Prosesi arak pengantin sebelum akad nikah dalam tinjauan hukum Islam (studi kasus di desa Pulau Legundi kecamatan Punduh Pedada kabupaten Pesawaran Lampung)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril, di dalamnya mengatur tentang kehidupan manusia dalam mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, berupa aturan-aturan yang mengikat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Pengaturan yang dilakukan meliputi berbagai hal dari masalah individu manusia itu sendiri sampai pada permasalahan hidup orang banyak, dengan didasari oleh al-Qur’an dan Hadits. Bersamaan dengan itu telah ditetapkan pula aturan-aturan bermasyarakat yag harus dipatuhi oleh setiap orang. Dengan tujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan kuat baik dari segi kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, loyalitas, dan kesempurnaan akhlak yang semuanya bersumbu pada iman dan taqwa.1

Islam juga agama yang mengatur masalah perkawinan, perkawinan menurut bahasa arab adalah bergabung dan berkumpul dipergunakan dengan arti wata atau akad nikah. Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan seorang perempuan tertentu dan pada akad

1

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah, (Jakarta: Pedoman Jaya Ilmu, 1988), h. 6.


(2)

mempergunakan lafal ”nikah’.2 Sedangkan menurut pasal 1 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.3

Dengan perkataan ikatan lahir batin itu dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama-sama sebagi suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga keduanya harus membina ikatan batin. Jalinan ikatan lahir dan batin itulah yang menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

Perkawinan yang merupakan sunatullah yang berlaku bagi semua makhluk ciptaan Tuhan, baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan dan berkembang biak untuk kelestarian hidupnya, setelah masing-masing makhluk mendapatkan pasangan maka mereka siap melakukan perkawinan yang telah ditentukan oleh Allah SWT melalui hukumNya dan hukum manusia dalam mewujudkan tujuan perkawinan itu.

2

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Suatu perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara Islam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet.II, h. 104.

3

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II, h. 26


(3)

Pernikahan yang dilandasi oleh cinta dan kasih sayang serta ibadah akan menjadikan bahtera rumah tangga yang harmonis dan akan terhindar dari perpecahan, walaupun pada hakekatnya pernikahan akan diselingi oleh intrik rumah tangga. Tetapi iman yang kuat dengan dasar perkawinan untuk ibadah pasti permasalahan tersebut akan mudah teratasi. Karena Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan oleh islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.4

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah juga kekal. Untuk itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi segala kekurangan satu sama lainnya dan dapat mengembangkan pribadi masing-masing sehingga tercapai suatu kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual dan materil.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Setiap perbuatan hukum yang sah akan menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban baik bagi suami isteri itu sendiri maupun bagi orang ketiga. Orang ketiga ini mungkin pribadi, mungkin pula badan hukum misalnya. Menurut Undang-undang Perkawinan tahun 1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya itu. Ini berarti bahwa untuk menentukan sah tidaknya perkawinan seseorang, ditentukan oleh ketentuan agama, misalnya, sah tidaknya

4

Mahmud Al- Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 23.


(4)

pernikahan yang dilakukan tergantung pada dipenuhi tidaknya semua rukun nikah menurut hukum (agama) islam.

Sangat jelas agaknya bahwa perkawinan menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 baik arti maupun tujuan tidak semata-mata hubungan hukum antara seorang laki-laki dan wanita saja, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti, agama, biologis, sosial, adat istiadat.

Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral untuk setiap jiwa manusia, karena itu kebanyakan orang yang akan melaksanakan suatu pernikahan diiringi oleh upacara pernikahan secara adat budaya setempat, karena perkawinan merupakan salah satu budaya yang mengikuti perkembangan manusia, dalam kehidupan masyarakat.

Pokok dari perkawinan baik secara tradisional maupun secara modern yaitu perkawinan sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya sangat terasa kehadirannya dalam upacara perkawinan, sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

Úóäú Ãó äóÓò ÞóÇáó : Ãóæú áóãó ÑóÓõæú áõ Çááåö

Õóáøóì Çááå õÚóáóíúåö æóÓóáøóãó Úóáóì ÔóíúÁò

ãöäú äöÓóÇÆöåö ãóÇ Ãóæú áóãó Úóáóì ÒóíúäóÈó


(5)

Artinya : Dari Anas, ia berkata : ”Rasulullah SAW mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk isteri-isterinya dan untuk Zainab.” (HR. Bukhori dan Muslim).5

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat. Seperti halnya kebiasaan yang dianut di dalam masyarakat Lampung khususnya di Desa Pulau Legundi kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran, upacara pesta perkawinan tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat.

Bila di tinjau secara kulturalistik, masyarakat pribumi Lampung mempunyai berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntunan pola hidup turun temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat penyelenggaraannya. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.

Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan dilestarikan sepanjang tidak menyalahi prinsip ajaran Islam.

5

Tahariq Ismail Kakhiya, Perkawinan Dalam Islam, (Petunjuk Praktis Membina Keluarga Muslim), (Jakarta: CV. Yasa guna, 1987), Cet. II, h. 74.


(6)

Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan dengan walimah tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan.6

Berbagai macam tata cara upacara pesta perkawinan (Walimah ’urs) yang berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai luhur yang telah dibentuk oleh para orang tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi seterusnya, karena itu upacara pesta perkawinan dalam adat merupakan kegiatan tradisional turun-temurun yang mencirikan keanekaragaman budaya bangsa dan juga dimaksudkan agar dapat diketahui oleh masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah, yang bertujuan agar perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan bagi keduanya di kemudian hari.

Tahapan pertama dalam perkawinan adalah pinangan, yang mana hal ini adalah awal mula terbentuknya satu ciptaan yang utuh dari dua hal terpisah, laki-laki dan perempuan. Sebelum membangun satu ciptaan yang utuh, haruslah ada pelajaran, perhitungan, dan rencana terlebih dahulu untuk menjamin kukuhnya pembangunan itu, dan sudah lazim terjadi pada masyarakat di daerah manapun yang akan melangsungkan perkawinan.

Di Desa Pulau Legundi inisiatif pelamaran dilakukan kaum kerabat laki-laki dengan cara mengirimkan delegasinya ke rumah bakal calon pengantin wanita. Sebelum mengirimkan utusan ini, orang tua/wali laki-laki mengumpulkan sanak

6


(7)

saudara serta penyimbang kampungnya untuk memberitahukan tentang maksudnya akan melakukan pelamaran kepada keluarga si gadis.

Selanjutnya para penyimbang itulah yang menunjuk delegasi pelamaran serta menentukan barang-barang apa saja yang akan dibawa. Apabila lamaran ini diterima baik oleh keluarga pihak perempuan, maka sebelum upacara adat perkawinan dilangsungkan, dilakukan suatu perundingan antara kaum kerabat kedua belah pihak. Musyawarah tersebut diantaranya merundingkan masalah mas kawin, pemberian-pemberian serta pelaksanaan hari pernikahan maupun pesta perkawinan.

Di Desa Pulau Legundi para orang tua yang akan menikahkan anaknya biasanya menanyakan tanggal akad pernikahan anaknya kepada seorang kiayi atau orang yang dianggap pintar. Kemudian setelah itu barulah kemudian melaksanakan upacara pesta pernikahan.

Dengan dilakukannya upacara pesta perkawinan (walimah ’urs), kedua mempelai mengumumkan permulaan kehidupan mereka dan utnuk meminta doa restu kepada keluarga dan sahabat. Rasulullah menganjurkan dalam mengadakan upacara pesta perkawinan hendaklah dilakukan dengan sederhana, dan diniati untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan menghindari dari perbuatan yang bertentangan dengan syariat pada saat perayaan upacara pesta perkawinan. Dan yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan upacara pesta perkawinan tidak memaksakan diri untuk bermewah-mewahan, melainkan sesuai kemampuannya,


(8)

undangan hendaknya tidak dibedakan antara yang kaya dan miskin, semuanya harus diperlakukan sama.7

Di dalam masyarakat Desa Pulau Legundi mempunyai keunikan dan kebiasaan yang mana sebelum diadakannya akad nikah, calon pengantin wanita terlebih dahulu di arak (di iring) keliling kampung, lalu setelah itu dilanjutkan dengan acara yang berbau keagamaan seperti acara sholawat di mana masyarakat Desa Pulau Legundi biasa menyebutnya dengan yalilan, baru kemudian keduanya disatukan dalam akad nikah.

Hal tersebut menarik untuk dibahas di samping mayoritas penduduknya menganut agama Islam, masyarak Desa Pulau Legundi juga sangat menjunjung tinggi warisan nenek moyang. Penulis akan membahas adat istiadat masyarakat Desa Pulau legundi mengenai prosesi arak pengantin sebelum akad nikah.

Hal yang menarik adalah sejauh mana masyarakat Desa Pulau Legundi mamahami nilai-nila islami dalam upacara pesta perkawinan, apakah masyarakat Desa Pulau Legundi berpegang teguh pada nilai islami atau tidak, kemudian apakah ada pergeseran nilai-nilai islami terhadap upacara pesta perkawinan dalam masyarakat Desa Pulau Legundi?

Dan untuk lebih terarahnya materi penulis akan mengkaji dalam skripsi yang berjudul: ”Prosesi Arak Pengantin Sebelum Akad Nikah Dalam Tinjauan

7


(9)

Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Pulau Legundi Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Lampung)”.

B. Perumusan Dan Pembatasan Masalah

Dalam pembatasan dan perumusan masalah ini dimaksudkan agar pembahasan lebih terarah pada suatu kajian tertentu dalam skripsi.

Tulisan akan membahas seputar ritual pesta pernikahan yang terjadi di Desa Pulau Legundi, yang mana di dalam ritual pesta pernikahan tersebut terdapat prosesi arak pengantin sebelum akad nikah yang akan ditinjau secara hukum Islam.

Untuk memudahkan analisa permasalahan maka penulis menyusun suatu perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan upacara pesta pernikahan (Walimatul ’urs) menurut Islam ?

2. Bagaimana proses walimatul ’urs dan ritual arak pengantin yang terjadi di Desa Pulau Legundi ?

3. Pandangan hukum islam terhadap ritual arak pengantin adat Desa Pulau Legundi ?

Dalam penulisan skripsi ini juga perlu kiranya ditentukan beberapa batasan masalah, antara lain :

1. Dalam peninjauan masalah hukum, penulis berpedoman kepada hukum perkawinan menurut mazhab Imam Syafi’i, karena penulis berasumsi bahwa sebagian umat Islam di Indonesia mengikuti mazhab Imam syafi’i.


(10)

2. Tinjauan yang di bahas adalah walimatul ’urs dan prosesi arak pengantin sebelum akad nikah yang terjadi di Desa Pulau legundi.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Melihat dari rumusan masalah diatas, maka tujuan yang disajikan pun tidak keluar dari materi yang akan dipaparkan, adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian dan maksud dari upacara pesta pernikahan (Walimatul ’Urs) dalam pandangan Islam.

2. Untuk mengetahui lebih detail waimatul ’urs dan prosesi arak pengantin adat Desa Pulau Legundi.

3. Untuk mengetahui kepastian hukum secara syar’i mengenai ritual arak pengantin adat Desa Pulau Legundi bertentangan atau tidak.

Dan untuk melengkapi penulisan skripsi, maka penulis juga memaparkan beberapa manfaat dari penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Memberikan wawasan kepada penulis dalam rangka meningkatkan disiplin ilmu yang akan dikembangkan menjadi profesi penulis sebagai mahasiswa, sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah pokok dan sebagai ilmu yang dimiliki penulis yang akan diperdalam lebih lanjut melalui studi-studi lain yang serupa dengan ilmu tersebut.

2. Memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai ritual dan tradisional masyarakat di Desa Pulau Legundi, terhadap ajaran agama Islam dalam pelaksanaan upacara pesta pernikahan.


(11)

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam kajian skripsi ini berdasarkan data yang tersedia menggunakan metode Deskriptif, metode ini untuk mendapatkan data secara cermat dan untuk tercapainya sasaran yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini akan menggunakan dua metode antara lain yaitu :

1. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan buku-buku atau sumber tertulis yang ada kaitannya dengan permasalahan skripsi ini. 2. Penelitian lapangan pengumpulan data dengan dua cara :

a) Observasi yaitu dengan cara melibatkan diri secara langsung ke dalam masyarakat.

b) Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta penjelasan terhadap beberapa hal yang dianggap penting untuk memperoleh data dalam rangka penyusunan skripsi ini.

Adapun metode penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan hukum 2008”, dan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan dengan beberap pengecualian :

1. Penulisan ayat Al-qur’an tidak memakai footnote hanya menyebutkan nama surat dan ayatnya saja. Untuk terjemahan penulis menggunakan ”Al-qur’an dan Terjemahan” yang dikeluarkan oleh Departemen Agama.


(12)

2. Kutipan yang diambil dari buku-buku lama yang memakai ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan, kecuali nama orang yang ditulis sesuai dengan aslinya.

E. Review Study Terdahulu

Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa skripsi terdahulu yang berhubungan dengan walimatul ‘urs agar tidak terjadi plagiasi atau penjiplakan , yakni di antaranya :

1.“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Walimah Perkawinan Adat Minangkabau Di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat”. Penulis : Ali Imran, Prodi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. skripsi ini menjelaskan tentang metode pelaksanaan walimah seperti baiyo-iyo yang mana pelaksanaan acara ini memakan waktu hingga satu minggu, kemudian hidangan yang disediakan dalam acara tersebut bermacam-macam dan sangat berlebihan, sehingga menimbulkan sesuatu yang mubazir. Dalam hukum Islam sesuatu yang mubazir dan berlebihan itu dilarang.

2.“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upacara Mangupa Pada Perkawinan Adat Mandailing (Study Kasus Kecamatan Rantau Utara Sumatera Utara). Penulis : Hj. Sri Dewi Wahyuni Harahap, Prodi PMH Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Skripsi menerangkan tentang upacara mangupa dalam perkawinan adat Mandailing, acara mangupa berupa nasehat-nasehat, doa-doa dan sajian makanan, sebagai perwujudan rasa terimakasih dan bahagia atas


(13)

terselenggaranya pernikahan. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa upacara ini boleh-boleh saja asalkan tujuannya hanya kepada Allah SWT, tapi upacara

mangupa ini bisa jadi haram apabila ditujukan kepada selain Allah SWT, terutama ditujukan kepada Dewa-dewa, dalam bahasa masyarakat Sumatera Utara disebut

Begu.

3.“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pesta Perkawinan Adat Sunda Di Desa Sukagalih/Kelurahan Cikalong Jawa Barat”. Penulis : Monika Nostalia, Prodi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Skripsi ini menjelaskan mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan perkawinan yang terjadi di Desa Sukagalih, seperti : nendeun omong, melamar, akad nikah dan walimah. Jadi dalam skripsi ini bahwa pesta perkawinan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan syariat Islam, karena acara adat injak telur sudah tidak ditradisikan lagi dengan alasan menyimpang dari ajaran agama Islam.

4.“Prosesi Pernikahan Adat Minangkabau Ditinjau Dari Sudut Pandang Islam (Studi Kasus Di Kabupaten Agam). Penulis : Mimin Sutarsih, Prodi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Skripsi ini menyimpulkan prosesi pernikahan adat terbagi ,emjadi 4 proses, yaitu : acara sebelum perkawinan, acara dan kewajiban menjelang perkawinan, acara persiapan upacara perkawinan dan acara pelaksanaan perkawinan. Kemudian dijelaskan pula bahwa dari semua acara-acara tersebut sangat diterima oleh ajaran agama Islam, karena Islam sendiri menjunjung tinggi nilai-nilai budaya suatu kaum.


(14)

5.“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hiburan Dalam Walimah Di Desa Neusu Aceh. Penulis : Khairiah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Skripsi ini lebih banyak menjelaskan mengenai hiburan-hiburan yang dilaksanakan dalam proses walimah, dan skripsi ini menyimpulkan bahwa hiburan-hiburan yang ada cenderung bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan banyak faktor salah satunya adalah masyarakat kurang memahami makna walimah itu sendiri, serta kurangnya pemahaman tentang hiburan yang dibenarkan dan yang tidak dalam sayriat Islam.

Dari review skripsi dan karangan terdahulu, penulis tidak menemukan skripsi yang membahas mengenai materi yang terkandung dalam judul yang penulis yakni mengenai “Arak Pengantin Sebelum Akad Nikah” khususnya di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu penulis optimis untuk menyelesaikan skripsi tersebut dengan berharap, semoga dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penulis sendiri khususnya dan bagi masyarakat akademia umumnya.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing bab memiliki sub-sub secara keseluruhan meliputi sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari sub bab yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan, Review Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.


(15)

BAB II : Menguraikan bahasan tentang upacara pesta pernikahan menurut hukum islam. Bab ini meliputi: Pengertian walimatul ’urs, Dasar Hukum Walimatul Urs, Waktu dan Bentuk Pelaksanaan Walimatul’Urs Hikmah dan Tujuan Walimatul Urs, Hukum Menghadiri Walimatul ’Urs.

BAB III : Menjelaskan kondisi objektif Desa Pulau Legundi. Bab ini meliputi: Letak Geografis Desa Pulau Legundi, Keadaan Demografis Desa Pulau Legundi, Keadaan Sosiologis Desa Pulau Legundi.

BAB IV : Menjelaskan bahasan tentang prosesi arak pengantin sebelum akad nikah di Desa Pulau Legundi. Bab ini meliputi: Sejarah Perkawinan Adat Lampung, Pelaksanaan walimah dan Prosesi arak pengantin sebelum akad di Desa Pulau Legundi, Makna Prosesi Arak Pengantin Bagi Masyarakat (Tinjauan Antropologis), Tinjauan Hukum Islam terhadap prosesi arak pengantin sebelum akad di Desa Pulau Legundi.

BAB V : Meliputi Bab Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan atas masalah yang dibahas dan mengemukakan saran-saran sebagai solusi dari setiap permasalahan tersebut dan diakhiri dengan lampiran-lampiran.


(16)

BAB II

BEBERAPA MASALAH MENGENAI UPACARA PESTA PERNIKAHAN (WALIMATUL ‘URS) MENURUT HUKUM ISLAM

ِِ

A. Pengertian Walimatul ‘Urs Dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Walimatul ‘Urs

Orang yang menikah hendaknya mengadakan perayaan sekedar kemampuannya, yang dalam agama islam dikenal dengan istilah walimatul ‘urs . agama islam menganjurkan untuk menyiarkan perkawinan. Untuk menyatakan rasa gembira yang dihalalkan oleh Allah SWT, dalam menikmati kebaikan. Perkawinan


(17)

merupakan perbuatan yang baik untuk diberitahukan, supaya dapat diketahui baik orang yang berkepentingan atau khalayak ramai, yang dekat maupun yang jauh.

Walimatul ‘urs ialah kenduri bagi meraikan atau merayakan pengantin baru. Walimah juga mengandung arti jamuan agama, bukan jamuan adat kebiasaan yang dibuat kerana Allah, bukan jamuan kebanggaan dan bukan sumber untuk mendapat keuntungan duniawi.8

Kata walimah berasal dari kata

و

yang arti harfiahnya berkumpul, karena banyaknya manusia yang berkumpul untuk menghadiri suatu jamuan makan. Sedangkan menurut Sayid Sabiq walimah itu berarti jamuan khusus yang diadakan dalam perayaan pesta perkawinan atau setiap jamuan untuk pesta lainnya, tetapi biasanya jika menyebut walimatul ‘urs artinya perayaan pernikahan.9

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menerangkan bahwa al-walimah adalah berkumpul, karena kedua mempelai pada waktu dipersandingkan, dan al-‘urs adalah perkawinan. Walimatul ‘urs diserap dalam bahasa Indonesia menjadi “walimah” dalam fiqih Islam mengandung makna yang umum dan makna yang khusus. Makna umumnya adalah seluruh bentuk perayaan yang melibatkan orang banyak. Sedangkan walimah dalam pengertian khusus disebut walimatul ‘urs mengandung pengertian peresmian perkawinan, yang tujuannya untuk memberitahukan khalayak ramai bahwa

8

http://www.al-azim.com/masjid/infoislam/munakahat

9


(18)

kedua pengantin telah resmi menjadi suami isteri, sekaligus rasa syukur keluarga kedua belah pihak telah atas berlangsungny perkawinan tersebut.10

Selain itu dalam kitab kifayatul al-akhyar disebutkan pula walimah adalah hidangan perkawinan. Yang diambil dari kata

و

yang artinya berkumpul, karena pada saat itu berkumpul (bersanding) suami istri. Menurut Imam Syafi’i walimah itu meliputi suatu jamuan makan sebagai tanda gembira, seperti perayaan pernikahan, perayaan khitanan dan lain sebagainya.11

Ucapan akad nikah dan walimah merupakan acara ritual atau ibadah yang disyari’atkan dalam Islam sehingga penyelenggaraannya harus tertib dan sakral. Sebagaimana sebuah ibadah, seperti halnya zakat, puasa, ibadah haji, dan sebagainya, penyelenggaraan pernikahan telah diatur tata cara serta rukunnya dalam syari’at Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabat. Pelanggaran terhadap pelaksanaan rukun-rukun menyebabkan tidak sahnya sebuah pernikahan secara syar’i.12

Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur Arab yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan. Menurut pendapat yang paling terkenal, walimah itu

10

Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1917.

11

Departemen Agama Republik Indonesia, Ilmu Fiqih, (Jakarta, t.p, 1984), jilid II, h. 115.

12


(19)

berlaku dalam perkawinan secara mutlak, sedangkan selain perkawinan ada qayidnya.

Karena itu, ada istilah undangan-undangan sebagai berikut :

A’dzar : Undangan selamatan khitanan.

‘Aqiqah : Undangan selamatan kelahiran anak.

Khars : Undangan selamatan setelah melahirkan.

Naqi’ah : Undangan selamatan setelah bepergian jauh.

Wakirah : Undangan selamatan setelah mendirikan bangunan.

Wadhimah : Undangan selamatan setelah ada musibah.13

2. Dasar Hukum Walimatul ‘Urs

Pelaksanaan walimah ‘urs memiliki memiliki kedudukan tersendiri dalam munakahat. Rasulullah SAW sendiri melaksanakan walimah untuk dirinya dan memerintahkan kepada para sahabat untuk mengadakan walimah walaupun hanya dengan makan kurma dan roti serta seekor kambing, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, kepada Abdurrahman bin ‘Auf :

Úóäú ÃóäóÓò ÇÈúäö ãóÇáößò : Ãóäøó ÑóÓõæúáõ

Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÑóÃóì Úóáóì ÚóÈúÏõ

ÇáÑøóÍúãóäö Èúäö ÚóæúÝò ÃóËóóÑóÕõÝúÑóÉò.

ÝóÞóÇáó ãóÇ åóÇÐóÇ¿ ÞóÇáó : íóÇ ÑóÓõæúáõ Çááå

Çöäøöí ÊóÒóæøóÌúÊõ ÇöãúÑóÇóÉð Úóáóì æóÒúäò

13

Al-Imam Taqiyudin dan Abubakar Al- Husaini, Kifayatul Akhyar, Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 426.


(20)

äóæóÇÉò ãöäú ÐóåóÈò ÞóÇáó : ÊóÈóÇÑóßó Çááå

õáóßó ¡ Ãóæúáóãú æóáóæú ÈöÔóÇÉ) Ñæå ÇáÊÑ ãÐì(

Artinya : Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW telah melihat bekas kekuning-kuningan pad Abdurrahman bin ‘Auf, Rasulullah SAW bertanya, apa ini ? Sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan dengan maskawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “semoga Allah memberkatimu, adakanlah walimah sekalipun dengan seekor kambing”. (HR. Tirmidzi).14

Dalam sabda Rasulullah SAW “adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing”. Terdapat dalil yang menunjukkan keharusan mengadakan walimah. Ulama Mazhab Zhahiri, salah satu pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Imam Syafi’I menyatakan bahwa hukum mengadakan walimah adalah wajib, karena Rasulallah SAW menggunakan fi’il amar dalam hadist tersebut. Antara lain yang mereka kemukakan adalah kisah perkawinan Ali bin Abu Thalib dengan Fatimah puteri Nabi Muahammad SAW. Dalam hadist tersebut juga mengandung kemestian untuk mengadakan walimah.15

Selanjutnya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadist Buraidah, yaitu ketika Ali melamar Fatimah Puteri Rasulullah SAW, bersabda :

لﺎ

ةﺪ ﺮ

:

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

ﺔ ﺎ

:

ﺔ و

شﺮ

ا

)

ﺪ أ

ور

(

14

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Riyadh: Riyadh: Al-Ma’arif, 1996), Juz, 4, h. 220.

15


(21)

Artinya :”Dari Buraidah ia berkata : Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW, bersabda : “Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya”. (HR. Ahmad).16

Dalam hadist tesebut di atas Nabi Muhammad SAW, mengharuskan kepada Ali untuk mengadakan walimah ketika menikahi Fatimah. Dalam hadist tersebut anjuran untuk mengadakan walimah mengandung unsur keharusan atau kewajiban, karena adanya kata ﺪﺑﻻ yang berarti sesuatu yang dengan cara bagaimanapun harus diadakan, demikian pendapat yang dikemukakan oleh golongan Dzahiri.17

Jumhur ulama berpendapat bahwa mengadakan walimah hukumnya sunah muakkad, bukan wajib. Karena mengadakan walimah itu merupakan suatu kegembiraan atas berlangsungnya akad nikah.

Bagi yang mampu agar tidak mengurangi dari seekor kambing. Al-qadhy sepakat bahwa tidak ada batas minimal, boleh dilaksanakan menurut kemampuan. Menyembelih kambing pada upacara perkawinan itu tidak merupakan ukuran, tetapi berarti boleh dengan menyembelih seekor kambing atau selain kambing dan boleh juga tidak menyembelih apa-apa. Hal ini diserahkan kepada orang yang mengadakan walimah sesuai dengan kemampuan dan kewajaran.

Dari beberapa hadist yang telah kemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk mengadakan walimah pada upacara pernikahan. Walimah tidaklah harus sampai menyembelih seekor kambing tetapi juga cukup hanya dengan hidangan buah kurma (sederhana).

16

Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Beirut: Dar al-Fikri, 1978), h. 359.

17


(22)

Syari’at Islam membenarkan pelaksanaan walimah ini yang sesuai dengan kemampuan atau kesanggupan keluarga yang mempunyai hajat.

B. Waktu Pelaksanaan Walimatul ‘Urs

Waktu pelaksanaan walimah adalah waktu kapan dilaksanakan walimah atau saat melaksanakan walimah, sebelum akad nikah atau sesudahnya, ketika hari pernikahan atau sesudahnya, hal ini tergantung pada adat dan kebiasaan.18

Ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa penyelenggaraan dianjurkan (sunnah) setelah terjadi hubungan antara kedua mempelai, alasan mereka adalah riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengundang orang-orang untuk walimah setelah beliau bercampur dengan Zainab. Ulama Mazhab Hambali bahwa waktu pelaksanaan walimah tersebut disunahkan setelah akad nikah berlangsung. Menurut Ulama mazhab Hanafi tidak menentukan waktu yang jelas, karena menurut mereka diserahkan kepada adat istiadat setempat.19

Dari beberapa pendapat ulama fiqih, waktu pelaksanaan walimah disunahkan ketika akad nikah atau sesudahnya atau ketika hari perkawinan atau sesudahnya, tergantung pada adat istiadat setempat.

Sedangkan masa pelaksanaan walimah adalah lamanya mengadakan walimah. Berbeda denga waktu pelaksaaan yaitu kapan dilksanakan walimah. Mengenai masa pelaksanaan walimah terdapat hadist Nabi SAW:

18

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, h. 185-186

19


(23)

لﺎ

دﻮ

ا

:

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

لوأ

مﺎ

و

ﷲا

مﻮ

ﷲا

و

ﺎ ا

مﻮ

مﺎ و

ﺎ ا

مﻮ

مﺎ

و

)

ىﺬ ﺮ ا

ور

(

Artinya Dari Ibnu Mas’ud r.a ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Menghidangkan pada hari pertama itu hak (wajib/sunah), pada hari kedua adalah sunah dan pada hari ketiga adalah sum’ah (melakukan sesuatu ingin didengar orang banyak). Barangsiapa yang melakukan sum’ah, maka Allah memperdengarkannya”.

(H.R. Tirmidzi).

Hadist di atas mengandung dalil yang menunjukkan atas disyari’atkannya walimah pada hari pertama, dan inilah yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa walimah itu wajib sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Walimah yang diselenggarakan pada hari kedua ini bukan makruh hukumnya mengingat ia masih bisa dikenal, adapun yang hukumnya makruh ialah jika walimah tersebut diselenggarakan pada hari ketiga.

Mengenai hal di atas sesuai dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa walimah pada hari pertama wajib, pada hari kedua adalah sunah sedangkan pada hari ketiga adalah termasuk riya dan sum’ah. Oleh karena itu perbuatannya menjadi haram, memenuhi undangannya pun menjadi haram.

Menurut Imam Nawawi mengatakan bahwa apabila diadakan walimah tiga hari, maka pemenuhan undangan pada hari ketiga dalah makruh, tidak wajib secara mutlak. Sekelompok ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya tidak makruh pemenuhan pada hari ketiga itu bagi orang yang tidak dundang pada hari pertama dan


(24)

kedua. Imam bukhari sependapat dengan kelompok ulama ini, menurutnya tidak mengapa menjamu tamu walaupun hingga tujuh hari.20

Dari hadist dan pendapat ulama di atas maka dapat dipahami bahwa masa pelaksanaan walimah sebaiknya dilakukan dua hari berturut-turut, jika terpaksa lebih dari masa tersebut, maka tidak boleh berniat pamer karena hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang.

C. Bentuk Pelaksanaan Walimatul ‘Urs

Walaupun mengadakan walimah itu sesuatu yang dianjurkan agama, namun mengenai bentu walimah itu tida dijelaskan secara terperinci. Hal ini dapat diartikan bahwa mengadakan walimah itu bentuknya bebas, asalkan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan boleh juga tergantung adat istiadat masyarakat setempat. Yang penting dalam pelaksanaanya itu sesuai dengan kemampuan dan tidak sampai terjadi pemborosan atau mubazir, serta tidak ada maksud-maksud lain yang dilarang agama seperti membanggakan diri, memamerkan kekayaan (riya) dan hal-hal lain yang bertentangan dengan ajaran agama.

Rasulullah SAW sendiri melaksanakan walimah untuk sebagian istri beliau hanya dengan gandum, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori:

أ

أ

و

ا

ﷲا

و

ﺋﺎ

)

ىرﺎ ا

ور

(

20

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 157


(25)

Artinya : Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk sebagian isterinya dengan dua mud gandum, (HR. Bukhari).

Rasulullah juga pernah mengadakan walimah untuk Shafiyah hanya dengan tepung dan kurma.

أ

أ

ن

ا

ﷲا

و

أ

و

)

ور

ا

,

ئﺎ ا

ا

(

Artinya : Rasulullah mengadakan walimah pada perkawinan beliau dengan Shafiyah dengan sajian tepung dan kurma. (HR. Khamsah, kecuali Nasa’i).21

Selanjutnya Anas r.a meriwayatkan bahwa proses walimah antara Nabi Muhammad SAW dengan Shafiyah, adalah ketika Nabi SAW masih dalam perjalanan. Ummu Sulaim menyiapkan resepsi (walimah) bagi beliau, sebagai hadiah darinya untuk menyambut kedatangan beliau pada malam harinya. Pada esok harinya Nabi SAW juga mengadakan walimah, di mana beliau juga berkata kepada sahabat, “siapa di antara kalian yang mempunyai kelebihan sesuatu di sisinya, maka datanglah kepada kami”. Beliaupun menghamparkan hambal yang terbuat dari kulit dan para sahabat datang dengan membawa sejenis keju, mentega serta kurma. Lalu para sahabat wanita membuat hidangan dari bahan-bahan tersebut untuk kemudian dihidangkan sebagai makanan.22

Melihat kepada pelaksanaan walimah Rasulullah SAW, jelas bahwa Rasulullah SAW melakukan walimah itu dengan cara jamuan biasa dan sederhana,

21

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,(Beirut: Dar al-Fikri, t.th), juz 1., h. 615.

22


(26)

tanpa menghidangkan beberapa macam masakan/makanan yang nantinya akan sampai mendekati perbuatan mubazir/ pemborosan. Hal ini menunjukkan bahwa walimah itu memang harus dilaksanakan menurut kemampuan dan tidak boleh dipaksakan.

Selanjutnya untuk memperindah pelaksanaan walimah dengan musik dan nyanyian adalah suatu hal yang diperbolehkan dalam islam, selama tidak diserti dengan hal-hal yang mengarah kepada perbuatan yang diharamkan. Bahkan disunatkan dalam situasi gembira, guna melahirkan perasaan senang dan menghibur hati seperti hari raya dan kedatangan orang yang sudah lama ditunggu. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan Aisyah, ketika Aisyah mengantar seorang pengantin wanita agar iring-iringan pengantin tersebut diiringi dengan nyanyian. Sebagaimanan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

ا

سﺎ

:

أ

ﺎﺋ

ذ

تا

ا

ﻬﺎ

ا

رﺎ

ءﺎ

ر

لﻮ

ﷲا

ﷲا

و

لﺎ

:

أ

ه

ا

ةﺎ

؟

:

.

لﺎ

:

أ

ر

ء

؟

:

.

لﺎ

ر

لﻮ

ﷲا

ﷲا

و

:

ا

ن

ا

رﺎ

م

ل

ل

:

أ

آﺎ

ء

أ

آﺎ

و

آﺎ

)

ا

ور

(

Artinya : Dari Ibnu Abbas : Aisyah pernah mengawinkan salah seorang kerabatnya dengan orang Anshor, kemudian Rasulullah SAW dating dan bertanya: ”Apakah kamu telah memberikan gadis itu kepada suaminya?” Para sahabat menjawab : betul. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Apakah kamu kirim gadis itu orang yang akan bernyanyi?”, Aisyah menjawab: tidak. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang Anshor adalah suatu kaum yang suka kepada nyanyian. Alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia seorang yang mengatakan: kami


(27)

telah datang kepadamu, kami telah datang kepadamu, maka dia memberi hormat kepada kami dan kami memberi hormat pula kepada kamu”. (HR. Ibnu Majah).23 Selanjutnya Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra pernah bercerita, Nabi Muhammad SAW pernah datang dan masuk ke rumahku ketika aku sedang dinikahkan, kemudian beliau masuk dan duduk di lantai. Lalu beberapa orang budak wanita kami menabuh rebana seraya meratapi orang tua kami yang telah gugur pada perang badar. Ketika salah seoarng di antara mereka sedang bernyanyi padahal ada di antara kami Nabi Muhammad SAW yang mengetahui apa yang terjadi hari esok. Maka Nabi Muhammad SAW bersabda :”Tinggalkanlah hal itu dan ucapkanlah apa yang biasa diucapkan(dinyanyikan)”.24

Hadist di atas menunjukkan bahwa memeriahkan suatu pesta perkawinan dengan musik dan nyanyian diperbolehkan, bahkan disunahkan dengan syarat tidak dibarengi dengan hal-hal yang diharamkan, misalnya dengan hiburan organ tunggal atau dangdut yang mana penyanyi wanitanya mengumbar nafsu syahwat. Pesta perkawinan wajib dijauhkan dari acara yang tidak sopan, bercampurnya pergaulan antara pria dan wanita tanpa batas, dan perkataan yang keji yang tidak patas diperdengarkan.

Abdul Ghaffar dalam buku terjemah fiqih keluarga mengatakan, bahwa dalam pernikahan dibolehkan penabuhan rebana, menyaringkan suara untuk menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan pernikahan dan lain-lainnya, namun tidak dengan

23

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, h. 213.

24


(28)

mengumandangkan lagu-lagu yang dapat menimbulkan nafsu birahi disertai dengan minuman keras dan kejahataan, karena semuanya diharamkan dalam pernikahan sebagaimana diharamkan dalam kesempatan-kesempatan lain.25

Berkenaan dengan masalah alat musik Rasulullah SAW sendiri telah bersabda melalui beberapa hadistnya, diantarnya :

لﺎ

:

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

ا

ل

و

ا

ما

و

ا

ت

ﺪ ا

ف

ا

حﺎ

)

دواد

ﻮ أ

ا

ا

ور

(

Artinya :Dari Muhammad bin Hatib ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perbedaan antara pesta yang halal dan haram yaitu bernyanyi dan pukul rebana (dalam pernikahan).” (HR. Khamsah kecuali Abu Dawud).

Buraidah, menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah pergi dalam beberapa peperangan. Ketika beliau kembali dalam suatu peperangan, ada seorang budak wanita berkulit hitam berkata “Ya rasulullah SAW sesungguhnya aku pernah bernazar, jika engkau kembali dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh rebana sambil bernyanyi di hadapanmu”. Mendengar hal itu beliau pun bersabda: “jika kamu telah bernazar maka tabuhkanlah dan jika kamu tidak bernazar maka kamu tidak perlu menabuhnya”. Maka ia pun menabuhnya.26

Suatu nazar yang ditujukan untuk bermaksiat kepada Allah tidak boleh dilaksanakan, dan izin Rasulullah SAW kepada wanita tersebut menunujukkan bahwa penabuhan rebana dibolehkan dalam situasi gembira, demikian pula dalam

25

Ibid., h, 88

26


(29)

pelaksanan pesta perkawinan. Ar-Ruyani meriwayatkan Al-Qaffal mazhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan menggunakan alat musik.27

Namun demikian ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sehubungan dengan walimatul ‘urs mengenai beberapa adab-adab upacara pernikahan, yaitu :

1. Tidak bercampur baur antara pria dan wanita.

Hal ini untuk menghinari “zina mata” dan “zina hati”. Hal ini berdasarkan firman Allah :

æóáÇóÊóÞúÑóÈõæÇ ÇáÒøöäóì Åöäøóåõ ßóÇäó

ÝóÇÍöÔóÉð æóÓóÂÁó ÓóÈöíáÇð

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ : 32)

Islam sangat preventif sekali dalam menanggapi masalah zina. Islam tidak saja melarang perbuatan zina, melainkan juga melarang segala sesuatu yang mendekati zina, dengan mencegah dan menutup aurat semua jalan yang mendorong terjadinya zina, di antaranya dengan menyuruh laki-laki menundukkan pandangannya terhadap wanita.

ﻬ وﺮ

اﻮﻈ و

هرﺎ أ

اﻮ

Artinya : “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30)

27


(30)

Allah menggunakan kata “min” untuk menyatakan sebagian dari pandangan. Yang dimaksud dengan menundukkan pandangan bukanlah menundukkan pandangan atau memejamkan mata, melainkan mengandung pengertian bahwa harus membatasi pandangan kepada lawan jenis yang bukan muhrimnya. Sehingga gejolak nafsu seks dapat kita rendam dan kita rendam dan kita kendalikan.

Allah juga menyuruh wanita-wanita menundukkan pandangan terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya. Wanita juga disuruh mengenakan kain penutup tambahan dari kepala sampai ke dada yang dikenal dengan istilah jilbab.

æóÞõá áøöáúãõÄúãöäóÇÊö íóÛúÖõÖúäó ãöäú

ÃóÈúÕóÇÑöåöäøó æóíóÍúÝóÙúäó ÝõÑõæÌóåõäøó

æóáÇóíõÈúÏöíäó ÒöíäóÊóåõäøó ÅöáÇøóãóÇÙóåóÑó

ãöäúåóÇ æóáúíóÖúÑöÈúäó ÈöÎõãõÑöåöäøó Úóáóì

ÌõíõæÈöåöäøó

Artinya : “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka…(QS. An-Nur : 31).

Namun terkadang umat Islam masih banyak yang memandang aneh terhadp orang yang melaksanakan tuntutan di atas. Padahal umat islam sudah tidak asing lagi dengan pemisahan antara laki-laki dan wanita. Bukanlah ketika sholat di masjid, jama’ah laki-laki terpisah dengan jama’ah wanita ? Lalu kenapa walimah hal ini menjadi asing bagi kita ?


(31)

2. Hijab

Hijab berarti “tirai” atau pembatas atau penyekat. Istilah hijab ini digunakan untuk tirai penyekat yang membatasi antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrimnya, seperti ayat berikut :

æóÅöÐóÇ ÓóÃóáúÊõãõæåõäøó ãóÊóÇÚðÇ

ÝóÓúÆóáõæåõäøó ãöä æóÑóÂÁö ÍöÌóÇÈò

Artinya :“Apabila kamu (laki-laki bukan muhrim) meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (tirai).” (QS. Al-Ahzab : 53).

Islam menyuruh kita menahan sebagian pandangan, maka untuk membantu terlaksananya itu diperlukan hijab (tirai) yang membatasi pandangan antara pria dan wanita. Hal ini dicontohkan dalam riwayat perkawinan Rosulullah Saw dengan Zainab yang merupakan sebab turunnya surat Al-Ahzab : 53 di atas.

3. Menghindari berjabat tangan yang bukan muhrimnya

Telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita bahwa tamu pria menjabat tangan mempelai wanita, begitu pula sebaliknya. Padahal ini dimurkai oleh Allah

Úä ÃÈí åÑíÑÉ ÑÖì Çááå Úäå ÞÇá: ÞÇá ÑÓæá Çááå

Õáì Çááå Úáíå æÓáã , Åöäøó Çááåó ßóÊóÈó Úóáóì

ÇÈúäö ÂÏóãó äóÕöíúÈóåõ ãöäó ÇáÒøóäóì ãõÏúÑößñ

Ðóáößó áÇó ãóÍóÇáóÉó ÝóÇáúÚóíúäóÇäö

ÒóäóÇåõãóÇ ÇáäøóÙóÑõ æóÇáúÃõÐóäóÇäö


(32)

ÒöäóÇåõãóÇ ÇáúÅöÓúÊöãóÇÚõ æóÇááøöÓóÇäõ

ÒöäóÇåõ ÇáúßóáÇóãõ æóÇáúíóÏõ ÒöäóÇåóÇ

ÇáúÈóØúÔõ æóÇáÑøöÌúáõ ÒöäóÇåóÇ ÇáúÎõØóÇ

æóÇáúÞóáúÈõ íóåúæóì æóíóÊóãóäøóì æóíõÕóÏøöÞõ

Ðóáößó ÇáúÝóÑúÌõ æóíõßóÐøöÈõåõ (Ñæå ÈÎÇÑì æ

ãÓáã)

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Menghindari syirik dan khurafat

Oleh karena walimah merupakan ibadah, maka kita harus menghindari perbuatan – perbuatan yang mengarah pada syirik dan khurafat. Dalam masyarakat kita, terdapat banyak kebiasaan dan adat istiadat yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap selain Allah seperti percaya kepada dukun, atau peramal, sabda Nabi SAW:

)

ه

أ

(

أ

ز

و

جا

ا

ﷲا

و

ا

ﷲا

و

لﺎ

:

أ

ا

ء

ة

أ

ر

)

ور

(

Artinya: Dari Shafiyah (Putri Abi ‘Ubaid), dari salah seorang istri Nabi SAW, bahwa nabi SAW, bersabda: “Barangsiapa mendatang juru ramal kemudian


(33)

bertanya sesuatu (yang akan terjadi), maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari (40 malam). (H.R. Muslim).28

Begitu pula seorang muslim selayaknya tidak percaya kepada perhitungan hari baik dan hari buruk

5. Syiar Islam

Disunnahkan walimah, di antaranya dimaksudkan syiar sehingga usahakan dalam acara walimah tersebut terdapat pembacaan ayat suci Al-Quran, khutbah nikah yang menjelaskan mengenai masalah pernikahan, brosur-brosur atau selebaran yang berisi ajakan untuk melaksanakan syariat islam.

6. Mendoakan kedua mempelai

Disunnahkan kita mengucapkan do’a ketika menjabat tangan sang pengantin, agar pernikahan kedua mempelai diridhoi Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah SAW memberikan selamat kepada orang yang menikah, maka beliau mengucapkan:

ÈóÇÑóßó Çááåõ áóßó æóÈóÇÑóßó Úóáóíúßó æó

ÌóãóÚó ÈóíúäóßõãóÇ Ýöì ÇúáÎóíúÑö (Ñæå ÃÈæÏæÏ

æÇÈä ãÇÌå æÇáÊÑãÐì)

Artinya: “Semoga Allah memberkati kamu dan memberikan berkah atas kamu serta menyertakan kalian berdua dalam kebaikan”.

7. Adab busana & rias pengantin

28


(34)

Mengenai busana pengantin dalam acara walimah ‘urs, hal ini penting untuk diperhatikan, disamping tentang keindahan juga berbicara tentang batas-batas aurat baik pria maupun wanita, adapun adab-adab berpakaian dalam walimah, yaitu:

a. Menutup aurat

b. Tidak berpakain dan berhias berlebih-lebihan c. Mempelai pria tidak menggunakan sutra d. Mempelai wanita tidak menyambung rambut e. Mempelai wanita tidak menipiskan alis f. Tidak mengikir gigi bagi mempelai wanita

8. Adab makan pada acara walimahan

Dalam walimah adanya makanan tentu sangat di anjurkan oleh Islam, tetapi tentunya harus menghindari dari hal-hal yang dilarang, karena dalam prakteknya sering kita temui orang begitu semangatnya mengadakan walimah sehingga sampai melewati batas kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan rambu-rambu syari’ah, adapun beberapa adab dalam makan pada acara walimah, yaitu:

a. Tidak berlebih-lebihan b. Menggunakan tangan kanan

c. Tidak makan sambil berdiri (Standing Party)

Apa yang dijelaskan di atas bukanlah ajaran dari kelompok atau aliran tertentu, melainkan apa yang telah diperintahkan dan dicontohkan oleh junjungan


(35)

kita Nabi Muhammad Saw. Memang saat ini sangat jarang kita jumpai resepsi pernikahan seperti di atas, bahkan umat islam masih menganggap aneh.

ر

ﷲا

ا

ﷲا

و

لﺎ

:

إ

ن

ا

م

ﺪأ

و

د

آ

ﺪأ

و

ه

ر

ز

ا

آ

ر

ز

ا

ه

)

ور

(

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a mengatakan bahwa Nabi SAW, bersabda, “Sesungguhnya Islam muncul pertama kali sebagai sesuatu yang asing dan akan kembali terasing sebagaimana pertama kali muncul. Islam akan berkumpul (berlindung) di antara dua masjid sebagaimana ular berlindung ke dalam liangnya”.

(H.R. Muslim).29

D. Tujuan dan Hikmah Walimatul ‘Urs

Tujuan pelaksanaan walimatul ‘urs dalam pernikahan sangat besar manfaatnya, dilihat dari satu segi, upacara walimatul ‘urs bertujuan untuk memberitahukan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa telah dilangsungkan pernikahan antara seorang pria dan wanita secara resmi dan sah dari anggota masyarakat dalam keluarga tertentu. Sehingga bagi keduanya yang telah menikah tidak menimbulkan fitnah pada masyarakat setempat.

Walimatul ‘Urs juga dapat mempererat hubungan silaturahmi antara sesama famili, kaum kerabat, sesama masyarakat, serta keluarga masing-masing pihak yaitu antara pihak suami dan istri. Adanya saling mengundang antara pihak suami dengan pihak istri dapat mempererat hubungan persaudaran dan dapat mengenal lebih jauh saudara-saudara dekat dan saudara-saudara dari masing-masing pihak.

29


(36)

Selanjutnya walimah juga dapat memupuk dan mengembangkan rasa kerja sama yang harmonis, membina rasa gotong royong dan persaudaraan sesame anggota masyarakat. Hikmah yang terpenting dalam pelaksanaan walimatul ’urs ini adalah pernyatakan rasa syukur kepada Allah SWT atas berlangsungnya pernikahan.

Menurut Sayyid Sabiq tujuan dan hikmah walimatul ‘urs adalah agar terhindar dari nikah sirri yang terlarang dan untuk menyatakan rasa gembira yang dihalalkan oleh Allah SWT dalam menikmati kebaikan. Karena perkawinan perbuatan yang haq untuk dipopulerkan agar dapat diketahui orang banyak.30

Walimah juga menyiarkan kepada khalayak ramai baik itu yang dekat maupun yang jauh dari mereka. Berfungsi juga mempengaruhi orang-orang yang lebih suka membujang dan tidak berkeinginan untuk kawin.31

E. Hukum Menghadiri Walimatul ‘Urs

Adapun dalam hal menghadiri undangan walimah, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadirinya. Sebagian mereka berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah merupakan suatu hal yang sunah. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan sampai pada batas jika seseorang tidak menghadiri tanpa alasan yng tidak dibenarkan.32 Hal ini berdasarkan hadist dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

30

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, PenerjemahMoh Tholib, h. 177.

31

Muhammad Thalib, Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h. 17.

32


(37)

أ

ه

ة

ر

ﷲا

.

أ

ن

ا

ﷲا

و

لﺎ

:

ا

مﺎ

,

مﺎ

ﻮ ا

و

ا

هﺎ

و

ﺪ ا

ة

ﷲا

و

ر

)

ور

(

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah, karena orang-orang yang layak diundang dan tidak diundang (orang miskin) dan orang-orang yang seharusnya tidak diundang malah diundang (orang kaya). Barang siapa yang tidak memenuhi undangan (tanpa uzur), maka ia telah durhaka kepada Allah da rasul-Nya”. (HR. Muslim).

Kemudian hadist lain menyatakan :

لﺎ

ا

:

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

:

آﺪ أ

ﻰ د

اذا

ﺎﻬ ﺄ ﺎ

ﺔ ﻮ ا

ﻰ إ

)

ور

(

Artinya: Dari Ibnu Umar ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Apabila diundang salah satu di antara kamu kepada walimah, maka hendaklah mendatanginya”. (HR. Muslim).

أ

ن

ا

ر

ﷲا

آ

نﺎ

ل

ا

ﷲا

و

:

إذ

د

ا

أ

آ

أ

آ

نﺎ

أ

و

)

ور

(

Artinya : Nafi’ meriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a menuturkan sabda Nabi SAW, “Apabila salah seorang dari kamu mengundang saudaranya, maka datangilah undangan itu, baik undangan pernikahan maupun sejenisnya”. (H.R. Muslim).33

Pada kesempatan lain Rasulullah SAW, juga pernah bersabda: “Apabila kalian diundang, maka penuhilah undangan tersebut dan setelah selesai makan, maka keluarlah (pulang).34

33

M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, h. 388.

34


(38)

Beliau juga bersabda:

إذ

ا

د

أ

آ

إ

مﺎ

ن

آ

نﺎ

ا

و

إ

ن

آ

نﺎ

ﺋﺎ

)

ﺪ أو

ور

(

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kamu diundang untuk memenuhi sebuah walimah, maka datanglah. Jika pada saat itu sedang tidak berpuasa, maka makanlah (dari hidangan yang disediakan) dan jika sedang berpuasa, maka hendaknya ia

endoakan.” (H.R. Muslim dan Ahmad didalam musnadnya.)

m

Adapun uzur yang menjadi penghalang untuk menghadiri walimah menurut jumhur ulama, adalah apabila di dalam walimah tersebut terdapat hal-hal yang mungkar, seperti ada minuma keras dan tari-tarian yang berbau seks. Apabila orang yang diundang ini mampu melarang disediakannya minuman keras dan tarian yang berbau seks itu, maka ia wajib hadir dan bertindak untuk mengeluarkan hal-hal yang mungkar itu. Akan tetapi apabila ia merasa dirinya tidak mampu mencegah kemungkaran tersebut, maka ia tidak perlu hadir.35

Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata36:

ت

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

ا

ىأﺮ

ءﺎ

ﺮ وﺎ

.

Artinya: “Aku membuat makanan dan mengundang Rasulullah SAW, maka beliau pun mendatangi undangan yang aku haturkan. Tatkala beliau melihat gambar-gambar yang menempel di dinding rumahku, maka beliaupun pulang kembali.

35

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1919.

36


(39)

Jumhur ulama Syafi’iyah dan jumhur ulama Hanabilah memandangnya fardhu,. Imam Malik juga menegaskan kefardhuan kita untuk menghadiri walimatul ‘urs, akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat amat disukai dan menurut mereka nukilan kitab al-bahr bahwa asy-Syafi’i juga berpendapat begini.37

Imam al-Baghawi menyebutkan, yang wajib dan ditekankan dalam pemenuhan undangan ini adalah menghadiri undangan, sedangkan memakan hidangan yang disediakan bukan merupakan suatu yang diwajibkan, tetapi hanya sebatas disunnahkan jika sedang tidak berpuasa.38

Sayyid Sabiq juga mengungkapkan dalam kitabnya Fiqih Sunah. Menurutnya menghadiri undangan walimah adalah wajib bagi yang diundang, karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, menggembirakan serta mendoakan kedua mempelai agar dapat hidup rukun. Ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah menyatakan bahwa menghadiri undangan walimah adalah sunnah, bukan wajib.39

Tujuan menghadiri walimah adalah mengucapkan selamat dan do’a kepada kedua mempelai bukan mencicipi hidangan yang disediakan. Inti dari menghadiri walimah itu menyenangkan hati orang yang mengundang hingga merasa terhormat

37

M. Hasbi as-Shidieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam; Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, h. 167.

38

Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, h. 95

39


(40)

dengan kehadiran dan dihargai karena telah ikut berpartisipasi dalam kegembiraannya.

Memenuhi undangan walimah dihukumi wajib atau mustahab apabila terdapat syarat-syarat sebagai berikut:

1) Undangan disampaikan kepada kaum keluarga, para tetangga, kenalan yang kaya dan miskin, dengan tidak mengutamakan salah satu pihak dan meninggalkan yang lain.

2) Undangan disampaikan langsung sendiri oleh si pengundang atau seseorang utusannya.

3) Tidak ada kemungkaran dalam pesta walimah tersebut.

4) Undangan disampaikan untuk hadir pada hari pertama pernikahan. 5) Yang memberi undangan orang Islam.40

Jika undangan bersifat umum, tidak tertuju kepada orang tertentu maka ridak wajib untuk menghadirinya dan tidak pula sunnah. Sedangkan menghadiri undangan selain undangan walimah, menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkad.41

40

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, PenerjemahMoh Tholib, h. 212.

41


(41)

BAB III

KONDISI OBJEKTIF DESA PULAU LEGUNDI KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG

A. Letak Geografis Desa Pulau Legundi

Desa Pulau Legundi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Punduh Pedada, yang mana letaknya terpisah dari Pulau Sumatera tepatnya berada di perairan teluk Lampung dan dikelilingi oleh beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya, Berdasarkan data Monografis Desa Pulau Legundi jarak antara Desa Pulau Legundi Ke Kecamatan 12 Mil, ke Kabupaten 25 Mil, dan ke Ibukota Provinsi 21 Mil. Desa Pulau Legundi memiliki luas tanah 1800 Ha dengan perincian sebagai berikut:

Tabel I

Luas Tanah

Tanah Milik Pemukiman 80 Ha

Tanah Milik Pertanian 25 Ha

Tanah Milik Pemakaman 4 Ha

Tanah Milik Negara dan Hutan 1.691 Ha

Jumlah 1800 Ha

Sumber data: Monografi Desa Pulau Legundi 2008


(42)

a. Sebelah Utara : Perairan Teluk Lampung

b. Sebelah Timur : Perairan Krakatau dan Samudera Hindia c. Sebelah Selatan : Perairan Desa Pulau Sebesi

d. Sebelah Barat : Samudera Hindia

Luas wilayah Desa Pulau Legundi sebagian besar adalah lautan karena letaknya berada di sekitar Kepulauan Teluk Lampung, selain itu juga ada tanah darat berupa hutan, tanah pertanian/perkebunan dan pemukiman penduduk di sekitar pantai.

B. Keadaan Demografis Desa Pulau Legundi

Dalam pemerintahan Desa Pulau legundi di pimpin oleh seorang Kepala Desa dibantu oleh stafnya dan dibantu juga oleh 5 orang Kepala Dusun dan 13 Rukun Tetangga. Jumlah personil Desa Pulau Legundi sebanyak 22 orang dengan perincian sebagai berikut:

Tabel II

Jumlah Karyawan/Karyawati menurut personil

Karyawan / Karyawati Personil

Kepala Desa 1 orang

Badan Perwakilan Desa 7 orang

Lembaga Pemberdayaan Desa 3 orang


(43)

Kepala Urusan Pembangunan 1 orang

Kepala Urusan Kesra 1 orang

Kepala Urusan Keuangan 1 orang

Kepala Urusan Umum 1 orang

Kepala Urusan Pemerintahan 1 orang

Kepala Dusun 5 orang

Jumlah 22 orang

Sumber data: Monografi Desa Pulau Legundi 2008

Tabel III

Jumlah Karyawan/Karyawan menurut Pendidikan

Jenjang Pendidikan Personil

Pendidikan SLTA 11 orang

Pendidikan SLTP 6 orang

Pendidikan SD 5 orang

Jumlah 22 orang

Sumber data: Monografi Desa Pulau Legundi 2008

Sistem administrasi Desa Pulau Legundi cukup baik dan teratur ini dapat dilihat dari lengkapnya para staf Pemerintahan Desa yang ada. Hal ini terbukti dari ketertiban pelayanan desa Pulau Legundi kepada masyarakatnya seperti pengurusan KTP, Surat Kelakuan Baik, Pemabagian Beras Murah dan BLT dan lain-lain.


(44)

Kualitas penduduk Desa Pulau Legundi termasuk desa yang populasi penduduknya terus meningkat untuk kategori Desa Kepulauan di Provinsi Lampung. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008 jumlah penduduk Desa Pulau Legundi ada 507 Kepala Keluarga terdiri dari laki-laki 931 jiwa dan wanita 877 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 1808 jiwa penduduk. Dan penduduk Desa Pulau Legundi terdiri dari dua unsur yaitu masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang. warga penduduk asli yang sudah lama menetap bahkan turun temurun mendiami tempat ini. Sedangkan masyarakat pendatang adalah penduduk pendatang yang tinggal dan menetap di sini. Penduduk pendatang terbagi lagi menjadi 2 (dua) unsur yakni pendatang lokal/suku Lampung dari luar Desa Pulau Legundi dan pendatang dari luar kabupaten (bukan asli suku Lampung) dan luar provinsi.

Dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya, pemerintahan Desa Pulau Legundi mengadakan kegiatan-kegiatan seperti:

1. Mengadakan pelaksanaan pembinaan kegiatan wanita, pemuda dan keluarga seperti PKK, Karang Taruna dan Majlis Ta’lim.

2. Mengadakan suatu kelompok gotong royong untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial seperti tempat olahraga, rumah ibadah, jalan umum dan saluran air.

3. Mengadakan ronda malam di setiap Dusun dengan tujuan untuk


(45)

4. Mengadakan penyuluhan tentang perikanan (ikan tuna, rumput laut, dan kerang mutiara), berkerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung, dan penyuluhan tentang keluarga sejahtera.

Mata pencaharian penduduk Desa Pulau Legundi sebagian besar adalah nelayan dan tani adapula PNS yang berjumlah 14 orang terdiri dari 12 orang Tenaga Pengajar, 1 orang Sekretaris Desa dan 1 orang Bidan Desa.

Adapun sarana umum yang terdapat di Desa Pulau Legundi yaitu:

Tabel IV

Jumlah Sarana Umum

No Sarana Umum Unit

1 Balai Desa 1 Unit

2 Masjid 6 Unit

3 Musholla 3 Unit

4 Puskesmas Pembantu 1 Unit

5 SD 4 Unit

6 MI 1 Unit

7 SMP Satu Atap 1 Unit

8 SMP Terbuka 1 Unit

Jumlah 18 Unit


(46)

C. Keadaan Sosiologis Desa Pulau Legundi

Dilihat dari keadan sosiologis Desa Pulau Legundi ada beberapa bidang yang perlu diketahui di antaranya:

1. Bidang Pendidikan

Secara umum keadaan sosiologis Desa Pulau Legundi sama seperti masyarakat lainnya, terutama masalah pendidikan.

Mereka sangat ingin sekali meneruskan pendidikan yang yang lebih tinggi, tingkat kecerdasan dan kepribadiannya sangat mendukung hanya saja terbentur masalah biaya yang mana penghasilan masyarakat Desa Pulau Legundi sebagian besar nelayan dan tani, dan juga masalah jarak yang sangat jauh karena harus menyeberangi lautan sehingga mayoritas penduduk Desa Pulau Legundi hanya sampai SD dan masih sedikit yang tamat SLTP dan SLTA apalgi Perguruan Tinggi, sedangkan untuk pendidikan agama hanya ada Madrasah Ibtidaiyah, tetapi mereka juga mengharuskan anak-anaknya untuk mengaji di guru ngaji masing-masing, setiap selesai shalat Magrib sampai sebelum shalat Isya.

2. Bidang keagamaan

Kehidupan beragama di Desa Pulau Legundi sangat religius, karena sudah terbentuk dari dahulu dan semua penduduknya beragama Islam. Untuk membangun spirit keagamaan masyarakat Desa Pulau Legundi sering mengadakan kegiatan-kegiatan majlis ta’lim di setiap RT, dan mengadakan perayaan hari besar Islam, dalam merayakan perayaan hari besar Islam


(47)

Masyarakat Desa Pulau Legundi mengadakannya dengan berbagai cara, ada yang cukup mengadakan hanya dengan do’a saja yang dilakukan di masjid-masjid atau musholla dan adapula yang mengadakannya dengan mengisi ceramah dengan mengundang Kiayi atau Ustad dari luar Desa.

Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk di dalamnya masyarakat Desa Pulau Legundi. Bangunan sarana peribatan baik Masjid, Musholla maupun Majlis ta’lim sudah cukup memadai untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan aktifitas keagamaannya seperti Shalat lima waktu, pengajian dan bentuk peribatan lainnya.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa pada umumnya masyarakat Desa Pulau Legundi tidak buta dalam memahami ajaran agama Islam. Terbukti dengan adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat Desa Pulau Legundi.


(48)

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI ARAK PENGANTIN ADAT DESA PULAU LEGUNDI

A. Sejarah Perkawinan Adat Lampung

Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, masyarakat adat lampung dapat dibedakan menjadi dua golongan adat yaitu, yang beradat Pepadun dan beradat

Pesisir. Dialek bahasanya ada yang berdialek “nyou” (apa) atau dialek bahasa Abung, dan adapula yang berdialek “api” (apa) atau berdialek Pemanggilan. Kelompok-kelompok tersebut menyebar di berbagai tempat di daerah lain di Lampung. Mereka yang beradat Pepadun kebanyakan bermukim di daerah pedalaman, sedangkan yang beradat Pesisir bermukim di daerah pesisir atau daerah yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun, dan masayarakat Desa Pulau Legundi termasuk yang beradat pesisir.

Perbedaan kelompok tersebut tercermin dalam upacara adat dalam perkawinan tradisional. Karena masyarakat Lampung (Penduduk asli Lampung) sebagian besar memeluk agama Islam, maka upacara-upacara adat perkawinan yang dilakukan masyarakat setempat cenderung bercorak Islam. Itu menandakan agama yang dianut penduduknya dapat dikatakan telah menjadi satu kesatuan dengan budaya


(49)

mereka. Kenyataan ini sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak lama. Dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan bercirikan muslim yang hingga kini jadi bukti budaya daerah.

Berkaitan dengan upacara-upacara adat perkawinan, penduduk setempat memiliki tata cara tersendiri di dalam menyelenggarakan suatu upacara adat. Tata cara di sini sebenarnya bentuk adat kebiasaan yang berkembang tapi dalam pelaksanaannya sebagian besar upacara adat istiadat yang ada tidak terlepas dari aturan-aturan yang berlaku (kultur Lampung). Jadi jelaslah bahwa di lingkungan masyarakat Lampung, acara adatnya memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Kedua aturan itu saling kait- mengait satu sama lain, dimana terdapat upacara adat, di situ pulalah Islam dijalankan.

Dalam hal menyelenggarakan suatu acara adat, sebuah keluarga sebagai pihak penyelenggara tidak terlepas dari sumbangsih sanak saudara, warga sekitarnya (tetangga) maupun masyarakat lainnya. Sebab seorang individu/keluarga didalam hidup bermasyarakat pada hakekatnya berinteraksi dengan kelompoknya. Apalagi untuk melaksanakan upacara adat seperti ini, pasti ada pihak lain yang mengambil bagian guna memeriahkan suatu acara adat.

Untuk membuat acara adat, pihak penyelenggara pastilah mempunyai perencanaan. Rencana dimaksud yaitu langkah-langkah yang perlu di ambil sebelum pelaksanaannya. Sebuah planning sangat perlu agar apa yang direncanakan berjalan


(50)

sesuai dengan harapan. Biasanya rencana ini ditentukan oleh tuan rumah maupun kesepakatan keluarga melalui rembukan.

Pada prinsipnya upacara-upacara adat pribumi Lampung memiliki dasar-dasar. Dasar pelaksanaannya bisa dilihat di setiap akan, sedang dan sesudah penyelenggaraan. Mulai dari tahap rencana, ajakan (mengundang), hari/waktu, tempat, sampai aktivitas setelah acara adat. Pelaksanaan tersebut secara sistematis pula dilakukan. Sebab sudah mengadat serta telah menjadi kebiasaan. Dari penyelenggaraan ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian penting. Setiap mata acara punya bentuk yang tentu saja bercirikan khas suatu upacara adat.

Dalam menyelenggarakan sebuah upacara adat, jelas sekali tampak azas kebersamaan seorang individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan komuniti lain. Kebersamaan itu tak lain untuk satu tujuan yaitu melaksanakan upacara adat. Jika meninjaunya dari aspek budaya setempat, hal tersebut sudah jadi bagian tak terpisahkan. Mengingat suatu upacara adat akan terlaksana serta berjalan sesuai harapan apabila ada dukungan pihak lain.

Dalam prinsip hidup masyarakat Lampung, hal ini dinamakan Sakai Sambaian yaitu termasuk diantaranya tolong menolong, bahu membahu serta saling memberikan sesuatu kepada pihak lain yang memerlukan. Kenyataan itu tidak terbatas pada segala sesuatu yang sifatnya materi saja tapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan tenaga, fikiran dan lain-lain.


(51)

Untuk mewujudkan jenjang perkawinan dapat ditempuh dalam dua cara, yaitu cara berlarian (sebambangan) yang dilakukan bujang-gadis sendiri dan cara pelamaran orang tua (cakak sai tuha) yang dilakukan oleh kerabat pihak pria kepada kerabat pihak wanita di rumah orang tua wanita.

Perkawinan yang ideal di kalangan orang lampung adalah pria kawin dengan wanita anak saudara wanita ayah (bibik, keminan) yang disebut "ngakuk menulung"

atau dengan anak saudara wanita ibu (ngakuk kenubi)/ perkawinan yang tidak disukai adalah pria dan wanita anak saudara laki-laki ibu (ngakuk kelana) atau dengan anak wanita saudara laki-lakinya (ngakuk bai/wari) atau juga dengan anak dari saudara pria nenek dari ayah (ngakuk lebu). Lebih-lebih tidak disukai kawin dengan suku lain

(ulun lowah) atau orang asing. Apalagi berlainan agama (sumang agamou).42

Tetapi di masa sekarang hal demikian itu sudah tidak dihiraukan generasi muda, sehingga sudah banyak pria/wanita Lampung yang melakukan kawin campur antar suku asal saja sama-sama beragama Islam/bersedia masuk Islam dan bersedia diangkat menjadi anak angkat dan masuk warga adat Lampung.

Jika dari suatu ikatan perkawinan tidak mendapatkan keturunan sama sekali, maka untuk menjadi penerus keturunan ayah, dapat diangkat anak tertua dari adik laki-laki atau anak kedua dari kakak laki-laki untuk menegakkan (tegak tegi) keturunan yang putus (maupus). Jika tidak ada anak-anak saudara yang bersedia diangkat dapat mengangkat orang lain yang bukan anggota kerabat, asal saja disahkan

42


(52)

di hadapan kerabat dan prowitan adat. Tetapi jika hanya mempunyai anak wanita, maka anak itu dikawinkan dengan saudara misalnya yang laki-laki/ anak wanita itu dijadikan kedudukan laki-laki dan melakukan perkawinan semanda ambil suami (ngakuk ragah). Dengan begitu maka anak laki-laki dari perkawinan mereka kelak akan menggatikan kedudukan kakeknya sebagai waris mayorat sehingga keturunan keluarga tersebut tidak putus (mak mupus).

Mengenai sistem kekerabatan masyarakat asli Pulau Legundi memperhitungkan garis keturunannya melalui kekerabatan Patrilineal. Kelompok kekerabatan ini didasarkan pada sistem kekerabatan masyarakat Lampung umumnya. Kekerabatan patrilineal yakni menghitung garis keturunan sealiran darah melalui satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang (laki-laki). Biasanya anak lelaki tertua dari keturunan yang lebih tua dapat memimpin serta bertanggungjawab terhadap anggota kerabatnya. Perhatian mereka terhadap silsilah asalnya sampai lebih dari lima generasi ke atas dan garis hubungan kekerabatan menunjukkan kepada buai asalnya. Format kekerabatan ini bergaris sebelah sesuai dengan garis keturunan laki-laki yang menjadi dasar sebuah kerabat.

Dalam memperhitungkan garis keturunannya, keluarga suku asli masyarakat Pulau Legundi mengenal pula adanya saudara sekandung, anak dari saudara ayah-ibu, anak saudara kandung dan seterusnya. Untuk membuktikan kesatuan tersebut secara formatif mereka telah mempunyai susunan kekerabatan tersendiri yang berasal dari


(53)

kakek-nenek terdahulu. Demikian pula dengan bapak dari ayah dalam suatu keluarga inti pasti memiliki kedudukan yang sama pentingnya bagi seorang individu.

Tiap-tiap kelompok keluarga batih dalam lingkungan kerabat akan mempunyai kakek dan nenek yang ditengah garis keturunan mendasari tahap perkembangan suatu kekerabatan. Kedua kakek-nenek itu merupakan dasar keturunan bagi “saya”, saudara kandung dan anak dari saudara kandung maupun segaris keturunan lainnya.

Dalam hubungan kekerabatan, bentuk jalinan keluarga yang rapat adalah keluarga batih; yang didalamnya terdiri dari suami, istri serta anak. Didalam rumah tangga keluarga batih ini sering pula terdapat anggota-anggota keluarga lain sekerabat seperti misalnya: ayah/ibu mertua, kakek/nenek, saudara, keponakan dan sebagainya. Hal ini bisa saja terjadi dalam suatu keluarga pada masyarakat pribumi Pulau Legundi. Karena tidak menutup kemungkinan anggota-anggota tadi secara sadar maupun tidak menggabungkan diri diantara satu kerabat atau sebaliknya.

Keluarga batih Pulau Legundi memiliki sifat yang beragam. Ada yang telah mandiri serta memisahkan diri dengan orangtuanya (kakek-nenek dari anak mereka) tapi ada pula yang masih tinggal bersama dengan orang tua/mertua bahkan sebaliknya. Dalam hidup berkeluarga, orang tua/mertua dari keluarga batih banyak pula yang di urus oleh anak setelah anaknya berumah tangga. Berarti kaitan ini, keluarga batih maupun batih terdahulu adalah bagian dari keturunan.


(54)

Untuk penamaan kekerabatannya, masyarakat pribumi Pulau Legundi mempunyai istilah nama sebutan bagi garis keturunannya. Peristilahan tersebut di sebut menurut bahasa daerah setempat, misalnya: kakek (datuk), nenek (atu/tamong), bapak (Ba/ayah), ibu (ema/ibu), saudara kandung laki-laki/perempuan sulung (kanjeng), paman (ayah/buya), bibi (binda), anak paman/bibi (kyai).43

Memperhitungkan garis keturunan, kelompok kekerabatan dekat di lingkungan masyarakat Pulau Legundi, terutama yang ada hubungannya dengan keluarga batih adalah prinsip keturunan kelompok famili atau kekerabatan kindred. Kekerabatan ini didalamnya mencakup kakek-nenek, paman-bibi, saudara sepupuh, termasuk pula keponakan-keponakan. Dalam kerabat keluarga inti family tersebut termasuk kelompok keluarga luas yang masih segaris keturunan atau sealiran darah.

Di kehidupan keluarga penduduk pribumi Lampung, dikenal pula bentuk jalinan kekeluargaan yang di sebut dengan istilah saudara angkat. Selain saudara atau kerabat yang masih sealiran darah, stam asli ada juga yang membentuk jalinan keluarga baru dengan mengangkat tali persaudaraan. Pengakuan saudara dalam adat istiadat dilakukan dengan ritual adat setempat. Sistem kekerabatan pengangkatan saudara ini biasanya diawali dari seorang individu Lampung yang mengangkat saudara individu dari dalam maupun luar suku atau sebaliknya. Pengukuhan tali persaudaraan dilaksanakan dengan acara adat begawi. Orang yang diangkat saudara tersebut dianugrahi gelar adat Lampung. Dengan demikian dia memiliki nama

43


(55)

ataupun gelar adat didalam keluarga itu. Adanya pengangkatan saudara ini tentu saja menambah pertalian kekerabatan antara kedua belah pihak dan yang diangkat saudara telah dianggap bagian dari keluarga.

Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga masyarakat pribumi Pulau Legundi masih tetap memegang teguh istilah nama panggilan/gelar, baik di dalam lingkungan kerabat maupun klan. Istilah nama panggilan/gelar di maksud yakni sebutan bagi mereka yang masih segaris keturunan maupun antar klan, seperti misalnya ada sebutan Kanjeng, Kyai, Ratu dan sebagainya.44 Panggilan ini tidak lain merupakan wujud dari bertata krama atau bersopan santun antar sesama. Dengan istilah itu pula akan ada tingkatan antara yang muda dan yang dituakan maupun sebaliknya. Prinsip dalam kehidupan sehari-hari semacam ini di sebut Nemui Nyimah, yang berarti bermurah hati, ramah tamah terhadap semua orang baik terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga bagi siapa saja yang berhubungan dengan mereka.

Di tengah lingkungan masyarakatpun tata krama tetap ada. Tata krama semacam itu dapat diungkapkan dengan sikap, bersantun maupun dengan menyebut nama panggilan/gelar seseorang. Saling hormat menghormati berdasarkan panggilan/gelar untuk menyebut istilah nama merupakan tuntunan yang sudah menjadi kebiasaan. Penyebutan istilah nama panggilan/gelar itu selain berlaku bagi sekerabat, juga dipergunakan pula untuk orang lain di luar kekerabatan.

44


(56)

Masih teguhnya jalinan sosial di lingkungan masyarakat pribumi Pulau Legundi terutama dalam hal penyebutan/peristilahan nama tercermin dari masih adanya penamaan bagi seorang individu. Hal ini bukan hanya berlaku terhadap kerabat dekat saja tapi juga diperuntukkan bagi orang lain karena faktor usia/gelar yang di pakai. Biasanya sebutan istilah nama/panggilan tersebut dipergunakan untuk menyapa maupun menyebut orang di maksud, baik saat bertatap muka langsung maupun jauh dari orangnya.45

B. Pelaksanaan Walimah dan Prosesi Arak Pengantin Sebelum Akad Nikah Di Desa Pulau Legundi

Bagi masyarakat Desa Pulau Legundi, kegiatan walimatul ’urs dilangsungkan dengan serangkaian aktifitas adat istiadat, karena dianggap sebagai suatu bagian dari ajaran Islam, juga merupakan warisan adat dari para leluhurnya. Jadi walimatul ’urs

menurut masyarakat sekarang diartikan sebagai upacara adat yang dianjurkan syari’at Islam. Maka dengan sendirinya aktifitas adat dalam upacara walimah ’urs harus sesuai atau harus dirangkaikan dengan upacara keagamaan.

Meskipun upacara sakral ini tidak bisa dipisahkan dari statusnya sebagai ibadah, namun pelaksanaannya seringkali tampil dalam tata cara yang berbeda-beda bahkan cenderung didominasi oleh adat istiadat setempat dan kepentingan-kepentingan pribadi yang nerusak nilai kesakralan dan nilai ibadah dari pernikahan tersebut.

45


(57)

Sebelum melaksanakan pernikahan ada beberapa tahapan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Desa Pulau Legundi, yaitu:

1. Tahap Perkenalan

Bila seorang jejaka merasa tertarik pada seorang gadis maka si jejaka tersebut akan mencari cara agar dapat mendekati si gadis. Pada saat acara adatlah di jejaka tersebut bersama keluarganya melakukan nyubuk, yakni menilai apakah gadis tersebut memang sesuai dengan pilihannya, dengan cara mengintip di balik sarung yang dipakai, apabila gadis tersebut berkenan di hati si jejaka maka keluarganya langsung menanyakan bibit, bobot, dan bebet si gadis atau disebut dengan beulih-ulihan.46

2. Tahap Bekado

Tahap bekado yakni, keluarga si jejaka mengirim utusan untuk mendatangi rumah si gadis dengan membawa berbagai macam barang atau bahan makanan sebagai rangkaian proses pendekatan. Bila pemberian itu diterima dengan baik maka tahapan selanjutnya si gadis sudah dapat dikatakan sebagai calon pengantin wanita dan akan segera dilamar.

3. Lamaran

Setelah keduanya saling menyukai maka pihak orangtua pria datang untuk melamar yang disebut juga tahap nunang. Pada saat ini pihak mempelai pria juga membawa oleh-oleh berupa uang, dodol, dan sekapur sirih. Setelah lamaran diterima maka menjelang hari berikutnya rombongan pihak pria tersebut akan datang lagi

46


(1)

walimah sunnah diadakan setelah pertemuan antara pengantin laki-laki dan perempuan di rumah. Ibnu Jundub berpendapat, disunnahkan pada saat akad nikah dan setelah dukhul (bercampur).61

Sedangkan Sayid Sabiq berpendapat bahwa walimah dapat diadakan setelah akad atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan. Hal ini leluasa tergantung pada adat istiadat yang berlaku. Rasulullah SAW mengundang orang-orang untuk walimah sesudah beliau bercampur dengan Zainab.62

Walaupun mengadakan walimah itu sesuatu yang dianjurkan agama, namun mengenai bentu walimah itu tida dijelaskan secara terperinci. Hal ini dapat diartikan bahwa mengadakan walimah itu bentuknya bebas, asalkan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan boleh juga tergantung adat istiadat masyarakat setempat.

Jadi menurut pengamatan dan analisa penulis bahwa prosesi arak pengantin sebelum nikah yang dilaksanakan di Desa Pulau Legundi, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena proses terjadinya arak pengantin tersebut berbarengan dengan hari pernikahan. Adapun mengenai arak pengantinnya yang diiringi dengan nyanyian dan tabuhan rebana serta tarian, hal tersebut dibolehkan karena termasuk memeriahkan walimah dan tidak mengandung kemungkaran.

61

M. Abdul Ghaffar, Fiqh Keluarga (terj), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 99

62


(2)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dalam bab ini penulis akan memberikan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan hasil penelitian ataupun teori-teori yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya yaitu:

1) Walimah al-’urs menurut bahasa adalah berkumpul, sedangkan menurut

istilah adalah jamuan makan pada pesta perkawinan pada pesta perkawinan dan diadakan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa seseorang sudah resmi melangsungkan pernikahan. Sedangkan hukum melaksanakan walimah, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan wajib ada pula yang sunah. Namun jumhur Ulama berpendapat bahwa mengadakan walimah hukumnya sunnah muakkad.

2) Pelaksanaan walimatul ’urs di Desa Pulau Legundi dilangsungkan dengan serangkaian aktifitas adat istiadat yang tidak lepas dari ketentuan ajaran agama Islam, dengan kata lain tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun waktu pelaksanaan walimatul ’urs dilaksanakan sesuai kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan.

3) Pelaksanaan arak pengantin di Desa Pulau Legundi, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena proses terjadinya arak pengantin tersebut


(3)

yang diiringi dengan nyanyian dan tabuhan rebana serta tarian, hal tersebut dibolehkan karena termasuk memeriahkan walimah dan tidak mengandung kemungkaran.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan tentang pelaksanaan arak pengantin dan walimatul ’urs, penulis memberikan saran-saran atau rekomendasi kepada seluruh lapisan masyarakat Desa Pulau Legundi sebagai berikut:

1. Bagi Masyarakat Desa Pulau Legundi Hendaknya dalam melaksanakan upacara adat, terutama upacara adat dalam walimatul ’urs harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Sehingga antara adat dan hukum Islam dapat sejalan.

2. Kepada ulama dan tokoh-tokoh masyarakat agar memperhatikan dan memberikan bimbingan, supaya tradisi-tradisi yang ada tidak bertentangan dengan ajaran Islam, terutama pada acara walimatul ’urs, agar para generasi yang akan datang dapat meneruskan tradisi-tradisi yang baik.

3. Kepada pemerintah dan instansi terkait dapat mengadakan sosialisasi tentang syariat Islam kepada masyarakat agar masyarakat Desa Pulau Legundi mempunyai pemahaman yang benar terhadap praktek-praktek yang sesuai atau yang bertentangan dengan ajaran islam, khususnya mengenai unsur-unsur upacara adat.


(4)

Daftar Pustaka

Albani, M. Nashiruddin Al, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-I, 2005.

Asqalani, Ibnu Hajar Al, Bulugh al-Maram, Riyadh: Riyadh: Al-Ma’arif, 1996, Juz, 4.

Ali, Daud Muhammad, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Raja Garfindo Persada, Cet. Ke-II, 2002.

As-Shidieqy, M. Hasbi, Hukum-hukum Fiqih Islam; Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Asman, Islisyah dan Rahmat Kurnia, Seni Dalam Pandangan Islam (ter), Jakarta: Gema Insani Press, 1994

Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Suatu studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah Dan Negara Islam), Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-II, 1994.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kerajaan Saudi Arabia, 1420 H. Departemen Agama Republik Indonesia, Ilmu Fiqih, Jakarta, t.p, 1984, jilid II.

Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.

Ghaffar, M. Abdul, Fiqih Keluarga (terj), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-I.

Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Jakarta: Pedoman Jaya Ilmu, 1988.


(5)

Ibrahim, Ibnu, Kado Perkawinan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000.

Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Beirut: Dar al-Fikri, 1978 Imam Bukhori, al-Jami’ as-Shahih, Beirut: Dar Ihya atuTuras al-Arabi, t.th, Juz 3 Imam Taqiyudin Al dan Abubakar Al- Husaini, Kifayatul Akhyar, Penerjemah

Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997

.

Kahlani, Muhammad bin Ismail Al, Subulus Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, t.th Kakhiya, Thariq Ismail, Perkawinan Dalam Islam, (Petunjuk Praktis Membina

Keluarga Muslim), Jakarta: Yasa Guna, Cet. Ke-II, 1987.

KH. Mudjab, Ahmad Mahalli dan H. Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq’alaih (Bagian Munakahat dan Muamalat), Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. Ke-1

Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikri, t.th, juz 1.

Sabbagh, Mahmud Al, Tuntunan Keluarga Bahagia Dalam Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-I, 1991.

Sabiq, Sayid , Fiqh as-Sunah. Penerjemah Moh Tholib, Bandung, PT. Alma’arif. Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003), Cet Ke-6

Soekanto Soerjono, Antropologi Hukum (Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat), (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), Cet Ke-4

Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asa Hukum Adat,( Jakarta: Gunung Agung, 1982)

Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1

Thalib, Muhammad, Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993. Yasin, As’ad, Fatwa-fatwa Kontemporer (Terj), Jakarta: Gema Press Insani, 1995.


(6)

Website:

http://bekalpernikahan.blogdrive.com.

http://www.al-azim.com/masjid/infoislam/munakahat

Wawancara:

Wawancara Pribadi dengan M. Toha Kepala Desa Pulau Legundi Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Lampung. Lampung. 02 Maret 2009

Wawancara Pribadi dengan Ma’mun Syuja’i. B.A Tokoh Agama (mantan PPN) di Desa Pulau Legundi. 25 Maret 2009.

Wawancara Pribadi dengan Hasbullah Ismail Tokoh Masyarakat (adat) di Desa Pulau Legundi. 15 Maret 2009.


Dokumen yang terkait

PROGRAM BAKTI TNI KODIM 0421 DALAM PENGENTASAN BUTA AKSARA DI KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN TAHUN 201

0 6 40

Studi Ekologi Tempat Perindukan Vektor Malaria Di Desa Sukamaju Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung

1 12 34

SPESIES-SPESIES DAN KEPADATAN NYAMUK VEKTOR MALARIA DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG

0 25 34

PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK Anopheles sp. DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG

6 47 33

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD BAGI HASIL MUZARA’AH Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Muzara’ah (Studi Kasus di Desa Dalangan, Kabupaten Klaten).

0 0 17

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK SELAMATAN DI BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH : STUDI KASUS DI DESA BLIMBING KECAMATAN KESAMBEN KABUPATEN JOMBANG.

0 4 95

PERILAKU MASYARAKAT DAN KEJADIAN MALARIA DI DESA PULAU LEGUNDI KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul - ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN WALIMAH AL ‘URS SEBELUM TERJADINYA AKAD NIKAH (Studi Kasus di Desa Margorejo Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran) - Raden Intan Repository

0 0 12

BAB IV ANALISA DATA A. Pelaksanaan Walīmah Al-‘Urs Di Desa Margorejo Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran - ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN WALIMAH AL ‘URS SEBELUM TERJADINYA AKAD NIKAH (Studi Kasus di Desa Margorejo Kecamatan Tegineneng Kab

0 0 11

Tradisi Massorong Wai dalam Prosesi Akad Nikah di Kecamatan Masalle Kabupaten Enrekang Perspektif Hukum Islam - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 90