perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan Tarsoen, 1991 dalam Affandi, 1994.
2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota
Adanya berbagai kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan
kualitas lingkungan hidup di kota semakin lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan pemukiman yang memberikan dampak penurunan kemampuan tanah
untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbondioksida, sulfurdioksida, serta kebisingan suara. Untuk memperbaiki mutu
lingkungan hidup di kota dapat secara efektif dan efisien dilakukan melalui pengembangan hutan kota.
Adapun faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan Purnomohadi, 1987, antara lain yaitu:
1. Kualitas udara yang sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi
setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas udara.
2. Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam suatu sistem, termasuk
penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.
3. Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi.
4. Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan mengenali faktor yang mempengaruhinya seperti lalu lintas, kepadatan
penduduk serta penumpukan fasilitas kota. 5. Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai
satwa yang tidak berbahaya. 6. Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota,
energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi, dan sebagainya.
2.4. Pengertian Hutan Kota
Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 1987 adalah
lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam
kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut Suwardi 1987 hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya
ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan
cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan
dan kepentingan warga lota. Hutan kota merupakan suatu cara pendekatan dan penerapan salah satu atau
beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan
penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan menurut Undang-undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967 yaitu
lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal
minimal 0,25 Ha berada di kota, tetapi juga dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau,
serta kebun dan pekarangan Fakuara, 1987. Haeruman 1987 mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di
luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus-menerus. Ekosistem hutan kota dapat
dibangun sedemikian sehingga secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang belapis-lapis dimana masing-masing
fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan olahraga dan taman-taman umum dengan skala luas yang sama.
Secara rinci komposisi tegakan dalam hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis,
sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau RTH kota dalam pembangunan kota jangka panjang Purnomohadi, 1987.
Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat
hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan
ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai urbanity maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama dengan
perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan
terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut
sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi
langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah.
2.5. Pengelolaan Hutan Kota