7
D. PROSES TERMAL
Kajian tentang proses termal pengolahan dengan suhu tinggi terutama difokuskan pada aplikasi panas untuk membunuh atau menginaktifkan mikroorganisme dan enzim yang dapat
menyebabkan kebusukan produk pangan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tujuan utama proses termal adalah memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan
meningkatkan keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu dengan cara membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Proses termal juga memengaruhi mutu
produk, seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga lebih mudah dikonsumsi, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, serta menghancurkan komponen-
komponen yang tidak diperlukan seperti komponen antitripsin pada biji-bijian. Namun, proses termal juga dapat menyebabkan kerusakan komponen gizi vitamin, protein dan penurunan
mutu sensori rasa, warna, dan tekstur sehingga proses termal perlu dikontrol dengan baik Hariyadi, Kusnandar 2000.
Proses termal melibatkan proses pemanasan pada suhu tinggi pada berbagai variasi suhu dan waktu. Proses termal dapat dilakukan dalam sistem batch in-container sterilization atau
traditional canning atau dengan sistem kontinu aseptic processing. Berdasarkan kriteria suhu,
waktu, dan tujuan pemanasan, proses termal dibagi menjadi pasteurisasi dan sterilisasi komersial Hariyadi, Kusnandar 2000.
Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu yang relatif cukup rendah umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100
o
C dengan tujuan mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan memiliki daya awet
beberapa hari seperti produk susu pasteurisasi hingga beberapa bulan seperti produk sari buah pasteurisasi Hariyadi, Kusnandar 2000. Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi
ditujukan untuk membunuh mikroba patogen sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi
yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan menggunakan proses
pasteurisasi. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan
perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya. Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya
inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas, tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan mutu gizi dan mutu organoleptik. Beberapa mikroorganisme
yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah kapang, kamir, bakteri patogen Mycobacterium tuberculosis, Salmonella sp., Shigella dysentriae, serta bakteri yang tidak dapat
membentuk spora Pseudomonas, Achromobacter, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus
, Aerobacter. Berdasarkan kombinasi antara waktu dan suhu, terdapat tiga metode pasteurisasi yang umum diaplikasikan di industri pangan, terutama industri susu, yaitu: 1 Long
time pasteurization atau holder process, yaitu pada suhu 62.8-65.6
o
C selama 30 menit; 2 High temperature short time
HTST pasteurization, yaitu pada suhu 73
o
C selama 15 detik; dan 3 Flash pasteurization
, yaitu pada suhu 85-95
o
C selama 2-3 detik Kusnandar et al. 2009. Sterilisasi komersial adalah proses termal pada suhu tinggi di atas 100
o
C, umumnya diterapkan suhu standar 250
o
F atau 121,1
o
C dalam waktu yang cukup sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme hidup dalam bahan pangan Syarief et al. 1989. Pengertian sterilisasi
komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin saja masih mengandung spora bakteri terutama spora bakteri nonpatogen termofilik,
8
namun spora tersebut berada dalam kondisi dorman inaktif sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk disimpan dalam kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan
yang telah disterilisasi memiliki daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan hingga beberapa tahun Hariyadi, Kusnandar 2000.
Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain, jenis dan
ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah
disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi Kusnandar et al. 2006.
Menurut Reuter 1993, kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi cenderung minimal jika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat.
Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal, wadah yang digunakan, dan
ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus
cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Proses termal berkaitan erat dengan ketahanan bakteri, termasuk sporanya. Ketahanan
bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam satuan menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90 dari populasi
bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali
lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90 atau pembinasaan seluruhnya Heldman, Singh 2001.
Sel vegetatif bakteri, termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan kamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65
o
C. Nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan kamir berkisar antara 5-8
o
C sedangkan nilai z untuk bakteri pembentuk spora berkisar antara 6-16
o
C Garbutt 1997. Pada suhu 121
o
C, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang dan kamir berkisar antara 0-5 menit Kusnandar et al. 2009. Ketahanan panas mikroba
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi medium pertumbuhan organisme, pH dan a
w
medium, waktu pemanasan, serta suhu pemanasan Kusnandar et al. 2006
Keberhasilan proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan
keracunan. Bagian terdingin coldest point bahan pangan harus menerima panas yang cukup untuk menjamin kecukupan proses termal. Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting
dan kritis dalam menentukan tingkat proses termal yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerob dan bakteri patogen pembentuk
spora seperti Clostridium botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan toksin botulinin. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti Bacillus thermoacidurans atau
Bacillus coagulans . Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak mengalami kerusakan
akibat bakteri pembentuk spora Fardiaz 1992. Kecukupan proses panas bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau
enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas Fellows 2000. Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam
waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Kecukupan proses termal didasarkan pada jumlah
9
mikroba akhir pada produk pangan yang diinginkan setelah dilakukan proses termal Hariyadi, Kusnandar 2000.
E. KECUKUPAN PROSES TERMAL