Latosol Merah TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Latosol Merah

Latosol terbentuk dari bahan induk tufa vulkan, banyak dijumpai pada daerah dengan curah hujan tinggi 2000–7000 mmtahun dengan rata–rata bulan kering kurang dari tiga bulan, topografi bergelombang, berombak, berbukit dan bergunung. Dalam klasifikasi tanah di Indonesia, pada tingkat kelompok subgroup sifat–sifat latosol hanya dibedakan oleh warna pada horizon B. Oleh sebab itu muncul sistem penamaan seperti Latosol Merah, Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan. Sifat lain yang menonjol dan penting dari latosol ialah terbentuknya keadaan granular. Keadaan itu merangsang drainase dalam yang sangat baik. Ini memungkinkan pengolahan tanah latosol segera setelah hujan lebat tanpa menyebabkan keadaan fisik tanah yang tidak memuaskan. Karena iklim tropik- basah dan semi tropik-basah secara berangsur berubah menjadi keadaan baik kering maupun sedang-basah maka latosolisasi juga bervariasi mengikuti perubahan–perubahan tersebut. Dengan demikian dijumpai berbagai profil sesuai dengan iklim yang berubah. Sebenarnya, penentuan apakah suatu tanah adalah latosol atau podzolik seringkali sangat sukar. Jadi, tanah merah atau lempung merah dari daerah mediteran dianggap orang sebagai tanah transisi. Akan tetapi, jangan ditafsirkan bahwa semua tanah di daerah tropik adalah Latosol. Berbagai macam, baik tanah–tanah aluvial, kolovial maupun kipas, terdapat di daerah tropik. Mereka sedikit sekali mengalami latosolisasi. Selanjutnya, pada daerah tinggi seringkali podzolisasi merupakan tipe genesis tanah yang dominan Soepardi, 1983. Proses penting dalam pembentukan tanah Latosol adalah proses laterisasi, yaitu terjadinya pencucian basa–basa dan silika yang mengakibatkan meningkatnya seskuioksida secara relatif pada horison penciri B. Tanah ini di dominasi mineral liat kelompok kaolinit. Tanah ini terbentuk pada ketinggian 220 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 3552 mmtahun. Latosol masuk ke dalam orde inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA 1990 Yogaswara, 1997.

2.3. Bahan Organik