will form crystal and may cause accumulation in joint movement that creates excessive soreness. One of many herbal plant that can be use to treat hyperuricemic is avocado seed (Persea americana Mill.) which has antihyperuricemic activity. This study aimed to find out the group of secondary metabolite compound in simplex and ethanol extract of avocado seed, the effect of avocado seed ethanol extract in decreasing uric acid level, and avocado seed ethanol extract dose variation has the effect in decreasing uric acid level same as allopurinol.

The examination of avocado seed ethanol extract on uric acid level in blood was carried out experimentally by using uric acid tester (EasyTouch®). Hyperuricemia was induced by oral administration of the chicken liver juice and melinjo juice mixture for 4 days diet and potassium oxonate as uric acid inducer in mice. Three tested doses were 50 mg/kg bw, 100 mg/kg bw, and 200 mg/kg bw given orally and the observation time was every 30 minutes during 2 hours. The dose of allopurinol was 10 mg/kg bw as positive control and the the dose of sodium CMC was 1% bw as negative control. The results were analyzed with One Way Analysis of Variance (ANOVA) followed by Post-Hoc Tukey method.

The results showed that all doses of avocado seed ethanol extract have an effect in decreasing uric acid level. Administration of avocado seed ethanol extract at 50 mg/kg bw, 100 mg/kg bw, and 200 mg/kg bw doses showed that the extract did not give a significant differences with 10 mg/kg bw of allopurinol (p > 0.05) and gave a significant differences with 1% bw of sodium CMC (p < 0.05).

Based on the result of the study, it concluded that the groups of secondary metabolite compound in simplex and avocado seed ethanol extract are flavonoid, glycoside, tannin, saponin and triterpenoid. All dose of avocado seed ethanol extract can reduce uric acid level in blood with the effective dose is 50 mg/kg bw. Keywords: antihyperuricemic, avocado seed ethanol extract, gout, Persea


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tanaman ... 6

2.1.1 Habitat ... 6


(9)

2.1.3 Sistematika tanaman ... 7

2.1.4 Nama lain ... 7

2.1.5 Kandungan kimia ... 8

2.1.6 Manfaat tanaman ... 8

2.2 Ekstraksi ... 8

2.2.1 Cara dingin ... 9

2.2.2 Cara panas ... 9

2.3 Asam Urat ... 10

2.4 Hiperurisemia ... 13

2.5 Gout ... 14

2.6 Obat yang Digunakan pada Pengobatan Penyakit Gout ... 16

2.7 Potassium Oxonate ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Alat ... 21

3.2 Bahan .. ... 21

3.3 Prosedur Pembuatan Simplisia ... 22

3.3.1 Pengumpulan bahan tanaman ... 22

3.3.2 Identifikasi tanaman ... 22

3.3.3 Pembuatan simplisia ... 22

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak ... 22

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 23

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 23

3.4.3 Penetapan kadar air ... 23


(10)

3.4.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 24

3.4.6 Penetapan kadar abu total ... 24

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 25

3.5 Skrining Fitokimia ... 25

3.5.1 Pemeriksaan flavonoid ... 25

3.5.2 Pemeriksaan alkaloid ... 26

3.5.3 Pemeriksaan glikosida ... 26

3.5.4 Pemeriksaan saponin ... 27

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 27

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 27

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Alpukat ... 28

3.7 Pembuatan Pereaksi ... 28

3.7.1 Pembuatan CMC-Na 0,5% ... 29

3.7.2 Pembuatan suspensi ekstrak etanol biji alpukat 1% ... 29

3.7.3 Pembuatan suspensi allopurinol 0,4% ... 29

3.7.4 Pembuatan jus hati ayam 50% ... 29

3.7.5 Pembuatan jus melinjo 100% ... 29

3.7.6 Pembuatan larutan potassium oxonate 0,8% ... 30

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan ... 30

3.9 Pengujian Efek Antihiperurisemia ... 30

3.10 Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman ... 32


(11)

4.3 Hasil Karakterisasi ... 33

4.3.1 Hasil pemeriksaan makroskopik ... 33

4.3.2 Hasil pemeriksaan mikroskopik ... 33

4.3.3 Hasil pemeriksaan karakteristik ... 33

4.4 Hasil Pengujian Efek Antihiperurisemia ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol biji

alpukat ... 32 4.2 Hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat . 34 4.3 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-30 ... 36 4.4 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-60 ... 38 4.5 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-90 ... 40 4.6 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-120 ... 42 4.7 Hasil uji one way anava persen penurunan kadar asam urat antar


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5 2.1 Buah Alpukat ... 6 2.2 Rumus bangun asam urat ... 10 2.3 Pembentukan asam urat dari nukleosida purin melalui basa purin

hipoxantin, xantin dan guanin ... 11 2.4 Rumus bangun potassium oxonate ... 19 4.1 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat terhadap

waktu ... 36 4.2 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-30 ... 37 4.3 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-60 ... 39 4.4 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-90 ... 41 4.5 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat hasil persetujuan etik penelitian ... 51

2. Surat hasil identifikasi tanaman ... 52

3. Karakteristik tanaman alpukat (Persea americana Mill.) ... 53

4. Hasil pemeriksaan mikroskopik biji alpukat ... 56

5. Perhitungan hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia ... 57

6. Perhitungan hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak ... 62

7. Bagan kerja penelitian ... 67

8. Bagan pembuatan ekstrak ... 68

9. Alat, bahan, dan objek yang digunakan ... 69

10. Contoh perhitungan dosis ... 73

11. Hasil pengukuran kadar asam urat sesudah pemberian EEBA dan allopurinol ... 74

12. Hasil pengukuran persen penurunan kadar asam urat sesudah pemberian EEBA dan allopurinol ... 75

13. Hasil analisis One way anava rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-30 ... 76

14. Hasil analisis One way anava rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-60 ... 78

15. Hasil analisis One way anava rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-90 ... 80

16. Hasil analisis One way anava rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-120 ... 82

17. Hasil analisis One way anava persen penurunan kadar asam urat antar dosis EEBA pada menit ke-120 ... 84


(15)

EFEK ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.) PADA MENCIT PUTIH JANTAN

ABSTRAK

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal ( >7 mg/dL ). Kadar asam urat yang tinggi dalam tubuh lama kelamaan akan membentuk kristal dan akan mengakibatkan akumulasi pada sendi pergerakan yang akan menimbulkan rasa nyeri yang berlebihan. Salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengatasi hiperurisemia adalah biji alpukat (Persea americana Mill.) yang memiliki aktivitas antihiperurisemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat, efek ekstrak etanol biji alpukat dalam menurunkan kadar asam urat, dan mengetahui variasi dosis ekstrak etanol biji alpukat memiliki efek penurunan kadar asam urat yang sama seperti allopurinol.

Pengujian efek ekstrak etanol biji alpukat terhadap kadar asam urat dalam darah dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan alat pengukur kadar asam urat EasyTouch® dan diberikan campuran jus hati ayam dan jus melinjo selama 4 hari serta potassium oxonate sebagai penginduksi asam urat pada mencit. Dosis ekstrak etanol biji alpukat yang diujikan yaitu 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb yang diberikan secara oral dan pengamatan selang waktu 30 menit selama 2 jam. Sebagai kontrol positif digunakan allopurinol dosis 10 mg/kg bb dan CMC Natrium dosis 1% bb sebagai kontrol negatif. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) satu arah, kemudian dilanjutkan dengan Post-Hoc Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga dosis ekstrak etanol biji alpukat memberikan efek penurunan kadar asam urat. Pemberian ekstrak etanol biji alpukat dosis 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb memberikan hasil yang tidak berbeda secara signifikan dengan pemberian allopurinol dosis 10 mg/kg bb (p > 0,05) dan memberikan perbedaan yang signifikan dengan suspensi CMC Natrium dosis 1% bb (p < 0,05).

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa golongan senyawa metabolit yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat adalah flavonoid, glikosida, tanin, saponin dan triterpenoid. Semua ekstrak etanol biji alpukat dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan dosis efektif 50 mg/kg bb.

Kata Kunci: antihiperurisemia, ekstrak etanol biji alpukat, gout, Persea america na Mill., potassium oxonate


(16)

ANTIHYPERURICEMIC EFFECT OF AVOCADO SEED ETHANOL EXTRACT (Persea americana Mill.) IN WHITE MALE MICE

ABSTRACT

Hyperuricemic is a condition where there is an increase of uric acid level in blood above normal ( >7 mg/dL ). The high level of uric acid in our body over time will form crystal and may cause accumulation in joint movement that creates excessive soreness. One of many herbal plant that can be use to treat hyperuricemic is avocado seed (Persea americana Mill.) which has antihyperuricemic activity. This study aimed to find out the group of secondary metabolite compound in simplex and ethanol extract of avocado seed, the effect of avocado seed ethanol extract in decreasing uric acid level, and avocado seed ethanol extract dose variation has the effect in decreasing uric acid level same as allopurinol.

The examination of avocado seed ethanol extract on uric acid level in blood was carried out experimentally by using uric acid tester (EasyTouch®). Hyperuricemia was induced by oral administration of the chicken liver juice and melinjo juice mixture for 4 days diet and potassium oxonate as uric acid inducer in mice. Three tested doses were 50 mg/kg bw, 100 mg/kg bw, and 200 mg/kg bw given orally and the observation time was every 30 minutes during 2 hours. The dose of allopurinol was 10 mg/kg bw as positive control and the the dose of sodium CMC was 1% bw as negative control. The results were analyzed with One Way Analysis of Variance (ANOVA) followed by Post-Hoc Tukey method.

The results showed that all doses of avocado seed ethanol extract have an effect in decreasing uric acid level. Administration of avocado seed ethanol extract at 50 mg/kg bw, 100 mg/kg bw, and 200 mg/kg bw doses showed that the extract did not give a significant differences with 10 mg/kg bw of allopurinol (p > 0.05) and gave a significant differences with 1% bw of sodium CMC (p < 0.05).

Based on the result of the study, it concluded that the groups of secondary metabolite compound in simplex and avocado seed ethanol extract are flavonoid, glycoside, tannin, saponin and triterpenoid. All dose of avocado seed ethanol extract can reduce uric acid level in blood with the effective dose is 50 mg/kg bw. Keywords: antihyperuricemic, avocado seed ethanol extract, gout, Persea


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asam urat merupakan hasil metabolisme purin yang diproduksi dari senyawa purin endogen maupun dari makanan. Kecanduan alkohol dan konsumsi makanan tinggi purin, serta konsumsi air yang rendah dan kurang olahraga merupakan faktor penyebab terjadinya hiperurisemia (Assob, et al., 2014). Hiperurisemia dikatakan apabila konsentrasi serum asam urat dalam darah untuk pria > 7 mg/dL dan untuk wanita > 6 mg/dL (Ernst, et al., 2008).

Hiperurisemia dapat dianggap sebuah kondisi terkait dengan peningkatan resiko terhadap penyakit gout, penyakit kardiovaskular, hipertensi dan penyakit metabolik (Chen, et al., 2014). Hiperurisemia dapat disebabkan oleh peningkatan produksi asam urat (overproduce), penurunan ekskresi asam urat oleh ginjal (underexcretion), atau kombinasi dari kedua mekanisme tersebut. Kurang dari 5% penderita gout mengalami hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan (Sanders, 2004).

Gout hanya dapat terjadi apabila kristal asam urat bertumpuk di dalam sendi. Ini terjadi pada beberapa orang yang mempunyai asam urat terlalu banyak di dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi dalam tubuh lama kelamaan akan membentuk kristal dan akan mengakibatkan akumulasi pada sendi pergerakan yang akan menimbulkan rasa nyeri yang berlebihan (Dieppe, 1995).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013, prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 24,7% dan prevalensi yang tertinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa


(18)

Barat (32,1%), dan Bali (30%). Data Riskesdas juga menunjukkan prevalensi penyakit sendi terhadap usia yaitu pada usia 55-64 tahun 45,0%, usia 65-74 tahun

51,9%, usia ≥ 75 tahun 54,8%.

Tujuan dari pengobatan gout adalah untuk mengurangi rasa nyeri dan gejala lain yang disebabkan oleh peradangan secepat mungkin. Pilihan pada situasi ini diantaranya yaitu obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS), kolkisin, dan glukokortikoid. Ada dua kelompok obat untuk terapi penyakit gout yaitu obat yang menghentikan proses inflamasi akut (AINS dan kolkisin) dan obat yang mempengaruhi kadar asam urat (urikostatik dan urikosurik). Allopurinol, penghambat xantin oksidase, merupakan salah satu pilihan untuk kebanyakan pasien gout. Allopurinol dapat secara efektif menurunkan kadar asam urat pada pasien dengan hiperurisemia melalui mekanisme kerja urikostatik dan secara spesifik diindikasikan pada pasien dengan peningkatan produksi asam urat. Namun, obat-obatan ini memiliki efek samping seperti demam, sakit kepala, diare, reaksi hipersensitivitas, dan lain-lain (Sanders, 2004).

Oleh karena itu, perlu dicarikan cara alternatif untuk mengobati gout. Salah satunya adalah menggunakan obat yang ada pada lingkungan sekitar yaitu tanaman obat dengan melakukan penelitian tentang obat tradisional yang mempunyai efek terhadap penurunan kadar asam urat. Dalam buku Duke’s Handbook of Medicinal Plants of Latin America (2009) salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk pengobatan gout adalah biji alpukat (Persea americana Mill). Biji alpukat memiliki aktivitas antihiperurisemia yang diindikasikan sebagai pengobatan penyakit gout.


(19)

Alpukat (Persea americana Mill.) merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia dan merupakan salah satu jenis buah yang digemari masyarakat karena selain rasanya yang enak dan kandungan antioksidan yang tinggi (Afrianti, 2010). Namun demikian, biji alpukat yang merupakan salah satu hasil produk pertanian belum dimanfaatkan. Biji alpukat diketahui memilki efek hipoglikemik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati sakit gigi, maag kronis, hipertensi dan diabetes mellitus (Dewi, 2013). Hasil skrining fitokimia biji alpukat yang dilakukan oleh Ernawati (2009) menunjukkan adanya golongan flavonoida, glikosida, steroida/triterpenoida, tanin dan saponin. Biji alpukat melalui penelitian ilmiah terbukti memiliki efek terapi, termasuk antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, antijamur dan analgesik (Idris, et al., 2009).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apakah senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat?

b. apakah pemberian ekstrak etanol biji alpukat dapat menurunkan kadar asam urat pada mencit putih jantan yang diinduksi dengan potassium oxonate? c. apakah variasi dosis ekstrak etanol biji alpukat memiliki efek penurunan kadar


(20)

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat adalah flavonoid, glikosida, saponin, steroid/triterpenoid, dan tanin.

b. pemberian ekstrak etanol biji alpukat dapat menurunkan kadar asam urat pada mencit putih jantan yang diinduksi dengan potassium oxonate.

c. variasi dosis ekstrak etanol biji alpukat memiliki efek penurunan kadar asam urat yang sama seperti allopurinol.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat.

b. efek ekstrak etanol biji alpukat dalam menurunkan kadar asam urat pada mencit putih jantan yang diinduksi oleh potassium oxonate.

c. variasi dosis ekstrak etanol biji alpukat memiliki efek penurunan kadar asam urat yang sama seperti allopurinol.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi potensi biji alpukat sebagai terapi alternatif dalam menurunkan kadar asam urat.


(21)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan kerangka pikir penelitian sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Ekstrak etanol biji alpukat

(EEBA) Simplisia Biji

Alpukat

1. Makroskopik 2. Mikroskopik 3. Kadar air

4. Kadar sari larut air 5. Kadar sari larut etanol 6. Kadar abu total 7. Kadar abu tidak larut

asam Karakteristik

Kandungan

metabolit sekunder 1.2. Alkaloid Flavonoid 3. Glikosida 4. Saponin 5. Tanin

6. Steroid/triterpenoid

Persen Penurunan

Kadar Asam Urat Kadar Asam Urat Kontrol

CMC-Na 1% bb

Allopurinol 10 mg/kg bb

EEBA 50 mg/kg bb, 100 mg/ kg bb,


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman

Alpukat merupakan buah yang tumbuh subur di daerah tropis. Biji alpukat dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Herminia de Guzman Ladion, seorang pakar kesehatan Filipina, menganjurkan penggunaan biji alpukat untuk mengobati sakit gigi (Rukmana, 1997).

Gambar 2.1 Buah alpukat (Persea americana Mill.) 2.1.1 Habitat

Alpukat adalah tanaman yang berasal dari wilayah mesoamerika yaitu Meksiko tengah dan selatan. Alpukat masuk ke Indonesia pada 1750. Sentra alpukat di Indonesia terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan Nusa Tenggara Timur (Trubus, 2013).

2.1.2 Morfologi Tanaman

Pohon alpukat tingginya 3 m sampai 10 m, berakar tunggang, batang berkayu, bulat, warnanya coklat, dan banyak bercabang. Daun tunggal letaknya rapat satu dengan yang lain di ujung ranting, bentuknya memanjang, ujung dan


(23)

pangkal runcing. Tepi rata kadang-kadang agak menggulung ke atas. Bunganya majemuk, buahnya buah buni, bentuk bola atau bulat telur, warnanya hijau atau hijau kekuningan. Daging buah jika sudah masak lunak, warnanya hijau dan kekuningan (Yuniarti, 2008).

2.1.3 Sistematika Tanaman

Menurut Rukmana (1997) sistematika tanaman alpukat adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranales

Suku : Lauraceae Marga : Persea

Jenis : Persea Americana Mill.

2.1.4 Nama lain

Tanaman alpukat memiliki nama lain yaitu: Sinonim : Persea gratissima Gaerth.

Nama daerah : alpuket atau alpukat (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), buah pokat/jamboo pokat (Batak), advokat/pookat (Lampung), dan apuket/jambu wolanda (Sunda).

Nama asing : avocado (Inggris), advocaat (Belanda), ahuaca; aguacate; pagua (Spanyol), avokat; avocatier; avocet (Perancis), abakate; agnacatebaum; avocadobirne (Jerman), huangyou guo (Cina),


(24)

awokado (Thailand), bo; le dau (Vietnam) dan avocado; apukado (Malaysia) (Indriani, 1997; Trubus, 2013).

2.1.5 Kandungan Kimia

Alpukat kaya akan berbagai macam kandungan kimia. Buah dan daunnya mengandung saponin, alkaloida dan flavonoid, selain itu daunnnya juga mengandung polifenol, quersetin, dan gula alkohol persit. Sementara daging buahnya mengandung tanin (Permadi, 2006). Secara khusus, bijinya mengandung 3-0-caffeoylquinic acid, 3-0-coumaroylquinic acid, dan procyanidin A trimer (Kosinska, et al., 2012).

2.1.6 Manfaat Tanaman

Buahnya banyak dimanfaatkan menjadi bahan makanan dan minuman di berbagai Negara. Pada daunnya mengandung rasa pahit dan kelat, bersifat antibakteri, antihipertensi, antikonvulsan, antivirus. Selain memiliki sifat peluruh air seni (diuretik), biji alpukat juga memilki berbagai macam efek farmakologis seperti antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, antijamur dan analgesik (Permadi, 2006; Idris, et al., 2009).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

Hasil ekstraksi disebut ekstrak, yaitu sediaan kental atau cair yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan pelarut yang sesuai kemudian menguapkan semua atau hampir semua pelarut yang digunakan pada ekstraksi (Depkes RI, 1995).


(25)

Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Depkes RI, 2000).

Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu cara dingin dan cara panas.

2.2.1 Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat.

2.2.2 Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.


(26)

b. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

c. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Asam Urat

Nama kimia asam urat adalah 2,6,8-trioksipurin. Oksidasi asam urat dalam larutan netral atau alkali menghasilkan karbondioksida dan allantoin, sedangkan oksidasi asam urat dalam larutan asam akan menghasilkan aloksan (Bondy, 1970). Rumus bangun asam urat dapat dilihat pada Gambar 2.2


(27)

Pada manusia nukleosida purin yang utama, yaitu adenosin dan guanosin diubah menjadi asam urat sebagai produk akhir yang diekskresikan keluar tubuh. Secara normal 90% hasil dari adenosin pertama-tama mengalami deaminasi menjadi inosin oleh adenosine deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosinat inosin dan guanosin, yang dikatalisasi oleh nukleosida purin fosforilase, akan melepas senyawa ribose 1-fosfat dan basa purin. Hipoxantin dan guanin selanjutnya membentuk xantin dalam reaksi yang dikatalisasi oleh xantin oksidase dan guanase. Xantin kemudian teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalisasi oleh enzim yang sama. Mekanisme reaksi dari pembentukan asam urat dari nukleosida purin melalui basa purin hipoxantin, xantin dan guanin dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Pembentukan asam urat dari nukleosida purin melalui basa purin


(28)

Asam urat pada serum manusia normal berkisar 3-6 mg/dL. Nilai normal asam urat pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dL sedangkan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dL. Nilai-nilai ini dapat mengalami peningkatan sampai 9-10 mg/dL pada seorang dengan keadaan gout (Carter, 1995).

Manusia tidak memilki urikase yang dimiliki hewan, suatu enzim yang menguraikan asam urat menjadi allantoin yang larut dalam air. Asam urat yang terbentuk setiap hari di buang melalui saluran pencernaan atau ginjal. Pada keadaan normal, jumlah asam urat terakumulasi pada laki-laki kurang lebih 1200 mg dan pada perempuan 600 mg. Jumlah akumulasi ini meningkat beberapa kali lipat pada penderita gout. Berlebihnya akumulasi ini dapat berasal dari produksi berkelebihan atau ekskresi yang kurang. Meskipun asupan purin berlebih, dalam keadaan normal, seharusnya ginjal dapat mengekskresikannya. Pada kebanyakan pasien gout (75-90%), klirens asam urat oleh ginjal sangat menurun (Wood, 1999).

Purin dalam tubuh yang menghasilkan asam urat berasal dari 3 sumber, yaitu (Hawkins, 2005):

1. Purin dari makanan

2. Konversi asam nukleat dari jaringan 3. Pembentukan purin dari dalam tubuh

Beberapa sistem enzim mengatur metabolism purin. Bila terjadi sistem regulasi yang abnormal maka terjadilah produksi asam urat yang berlebihan. Produksi asam urat berlebihan ini dapat juga terjadi karena adanya peningkatan penguraian asam nukleat dari jaringan, seperti pada myeloproliferative dan lymphoproliferative disorder. Dua abnormalitas dari dua enzim yang menghasilkan produksi asam urat berlebih yaitu:


(29)

1. Peningkatan aktivitas Phosphoribosylpyrophosphate (PRPP) sintetase menyebabkan peningkatan konsentrasi PRPP. PRPP adalah kunci sintesa purin, berarti juga sintesa asam urat.

2. Defisiensi hypoxanthine guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT). Defisiensi HGPRT meningkatkan metabolisme guanin dan hipoxantin menjadi asam urat (Hawkins, 2005).

Berkurangnya ekskresi asam urat ditemukan pada kurang lebih 90% penderita gout. Penyebab kurangnya ekskresi asam urat tidak diketahui, tetapi faktor seperti obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, menurunnya fungsi ginjal, konsumsi alkohol dan obat-obatan tertentu memegang peranan.

2.4 Hiperurisemia

Hiperurisemia terjadi pada 10% populasi negara industri barat; di mana 1 dari 20 orang beresiko terkena gout dengan kemungkinan pria lebih besar daripada wanita. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal ( >7 mg/dL) (Silbernagl and Lang, 2000). Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga mekanisme, yaitu:

a. Peningkatan produksi asam urat

Hal ini terjadi karena faktor idiopatik primer, makanan yang kaya purin (banyak mengandung protein), obesitas, alkohol, polisitemia vera, paget’s disease, proses hemolitik, dan psoriasis.

b. Penurunan ekskresi asam urat

Penurunan ekskresi asam urat merupakan sebagian besar penyebab hiperurisemia (hampir 90% kasus). Penyebabnya antara lain: idiopatik


(30)

primer, insufisiensi ginjal, ginjal polikistik, diabetes insipidus, hipertensi, asidosis, toksik pada kehamilan, penggunaan obat-obatan seperti salisilat kurang dari 2 gram/hari, diuretik, alkohol, levodopa, ethambutol, dan pirazinamid.

c. Kombinasi antara kedua mekanisme tersebut

Dapat terjadi pada defisiensi glukosa 6-fosfat, defisiensi fruktosa 1-fosfat aldose, konsumsi alkohol dan syok. Jika pada hiperurisemia didapatkan hasil bentukan kristal asam urat, maka hiperurisemia dapat berkembang menjadi gout.

Serangan gout dibedakan menjadi dua berdasarkan penyebabnya gout yaitu gout kronik dan gout akut (Mycek, dkk., 1995).

1. Gout akut

Serangan gout akut dapat diakibatkan oleh sejumlah kondisi, termasuk konsumsi alkohol berlebihan, diet kaya purin, atau penyakit ginjal.

2. Gout kronik

Gout kronik dapat disebabkan oleh:

- Cacat genetik, misalnya sesuatu yang mengakibatkan peningkatan derajat sintesis purin

- Defisiensi renal - Sindrom Lesch-Nyhan

- Sintesis asam urat yang berlebihan yang berhubungan dengan kemoterapi kanker

2.5 Gout

Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia)


(31)

(Carter, 1995). Gout atau pirai adalah penyakit akibat adanya penumpukan kristal mononatrium urat pada jaringan akibat peningkatan kadar asam urat (Terkeltaub, 2001; Becker dan Meenaskshi, 2005).

Terdapat empat tahap dari perjalanan klinis penyakit gout, yaitu (Carter, 1995):

a. Tahap pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Dalam tahap ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari penderita hiperurisemia asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut.

b. Tahap kedua adalah artritis gout akut. Pada tahap ini terjadi pembengkakan dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan metatarsophalangeal. Artritis menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal, demam dan peningkatan jumlah sel darah putih. Serangan dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stress emosional. Pada tahap ini biasanya pasien akan mencari pengobatan segera. Sendi-sendi lain dapat terserang, seperti sendi jari-jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan gout akut biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi dapat memakan waktu 10 sampai 14 hari. Mekanismenya yaitu mula-mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh. Selanjutnya diikuti oleh penimbunan di dalam dan sekeliling sendi-sendi. Serangan gout seringkali terjadi sesudah trauma lokal atau ruptur tofi (timbunan natrium urat) yang mengakibatkan peningkatan cepat dari konsentrasi asam urat lokal. Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi peningkatan ini dengan baik sehingga terjadi pengendapan asam urat di luar serum. Kristalisasi dan penimbunan asam urat akan memicu serangan gout. Kristal-kristal asam urat memicu respons


(32)

fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan kristal-kristal urat dan memicu peradangan lainnya.

c. Tahap ketiga setelah serangan gout akut adalah tahap interkritis. Tidak terdapat gejala-gejala pada masa ini, dapat berlangsung beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami ulangan serangan gout dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.

d. Tahap keempat adalah tahap gout kronik, di mana timbunan urat terus bertambah dalam beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat kristal-kristal asam urat mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan penonjolan dari sendi yang bengkak. Tofi terbentuk pada masa gout kronik akibat insolubilitas relatif dari urat. Tofi adalah penimbunan kristal urat pada jaringan yang mempunyai karakteristik seperti benjolan di bawah kulit yang bening. Tofi dengan hiperurisemia yang tidak terkontrol akan bertambah besar yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi persendian.

Gout dapat merusak ginjal, sehingga ekskresi asam urat akan bertambah buruk. Kristal-kristal asam urat dapat terbentuk pada interstitium medulla, papilla, dan pyramid, sehingga timbul proteinuria dan hipertensi ringan. Batu ginjal asam urat juga dapat terbentuk sebagai akibat sekunder dari gout. Batu biasanya berukuran kecil, bulat dan tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi (Carter, 1995).

2.6 Obat yang Digunakan pada Pengobatan Penyakit Gout

Kebanyakan strategi pengobatan gout adalah menurunkan kadar asam urat sampai dibawah titik jenuh, dengan demikian mencegah deposisi kristal asam urat. Ini dapat dilakukan dengan jalan, yaitu (Mycek, dkk., 1995):


(33)

1. Mempengaruhi sintesis asam urat 2. Meningkatkan ekskresi asam urat

3. Menghambat masuknya leukosit ke dalam sendi yang terkena 4. Pemberian obat-obat AINS

Pengobatan biasanya terdiri dari pereda nyeri (ibuprofen, naproxen, kolkisin, dan kortison) diikuti dengan pemberian allopurinol untuk menjaga kadar asam urat rendah sehingga kristal tidak terbentuk (Tortora dan Derrickson, 2011).

Obat-obatan yang digunakan dalam mengatasi serangan gout, yaitu: 1. Obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS)

Obat AINS merupakan pilihan pertama dalam mengatasi serangan gout akut karena memiliki efikasi yang baik dan toksisitas yang rendah pada penggunaan jangka pendek. Indometasin, naproxen, diklofenak, dan piroksikam merupakan obat AINS yang paling sering digunakan (Ernst, et al., 2008).

2. Kolkisin

Alkaloid ini diperoleh dari bunga dan biji tumbuhan Colchicun autumnale, yang berasal dari India, Afrika Utara, dan Eropa. Kolkisin berkhasiat antiradang lemah dengan efek baik pada serangan gout akut (efektivitas 90%). Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi zat-zat kemotaksis dan/atau glikoprotein dari granulosit yang memegang peranan pada rangkaian proses peradangan, hingga siklusnya dihentikan. Kolkisin juga menghambat sintesis dan pelepasan leukotrien (Mycek,1995; Tan dan Rahardja, 2007).


(34)

3. Kortikosteroid

Obat ini diberikan pada pasien yang memiliki kontraindikasi ataupun yang tidak memberikan efek terhadap pemberian obat AINS dan kolkisin (Ernst, et al., 2008).

Terapi profilaksis pada penderita gout dapat diberikan obat-obat yang bersifat urikostatik (menghambat pembentukan asam urat) atau urikosurik (meningkatkan ekskresi asam urat).

1. Agen Urikostatik (Allopurinol)

Allopurinol merupakan analog purin. Obat ini mengurangi produksi asam urat dengan jalan menghambat secara kompetitif dua langkah terakhir biosintesis asam urat, yang dikatalisasi oleh xantin oksidase. Akibatnya perombakan hipoxantin dikurangi dan sintesa asam urat menurun kurang lebih 50% dan produksi xantin maupun hipoxantin meningkat dan dibuang melalui ginjal. Obat ini mengurangi produksi asam urat, mengurangi konsentrasi asam urat di urin, mencegah terbentuknya batu natrium urat, dan mengecilkan tofi (deposit urat) (Mycek, 1995; Tan dan Rahardja, 2007).

2. Agen Urikosurik (Probenesid dan Sulfinpirazon)

Probenesid, suatu penghambat umum sekresi tubular asam organik, dan sulfinpirazon, suatu derivat fenilbutazon, merupakan dua obat urikosurik yang umum digunakan. Pada dosis terapi obat-obat ini menghambat reabsorbsi asam urat pada tubulus proksimal sehingga keluarnya asam urat melalui ginjal meningkat. Agar dapat bekerja dengan baik, maka diperlukan fungsi ginjal yang memadai. Klirens kreatinin perlu diperiksa untuk menentukan fungsi ginjal (normalnya adalah 115-120 mL/menit). Pemberian


(35)

obat-obatan ini diperlukan masukan cairan sekurang-kurangnya 1500 mL/hari agar dapat meningkatkan ekskresi asam urat, dan penggunaan aspirin harus dihindari, karena dapat menghambat kerja obat-obatan urikosurik (Mycek, 1995; Carter, 1995).

2.7 Potassium Oxonate

Potassium oxonate merupakan garam kalium dari asam oksonat. Potassium oxonate mempunyai berat molekul 195,18 dengan rumus molekul C4H2KN3O4. Rumus bangun potassium oxonate dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Rumus bangun potassium oxonate

Potassium oxona te merupakan inhibitor urikase yang mengkatalisis perubahan asam urat menjadi allantoin sehingga dapat dipakai sebagai bahan penginduksi pada model hewan coba yang menderita hiperurisemia (Yonetani dan Iwaki, 1983). Zat ini cepat memberikan kondisi hiperurisemia dalam waktu 2 jam setelah pemberian secara intraperitoneal pada tikus dan kemudian menurun hingga akhirnya mencapai keadaan normal setelah 24 jam (Astuti, 2011).

Urikase adalah enzim yang hanya terdapat pada mamalia yang tingkatannya lebih rendah dan berperan dalam pengubahan asam urat menjadi allantoin yang lebih mudah larut dalam air dan diekskresi bersama urea melalui


(36)

urin. Penghambatan kompetitif kerja enzim ini mengakibatkan akumulasi asam urat pada mencit dan dapat menimbulkan keadaan hiperurisemia. Potassium oxonate digunakan sebagai penginduksi hiperurisemia karena merupakan inhibitor urikase yang kompetitif untuk meningkatkan kadar asam urat (Astuti, 2011; Muhtadi, dkk., 2012).


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental, meliputi pengumpulan tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi dan skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak etanol biji alpukat, karakterisasi dan skrining fitokimia ekstrak, penyiapan hewan percobaan, perlakuan pada hewan percobaan, pengujian efek antihiperurisemia ekstrak etanol biji alpukat pada mencit putih jantan dengan penginduksi potassium oxonate. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 18 (Statistical Product and Service Solution).

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat pengukur kadar asam urat (Easy Touch®), aluminium foil, blender (Philip), lemari pengering, mikroskop, neraca listrik (Mettler Toledo), neraca hewan (GW-1500), rotary evaporator (Heidolph WB 2000), perkolator, seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, stopwatch, spuit 1 mL , oral sonde, mortar dan stamfer, dan alat-alat gelas.

3.2 Bahan-bahan

Bahan kimia yang digunakan adalah etanol 96% (teknis), pereaksi Bouchardat, Dragendorff, Mayer, besi (III) klorida 4,5% b/v, Molish, timbal (II) asetat 0,4 M, asam sulfat 6 N, asam klorida 2 N, Lieberman-Burchard, toluena, kloroform, asam klorida, kloralhidrat, Na-CMC (Natrium -Carboxy Methyl Cellulose), potassium oxonate, allopurinol (teknis), hati ayam, buah melinjo dan akuades (teknis).


(38)

3.3 Prosedur Pembuatan Simplisia 3.3.1 Pengumpulan bahan tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah biji alpukat (Persea americana Mill) yang segar. Pengumpulan bahan tanaman dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tanaman yang sama dari daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji alpukat segar yang dibeli di toko buah Jalan Panglima Denai Medan.

3.3.2 Identifikasi tanaman

Identifikasi tanaman dilakukan di “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – LIPI Bogor.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Bahan tanaman biji alpukat yang masih segar dikumpulkan, dicuci bersih di bawah air mengalir, ditiriskan dan ditimbang berat basahnya. Biji alpukat selanjutnya diiris berbentuk bulat tipis dengan diameter ±3 cm, kemudian dikeringkan di lemari pengering hingga kering, dibuang benda-benda asing atau pengotoran-pengotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia (sortasi kering), ditimbang berat keringnya kemudian diserbuk dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak

Pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1995).


(39)

3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk dari biji alpukat segar dan simplisia biji alpukat.

3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia biji alpukat. Biji alpukat dipotong melintang lalu diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja: Dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toulen dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).


(40)

3.4.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipnaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.4.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dan ekstrak dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).


(41)

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu didihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tannin, dan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan flavonoid

Serbuk simplisia dan ekstrak masing-masing ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40°C, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut:

a. sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).

b. sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat.


(42)

Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron (Depkes RI, 1995).

3.5.2 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia dan ekstrak masing-masing ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 96% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3 kali. Sari organik dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring, kemudian

diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50ºC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Sari air digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 larutan percobaan


(43)

dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) atau glikosida (Depkes RI, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia dan ekstrak masing-masing ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1 - 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.5.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dan ekstrak disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1 - 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Harborne, 1987).

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia dan ekstrak masing-masing ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah


(44)

menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya steroid/triterpenoid (Harborne, 1987).

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Alpukat

Serbuk simplisia diperkolasi dengan etanol, dilakukan dengan cara:

Dibasahi 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati – hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat sejuk, terlindung dari cahaya. Enap tuangkan atau saring. Hasil perkolat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak etanol (Ditjen POM, 1979).

3.7 Pembuatan Pereaksi

Pembuatan pereaksi mencakup pembuatan Na-CMC 0,5%, suspensi Ekstrak Etanol Biji Alpukat (EEBA) 1%, suspensi allopurinol 0,4%, jus hati ayam 50%, jus melinjo 100%, dan larutan potassium oxonate 0,8% .


(45)

3.7.1 Pembuatan CMC-Na 0,5%

Sebanyak 0,5 g Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi ±20 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml.

3.7.2 Pembuatan suspensi ekstrak etanol biji alpukat (EEBA) 1%

Sebanyak 1 g ekstrak etanol biji alpukat dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan Na-CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus hingga terbentuk suspensi, dan diencerkan dengan sedikit akuades. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan akuades hingga 100 ml.

3.7.3 Pembuatan suspensi allopurinol 0,4%

Sebanyak 1 tablet allopurinol yang mengandung 100 mg allopurinol dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian digerus. Lalu ditambahkan Na-CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml kemudian dicukupkan dengan Na-CMC 0,5% sampai batas tanda.

3.7.4 Pembuatan jus hati ayam 50%

Sebanyak 50 g hati ayam dimasukkan ke dalam blender kemudian ditambahkan 100 mL air, diblender sampai terbentuk jus hati ayam kemudian dimasukkan ke wadah plastik.

3.7.5 Pembuatan jus melinjo 100%

Sebanyak 100 g buah melinjo dimasukkan ke dalam blender kemudian ditambahkan 100 mL air, diblender sampai terbentuk jus melinjo kemudian dimasukkan ke wadah plastik.


(46)

3.7.6 Pembuatan larutan potassium oxonate 0,8%

Sebanyak 80 mg serbuk potassium oxonate dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, ditambahkan akua pro injeksi sampai batas tanda.

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit putih jantan dengan berat badan 20-30 g. Sebelum perlakuan, hewan percobaan dikondisikan terlebih dahulu selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungannya.

3.9 Pengujian Efek Antihiperurisemia

Sebelum percobaan dilakukan, mencit diberikan diet asam urat dengan diberikan campuran 0,4 mL jus hati ayam konsentrasi 50% dan 0,4 mL jus melinjo konsentrasi 100% secara oral serta larutan potassium oxonate konsentrasi 0,8% dosis 150 mg/kg bb secara intraperitoneal (i.p) selama 3 hari sebanyak 1 kali. Pada hari ke-4 mencit dipuasakan (tidak makan tetapi tetap minum) selama 18 jam, lalu ditimbang berat badan mencit masing-masing dan diberi tanda pada ekor. Kemudian masing-masing diukur kadar asam urat puasa. Kemudian, diberikan campuran 0,4 mL jus hati ayam konsentrasi 50% dan 0,4 mL jus melinjo konsentrasi 100% secara oral, lalu disuntikkan larutan potassium oxonate 0,8% dosis 300 mg/kg bb secara intraperitoneal (i.p). Setelah 1 jam kemudian, diukur kembali kadar asam urat pada masing-masing mencit, lalu dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit dengan perlakuan secara oral:


(47)

Kelompok II : Mencit diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb Kelompok III : Mencit diberikan suspensi EEBA dosis 50 mg/kg bb Kelompok IV : Mencit diberikan suspensi EEBA dosis 100 mg/kg bb Kelompok V : Mencit diberikan suspensi EEBA dosis 200 mg/kg bb

Diukur kembali kadar asam uratnya pada menit ke-30, 60, 90 dan 120. Lalu dihitung persen penurunan kadar asam urat (Purwatiningsih, dkk., 2010; Simarmata, 2012; Vogel, 2008).

3.10 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS versi 18.


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman

Hasil identifikasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, menyebutkan bahwa tanaman yang digunakan adalah buah alpukat (Persea americana Mill.). Hasil identifikasi tanaman dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 52.

4.2 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia pada simplisia dan ekstrak biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak biji alpukat

No. Golongan Senyawa

Hasil

Simplisia Ekstrak

1. Alkaloida - -

2. Flavonoida + +

3. Tanin + +

4. Steroid/Triterpenoida + +

5. Saponin + +

6. Glikosida + +

Keterangan: (+) = Positif (-) = Negatif

Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang telah diperoleh pada Tabel 4.1, maka golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia


(49)

biji alpukat dan ekstrak etanol biji alpukat adalah flavonoid, glikosida, tanin, saponin dan triterpenoid.

Menurut Marlinda (2012) dalam penelitiannya ekstrak etanol biji alpukat mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, triterpenoid dan saponin. Hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh Ernawati (2009), menunjukkan adanya golongan flavonoida, glikosida, steroida/triterpenoida, tanin dan saponin.

4.3 Hasil Karakterisasi

4.3.1 Hasil pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik terhadap tanaman biji alpukat (Lampiran 3, halaman 53-55) yaitu biji bulat berwarna kuning, kulit biji berwarna coklat. Irisan biji alpukat segar diperoleh bentuk setengah lingkaran dengan diameter ±3 cm dan tebal ±0,1 cm dengan organoleptik rasa kelat dan bau tidak spesifik. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia secara makroskopik yaitu irisan biji berwarna coklat kekuningan, rapuh, rasa kelat, bau tidak spesifik.

4.3.2 Hasil pemeriksaan mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia dijumpai adanya epidermis, parenkim, xylem, dan amilum. Pengamatan serbuk simplisia menggunakan mikroskop dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 56.

4.3.3 Hasil karakteristik

Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 4.2


(50)

Tabel 4.2. Hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak biji alpukat

No Karakterisasi Simplisia Ekstrak

1 Penetapan kadar air 4,32% 1,99%

2 Penetapan kadar sari larut dalam air 25,15% 2,93% 3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol 20,08% 23,78%

4 Penetapan kadar abu 7,45% 5,62%

5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,84% 0,75% Monografi simplisia biji alpukat belum tercantum dalam Materia Medika Indonesia (MMI), sehingga tidak ada acuan dalam menentukan parameternya.

Tabel 4.2 menunjukkan kadar air pada simplisia biji alpukat sebesar 4,32%, kadar tersebut memenuhi persyaratan umum yaitu lebih kecil dari 10%. Kadar air yang lebih besar dari 10% dapat menjadi media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya (Depkes RI, 1985).

Penetapan kadar sari yang larut dalam air menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut air seperti glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna dan asam-asam organik, sedangkan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut etanol seperti glikosida, antrakinon, steroid, flavonoid, klorofil, saponin, tanin dan yang larut dalam jumlah sedikit yaitu lemak (Depkes RI, 1995).

Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa simplisia tidak mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena dapat berbahaya (toksik) bagi kesehatan. Penetapan kadar abu total menyatakan jumlah kandungan senyawa anorganik dalam simplisia misalnya Cd, Pb, Mg, Ca, Na, Zn dan K. Kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa anorganik yang tidak larut dalam asam misalnya silikat. Abu total terbagi dua yaitu abu fisiologis dan abu non fisiologis. Abu fisiologis adalah abu yang berasal dari jaringan tumbuhan itu


(51)

sendiri sedangkan abu non fisiologis adalah sisa setelah pembakaran yang berasal dari bahan-bahan luar yang terdapat pada permukaan simplisia (WHO, 1998).

Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam menyatakan jumlah silika pada simplisia, diperoleh dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1998). Perhitungan pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia biji alpukat dan ekstrak etanol biji alpukat dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 57-66.

4.4 Hasil Pengujian Efek Antihiperurisemia

Pengujian efek antihiperurisemia ekstrak etanol biji alpukat dilakukan dengan membuat hewan uji mengalami hiperurisemia dengan cara diinduksi menggunakan potassium oxonate dosis 300 mg/kgBB serta menggunakan diet makanan tinggi asam urat selama 4 hari, dimana pengukuran kadar asam urat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur kadar asam urat EasyTouch®. Hasil yang diperoleh pada uji efek antihiperurisemia berupa parameter kadar asam urat dapat dilihat pada Lampiran 11, halaman 74. Lalu, untuk melihat kekuatan ekstrak etanol biji alpukat dan allopurinol dalam menurunkan kadar asam urat, dihitung persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-30, 60, 90, dan 120 setelah perlakuan yang dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 75.

Pada penelitian ini digunakan 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif menggunakan suspensi CMC-Na dosis 1% bb, kelompok kontrol positif menggunakan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb, dan kelompok uji terdiri dari 3 dosis perlakuan ekstrak (EEBA dosis 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, dan 200 mg/kg bb).


(52)

Gambar 4.1 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat terhadap waktu

Berdasarkan hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-30 setelah pemberian suspensi EEBA dan allopurinol, suspensi EEBA dosis 200 mg/kg bb memberikan efek penurunan kadar asam urat yang paling tinggi dimana persen penurunannya adalah 12,04%, diikuti dengan suspensi allopurinol dengan persen penurunan 10,12%, EEBA dosis 50 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 7,93%, dan EEBA dosis 100 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 7,88%.

Tabel 4.3 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan

pada menit ke-30

No. Perlakuan Rata-Rata %

penurunan KAU ± SD

P (Signifikansi)

1. CMC-Na 1% bb -4,41 ± 3,58 - 0,000**

2. Suspensi allopurinol

10 mg/kg bb 10,12 ± 3,63 0,001* -

3. Suspensi EEBA

50 mg/kg bb 7,93 ± 5,27 0,000* 0,903***

4. Suspensi EEBA

100 mg/kg bb 7,88 ± 3,28 0,000* 0,896***

5. Suspensi EEBA

200 mg/kg bb 12,04 ± 3,76 0,001* 0,937***

Keterangan: (*) = berbeda signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif (**) = berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

(***) = tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif -20 -10 0 10 20 30 40 50

Suspensi CMC Na 1% BB

Suspensi Allopurinol 10 mg/kg BB Suspensi EEBA 50 mg/kg BB Suspensi EEBA 100 mg/kg BB Suspensi EEBA 200 mg/kg BB Waktu (menit)

% P en u ru n a n K a d a r A sa m Ur a t

30 60 90 120


(53)

0 2 4 6 8 10 12 14 Suspensi Allopurinol 10 mg/kg BB

Suspensi EEBA 50 mg/kg BB

Suspensi EEBA 100 mg/kg BB

Suspensi EEBA 200 mg/kg BB

Gambar 4.2 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-30

Hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan terhadap 5 kelompok

perlakuan, dimana nilai F = 13,228; p = 0,000 (p ≤ 0,005). Dilanjutkan uji Post-Hoc menggunakan Tukey, didapat hasil yaitu persen penurunan kadar asam urat kelompok kontrol negatif yang diberikan CMC-Na 1% bb (-4,41% ± 3,58) memiliki perbedaan yang signifikan dengan 4 kelompok lain yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (10,12% ± 3,63), kelompok EEBA dosis 50 mg/kg bb (7,93% ± 5,27), kelompok EEBA dosis 100 mg/kg bb (7,88 ± 3,28), dan kelompok EEBA dosis 200 mg/kg bb (12,04% ± 3,76). Perbedaan yang bermakna ini diakibatkan karena pada perlakuan kontrol negatif hanya diberikan CMC-Na yang tidak memiliki aktivitas antihiperurisemia dalam menurunkan kadar asam urat pada hewan bila dibandingkan dengan kontrol positif yang merupakan allopurinol yang biasanya digunakan untuk mengurangi kadar asam urat. Menurut Hart (1990), CMC-Na (karboksi metil selulosa) merupakan turunan selulosa yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan

dikarenakan tidak adanya enzim untuk menghidrolisis ikatan β - glukosidase pada selulosa, sehingga CMC-Na dapat dipakai sebagai kontrol negatif karena tidak

10,12

7,93 7,88

12,04 P er se n p en u ru n a n K AU ( % )


(54)

akan memberikan perubahan efek terhadap obat atau ekstrak bahan uji apabila diberikan secara oral. Sedangkan persen penurunan kadar asam urat antara kelompok uji dengan kelompok pembanding, berdasarkan hasil analisis statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (10,12% ± 3,63) dengan

kelompok EEBA dosis 50 mg/kg bb (7,93% ± 5,27) dimana p = 0,903 (p ≤ 0,005),

kelompok EEBA dosis 100 mg/kg bb (7,88 ± 3,28) dimana p = 0,896 (p ≤ 0,005),

dan kelompok EEBA dosis 200 mg/kg bb (12,04% ± 3,76) dimana p = 0,937 (p ≤

0,005).

Tabel 4.4 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan

pada menit ke-60

No. Perlakuan Rata-Rata % penurunan

KAU ± SD P (Signifikansi)

1. CMC-Na 1% bb -8,16 ± 5,46 - 0,000**

2. Suspensi allopurinol

10 mg/kg bb 24,91 ± 8,81 0,000* -

3. Suspensi EEBA

50 mg/kg bb 16,50 ± 6,79 0,000* 0,249***

4. Suspensi EEBA

100 mg/kg bb 20,18 ± 5,41 0,000* 0,754***

5. Suspensi EEBA

200 mg/kg bb 22,49 ± 3,65 0,000* 0,972***

Keterangan: (*) = berbeda signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif (**) = berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

(***) = tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

Berdasarkan hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-60 setelah pemberian suspensi EEBA dan allopurinol, suspensi allopurinol memberikan efek penurunan kadar asam urat yang paling tinggi dimana persen penurunannya adalah 24,91%, diikuti dengan suspensi EEBA dosis 200 mg/kg bb dengan persen penurunan 22,49%, EEBA dosis 100 mg/kg bb dengan persen


(55)

0 5 10 15 20 25 30 Suspensi Allopurinol 10 mg/kg BB

Suspensi EEBA 50 mg/kg BB

Suspensi EEBA 100 mg/kg BB

Suspensi EEBA 200 mg/kg BB

penurunan sebesar 20,18%, dan EEBA dosis 50 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 16,50%.

Gambar 4.3 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-60

Hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan terhadap 5 kelompok

perlakuan, dimana nilai F = 22,932; p = 0,000 (p ≤ 0,005). Dilanjutkan uji Post-Hoc menggunakan Tukey, didapat hasil yaitu persen penurunan kadar asam urat kelompok kontrol negatif yang diberikan CMC-Na 1% bb (-8,16 ± 5,46) memiliki perbedaan yang signifikan dengan 4 kelompok lain yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (24,91 ± 8,81), kelompok EEBA dosis 50 mg/kg bb (16,50 ± 6,79), kelompok EEBA dosis 100 mg/kg bb (20,18 ± 5,41), dan kelompok EEBA dosis 200 mg/kg bb (22,49 ± 3,65). Sedangkan persen penurunan kadar asam urat antara kelompok uji dengan kelompok pembanding, berdasarkan hasil analisis statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (24,91 ± 8,81) dengan kelompok EEBA

dosis 50 mg/kg bb (16,50 ± 6,79) dimana p = 0,249 (p ≤ 0,005), kelompok EEBA

dosis 100 mg/kg bb (20,18 ± 5,41) dimana p = 0,754 (p ≤ 0,005), dan kelompok EEBA dosis 200 mg/kg bb (22,49 ± 3,65) dimana p = 0,972 (p ≤ 0,005).

24,91

16,50

20,18 22,49

P er se n p en u ru n a n K AU ( % )


(56)

Tabel 4.5 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan

pada menit ke-90

No. Perlakuan Rata-Rata %

penurunan KAU ± SD P (Signifikansi)

1. CMC-Na 1% bb -9,73 ± 7,70 - 0,000**

2. Suspensi allopurinol

10 mg/kg bb 36,93 ± 6,44 0,000* -

3. Suspensi EEBA

50 mg/kg bb 26,85 ± 4,04 0,000* 0,131***

4. Suspensi EEBA

100 mg/kg bb 30,91 ± 7,30 0,000* 0,580***

5. Suspensi EEBA

200 mg/kg bb 34,36 ± 5,78 0,000* 0,967***

Keterangan: (*) = berbeda signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif (**) = berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

(***) = tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

Berdasarkan hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-90 setelah pemberian suspensi EEBA dan allopurinol, suspensi allopurinol memberikan efek penurunan kadar asam urat yang paling tinggi dimana persen penurunannya adalah 36,93%, diikuti dengan suspensi EEBA dosis 200 mg/kg bb dengan persen penurunan 34,36%, EEBA dosis 100 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 30,91%, dan EEBA dosis 50 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 26,85%.


(57)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 Suspensi Allopurinol 10 mg/kg BB

Suspensi EEBA 50 mg/kg BB

Suspensi EEBA 100 mg/kg BB

Suspensi EEBA 200 mg/kg BB

Gambar 4.4 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-90

Hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan terhadap 5 kelompok

perlakuan, dimana nilai F = 45,013; p = 0,000 (p ≤ 0,005). Dilanjutkan uji Post-Hoc menggunakan Tukey, didapat hasil yaitu persen penurunan kadar asam urat kelompok kontrol negatif yang diberikan CMC-Na 1% bb (-9,73 ± 7,70) memiliki perbedaan yang signifikan dengan 4 kelompok lain yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (36,93 ± 6,44), kelompok EEBA dosis 50 mg/kg bb (26,85 ± 4,04), kelompok EEBA dosis 100 mg/kg bb (30,91 ± 7,30), dan kelompok EEBA dosis 200 mg/kg bb (34,36 ± 5,78). Sedangkan persen penurunan kadar asam urat antara kelompok uji dengan kelompok pembanding, berdasarkan hasil analisis statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi allopurinol dosis 10 mg/kg bb (36,93 ± 6,44) dengan kelompok EEBA

dosis 50 mg/kg bb (26,85 ± 4,04) dimana p = 0,131 (p ≤ 0,005), kelompok EEBA dosis 100 mg/kg bb (30,91 ± 7,30) dimana p = 0,580 (p ≤ 0,005), dan kelompok

EEBA dosis 200 mg/kg bb (34,36 ± 5,78) dimana p = 0,967 (p ≤ 0,005). 36,93

26,85

30,91 34,36

P er se n p en u ru n a n K A U ( % )


(58)

0 10 20 30 40 50 Suspensi Allopurinol 10 mg/kg BB

Suspensi EEBA 50 mg/kg BB

Suspensi EEBA 100 mg/kg BB

Suspensi EEBA 200 mg/kg BB

Tabel 4.6 Hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat setelah perlakuan

pada menit ke-120

No. Perlakuan Rata-Rata % penurunan

KAU ± SD P (Signifikansi)

1. CMC-Na 1% bb -11,62 ± 6,64 - 0,000**

2. Suspensi allopurinol

10 mg/kg bb 47,05 ± 4,49

0,000* -

3. Suspensi EEBA

50 mg/kg bb 35,29 ± 8,48

0,000* 0,150***

4. Suspensi EEBA

100 mg/kg bb 43,61 ± 9,37

0,000* 0,952***

5. Suspensi EEBA

200 mg/kg bb 46,06 ± 8,11

0,000* 1,000*** Keterangan: (*) = berbeda signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif

(**) = berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif (***) = tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol positif

Berdasarkan hasil rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit ke-120 setelah pemberian suspensi EEBA dan allopurinol, suspensi allopurinol memberikan efek penurunan kadar asam urat yang paling tinggi dimana persen penurunannya adalah 47,05%, diikuti dengan suspensi EEBA dosis 200 mg/kg bb dengan persen penurunan 46,06%, EEBA dosis 100 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 43,61%, dan EEBA dosis 50 mg/kg bb dengan persen penurunan sebesar 35,29%.

Gambar 4.5 Grafik rata-rata persen penurunan kadar asam urat pada menit

ke-120 47,05

35,29

43,61 46,06

P er se n p en u ru n a n K A U ( % )


(1)

Homogeneous Subsets

persenpenurunanKAU

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa kontrol_CMC 5 -8.1580

EEBA_50 5 16.4960

EEBA_100 5 20.1780 EEBA_200 5 22.4900 allopurinol 5 24.9100

Sig. 1.000 .249

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(2)

80

Perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

Interval Lower Bound

Upper Bound kontrol_CMC allopurinol -46.65400 4.03786 .000 -58.7368 -34.5712

EEBA_50 -36.57800 4.03786 .000 -48.6608 -24.4952 EEBA_100 -40.63800 4.03786 .000 -52.7208 -28.5552 EEBA_200 -44.09000 4.03786 .000 -56.1728 -32.0072 allopurinol kontrol_CMC 46.65400 4.03786 .000 34.5712 58.7368 EEBA_50 10.07600 4.03786 .131 -2.0068 22.1588 EEBA_100 6.01600 4.03786 .580 -6.0668 18.0988 EEBA_200 2.56400 4.03786 .967 -9.5188 14.6468 EEBA_50 kontrol_CMC 36.57800 4.03786 .000 24.4952 48.6608 allopurinol -10.07600 4.03786 .131 -22.1588 2.0068 EEBA_100 -4.06000 4.03786 .850 -16.1428 8.0228 EEBA_200 -7.51200 4.03786 .369 -19.5948 4.5708 EEBA_100 kontrol_CMC 40.63800 4.03786 .000 28.5552 52.7208 allopurinol -6.01600 4.03786 .580 -18.0988 6.0668 EEBA_50 4.06000 4.03786 .850 -8.0228 16.1428 EEBA_200 -3.45200 4.03786 .910 -15.5348 8.6308 EEBA_200 kontrol_CMC 44.09000 4.03786 .000 32.0072 56.1728 allopurinol -2.56400 4.03786 .967 -14.6468 9.5188 EEBA_50 7.51200 4.03786 .369 -4.5708 19.5948 EEBA_100 3.45200 4.03786 .910 -8.6308 15.5348


(3)

Homogeneous Subsets

persenpenurunanKAU

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa kontrol_CMC 5 -9.7260

EEBA_50 5 26.8520

EEBA_100 5 30.9120 EEBA_200 5 34.3640 allopurinol 5 36.9280

Sig. 1.000 .131

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(4)

82

(I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference (I-J) Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound kontrol_CMC

allopurinol -58.67200 4.85430 .000 -73.1979

-44.1461 EEBA_50 -46.91200 4.85430 .000

-61.4379

-32.3861 EEBA_100 -55.22600 4.85430 .000

-69.7519

-40.7001 EEBA_200 -57.68200 4.85430 .000

-72.2079

-43.1561 allopurinol

kontrol_CMC 58.67200 4.85430 .000 44.1461 73.1979 EEBA_50 11.76000 4.85430 .150 -2.7659 26.2859 EEBA_100 3.44600 4.85430 .952

-11.0799

17.9719 EEBA_200 .99000 4.85430 1.000

-13.5359

15.5159 EEBA_50

kontrol_CMC 46.91200 4.85430 .000 32.3861 61.4379 allopurinol -11.76000 4.85430 .150

-26.2859

2.7659 EEBA_100 -8.31400 4.85430 .449

-22.8399

6.2119 EEBA_200 -10.77000 4.85430 .213

-25.2959

3.7559 EEBA_100

kontrol_CMC 55.22600 4.85430 .000 40.7001 69.7519 allopurinol -3.44600 4.85430 .952

-17.9719

11.0799 EEBA_50 8.31400 4.85430 .449 -6.2119 22.8399 EEBA_200 -2.45600 4.85430 .986

-16.9819

12.0699 EEBA_200

kontrol_CMC 57.68200 4.85430 .000 43.1561 72.2079 allopurinol -.99000 4.85430 1.000

-15.5159

13.5359 EEBA_50 10.77000 4.85430 .213 -3.7559 25.2959 EEBA_100 2.45600 4.85430 .986

-12.0699

16.9819

*. The mean difference is significant at the 0,05 level


(5)

Homogeneous Subsets

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05 1 2 Tukey

HSDa

kontrol_CMC 5 -11.6200

EEBA_50 5

35.2920 EEBA_100 5

43.6060 EEBA_200 5

46.0620 allopurinol 5

47.0520 Sig.

1.000 .150

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

b.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000


(6)

84

Within Groups 901.904 12 75.159 Total 1220.483 14

Homogenous Subset

perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 Tukey HSDa EEBA 50 5 35.2920

EEBA100 5 43.6060 EEBA 200 5 46.0620

Sig. .164

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Multiple Comparisons

(I) perlakuan (J) perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound Tukey

HSD

EEBA 50 EEBA100 -8.31400 5.48302 .318 -22.9419 6.3139 EEBA 200 -10.77000 5.48302 .164 -25.3979 3.8579 EEBA100 EEBA 50 8.31400 5.48302 .318 -6.3139 22.9419 EEBA 200 -2.45600 5.48302 .896 -17.0839 12.1719 EEBA 200 EEBA 50 10.77000 5.48302 .164 -3.8579 25.3979 EEBA100 2.45600 5.48302 .896 -12.1719 17.0839