Nugget characteristic from giant catfish (Clarias sp) using bogor taro as filler and coating agent

(1)

(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Karakteristik Nugget dari Ikan Lele Dumbo (Clarias sp) dengan Bahan Pengisi dan Pelapis dari Talas Bogor” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Mutia Hikmawati NRP C351090091


(4)

(5)

MUTIA HIKMAWATI. Nugget characteristic from giant catfish (Clarias sp) using bogor taro as filler and coating agent. Under direction of SRI PURWANINGSIH and BUSTAMI IBRAHIM

The study was carried out to characterize proximate composition of catfish, taro corms and taro flour and to evaluate the effect of washing catfish mince (0, 1, 2, 3 times) and taro flour’s concentration (0%; 5%; 10%; 15%; 20%) on the parameters of filler. The best result of the previous treatment was used to evaluate the effect of taro flour and maize starch ratio (4:0; 3:1; 2:2; 1:3; 0:4) on the parameters of batter. In order to characterize nugget product and to estimate its self life, the best result of the third treatment was used. The selected nugget product is produced from catfish mince with once washing treatment and 5% taro flour’s concentration as filler, and 1:3 taro flour and maize starch rasio for batter. The most abundant amino acids was glutamic acid (2%) while leucine was the most abundant essential amino acid (0,86%). The fatty acid compositions score showed that unsaturated fatty acid was higher than saturated fatty acid. The highest unsaturated fatty acid was oleic acid (30,44%) and the lowest was miristoleic acid (0,02%). Potassium (K) was the highest mineral content and flour (F) was the lowest ones. Quantitative descriptive analysis showed that nugget product has higher fish flavour and crunchiness, and lower oiliness values than commercial nugget. Results of the present study suggest that TPC appearred to be the main measurable indicators of quality changes in nugget product. Based on TPC, the estimation of product’s shelf life was 27,35 weeks (191,45 days).


(6)

(7)

MUTIA HIKMAWATI. Karakteristik Nugget dari Ikan Lele Dumbo (ClariasSp) dengan Bahan Pengisi dan Pelapis dari Talas Bogor. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan BUSTAMI IBRAHIM

Pemanfaatan lele sebagai sumber protein hewani telah lama berkembang di masyarakat. Salah satu bentuk olahan ikan lele yang dapat dikembangkan secara komersial adalah nugget ikan lele. Daging lumat ikan dalam bentuk surimi dapat diolah menjadi produk nugget dan dapat dikombinasikan dengan berbagai bahan pengisi (filler) dan bahan pelapis (coater). Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi produk nugget dari ikan lele dumbo (Clarias sp) dengan pemanfaatan tepung talas sebagai bahan pengisi (filler) sekaligus sebagai bahan pelapis (coater).

Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan karakteristik bahan baku ikan lele dumbo dan talas yang akan digunakan sebagai bahan pengisi (filler) dan pelapis (coater) pada nugget lele, (2) mempelajari pengaruh interaksi banyak pencucian daging dengan konsentrasi tepung talas sebagai bahan pengisi terhadap penerimaan organoleptik dan pengujian fisik, (3) mempelajari pengaruh konsentrasi tepung talas dan crumb talas sebagai bahan pelapis terhadap produk nugget lele, (4) menentukan karakteristik produk nugget ikan lele terpilih secara organoleptik dan kimia, serta (5) menentukan daya simpan produk nugget dengan menggunakan metode akselerasi.

Penelitian dilakukan dalam 5 tahap yaitu karakterisasi bahan baku, penentuan formulasi bahan pengisi, penentuan formulasi bahan pelapis, karakterisasi nugget, dan penentuan umur simpan. Tepung talas pada penelitian ini dibuat dengan mengacu pada metode penelitian Mayasari (2010). Tepung talas yang dihasillkan dianalisis kadar karbohidrat, protein, lemak, abu, air, dan kadar oksalat. Pembuatan crumb talas dilakukan dengan mengacu pada modifikasi metode penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2010) dan Aboubakar et al. (2008). Pembuatan surimi ikan lele mengacu pada metode Suzuki (1981). Perlakuan terhadap daging ikan lele dibedakan menjadi 4 yaitu tanpa pencucian, pencucian 1 kali, 2 kali dan 3 kali. Pada pencucian terakhir ditambahkan NaCl 0,3% (b/v).

Rancangan percobaan untuk tahap penentuan formulasi bahan pengisi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas 2 faktor, yaitu faktor banyak pencucian daging lumat (faktor A) dan konsentrasi tepung talas (faktor B) dengan ulangan sebanyak 2 kali. Rancangan percobaan untuk penentuan formula bahan pelapis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yaitu perlakuan perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena (4:0; 3:1; 2:2; 1:3; 0:4) dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Uji lanjut menggunakan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Uji organoleptik menggunakan uji Kruskal Wallis dengan uji lanjut multiple comparison. Penentuan perlakuan terpilih menggunakan uji Bayes. Tahap penentuan umur simpan menggunakan metode Arrhenius pada 3 perlakuan suhu yaitu 0oC, -5oC, dan -10oC.


(8)

abu 2,38%, serta karbohidrat 0,28%. Talas segar mengandung protein 2,94%, lemak 0,57%, air 52,19%, abu 1,42%, karbohidrat 42,88%, dan oksalat 0,39%. Tepung talas mengandung protein 4,91%, lemak 0,24%, air 4,47%, abu 1,54%, karbohidrat 88,55%, dan oksalat 0,15% dengan rendemen tepung 24,24%.

Peningkatan konsentrasi tepung talas mengakibatkan nilai adhesifitas dan kekerasan semakin meningkat, sedangkan tingkat kecerahan (L*), nilai organoleptik (rasa, aroma dan warna) semakin menurun. Berdasarkan uji Bayes, perlakuan pencucian 1 kali dan penambahan tepung talas 5% (formula P1C1) merupakan perlakuan terbaik yang diaplikasikan untuk menentukan formulasi bahan pelapis (coater) nugget.

Peningkatan konsentrasi tepung talas pada tahap penentuan formulasi bahan pelapis mengakibatkan peningkatan viskositas dan coating pick-up, tetapi menurunkan nilaicooked yield. Peningkatan kadar minyak tertinggi terdapat pada formula batter B1 yang merupakan formulasi 100% tepung maizena dan 0% tepung talas. Pengujian organoleptik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tepung talas menyebabkan penurunan nilai organoleptik kenampakan, warna, tekstur, rasa dan aroma. Berdasarkan uji Bayes diperoleh formulasibatter terbaik adalah formulasibatterB2 (tepung talas 25%, maizena 75%).

Berdasarkan hasil karakterisasi, nugget lele terbaik mengandung 15 asam amino yang terdiri dari 7 asam amino esensial, 5 asam amino semi esensial, dan 3 asam amino non esensial. Asam amino tertinggi pada nugget lele adalah asam glutamat (2,00%), sedangkan asam amino terendah adalah histidin, yaitu 0,29%. Total asam amino esensial pada nugget lele (3,78%), dengan asam amino esensial tertinggi adalah leusin. Hasil perhitungan skor asam amino diketahui bahwa asam amino pembatas pada nugget lele adalah metionin.

Nugget lele mengandung 11 jenis asam lemak jenuh dan 15 jenis asam lemak tak jenuh, dengan asam lemak jenuh tertinggi adalah asam palmitat (23,77%) dan asam lemak tak jenuh tertinggi adalah asam oleat (30,44%). Total asam lemak jenuh (SFA) pada nugget lele 29,38%. Kandungan asam lemak tak jenuh (MUFA+PUFA) tertinggi pada nugget lele adalah asam oleat (30,44%). Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) tertinggi adalah asam linoleat (11,23%). Kadar EPA pada nugget lele adalah 0,03% dan DHA 0,35%. Kandungan asam lemakomega-6 lebih tinggi dibandingkan denganomega-3.

Hasil analisis mineral, diketahui bahwa kandungan kalsium, magnesium, fosfor, kalium, dan zink nugget lele terbaik lebih tinggi dibandingkan nugget komersial. Hasil uji organoleptik dengan uji deskripsi pada produk nugget lele dan komersial menunjukkan bahwa nugget lele memiliki aroma ikan dan kerenyahan (crunchiness) yang lebih tinggi serta adhesivitas dan oiliness yang lebih rendah dibandingkan dengan nugget komersial.

Dari persamaan Arrhenius, diduga umur simpan nugget lele pada suhu penyimpanan produkbreadedbeku (-18oC) berdasarkan SNI 7319.1 : 2009 yaitu 27,35 minggu (191,45 hari).


(9)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PENGISI DAN PELAPIS DARI TALAS BOGOR

MUTIA HIKMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Nama : Mutia Hikmawati

NRP : C 351090091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Ketua

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

atas selesainya karya ilmiah ini yang berjudul : “Karakteristik Nugget dari Ikan Lele Dumbo (Clarias sp) dengan Bahan Pengisi dan Pelapis dari Talas Bogor”. Penelitian ini dilakukan atas biaya beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai anggota komisi, untuk waktu dan perhatiannya dalam membimbing dan memotivasi penulis.

2. Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran.

3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi yang senantiasa memberi motivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

4. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2009, Vivien, Mba Lily, Pak Untung, Pak Deni dan Yoyo untuk segala bantuan, motivasi dan kebersamaan yang bermakna selama ini.

5. Rekan-rekan S2 THP 2010, Mbak Lilis, Mas Ridho, Mbak Vita, Mbak Nikmah, Mbak Elin dan adik-adik S1 angkatan 44-45 yang telah membantu penulis selama penelitian.

6. Mba Ema, Mas Ipul, Mas Zaki dan Mba Lastri di laboratorium THP, Bu Rubiah, Pak Wahid dan Mba Ari di Fateta, Pak Junaedi di SEAFAST Center, Mas Iyan dan Mba Mila di Laboratorium Terpadu IPB, Pak Yudi di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu, serta Mba Vivi di BB2HP KKP Jakarta atas segala bantuan dan kerjasamanya.

7. Teman-teman”Ashabul Yamin”untuk kebersamaan dan bantuan tulusnya. 8. Segenap karyawan serta staff THP IPB yang telah membantu penyelesaian

studi penulis.

9. Ayah, ibu dan kakak-kakak ku untuk semua cinta, motivasi, dan doanya yang tiada henti.

Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis mengakui bahwasannya karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk penyempurnaan dikemudian hari. Akhir kata, penulis mengharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya.

Bogor, Januari 2012

Mutia Hikmawati NRP C351090091


(16)

(17)

Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 2 Maret 1974 dari pasangan Bapak Sarjana Gani dan Ibu Siti Mukminah. Penulis merupakan putri bungsu dari delapan bersaudara.

Lulus dari SMA Negeri 1 Sumbawa Besar tahun 1992, penulis kemudian diterima melalui jalur USMI di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan (sekarang menjadi Departemen Teknologi Hasil Perairan) dan lulus pada tahun 1997.

Pada saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.


(18)

xii

Halaman

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Lele Dumbo (Clariassp) ... 5

2.2 Talas dan Tepung Talas ... 7

2.3 Reduksi Oksalat ... 10

2.4 Surimi... 12

2.5 Pengaruh Pencucian terhadap Daging Lumat... 14

2.6 Nugget Ikan... 14

2.6.1 Penelitian tentang nugget ikan... 15

2.6.2 Pembuatan nugget ikan... 16

2.6.3 Bahan pengisi (filler) dan pengikat... 17

2.6.4 Bahan pelapis (coater)... 18

2.6.5 Bahan tambahan... 19

(1) Garam dan gula ... 19

(2) Sodium Tripolyphosphat(STPP)... 19

(3) Bumbu-bumbu... 20

(4) Soy Protein Isolate(SPI) dan susu skim ... 21

(5) Putih telur ... 21

(6) Sodium bikarbonat ... 22

(7) Air... 22

2.7 Umur Simpan ... 23

3 METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 25

3.2 Bahan dan Alat... 25

3.3 Prosedur Penelitian ... 26

3.4 Analisis Sampel ... 36

3.4.1 Kadar air (AOAC 2005) ... 36

3.4.2 Kadar abu (AOAC 2005)... 36

3.4.3 Kadar protein (AOAC 2005) ... 36

3.4.4 Kadar lemak (AOAC 2005)... 37

3.4.5 Kadar karbohidrat (AOAC 2005) ... 38

3.4.6 Kadar serat kasar (SNI 01-2891-1992)... 38


(19)

xiii

3.4.10 Analisis mineral (SNI 01-2362-1991 dan 01-2896-1998) ... 42

3.4.11 Analisis oksalat (Savageet al.2000) ... 43

3.4.12 Bilanganthiobarbituric acid(TBA) (Apriyantonoet al.1988) ... 44

3.4.13 Uji tekstur (Munizagaet al. 2004) ... 44

3.4.14 Uji viskositas (Yusnitaet al.2007)... 45

3.4.15 Derajat warna (Park 2000) ... 45

3.4.16Coating pick updancooked yield(Yusnitaet al.2007) ... 46

3.4.17 Perhitungan rendemen... 46

3.4.18Total Plate Count(TPC) (Fardiaz 1993) ... 46

3.4.19 Nilai pH (Apriyantonoet al. 1989) ... 47

3.4.20 Uji sensori (Setyaningsihet al.2010) ... 48

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 48

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 53

4.1 Karakterisasi Bahan Baku ... 53

4.1.1 Lele dumbo... 53

4.1.2 Umbi talas ... 55

4.1.3 Tepung talas ... 56

4.2 Karakteristik Daging Lumat dengan Perlakuan Pencucian... 59

4.2.1 Rendemen... 60

4.2.2 Nilai derajat keasaman (pH)... 61

4.2.3 Protein larut garam (PLG)... 62

4.3 Penentuan FormulasiFillerNugget ... 63

4.3.1 Pengaruh interaksi banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap sifat fisik ... 63

(1) Kekerasan (hardness)... 64

(2) Daya adhesive (adhesiveness)... 66

(3) Kekenyalan (cohesiveness) ... 69

(4) Derajat warna ... 71

4.3.2 Pengaruh interaksi banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas terhadap penilaian organoleptik ... 73

(1) Rasa... 73

(2) Tekstur ... 75

(3) Aroma... 76

(4) Warna ... 78

4.3.3 Penentuan formulasifillerterbaik berdasarkan uji Bayes... 79

4.4 Penentuan Formulasi Bahan Pelapis (Coater) Nugget... 81

4.4.1 Viskositasbatter... 81

4.4.2 Coating pick-up... 83

4.4.3 Cooked yield... 85


(20)

xiv

(3) Tekstur ... 90

(4) Rasa ... 91

(5) Aroma ... 91

4.4.6 Penentuan formulasibatterterbaik berdasarkan uji Bayes .... 92

4.5 Karakterisasi Kimia dan Organoleptik Produk Nugget ... 93

4.5.1 Karakteristik proksimat dan serat ... 93

4.5.2 Karakteristik asam amino ... 96

4.5.3 Karakteristik asam lemak ... 99

4.5.4 Karakteristik mineral ... 104

4.5.5 Karakteristik organoleptik ... 107

4.6 Penentuan Faktor Kritis ... 110

4.6.1 Nilai TPC ... 110

4.6.2 Nilai TBA ... 111

4.6.3 Uji organoleptik ... 113

4.7 Pendugaan Umur Simpan ... 114

4.7.1 Penentuan ordo reaksi... 115

4.7.2 Pendugaan umur simpan dengan persamaan Arrhenius ... 117

5 SIMPULAN DAN SARAN... 121

5.1 Simpulan ... 121

5.2 Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123


(21)

Halaman

1 Komposisi kimia ikan lele dalam berat kering ... 6

2 Kandungan gizi umbi dan tepung talas ... 8

3 Formulasi bumbu nugget ikan per 100 g daging ikan ... 17

4 Formulasi nugget lele... 31

5 Perlakuan formulasi bahan pengisi ... 31

6 Perlakuan formulasibatteruntuk bahan pelapis nugget... 32

7 Karakteristik daging ikan lele dumbo ... 53

8 Karakteristik umbi talas ... 55

9 Karakteristik tepung talas... 57

10 Karakteristik daging lumat ... 60

11 Kadar proksimat dan serat nugget lele ... 94

12 Komposisi asam amino nugget lele ... 97

13 Komposisi asam lemak nugget lele ... 100

14 Kandungan mineral nugget lele... 104

15 Nilai slop k dari persamaan Arrhenius ordo nol dan ordo satu ... 116

16 Tabulasi parameter persamaan Arrhenius pada ordo satu... 117


(22)

Halaman 1 Ikan lele dumbo (Clariassp)... 6 2 Bagan alir pembuatan tepung talas (Lingga 1986) ... 9 3 Proyeksi idioblast pada permukaan interseluler pada umbi talas

A : druses, B : raphide (Aboubakaret al.2010)... 11 4 Reaksi penggaraman pada umbi talas ... 12 5 Tahapan pembuatan tepung talas (modifikasi Mayasari 2010)... 28 6 Tahapan pembuatancrumbtalas (modifikasi Mayasari 2010 dan

Aboubakaret al. 2010)... 29 7 Tahapan pembuatan nugget lele ... 33 8 Prosedur penelitian ... 35 9 Kurva TPA yang diperoleh dari TA-XT2i ... 64 10 Histogram rata-rata kekerasan bahan pengisi nugget ... 65 11 Histogram rata-rata daya adhesif bahan pengisi nugget ... 68 12 Histogram rata-rata kekenyalan bahan pengisi nugget ... 70 13 Histogram rasa bahan pengisi nugget ... 74 14 Histogram tekstur bahan pengisi nugget ... 75 15 Histogram aroma bahan pengisi nugget... 77 16 Histogram warna bahan pengisi nugget ... 79 17 Histogram nilai bobot penentuan formula bahan pengisi nugget ... 80 18 Histogram viskositasbatternugget ... 82 19 Histogramcoating pick-upnugget... 84 20 Histogramcooked yieldnugget ... 85 21 Histogram penyerapan minyak nugget ... 86 22 Histogram nilai organoleptik bahan pelapis nugget ... 88 23 Histogram nilai bobot penentuan bahan pelapis nugget ... 92 24 Spider webuji deskriptif nugget lele ( ) dan nugget komersial ( )... 107 25 Nilai TPC nugget lele pada penyimpanan suhu 0oC... 111 26 Nilai TBA nugget lele pada penyimpanan suhu 0oC ... 112 27 Skor sensori pada penentuan faktor kritis ... 113


(23)

xvii


(24)

Halaman 1 Form uji organoleptik ... 133 2 Form uji QDA (Quantitative Descriptive Analysis) ... 136 3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai rendemen... 138 4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai pH ... 139 5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai PLG... 140 6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada kekerasan (hardness) ... 141 7 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada daya adhesif (adhesiveness)... 142 8 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada kekenyalan (chesiveness)... 144 9 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan padalighness(L*) ... 146 10 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan padaredness(a*)... 147 11 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan padayellowness(b*)... 148 12 Uji organoleptik Kruskal Wallis dan uji lanjutmultiple comparison... 149 13 Pembobotan Bayes penentuanfillerterbaik... 152 14 Analisis ragam (ANOVA) uji Duncan pada viskositas ... 153 15 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan padacoating pick-up... 154 16 Analisis ragam (ANOVA) padacooked yield... 155 17 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan padaoil content... 156 18 Uji Organoleptik Kruskal Wallis formulabatterdan uji lanjutmultiple

comparison... 157 19 Pembobotan Bayes penentuan bahan pelapis terbaik ... 159 20 Kromatogran asam amino nugget... 160 21 Skor Asam Amino ... 163 22 Kromatogram asam lemak nugget... 164


(25)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan lele sebagai sumber protein hewani telah lama berkembang di masyarakat. Secara biologis lele mempunyai pertumbuhan yang cepat dan dapat dipelihara dalam berbagai wadah budidaya, seperti kolam, keramba, kolam jaring apung, kolam air deras, dan sawah. Ikan lele mempunyai struktur daging yang halus dan tidak terdapat duri lembut, memungkinkan dijadikan bahan baku untuk berbagai bentuk olahan sehingga mempunyai nilai tambah yang lebih. Saat ini, bentuk olahan ikan lele yang dikenal masyarakat masih terbatas. Salah satu bentuk olahan ikan lele yang dapat dikembangkan secara komersial adalah nugget ikan lele.

Nugget ikan merupakan salah satu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar dalam bentuk utuh, fillet, maupun lumatan (BSN 2009). Pemanfaatan daging lumat ikan sebagai bahan baku nugget telah umum dilakukan masyarakat, baik tanpa dilakukan pencucian maupun dengan pencucian seperti pada pembuatan surimi. Menurut Chaijan et al. (2006), pada dasarnya proses pencucian penting untuk memperbaiki warna dan kekuatan gel surimi dengan memusatkan protein miofibril dan menghilangkan protein sarkoplasma, lemak, darah, dan pigmen.

Daging lumat ikan dalam bentuk surimi dapat diolah menjadi produk nugget dan dapat dikombinasikan dengan berbagai bahan pengisi (filler) dan bahan pelapis (coater). Penggunaan bahan pengisi pada olahan produk berbasis surimi termasuk nugget sangat berpengaruh pada tekstur nugget yang dihasilkan, stabilitas thawing, dan penurunan biaya produksi. Beberapa penelitian tentang nugget yang berasal dari daging lumat telah menggunakan tepung sebagai bahan pengisi nugget seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Tokuret al. (2006) dan Das et al. (2008) yang menggunakan tepung terigu, serta Lee et al. (2007) menggunakan kentang, dan Rospiati (2006) yang menggunakan tepung maizena. Penelitian mengenai penggunaan tepung talas sebagai bahan pengisi sekaligus sebagai pelapis untuk diolah menjadi nugget, diharapkan dapat menghasilkan nugget dengan citarasa yang enak dan nilai gizi yang lebih baik serta mampu


(26)

memberikan nilai tambah pada peningkatan pemanfaatan potensi lokal berupa lele dumbo dan talas bogor.

Talas (Colocasia esculenta L. Schott) merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air (Rukmana 1998). Matthew (2004) menyatakan bahwa sentrum asal tanaman talas mungkin berasal dari daerah tropis antara Indonesia dan India, serta telah tumbuh selama beratus-ratus tahun di Pasifik Selatan. Kandungan gizi talas sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan ubi-ubian umumnya, misalnya dengan ubi kayu dan ubi jalar. Umbi talas dapat diproses menjadi tepung talas dan berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Aboubakar et al. (2008) menyatakan kandungan karbohidrat pada talas berkisar antara 90,5% sampai 95,5% dan protein berkisar antara 2,9% sampai 4,9%. Menurut Niba (2003), di dalam umbi talas terkandung vitamin C, thiamin, riboflavin, dan niacin. Lewuet al. (2010) juga telah meneliti adanya kandungan kalium, kalsium, dan zink pada umbi talas. Mineral-mineral ini penting bagi pembentukan tulang dan gigi yang kuat.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung talas sebagai salah satu sumber tepung yang memiliki nilai gizi cukup tinggi. Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi produk nugget dari ikan lele dumbo (Clarias sp) dengan pemanfaatan tepung talas sebagai bahan pengisi (filler) sekaligus sebagai bahan pelapis (coater).

1.2 Perumusan Masalah

Nugget merupakan salah satu jenis produk olahan yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat karena praktis dalam penyajiannya. Selama ini, bahan baku tepung pada proses pengolahan nugget masih didominasi oleh kelompok serealia, seperti gandum dan padi, sedangkan untuk pemanfaatan kelompok umbi-umbian masih sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan tingkat ketergantungan pada produk gandum dan beras masih sangat besar.

Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedua produk tersebut adalah melalui usaha diversifikasi pangan melalui pengembangan produk dengan memanfaatkan potensi lokal berupa umbi-umbian yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat. Produk ini diolah menjadi bentuk yang lebih


(27)

menarik dan dikomposisikan dengan komoditas lain sehingga memiliki nilai gizi yang lebih tinggi.

Lele dumbo (Clarias sp) dan talas bogor (Colocasia esculenta L. Schott) merupakan salah satu hasil perikanan dan pertanian unggulan di Kabupaten Bogor. Pengolahan ikan lele dumbo menjadi produk olahan dengan memanfaatkan potensi lokal berupa talas bogor diharapkan dapat memberikan alternatif hasil olahan yang mudah diterapkan dan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Dalam rangka mengoptimalkan potensi lokal di sektor perikanan dan pertanian, dapat dilakukan diseminasi produk olahan dengan mengkombinasikan potensi ikan lele sebagai sumber protein dan tepung talas yang kaya karbohidrat dan mineral sebagai bahan pengisi (filler) sekaligus pelapis (coater) pada produk nugget.

1.3 Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui karakteristik nugget dari ikan lele dumbo yang menggunakan tepung talas sebagai bahan pengisi dan pelapis. Tujuan khususnya adalah (1) Menentukan karakteristik bahan baku ikan lele dumbo dan talas yang akan digunakan sebagai bahan pengisi (filler) dan pelapis (coater) pada nugget lele, (2) mempelajari pengaruh interaksi banyak pencucian daging dengan konsenterasi tepung talas sebagai bahan pengisi terhadap penerimaan organoleptik dan pengujian fisik, (3) mempelajari pengaruh konsentrasi tepung talas dan crumb talas sebagai bahan pelapis terhadap produk nugget lele, (4) menentukan karakteristik produk nugget ikan lele terpilih secara organoleptik dan kimia, serta (5) menentukan daya simpan produk nugget dengan menggunakan metode akselerasi.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif bentuk olahan ikan dengan bahan baku ikan lele dumbo (Clarias sp) melalui pemanfaatan potensi lokal unggulan berupa talas bogor (Colocasia esculenta L. Schott), yang diolah menjadi tepung talas danchip talas untukcrumb, sebagai alternatif bahan pengisi dan pelapis pada produk nugget ikan.


(28)

(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lele Dumbo (Clariassp)

Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar komersial yang populer sebagai ikan budidaya. Klasifikasi ikan lele dumbo menurut BSN (2000) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Subordo : Siluroidae

Famili : Clariidae

Genus : Clarias

Spesies : Clariassp

Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara ikan lele jenis Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985. Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar, serta mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi (BSN 2000).

Lele dumbo merupakan salah satu ikan yang memiliki kulit berlendir tetapi tidak bersisik. Jika terkena sinar, warnanya berubah menjadi pucat dan bila terkejut warnanya menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Ukuran mulut lele dumbo sekitar seperempat dari panjang total tubuhnya. Di sekitar mulut terdapat empat pasang kumis yang berfungsi sebagai alat peraba. Lele dumbo dilengkapi dengan organ arborescent atau insang tambahan yang dikenal dengan sebutan labyrinth. Itu sebabnya ikan ini dapat hidup di dalam lumpur, di air yang tidak mengalir dan di air yang mengandung sedikit oksigen (Khairumanet al.2008).

Suhu perairan yang ideal untuk lele dumbo berkisar 20-30oC atau tepatnya 27 oC dengan tingkat keasaman tanah (pH) 6,5-8. Umumnya lele dumbo dapat hidup di perairan yang mengandung karbondioksida (CO2) 15 ppm, NH3sebesar


(30)

Gambar 1.

Gambar 1

Ikan lele dumbo dicirikan o dada yaitu P.I.9-10, sirip perut V pasang, 1 pasang diantaranya le panjang standar terhadap tinggi panjang standar terhadap panjang pernapasan tambahan berupaarbo spon sehingga ikan lele dumbo da rendah. Saat ini kegiatan budida di Pulau Jawa (BSN 2000). Komp

Tabel 1 Komposi Senyawa kimia Total abu Protein kasar Lemak kasar Karbohidrat Zat organik Air Energi (KJ)

Sumber : Aremu dan Ekunode (200

1 Ikan lele dumbo (Clariassp).

oleh jumlah sirip punggung yaitu D.68-79, sirip t V.5-6, sirip anal A.50-60, dan jumlah sungut 4 lebih besar dan panjang. Perbandingan antara gi badan adalah 1:5-6 dan perbandingan antara ang kepala 1:3-4. Ikan lele dumbo memiliki alat rborescenyang merupakan kulit tipis, menyerupai dapat hidup pada air dengan kondisi oksigen yang daya lele dumbo telah berkembang luas, terutama mposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1.

osisi kimia ikan lele dalam berat kering a Konsentrasi (% berat kering)

8,6 91,4 8,0 2,5 91,4 7,5 1593,24 008). ip 4 ra ra at ai g a 1.


(31)

biji tertutup(Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Sistematika kedudukan talas dapat digambarkan sebagai berikut (Onwueme 1978) : Kelas/Classis : Monocotyledonae (tumbuhan berkeping tunggal).

Ordo : Arales

Suku/Familia : Araceae Marga/Genus : Colocasia

Jenis/Species : Colocasia esculenta(L.) Schott.

Talas umumnya disebut jugataro, cocoyam, dasheen, ataueddoe. Tanaman ini tumbuh baik di daerah tropis maupun subtropis dengan tinggi normal antara 0,4-2 m. Suhu optimum untuk tumbuh adalah sekitar 21-27 °C dengan curah hujan 1750 mm per tahun. Derajat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman ini berkisar antara 5,5-5,6 (Kay 1973). Talas dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi (Onwueme 1978). Tanaman talas di Jawa Barat umumnya tumbuh pada ketinggian 400-500 m dari permukaan laut. Umbi talas dapat dipanen setelah berumur 6-9 bulan. Saat panen yang tepat ditandai dengan daun yang mulai menguning dan layu (Rukmana 1998).

Talas mengandung banyak senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolisme sekunder seperti alkaloid, glikosida, saponin,essensial oil, resin, gula, dan asam-asam organik (Onwueme 1978). Menurut Lewuet al. (2010), umbi talas mengandung berbagai mineral, diantaranya fosfor, kalsium, magnesium, natrium, kalium, besi, tembaga, mangan, dan zink, serta komponen antinutrisi seperti kalsium oksalat, tannin, dan asam fitat. Kalium yang dikonsumsi dalam jumlah tinggi pada manusia dapat berperan sebagai pelindung terhadap serangan hipertensi, stroke, disfungsi jantung, kerusakan ginjal,hypercalciuria, batu ginjal, dan osteoporosis. Konsumsi beberapa makanan kaya mikronutrien ini dapat membantu dalam membangun sistem kekebalan karena garam-garam ini mengatur keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Umbi talas dapat diolah dengan cara penggilingan atau penepungan sehingga menjadi tepung talas. Kandungan gizi umbi talas dan tepung talas dapat dilihat pada Tabel 2.


(32)

Kandungan Gizi

Umbi* Tepung**

Air (%) 63-85 8,2-9,6

Karbohidrat (%) 13-29

-Protein (%) 1,4-3,0 2,9-4,9

Lemak (%) 0,16-0,36 0,30-1,17

Serat kasar (%) 0,60-1,18

-Abu (%) 0,6-1,3 1,3-5,5

Vitamin C (mg/100g) 7-9

-Thiamin (mg/100g) 0,18

-Riboflavin (mg/100g) 0,04

-Niasin (mg/100g) 0,9

-Kalsium (mg/100g) - 25,4-192

Natrium (mg/100g) - 0,5-5,6

Magnesium (mg/100g) - 32,9-382

Kalium (mg/100g) - 3,5-59,7

Mangan (ppm) - 6,4-130,3

Besi (ppm) - 2,4-41,7

Zink (ppm) - 0,4-42,8

Tembaga (ppm) - 0,4-1,8

Sumber : * Kay (1973), ** Aboubakaret al.(2008).

Tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah. Kadar air yang rendah berperan penting dalam menjaga keawetan suatu bahan pangan. Daya tahan suatu bahan dapat diperpanjang dengan cara menghilangkan sebagian air dalam bahan yang dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Pengeringan merupakan cara yang umum dilakukan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan (Winarno 2008).

Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Proses selanjutnya dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Pengeringan kemudian dilakukan pada suhu sekitar 50-60 °C, yaitu pada saat kadar air mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan tersebut dibolak-balik agar keringnya merata. Hasil dari pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling dan dilakukan pengayakan


(33)

Gambar 2 Bagan alir pembuatan tepung talas (Lingga 1986).

Keterangan : : bahan baku/produk, : proses.

Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung, baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno 2008). Hartati dan Prana (2003) menyatakan bahwa pati dengan kadar amilosa tinggi banyak digunakan untuk berbagai produk, seperti padabiodegradable film, yang berfungsi sebagai substrat

1 1 2

5

5 12

1

Umbi Talas

Keripik


(34)

enzim maupun sebagai pengikat pada pembuatan tablet. Pati dengan kadar amilopektin tinggi sangat sesuai untuk bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap sifat mengembang pada pati (swelling properties).

Umbi talas mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira sebanyak 18,2% dan sukrosa serta gula pereduksinya 1,42%. Pati talas mengandung 17-28% amilosa, dan sisanya adalah amilopektin. Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul. Granula pati talas sangat kecil, berukuran antara 1-4 µm (Onwueme 1978). Menurut Mayasari (2010), proses perendaman dalam air hangat dan garam pada proses pembuatan tepung talas dapat menurunkan kadar pati pada tepung karena pati terekstrak keluar dan terbuang bersama air rendaman.

Pemanfaatan lebih lanjut dari tepung talas dapat digunakan sebagai bahan industri makanan karena tepung talas mudah dicerna ketika digunakan dalam makanan. Tepung ini diantaranya digunakan pada pembuatan sup, biskuit, roti, minuman, makanan bayi, puding, dan sebagai makanan khusus untuk pencegahan alergi dan pengganti sereal pada penderitacoeliac diseases(Kay 1973). Penelitian Azman dan Iswari (1996) pada penggunaan tepung komposit terigu, talas, dan jagung dalam pembuatan biskuit menyimpulkan bahwa talas dan jagung dapat mensubstitusi terigu 20-30% dalam pembuatan biskuit tanpa mengurangi kualitas produk.

2.3 Reduksi Oksalat

Umbi talas kebanyakan dapat memberikan rasa gatal dan iritasi pada bibir, mulut dan kerongkongan jika dimakan dalam bentuk mentah. Rasa gatal ini disebabkan adanya asam oksalat (0,1-0,4% bb) yang terdapat dalam bentukraphide, yaitu kumpulan kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum yang menempel pada jaringan (Kay 1973).

Menurut Franceschi et al. (2005), fungsi kalsium oksalat pada tanaman talas diduga kuat sebagai perlindungan dan pengaturan tumbuhan melawan hewan pemakan tumbuhan. Oksalat (C2O42+) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dengan ion oksalat. Aboubakar et al. (2009) menyatakan kristal kalsium oksalat


(35)

(36)

kalsium oksalat menghasilkan natrium oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium diklorida dengan reaksi yang dapat dilihat pada Gambar 4.

CaC2O4+ 2 NaCl Na2C2O4+ CaCl2

Gambar 4 Reaksi penggaraman pada umbi talas.

Kalsium oksalat merupakan persenyawaan antara ion kalsium dengan senyawa oksalat yang bersifat tidak larut dalam air (Kotzet al. 2006). Penurunan kadar oksalat pada talas terjadi karena reaksi antara natrium klorida (NaCl) dan kalsium oksalat (CaC2O4). Jika dilarutkan dalam air, garam NaCl akan terurai menjadi ion-ion Na+ dan Cl-. Pada reaksi ini, ion Na+ yang memiliki keelektonegatifan lebih kecil akan mengikat ion C2O4-2 membentuk natrium oksalat (Na2C2O4) yang dapat larut dalam air, dan ion Cl- yang memiliki keelektronegatifan lebih tinggi akan mengikat Ca+2 membentuk endapan putih kalsium diklorida (CaCl2) yang mudah larut dalam air.

2.4 Surimi

Surimi merupakan produk intermediet yang awalnya digunakan pada berbagai produk di Jepang dan dikenal sebagai konsentrat protein otot ikan. Jika daging ikan dipisahkan dari tulang dan kulit, maka disebut daging lumat (minced fish). Jika daging lumat mengalami pencucian untuk memisahkan lemak dan komponen larut air lainnya, maka menjadi surimi basah (raw surimi) dan merupakan konsentrat basah dari protein miofibril ikan yang dapat meningkatkan kekuatan gel, kemampuan mengikat air, mengikat lemak, dan sifat fungsional yang berhubungan dengan daging lumat. Protein miofibril surimi basah akan kehilangan sifat fungsionalnya dengan cepat ketika dibekukan. Protein miofibril ini akan mampu dipertahankan sifat fungsionalnya selama beberapa bulan penyimpanan dengan cara dicampur cryoprotectan, seperti gula, dan dibekukan dengan cepat dalam bentuk balok. Surimi basah yang sudah ditambahkan cryoprotectan ini disebut surimi beku (frozen surimi) (Okada 1992).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas surimi dapat dibedakan atas faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik diantaranya adalah pengaruh spesies, musim dan kematangan seksual, serta kesegaran ikan dan rigor,


(37)

sedangkan faktor ekstrinsik diantaranya adalah kondisi pemanenan dan metode penangkapan ikan, penanganan, waktu atau temperatur proses, banyak/siklus pencucian, serta pH dan salinitas (Park dan Morrissey 2000).

Secara teoritis, beberapa ikan dapat digunakan untuk menghasilkan surimi, tetapi karakteristik reologi gel surimi tergantung pada sifat protein miofibril yang dipengaruhi oleh spesies dan kesegaran ikan (Niwa 1992; Shimizu 1992). Protein miofibril adalah protein yang membentuk miofibril, yang mengandung miosin, aktin dan protein regulasi, seperti tropomiosin, troponin dan aktinin. Protein miofibril berjumlah 66-77% dari total protein daging ikan, dan berperan besar dalam koagulasi dan pembentukan gel ketika daging ikan diproses. Daging ikan mengandung persentase protein miofibril yang lebih besar dibanding otot mamalia (Suzuki 1981).

Beberapa ikan air tawar telah digunakan dalam pembuatan surimi. Jafarpour et al. (2009) telah melakukan penelitian terhadap karakteristik reologi dan mikrostruktur surimi dari ikan mas (Cyprinus carpio) dan dibandingkan dengan Alaska pollock dan ikan air tawar threadfin (Nemipterus bleekeri), dimana Alaska pollock dan threadfin memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dari gel ikan mas. Hal ini sangat berkaitan dengan ikatancross-linking pada jaringan gel yang sangat berpengaruh pada kualitas tekstur.

Rawdkuen et al. (2009) juga telah menggunakan ikan nila dalam menentukan sifat biokimia dan pembentukan gel yang diberi perlakuan pencucian dengan asam, basa, dan pencucian konvensional dengan menggunakan air. Penurunan kandungan mioglobin dan lemak tinggi ditemukan pada perlakuan menggunakan basa dan asam dibandingkan dengan pencucian konvensional. Breaking forcedandeformasikamaboko terbesar ditemukan pada gel dari surimi dengan pencucian konvensional.

Proses pembuatan surimi diawali dengan pembersihan ikan, penghilangan kulit dan tulang hingga dihasilkan fillet ikan. Fillet ikan kemudian digiling hingga dihasilkan daging lumat. Daging lumat kemudian dicuci selama beberapa siklus. Banyaknya siklus pencucian, lama pencucian, volume air dan kualitas air yang digunakan bervariasi tergantung pada tipe, komposisi dan kesegaran ikan yang akan diolah (Toyodaet al. 1992).


(38)

2.5 Pengaruh Pencucian terhadap Daging Lumat

Pada proses pembuatan nugget, bahan baku ikan dapat diperlakukan dengan pencucian atau tanpa pencucian. Pembuatanfish nuggettidak jauh berbeda dengan pembuatan surimi yang juga dibuat dari daging ikan giling yang dicuci dengan air dingin. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam anorganik (Ca2+ dan Mg2+), dan senyawa organik dengan berat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel (Suzuki 1981). Menurut Tokur et al. (2006), proses pencucian pada daging giling dapat menghasilkan flavor yang diinginkan tetapi dapat menurunkan kandungan protein kasar, lemak, kadar abu, asam lemak jenuh, dan asam lemak tak jenuh.

Efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian dan lama pencucian. Pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan ikan 3:1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1) (Toyodaet al. 1992).

Hossain et al. (2004) telah meneliti tentang pengaruh pencucian dan konsentrasi garam pada sifat gel ikan mas dan patin. Kualitas surimi terbaik pada daging lumat ikan mas maupun ikan patin dihasilkan dari pencucian daging lumat sebanyak satu kali dengan konsentrasi NaCl 0,1% dan waktu pencucian selama 10 menit. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kedua jenis ikan tropis yaitu ikan mas dan patin, dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi.

2.6 Nugget Ikan

Nugget merupakan produk olahan yang dicetak, dimasak dan dibekukan, dibuat dari campuran daging giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (BSN 2002). Nugget dapat juga didefinisikan sebagai jenis makanan yang dibuat dari daging giling atau daging cacah yang diberi bumbu, dan dibentuk dalam cetakan tertentu, kemudian dikukus, dipotong-potong sesuai ukuran, dipanir,


(39)

dibekukan, dan sebelum dikonsumsi dilakukan penggorengan. Dikatakan nugget karena bentuk awalnya seperti nusset atau balok emas dengan warna kuning keemasan (Adawyah 2008).

2.6.1 Penelitian tentang nugget ikan

Produk pangan nugget telah banyak dikenal di dunia, baik berbahan dasar daging sapi, kambing, ayam, maupun hasil perairan seperti ikan, udang, dan cumi-cumi. Penelitian tentang nugget ikan (termasuk udang dan cumi-cumi) sebagai salah satu bentuk olahan hasil perikanan telah banyak dilakukan, baik yang terkait dengan penelitian formulasi bahan pengisi dan pengikat, formulasi bahan pelapis, jenis ikan yang digunakan, maupun penentuan daya simpan nugget ikan.

Manullang dan Elingsari (1995) telah melakukan penelitian tentang pengaruh bahan pengikat dan emulsifier terhadap mutu nugget dari daging cincang ikan tenggiri selama penyimpanan pada suhu beku. Pada tahun yang sama, Aswar (1995) telah melakukan penelitian terhadap nugget dari ikan nila merah dengan menggunakan bahan pengikat dari tepung maizena dan tapioka. Maghfiroh (2000) juga telah meneliti tentang pengaruh bahan pengikat terhadap karakteristik ikan patin.

Penelitian tentang nugget ikan berbahan dasar surimi telah dilakukan oleh Edy Prayitno (2003), dengan mengkaji penambahan gelatin untuk memperbaiki mutu nugget dari surimi ikan manyung. Pada tahun 2003, Syartiwidya juga telah melakukan penelitian terhadap perubahan mikrostruktur nugget ikan (patin, kurisi dan manyung) selama pengolahan dan penyimpanan, serta melakukan perbandingan kualitas nugget dengan nugget komersial. Tokuret al.(2006), telah meneliti tentang perubahan kualitas kimia dan sensori fish finger dari ikan mas, yang diproses dengan dan tanpa pencucian daging lumat selama penyimpanan beku suhu -18 oC. Penelitian tentang nugget dari ikan mackerel juga telah dilakukan oleh Leeet al.(2007), yang meneliti tentang penambahan bahan-bahan tinggi kandungan air (diantaranya susu, air, dan sayuran) pada campuran daging lumat yang kaya akan omega-3, dan pengaruhnya terhadap tekstur dan kebasahan nugget.


(40)

Penelitian tentang nugget ikan, tidak hanya dilakukan terhadap bahan pengisi nugget, tetapi juga terhadap bahan pelapis. Chen et al. (2008) telah melakukan penelitian tentang komposisi bahan dan perbandingan air dan bahan padat pada formulasi bahan pelapis (batter), serta pengaruhnya terhadap sifat reologi dan fisik daging lumat ikan mackerel. Penggunaan resistan starch (RS) untuk memperbaiki sifat fisik dan organoleptik produkbreadedcumu-cumi beku juga telah dilakukan oleh Sanzet al.(2008).

Penelitian tentang pengaruh formula batter terhadap kualitas nugget ikan dengan deep fat fryer dan microwave telah dilakukan oleh Chen et al. (2009). Albert et al. (2009) juga telah meneliti penggunaan dekstrin pada formulabatter untuk meningkatkan kualitas kerenyahan nugget ikan. Pada tahun yang sama, Albert et al. (2009), telah meneliti pengaruh penggunaan hidrokoloid (pati teroksidasi, xantan gum, dan HPMC) untuk memperbaiki daya adhesive pada nugget ikan hake.

Nasiri et al. (2010) telah melakukan penelitian terhadap pengaruh penambahan tepung kedelai dan tepung jagung terhadap sifat reologi batter dan kualitas nugget udang dengan metodedeep fat frying. Mirandaet al. (2010) juga telah melakukan penelitian tentang pengaruh metode pemasakan terhadap komposisi nutrisi dan profil asam lemak pada tunabreaded.

2.6.2 Pembuatan nugget ikan

Proses pembuatan nugget ikan ditentukan oleh bentuk asal bahan utamanya, yaitu ikan utuh, ikan cincang, maupun daging lumat (surimi). Pembuatan nugget ikan telah dilakukan oleh Tokur et al. (2006) dari daging lumat dan surimi ikan mas (Cyprinus carpioL., 1758). Setelah terbentuk surimi, daging lumat dicampur dengan bahan lain diantaranya garam, gula, tepung terigu, cumin, bawang bombay, tepung bawang putih, lada dan thyme. Daging lumat dan bahan-bahan kemudian dihomogenisasi. Menurut Suryaningrum et al. (2007), proses penggilingan dapat menghasilkan panas akibat dari interaksi antar friksi molekul dalam daging yang dapat mengakibatkan terjadinya proses denaturasi protein. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan sistem alat penggiling dingin yaitu dengan penambahan jaket pendingin atau es pada alat penggiling. Penggilingan daging ikan dapat dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter dan ditambahkan


(41)

garam 2,5–3% (dari berat daging). Penambahan garam berperan dalam pembentukan gel protein daging.

Pada proses pembuatan nugget, bahan yang sangat berperan diantaranya bahan pengisi, pengikat dan bumbu. Formulasi nugget ikan dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Formulasi bumbu nugget ikan per 100 g daging ikan

Bahan Jumlah (gram)

Bawang putih 2

Bawang bombay 42,17

Garam 4

Merica 1

Emulsifier (susu) 50

Tepung Terigu 15

Putih Telur 40

Telur Utuh 120

Sumber : Magfiroh (2000).

2.6.3 Bahan pengisi (filler) dan pengikat

Bahan yang sangat berperan dalam pembuatan nugget adalah bahan pengisi dan pengikat. Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi (Suparno 1992). Bahan pengisi pada nugget akan mempengaruhi tekstur nugget. Bahan pengisi umumnya terdiri dari karbohidrat saja serta memiliki pengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Fungsi bahan pengisi adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan tingkat penyusutan akibat pemasakan, memberi warna terang, meningkatkan elastisitas produk, dan membentuk tekstur yang padat. Selain itu, penambahan bahan pengisi dapat meningkatkan daya mengikat air dan mengabsorbsi air hingga dua kali lipat dari berat semula (De Man 1997).

Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi dan memiliki pengaruh besar terhadap emulsifikasi lemak dibandingkan bahan pengisi. Bahan ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya ikat air dan dapat juga sebagai emulsifier, yaitu pengikat antara lemak dan air. Menurut Dogan et al. (2005), protein dalam bahan makanan memiliki peran yang besar dalam proses gelasi, pembentukan struktur, warna, tekstur, kekentalan, emulsifikasi, pembentuk busa, dan elastisitas. Manullang dan Elingsari (1995) menyatakan bahwa nugget ikan tenggiri yang menggunakan bahan pengikat maizena dan emulsifier soy protein


(42)

isolate(SPI) menunjukkan hasil yang relatif lebih dapat diterima oleh panelis jika dibandingkan dengan kombinasi bahan pengikat dan emulsifier yang lain (terigu dan kasein).

Menurut Aswar (1995), penggunaan bahan pengikat maizena sebanyak 15% dan emulsifier lechitin 2% menghasilkan nugget ikan nila merah yang lebih disukai dibandingkan dengan menggunakan bahan pengikat tapioka 15% dengan emulsifier yang sama, karena produk yang dihasilkan teksturnya lebih lembut. Menurut Maghfiroh (2000), nugget ikan dengan menggunakan tepung terigu 15% sebagai bahan pengikat memiliki kemiripan dengan produk komersial. Kedua nugget tersebut mempunyai warna kuning kemerahan, penampakan utuh dan rapi, tekstur kompak, aroma dan rasa ikan.

2.6.4 Bahan pelapis (coater)

Pada pembuatan nugget, tepung digunakan untuk melapisi nugget. Tepung yang dapat digunakan antara lain tepung terigu, tepung maizena, atau tepung roti (Alamsyah 2007). Pemilihan tepung pelapis mempengaruhi hasil olahan. Umumnya, tepung balut (coating flour) terdiri dari 3 jenis yaitu predust, batter mix, danbread crumbs(tepung roti). Ketiga jenis tepung ini diaplikasikan secara berurutan. Pelapisan pertama dilakukan dengan menggunakan predust flour, dilanjutkan dengan butter mix, dan terakhir dengan menggunakan bread crumbs (tepung roti) (Alamsyah dan Suyanto 2007).

Komposisi batter mix pada pelapisan kedua terdiri dari tepung, telur, susu, baking soda, garam, dan bumbu. Adonan ini dicampur dengan air sampai merata dan sebaiknya menggunakan air dingin karena suhu air yang panas akan membuat adonan menjadi encer (Alamsyah dan Suyanto 2007).

Penggunaan jenis dan komposisi bahan pelapis batter dalam pembuatan nugget dapat mempengaruhi kualitas nugget yang dihasilkan, diantaranya warna produk sebelum dan sesudah digoreng, tekstur, coating pick-up, cooked yield/cooking loss, serta kandungan minyak (oil content). Altunakaret al. (2004) menyatakan bahwa komposisibatterberpengaruh terhadapcoating pick upkarena tingginya kemampuan mengikat air dari komposisi tepung yang ditambahkan. Penambahan pati dapat mengembangkan tekstur dan kerenyahan produk. Batter dengan penambahan pati jagung diketahui memiliki kandungan minyak tertinggi,


(43)

sedangkan penambahan tapioka pre gelatinisasi memiliki persentase coating pick-up tertinggi dibandingkan denganamylomaize, tepung maizena,waxymaize, dan kontrol tanpa penambahan tepung.

2.6.5 Bahan tambahan

(1) Garam dan gula

Garam pada makanan umumnya berfungsi sebagai pemberi rasa untuk meningkatkan rasa pada nugget, pelarut protein (miosin dan aktin) sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba serta meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat yaitu Na5P3O10 atau STPP (Wilson 1981). Pada produk berbasis surimi, garam juga berguna untuk mempersiapkan daging pada pembentukan gel selama pemasakan dengan meningkatkan kelarutan dan membantu dispersi protein (Lanier 2000).

Gula umumnya digunakan pada makanan untuk meningkatkan rasa manis, kelezatan, mempengaruhi aroma, tekstur daging, dan mampu menetralisisr garam yang berlebihan serta menambah energi. Gula berdaya larut sangat tinggi dan memiliki kemampuan mengurangi keseimbangan kelembaban relatif sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet (Buckleet al.1987).

(2) Sodium Tripolifosfat(STPP)

Senyawa fosfat telah umum digunakan untuk meningkatkan daya mengikat air pada daging, termasuk pada produk olahan berbasis surimi. Menurut Julavittayanukul et al. (2005), tipe dan konsentrasi senyawa fosfat memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada gel surimi. Peningkatan konsentrasi umumnya memperlihatkan efek merusak pada pembentukan gel, kemungkinan karena pengkelatan ion kalsium yang dibutuhkan untuk aktivitas TGase endogenous. Enzim transglutaminase (TGase) merupakan enzim yang mengkatalisis polimerisasi dancross-linkingprotein melalui pembentukan ikatan kovalen antara molekul protein. Ikatan kovalen non-disulfida dibentuk antara asam glutamat dan residu lisin dalam protein. Rantai ini dapat meningkatkan kekuatan fisik (hardnessdancohesiveness) surimi.


(44)

Pada pembuatan surimi, senyawa fosfat dan gula umumnya digunakan untuk meminimalisasi denaturasi protein selama penyimpanan beku dan memiliki efek sinergis. Penggunaan polifosfat dapat mempertinggi efekcryoprotectanpada gula. Hal ini kemungkinan karena efek buffer senyawa polifosfat pada pH otot atau daya pengkelat ion logam yang melebihi efek cryoprotectan senyawa itu sendiri (Matsumoto dan Noguchi 1992). Fosfat yang ditambahkan pada surimi sebagai cryoprotectan pada konsentrasi 0,25%-0,3% terdapat dalam bentuk senyawa sodium tripolifosfat atau tetrasodium pirofosfat. Penggunaan fosfat pada surimi dapat menurunkan viskositas pasta serta meningkatkan tekstur dan retensi air (Park 2000).

(3) Bumbu-bumbu

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan nugget diantaranya adalah lada, bawang putih, dan bawang bombay.

Lada merupakan bumbu yang umum digunakan dalam masakan untuk meningkatkan citarasa dan memberikan warna tertentu pada makanan. Menurut Chatterjee et al. (2007), lada mempunyai potensi sebagai antioksidan berupa senyawa fenolik yang potensial digunakan sebagainutraceuticaldalam mencegah kerusakan oksidatif pada sel. Oz dan Kaya (2011) juga menemukan adanya pengaruh lada hitam dalam menurunkan pembentukan heterocyclic aromatic amine(HCA) pada bakso. Senyawa mutagenik atau karsinogenik HCA terbentuk pada daging dan ikan yang dimasak pada suhu di atas 150 oC. Perlambatan pembentukan HCA oleh antioksidan kemungkinan melalui inaktivasi radikal bebas.

Bawang putih dan bawang bombay juga banyak digunakan pada makanan untuk memberi citarasa produk dan memberikan aroma yang khas pada makanan. Kedua jenis tumbuhan ini juga mulai dikenal luas memberikan manfaat bagi kesehatan. Menurut Martínez et al. (2007), ekstrak bawang putih dan bawang bombay efektif terhadap penyakit kardiovaskuler karena bersifat hypocholesterolemic, hypolipidemic, anti-hypertensi, anti-diabetic, anti-trombotic dan anti-hyperhomocysteinemia dan memiliki aktivitas biologi termasuk antimikroba, antioksidan, antikarsinogenik, antimutagenik, anti asthmatik, immunomodulatorydan aktivitas prebiotik.


(45)

(4) Soy Protein Isolate(SPI) dan susu skim

Soy Protein Isolate (SPI) atau isolat protein kedelai telah digunakan luas dalam industri daging karena kemampuannya mengikat air dan lemak dan kemampuannya membentuk gel pada saat pemanasan (Lee et al. 1992). Pada produk berbasis surimi termasuk nugget, SPI umumnya digunakan sebagai emulsifier.

Selama proses pemasakan, kehilangan air dan lemak akan melemahkan tekstur yang diperoleh. Isolat protein kedelai dapat meminimalkan resiko tersebut dan meningkatkan nilai protein serta membentuk suatu sistem emulsi yang stabil dalam daging, karena SPI dapat menstabilkan protein daging yang bertindak sebagai emulsifier alami dalam emulsi daging (Nakai and Modler 2000).

Susu skim digunakan pada pembuatan nugget, baik pada formulasi filler maupun pada formulasi batter. Adanya laktosa dalam susu dapat membantu memperbaiki warna, aroma, dan penyerapan air. Susu juga berfungsi sebagai bahan pengikat dan dapat meningkatkan nilai gizi nugget ikan. Leeet al. (2007) menambahkan bahwa penggunaan susu dapat menetralkan bau amis ikan pada nugget karena susu memiliki kemampuan untuk mengikat flavor senyawa yang menonjol, memperbaiki tekstur nugget menjadi lebih lembut dan basah.

(5) Putih telur

Putih telur umumnya digunakan pada produk berbasis surimi dalam dua bentuk, yaitu cair dan kering. Komponen protein utama yang terdapat dalam putih telur adalah ovalbumin (54%), conalbumin (12%), dan ovomucoi (11%). Suhu gelasi pada komponen ini bervariasi. Suhu gelasi conalbumin 62 oC dan ovalbumin pada 75 oC. Putih telur cair umumnya digunakan sebagai tambahan protein pada surimi (Park 2000).

Putih telur juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pelapis nugget baik pada adonanbatter mixmaupun sebagai bahan perekatbread crumb. Menurut Doganet al.(2005), albumin telur dapat mengurangi penyerapan minyak pada nugget ayam secara signifikan.


(46)

(6) Sodium bikarbonat

Sodium bikarbonat umumnya merupakan bahan pengembang pada proses pembuatan roti. Bahan ini dapat menghasilkan gas CO2 dan bersama dengan udara dan uap air akan terperangkap dalam adonan sehingga adonan mengembang. Kecepatan pelepasan CO2 oleh bahan pengembang akan mempengaruhi tekstur produk (Winarno 2008).

Sodium bikarbonat juga digunakan sebagai bahan perenyah pada produk yang digoreng. Bahan ini ditambahkan pada batter untuk bahan pelapis nugget. Albert et al. (2009) menggunakan sodium bikarbonat sebagai formulasi dasar untuk membuktikan kerenyahan padabatternugget ikan.

(7) Air

Air merupakan senyawa yang sangat penting pada proses pengolahan nugget. Penggunaannya diantaranya sebagai bahan pencuci pada pembuatan surimi, bahan tambahan pada adonan, dan pelarut padabatter.

Penambahan air pada surimi dan produk berbasis surimi diperlukan untuk mempertahankan penerimaan tekstur dan memperkecil biaya bahan mentah karena air merupakan komponen terbesar kedua yang terkandung pada surimi. Kutub polar air menyerupai kelompok sisa hidrofobik dalam lipatan rantai polipeptida untuk memperkecil yang dihasilkan dari pembukaan sisa hidrofobik air pada permukaan. Hal ini juga berkontribusi terhadap pembentukan stabilitas molekul protein sebelum pemanasan dan dapat menjadi dasar untuk ikatan antar molekul ketika sisi hidrofobik pada molekul protein yang berdekatan diarahkan ke permukaan selama pemanasan. Air dengan keberadaan garam juga melarutkan protein miofibril, distabilkan dalam bentuk partikel tiga dimensi dengan menyeimbangkan antara kekuatan intramolekuler dan interaksi permukaan dengan air (Park 2000).

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran, dan daya tahan bahan makanan tersebut (Winarno 2008). Pada pembuatan formulasi bahan pengisi nugget, air dapat berasal dari bahan penyusun fillermaupun ditambahkan dari luar. Menurut Lee et al. (2007), tingkat kebasahan dan tekstur nugget


(47)

mackarel dapat ditingkatkan dengan penambahan air maupun dengan formulasi bahan-bahan yang mengandung air. Peningkatan penambahan air menyebabkan tekstur nugget menjadi lebih basah dan lembut. Tekstur ini paling disukai pada konsentrasi air 21% sampai 28%. Kesukaan optimum secara keseluruhan dicapai pada penambahan air 28%. Upaya untuk meningkatkan kebasahan nugget adalah dengan mensubstitusikan air dengan bawang (0% sampai 28%). Nugget dengan penambahan bawang 7% relatif lebih lembut dan paling disukai oleh panelis.

Menurut Chenet al. (2008), penambahan air pada formulasi adonan bahan pelapis (batter) berpengaruh terhadap viskositas. Nilai viskositas adonan bahan pelapis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas daya angkat adonan bahan pelapis (batter pick-up), kemudahan dalam penanganan, kemampuan mengikat tepung roti (breading pick-up), dan tekstur lapisan akhir nugget. Viskositasbatter sangat dipengaruhi oleh temperatur batter, komposisi bahan dan perbandingan antara bahan padat dan air. Umumnya temperaturbatterantara 4oC sampai 16oC direkomendasikan untuk mengoptimalkan viskositas adonan bahan pelapis (batter)dan menekan pertumbuhan mikroorganisme.

2.7 Umur Simpan

Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). Metode ESS sering juga disebut sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan.

Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan (Arpah dan Syarief 2000). Analisis penurunan mutu


(48)

dengan metode akselerasi memerlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, atau uji mikrobiologi, seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji citarasa, tekstur, warna, total mikroba, dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Pada produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Parameter yang digunakan untuk menguji satu produk dipilih dari parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Syarief dan Halid 1993).


(49)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Nopember 2010 sampai Agustus 2011 di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan, Mikrobiologi, Bahan Baku Hasil Perairan dan Organoleptik Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB; Laboratorium SEAFAST Center; Laboratorium Terpadu IPB; Laboratorium Organoleptik BB2HP Kementerian Kelautan dan Perikanan; dan Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan untuk pengolahan nugget dan bahan untuk analisis.

Bahan yang digunakan dalam pengolahan nugget adalah bahan baku ikan lele dumbo dan umbi talas bogor. Berat ikan lele dumbo rata-rata 1-3 kg per ekor dan berasal dari pedagang ikan di Pasar Gunung Batu Bogor, sedangkan talas bogor diperoleh dari pedagang talas di Pasar Bogor. Bahan tambahan untuk pembuatan nugget ikan adalah : tepung maizena, susu skim, isolat protein kedelai (soy protein isolate/SPI), bawang putih, bawang bombay, garam, lada, telur ayam, sodium tripolifosfat(STPP), sodium bikarbonat, air, es batu, dan minyak goreng.

Bahan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi bahan untuk analisis proksimat, kadar Protein Larut Garam (PLG), kadar oksalat, asam amino, asam lemak, mineral, serat, nilai TBA, dan analisis mikrobiologi. Bahan untuk analisis proksimat pada penetapan kadar protein yaitu H2SO4 pa, NaOH 30-33%, H3BO33%, HCl 0.1 M, larutan bromcresol green, indikator metil merah, akuades; uji kadar lemak yaitu heksan; kadar karbohidrat yaitu CaCO3, alkohol 80%; Uji kadar serat kasar yaitu H2SO41,25%, NaOH 3,25%, etanol 96%; Uji Protein Larut Garan (PLG) yaitu NaCl 5%, H2SO4 pa, NaOH 10%, H3BO3 3%, HCl 0,1 M, indikator metil merah, akuades; penetapan kadar oksalat yaitu HCl 2 M, akuades, H2SO40,0125 M; penetapan asam amino yaitu HCl 6 N, metanol, es kering, aseton,


(50)

n-oktil alkohol, kalium borat, ortoftalaldehid (OPA), Na-asetat, Na-EDTA, metanol, tetra hidro furan, standar sigma; penetapan asam lemak yaitu asam lemak margarat, NaOH metanolik 0.5 N, N2, BF3 metanol, isooktana, NaCl, Na2SO4 anhidrous, standar supelco (Bellevonte, PA); penetapan kadar mineral yaitu HCl 1%, akuades, HNO3, H2SO4, HClO4, orto-phenatrolin, sodium sitrat; penetapan TBA yaitu akuades, HCl 4 M, pereaksi TBA ; pengamatan mikrobiologis dengan metode TPC yaitu nutrient agar, akuades.

Alat yang digunakan dalam pembuatan dan penyimpanan nugget : meat grinder (Nasional MK-G20NR), food processor (Philips HR 7620), pengaduk, plastik Poliethylene (PE), deep fryer, timbangan dan freezer (Rainbow RN-840); pembuatan tepung dan crumb talas : slicer, steam jacket cattle (Gardners, New Delhi), cabinet dryer(Hioflh Gmbh D-6700 Ludwigshafen), dan disc mill(Dalal Engineering 66 CMS).

Alat yang digunakan untuk analisis kimia dan fisika adalah chromameter (Minolta CR 300), pH-meter, gelas piala, buret, pipet mikrometer, tabung reaksi, pengaduk, labu erlenmenyer, labu kjeldahl, gelas ukur, stirrer, desikator, oven, homogenizer (Nissei AM-3), alat destilasi, sentrifuse dingin (Beckman 92-21), Texture analyzer TA XT2i, Atomic Absorption Flame Emission Spectrophotometer (AAS) (Shimadzu AA-630), viscometer (Brookfield, spindle 1-3), Gas Chromatography (GC) (Shimadzu GC-2010 plus), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Shimatzu SCL-10AvP), dan Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi : cawan petri, jarum ose, gelas obyek, inkubator, oven, tabung reaksi, buret, dan stirrer. Alat yang digunakan untuk analisis organoleptik : pisau, sendok, garpu kecil, dan format uji.

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap. Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan. Pada tahap ini dilakukan karakterisasi bahan baku ikan lele dumbo dan talas, pembuatan tepung talas dan crumb talas yang akan digunakan sebagai bahan pengisi dan pelapis pada pembuatan nugget, serta pembuatan daging lumat ikan dengan 4 perlakuan pencucian. Pada tahap ini dilakukan uji proksimat, uji pH, uji protein larut garam (PLG) terhadap daging lumat, serta uji kadar oksalat talas.


(51)

Penelitian tahap II adalah pembuatan formulasi nugget dengan menggunakan daging lumat ikan lele yang diberi perlakuan pencucian 0 kali (P0), 1 kali (P1), 2 kali (P2), dan 3 kali (P3). Perlakuan ini kemudian diinteraksikan dengan perlakuan penambahan tepung talas dengan konsentrasi 0% (C0), 5% (C1), 10% (C2), 15% (C3), dan 20% (C4). Pada tahap ini dilakukan uji organoleptik untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk dan uji fisika (kekerasan/hardness, daya adhesive/adhesiveness, kekenyalan/cohessiveness, dan derajat warna). Penentuan perlakuan terbaik pada tahap ke 2 dilakukan dengan metode Bayes dan hasilnya digunakan sebagai formula pada pembuatan nugget di tahap III.

Penelitian tahap III adalah pembuatan nugget dengan perlakuan pembuatan batter dari tepung talas dengan perbandingan konsentrasi tepung maizena dan tepung talas 4:0 (B1), 3:1 (B2), 2:2 (B3), 1:3 (B4), dan 0:4 (B5). Bahan pelapis pengganti bread crumb pada tahap ini adalah crumb talas. Pada tahap ini dilakukan pengujian viskositas formula batter, pengukuran kadar minyak nugget pada pre frying dan frying, pengukuran coating pick-up, cooked yield, serta uji organoleptik. Metode Bayes digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik pada tahap III yang akan digunakan untuk karakterisasi produk pada tahap IV.

Pada penelitian tahap IV dilakukan karakterisasi produk nugget terbaik pada tahap III dan dibandingkan dengan nugget ikan komersial. Karakterisasi yang dilakukan adalah karakterisasi kimia dan organoleptik berupa uji Quantitative Descriptive Analisys(QDA) dengan menggunakan 12 panelis terlatih.

Penelitian Tahap ke V dilakukan untuk menguji daya simpan produk terbaik menggunakan disain percobaan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dengan model Arrhenius.

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I diawali dengan pembuatan tepung talas dancrumb talas. Tepung talas pada penelitian ini dibuat dengan mengacu pada modifikasi metode penelitian Mayasari (2010). Pembuatan tepung talas diawali dengan proses pengupasan yang diikuti dengan pengirisan talas sampai berukuran 2 mm. Reduksi oksalat dilakukan dengan perendaman dalam air pada suhu 40oC selama 180 menit yang diikuti dengan perendaman dalam larutan NaCl 10% selama


(52)

60 menit. Langkah selanjutnya adalah mengeringkan talas pada suhu 60 oC selama 2x8 jam, penggilingan, dan diakhiri dengan pengayakan dengan ukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung talas. Tepung talas yang dihasillkan dianalisis kadar karbohidrat, protein, lemak, kadar air, rendemen, dan kadar oksalat. Diagram alir tahapan pembuatan tepung talas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahapan pembuatan tepung talas (modifikasi Mayasari 2010).

Keterangan : : bahan baku/produk, : proses.

Perendaman dalam NaCl 10%, 1 jam Pengirisan dengan ketebalan 2 mm

Perendaman dalam air bersih 40oC, 3 jam

Pengeringan 60oC, 2 x 8 jam

Penggilingan 100 mesh Pengupasan kulit dan batang

Pengayakan Keripik Umbi Talas


(53)

Pembuatan remah (crumb) talas dilakukan berdasarkan modifikasi metode penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2010) dan Aboubakar et al. (2008). Tahapan pembuatancrumbtalas dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahapan pembuatancrumbtalas (Modifikasi Mayasari 2010 dan Aboubakaret al. 2008).

Keterangan : : bahan baku/produk, : proses.

Perebusan 100oC, 10 menit Pengirisan dengan ketebalan 0,5 mm

Perendaman dalam NaCl 5%, 1 jam

Pengeringan 60oC, 5 jam

Penggilingan kasar Pengupasan kulit dan batang

Pengayakan 80 mesh Umbi Talas

Keripik


(54)

Tahap awal dilakukan pengupasan dan pengirisan talas dengan ketebalan 0,5 mm. Langkah selanjutnya dilakukan perendaman irisan talas dalam larutan NaCl 5% selama 60 menit dan dilakukan perebusan pada suhu 100oC selama 10 menit. Pengeringan selanjutnya dilakukan selama 5 jam pada suhu 60 oC, kemudian dilakukan penggilingan kasar dan pengayakan dengan ukuran 80 mesh.

Proses pembuatan daging lumat lele dimulai dengan penimbangan ikan untuk mengetahui berat awal ikan yang akan digunakan untuk menghitung rendemen fillet skinless dan daging lumat yang dihasilkan. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian untuk membuang kotoran, lendir, dan benda asing yang melekat pada tubuh ikan.

Daging lumat selanjutnya dicuci dengan air dingin (< 10 oC) dengan perbandingan daging lumat dan air 1:4, direndam dan diaduk-aduk selama 10 menit, yang diikuti dengan penyaringan. Perlakuan terhadap daging ikan lele dibedakan menjadi 4 yaitu tanpa pencucian, pencucian 1 kali, 2 kali, dan 3 kali. Pada pencucian terakhir ditambahkan NaCl 0,3% (b/v). Penghilangan air, dilakukan dengan pemerasan/pengepresan manual menggunakan kain saring (kain blacu), kemudian diperas dengan tangan. Daging lumat yang dihasilkan pada tiap tahapan pencucian beratnya diukur untuk mendapatkan rendemen daging lumat, pH, dan protein larut garam.

Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II dilakukan untuk menentukan formulasi bahan pengisi (filler) terbaik dengan menginteraksikan antara banyak pencucian daging lumat dan konsentrasi tepung talas.

Daging lumat ikan lele digiling dengan garam dan STPP, dicampur dengan bumbu, putih telur, susu skim, dan SPI. Adonan tersebut ditambahkan tepung maizena dan tepung talas sambil digiling dengan penambahan air dingin sampai tercampur merata. Pada tahap penggilingan diupayakan dilakukan pada suhu dingin. Adonan selanjutnya dimasukkan dalam cetakan dan dikukus menggunakan dandang selama 30 menit, setelah itu diangkat dan dibiarkan dingin pada temperatur ruang. Formulasi nugget dan perlakuan pada penentuan bahan pengisi nugget berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.


(55)

Tabel 4 Formulasi nugget lele

Bahan Konsentrasi

Daging lumat (gr) 100

Tepung Talas (%) 0;5;10;15;20

Maizena (%) 5

Putih telur (%) 10

Susu skim (%) 10

SPI (%) 4

STPP (%) 0,25

Garam (%) 2

Bawang putih (%) Bawang bombay (%) Lada (%)

Air dingin (%)

2 20

0,5 20

Keterangan : Persentase bahan dihitung berdasarkan bobot daging.

Tabel 5 Perlakuan formulasi bahan pengisi

Perlakuan konsentrasi tepung talas (C)

Perlakuan pencucian daging lumat (P)

0x (P0) 1x (P1) 2x (P2) 3x (P3)

0% (C0) P0C0 P1C0 P2C0 P3C0

5% (C1) P0C1 P1C1 P2C1 P3C1

10% (C2) P0C2 P1C2 P2C2 P3C2

15% (C3) P0C3 P1C3 P2C3 P3C3

20% (C4) P0C4 P1C4 P2C4 P3C4

Keterangan perlakuan :

P0C0 : Pencucian daging lumat 0 kali dengan konsentrasi tepung talas 0% P0C1 : Pencucian daging lumat 0 kali dengan konsentrasi tepung talas 5% P0C2 : Pencucian daging lumat 0 kali dengan konsentrasi tepung talas 10% P0C3 : Pencucian daging lumat 0 kali dengan konsentrasi tepung talas 15% P0C4 : Pencucian daging lumat 0 kali dengan konsentrasi tepung talas 20% P1C0 : Pencucian daging lumat 1 kali dengan konsentrasi tepung talas 0% P1C1 : Pencucian daging lumat 1 kali dengan konsentrasi tepung talas 5% P1C2 : Pencucian daging lumat 1 kali dengan konsentrasi tepung talas 10% P1C3 : Pencucian daging lumat 1 kali dengan konsentrasi tepung talas 15% P1C4 : Pencucian daging lumat 1 kali dengan konsentrasi tepung talas 20% P2C0 : Pencucian daging lumat 2 kali dengan konsentrasi tepung talas 0% P2C1 : Pencucian daging lumat 2 kali dengan konsentrasi tepung talas 5% P2C2 : Pencucian daging lumat 2 kali dengan konsentrasi tepung talas 10% P2C3 : Pencucian daging lumat 2 kali dengan konsentrasi tepung talas 15% P2C4 : Pencucian daging lumat 2 kali dengan konsentrasi tepung talas 20% P3C0 : Pencucian daging lumat 3 kali dengan konsentrasi tepung talas 0% P3C1 : Pencucian daging lumat 3 kali dengan konsentrasi tepung talas 5% P3C2 : Pencucian daging lumat 3 kali dengan konsentrasi tepung talas 10% P3C3 : Pencucian daging lumat 3 kali dengan konsentrasi tepung talas 15% P3C4 : Pencucian daging lumat 3 kali dengan konsentrasi tepung talas 20%


(56)

Adonan bahan filler nugget selanjutnya diuji sifat fisik berupa uji tekstur terhadap kekerasan (hardness), daya adhesive (adhesiveness) dan kekenyalan (cohessiveness) filler, derajat warna (L*, a*, b*), serta diuji secara organoleptik terhadap parameter tekstur, rasa, aroma, dan warna. Parameter organoleptik digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik pada tahap II dengan metode Bayes.

Penelitian Tahap III

Formulasi bahan pengisi (filler) terbaik pada tahap ke II, digunakan sebagai bahan pengisi pada penentuan bahan pelapis (coater) nugget pada tahap III. Pada tahap ini dilakukan pembuatan nugget dengan mengacu pada modifikasi metode yang digunakan oleh Tokuret al. (2006) dan Lee et al.(2007). Formulasi batter sebagai bahan pelapis merupakan campuran tepung talas dengan tepung maizena dengan perbandingan tepung talas : tepung maizena 4:0 (B1), 3:1 (B2), 2:2 (B3), 1:3 (B4) dan 4:0 (B5), dan penambahan bahan-bahan lain. Perlakuan untuk formulasi batter bahan pelapis nugget dapat dilihat pada Tabel 6. Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui sifat aliran batter. Bahan tambahan lain pada formulasi batter adalah SPI 15%, susu skim 15%, putih telur 16%, garam 2%, lada 1,5%, dan sodium bikarbonat 0,5%.

Tabel 6 Perlakuan formulasibatteruntuk bahan pelapis nugget lele

Perlakuan Tepung

talas (%)

Tepung maizena (%)

Perbandingan

B1 0 50 0:4

B2 12,5 37,5 1:3

B3 25 25 2:2

B4 37,5 12,5 3:1

B5 50 0 4:0

Keseluruhan bahan pada formulasi batter dicampur merata dengan penambahan air dingin pada perbandingan bahan padat : air dingin 1:1,6 (b/b). Bahan nugget dari perlakuan terbaik pada tahap II dicelupkan dalam batter dan dilumuri secara merata dengan menggunakan crumb talas. Nugget yang telah dilumuribatterdancrumbtalas kemudian disimpan di lemari es pada suhu -22oC selama 60 menit lalu digoreng (pre-frying) pada suhu 180 oC selama 30 detik hingga dihasilkan nugget lele. Nugget kemudian dikemas dalam plastik


(57)

poliethylene dan simpan dalam lemari es. Tahapan pembuatan nugget lele pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Tahapan pembuatan nugget lele.

Keterangan : : bahan baku/produk, : proses.

Produk nugget lele yang dihasilkan, digoreng pada suhu 170 oC selama 2,5 menit dan diuji sifat sensorinya dengan uji organoleptik (warna, kenampakan, tekstur, aroma, dan rasa). Uji obyektif berupa pengukuran viskositas, daya serap minyak dengan pengukuranoil contentpada pre fryingdan dibandingkan dengan setelah frying, pengukuran coating pick-up, dan cooked yield. Formula terbaik diperoleh dengan menggunakan analisis Bayes dengan menggunakan parameter organoleptik dan uji obyektif. Formula batter terbaik selanjutnya digunakan sebagai formula nugget terbaik yang akan digunakan pada tahap IV untuk dilakukan karakterisasi secara organoleptik dan kimia.

Pelumuran dengancrumbtalas Pencetakan

Pencelupan dalam larutanbatter

Pendinginan -22oC, 60 menit Pengadonan

Deep frying180oC 30 detik Adonan filler nugget


(58)

Penelitian tahap IV

Pada tahap ini dilakukan karakterisasi secara organoleptik melalui uji Quantitative Descriptive Analysis (QDA) dengan menggunakan panelis terlatih. Pengujian menggunakan pembanding nugget ikan komersial. Parameter yang diuji berupa homogenitas warna,fish taste, rasa gurih, aroma ikan, aroma nugget, crunchiness, juiceness, oiliness, chewiness, rubbery texture, kekenyalan, kekerasan, daya adhesive,batter thickness, danbatter hardness.

Karakterisasi secara kimia berupa penentuan kadar oksalat, kadar proksimat (protein, karbohidrat, lemak dan air), serat, asam amino, asam lemak, dan mineral.

Penelitian tahap V

Pada tahap V dilakukan pendugaan umur simpan produk menggunakan metode ASLT dengan model Arrhenius. Penentuan faktor kritis merupakan tahap pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui parameter yang sangat berpengaruh terhadap kualitas produk nugget selama penyimpanan dingin. Suhu yang digunakan pada penentuan faktor kritis yaitu suhu 0 oC. Parameter yang digunakan adalah parameter organoleptik, Total Plate Count (TPC), dan Thiobarbituric Acid (TBA). Setiap parameter diamati dan diuji setiap 7 hari. Parameter yang paling cepat melebihi standar yaitu nilai TPC lebih dari 5 x 105 (SNI 7319.1:2009), TBA 1 mg/kg malonaldehid (Das et al. 2008), atau yang paling cepat ditolak oleh panelis (skor sensori = 3 atau tidak suka), akan menjadi faktor kritis yang akan digunakan untuk pendugaan umur simpan.

Parameter kritis yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan daya simpan nugget lele yang dikemas pada kemasan poliethylene dengan menggunakan 3 perlakuan suhu ekstrem, yaitu suhu -10oC, -5oC, dan suhu 0 oC. Pengamatan terhadap nilai TPC dilakukan setiap 7 hari dari hari ke-0 sampai hari ke-35. Data kemudian diplotkan dan kurva yang terbentuk dimasukkan dalam persamaan Arrhenius untuk menduga umur simpan nugget lele. Diagram alir keseluruhan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.


(59)

Gambar 8 Prosedur penelitian.

Penggilingan daging

Pelapisan dengan formula

batterdancrumbtalas Pengukusan dan pencetakan

Pre-Frying (180oC, 30 detik)

Pencucian 0,1,2,dan 3 kali

Pencampuran formulasi nugget

Uji kimia (oksalat, proksimat, serat, asam amino, asam lemak, mineral), Uji QDA

Pendugaan umur simpan dengan model Arrhenius pada

suhu -10oC, -5oC, 0oC

TAHAP I Karakterisasi Bahan Baku

Pendinginan -22oC, 60 menit

Uji organoleptik dan uji fisik (hardness, adhesiveness, cohesiveness,derajat warna)

Uji organoleptik, viskositas,oil content,

coating pick-up, cooked yield

Analisis proksimat, oksalat, PLG, pH, rendemen tepung, rendemen daging lumat

TAHAP II Penentuan FormulasiFiller

TAHAP III Penentuan FormulasiBatter

TAHAP IV Karakterisasi Produk Nugget

TAHAP V Pendugaan Umur Simpan

Fillet lele

Formula terbaik tahap II


(60)

3.4 Analisis Sampel

3.4.1 Kadar air (AOAC 2005)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah dikeringkan (B). Cawan berisi sampel selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105 °C selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap (C). Kadar air dihitung dengan rumus :

% Kadar air = B − C

B − A x 100% 3.4.2 Kadar abu (AOAC 2005)

Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan porselen yang sudah diketahui bobot tetapnya (B). Sampel dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-600 °C sampai pengabuan sempurna. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap (C). Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

% Kadar abu = C − A

B − A x 100 % 3.4.3 Kadar protein (AOAC 2005)

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g lalu ditambahkan 25 mL H2SO4 pekat dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Larutan ditambahkan ¼ buah tablet kjeltab kemudian didestruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan SO2 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda tera. Sebanyak 5 mL larutan dimasukkan ke dalam alat destilasi, ditambahkan dengan 5-10 mL NaOH 30-33% dan


(61)

dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam 10 mL larutan H3BO3(asam borat) 3% dan beberapa tetes indikator (larutan bromcresol green 0,1% dan larutan metil merah 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah dan dicampurkan antara 10 mLbromcresol greendengan 2 mL metil merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 M sampai larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Total nitrogen dapat diketahui dari hasil titrasi. Kadar protein sampel dihitung dengan mengalikan total nitrogen dengan faktor konversi.

Total nitrogen ( %) = ( V1 − V2)x NHCl x 14,007x fp

Wcontoh x 100 %

Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : % Protein = Total nitrogen (%) x fk

Keterangan :

Wcontoh : Bobot sampel (mg)

V1 : Volume HCl untuk titrasi sampel (mL) V2 : Volume HCl untuk titrasi blanko (mL) NHCl : Normalitas HCl yang digunakan (0,02374 N) fp : Faktor pengenceran (10)

fk : Faktor konversi (6,25 untuk produk perikanan)

3.4.4 Kadar lemak (AOAC 2005)

Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi sokhlet dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap (A). Sebanyak 2 g sampel ditimbang (B), lalu dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya.

Pelarut heksan atau pelarut lemak lain dituangkan ke dalam labu lemak sampai sampel terendam dan selanjutnya dilakukan refluks atau ekstraksi lemak selama 5-6 jam atau sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 1 jam, lalu labu lemak


(1)

(2)

PUU


(3)

(4)

PUW


(5)

(6)

PVO

d. Katalog standar asam lemak

Contoh perhitungan asam lemak : asam kaprilat Kadar asam lemak = x

( )x x 100%

= x x x 100%