24
B. Adversity Quotient 1. Pengertian Adversity quotient
Adversity quotient menurut Stolz 2000 adalah kecerdasan menghadapi
kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Nashori 2007 berpendapat bahwa adversity quotient adalah kemampuan individu untuk menggunakan kecerdasannya dalam
mengarahkan, mengubah cara berfikir serta perilakunya ketika menghadapi tantangan, hambatan ataupun kesulitan yang dapat menyengsarakan dirinya
Menurut bahasa, kata adversity quotient berasal dari bahasa inggris, yaitu kemalangan atau kegagalan. Dalam bahasa Indonesia, adversity quotient
bermakana kesulitan atau kemalangan yang dapat diartikan sebagai kondisi ketidakbagiaan, kesulitan maupun ketidak beruntungan. Kata adversity dalam
konteks psikolo diartikan sebagai tantangan dalam kehidupan. Reni Akbar Hawadi, 2002
Menurut Stolz 2000, tingkat adversity quotient menentukan kesuksesan dalam menjalani kehidupan. adversity quotient diwujudkan dalam tiga bentuk
yaitu: a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan b. Ukuran dalam mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan
c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang dalam kesulitan
Universitas Sumatera Utara
25
Maka, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai
menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap
kesulitan tersebut.
2.Dimensi – dimensi Adversity Quotient
Adversity quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi yang oleh
Stoltz 2000 dikenal dengan CO2RE, meliputi: a. Control C
Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu
yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya
lebih rendah. Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah
cenderung berkemah atau berhenti. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk
berada di luar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu yang rendah
kemampuan pengendaliannya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan.
Universitas Sumatera Utara
26
b. Origin dan Ownership O2
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui
akibat-akibat kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang skor origin-nya rendah cenderung menempatkan rasa
bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya
penyebab atau asal usul origin kesulitan tersebut. Sedangkan individu yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap sumber kesulitan
berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang skor ownership-nya tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab
terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan. Sedangkan individu yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak mengakui masalah dan
menuding orang lain.
c. Reach R
Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reach-
nya rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan. Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung
membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Endurance E
Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu
yang skor endurance-nya rendah menganggap kesulitan danatau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa
positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Sedangkan Individu yang skor endurance-nya tinggi menganggap kesulitan dan penyebab-
penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinan terjadi lagi.
1. Faktor Pembentuk Adversity Quotient
Faktor pembentuk adversity quotient menurut Stolz 2000 adalah sebagai berikut:
a. Daya Saing Stolz 2000 berpendapat bahwa adversity quotient yang rendah
disebabkan karena tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan
peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b. Produktivitas Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara kinerja individu dengan respon yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
28
ketika menghadapi kesulitan. Artinya, respon konstruktif yang diberikan seseorang dalam kesulitan akan membantu
meningkatkan kinerja dan produktivitas yang tinggi. c. Motivasi
Stolz 2000 menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat akan menciptakan peluang dalam kesulitan,
artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan masalah dengan menggunakan kapasitas diri
serta segenap kemampuan. d. Mengambil resiko
Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi akan lebih berani dalam mengambil resiko dan terus berkembangan dalam
zona ketidaknyamanan. Hal ini akan membuat respon terhadap masalah menjadi lebih konstruktif
e. Perbaikan Seseorang dengan adversity quotient tinggi senantiasa berupaya
mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan
tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain dalam kehidupan
f. Ketekunan
Universitas Sumatera Utara
29
Orang yang merespon masalah dengan baik, akan lebih mudah untuk tetap bertahan dan tidak mudah menyerah ketika
menghadapi masalah baru g. Belajar
Orang-orang yang merespon seara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan anak yang berpola pikir
pesimistik.
2. Tiga Tingkatan kesulitan
Stolz 2000 mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga dan menggambarkan ketiganya dalam bentuk piramida:
Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan Stolz 2000: hal.51 Stolz menyatakan bahwa kesulitan pada individu menjadi hal yang paling
utama dan mendasar untuk ditinjau, dari segi biologis dan psikologis individu, dan bagaimana kualitas individu menambah atau mengurangi intensitas kesulitan. Lalu
Sekolah dan institusi pendidikan menjadi tantangan yang didapatkan dari
Universitas Sumatera Utara
30
lingkungan sampai pada akhirnya bagaimana pelajar pada umumnya mendapatkan kesulitan pada prestasinya disebabkan dua kesulitan sebelumnya. Untuk
mengatasi kesulitan dalam prestasi maka kesulitan di tingkat institusi pendidikan dan individu harus dihadapi terlebih dahulu.
3. Karakter Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient
Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz 2000 membagi orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan
climber. a. Quitter
Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.
Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki.
Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan
banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. b. Camper
Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak
seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan tidak meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan
mungkin takut akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki. Orang tipe
Universitas Sumatera Utara
31
ini akan puas pada suatu keadaan dan tidak mencoba untuk terus berkembang.
c. Climber Climber
merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk mendaki. Mereka selalu terus menerus maju dengan memikirkan
kemungkinan-kemungkinan serta tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental dan hambatan lainnya menghalangi
pendakiannya. Dalam konteks, orang tipe ini akan mengembangkan dirinya seiring dengan masalah yang ada dan terus belajar dari masalah.
C. Unit Kegiatan Mahasiswa USU Society for Debating