FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH DENGUE (PSN DBD) KELUARGA DI KELURAHAN MULYOHARJO KECAMATAN JEPARA KABUPATEN JEPARA

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH

DENGUE (PSN DBD) KELUARGA DI KELURAHAN MULYOHARJO

KECAMATAN JEPARA KABUPATEN JEPARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

Nila Prastiana Dewi NIM. 6411410081

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015


(2)

ii Nila Prastiana Dewi

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Prakrik Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara,

XVI + 164 halaman + 19 tabel + 7 gambar + 18 lampiran

Kelurahan Mulyoharjo merupakan salah satu kelurahan endemis DBD di Kabupaten Jepara. Salah satu upaya yang paling tepat dalam pencegahan dan pemberantasan DBD adalah kegiatan pemberantasan sarang nyamuk. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo.

Jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dan didukung data kualitatif. Populasi penelitian 1896 rumah tangga dengan jumlah sampel 90 ibu rumah tangga. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik chi-square dengan derajat kemaknaan (α)=0,05.

Hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara pengalaman sakit DBD (p = 0,002), pengetahuan (p = 0,002), sikap (p = 0,003), pengalaman mendapat penyuluhan kesehatan (p = 0,002), dan dukungan petugas kesehatan (p = 0,042) dengan praktik PSN DBD di Keluarahan Mulyoharjo. Saran yang diberikan bagi masyarakat hendaknya lebih meningkatkan praktik PSN DBD. Bagi petugas kesehatan diharapkan menyampaikan informasi DBD secara kontinyu.

Kata Kunci: PSN, DBD, keluarga. Kepustakaan: 59 (1998-2015)


(3)

iii

Public Health Departemen Sport Science Faculty Semarang State University August 2015 ABSTRACT

Nila Prastiana Dewi

The Factors that Associated with Mosquito’s Eradication Practice of Dengue Hemorrhagic Fever by Family at Mulyoharjo Village Jepara Subdistrict Jepara District,

XVI + 164 pages + 19 tables + 7 figures + 18 appendices

Mulyoharjo is one of endemic village in Jepara. One of the most appropriate efforts in prevention and eradication of dengue is a mosquito eradication . The purpose of this study to determine the factors associated with the mosquito eradication practice of DHF at Mulyoharjo Village.

Quantitative research with cross sectional approach and supported by qualitative data. The study population in 1896 households with a sample of 90 housewives. The research instrument used was a questionnaire. Analysis of data using statistical chi-square test with a significance level (α) = 0.05.

Results reveal that there is a relationship between the experience of illness dengue (p = 0.002), knowledge (p = 0.002), attitude (p = 0.003), health education (p = 0.002), and the support of health care workers (p = 0.042) with the mosquito eradication practice of DHF at Mulyoharjo Village. Advice given to the community should further enhance the mosquito eradication practice of DHF. For health workers are expected to convey information DHF continuously.

Keywords: Mosquito eradication, DHF, family. Literature: 59 (1998-2015)


(4)

iv

Skripsi atas nama Nila Prastiana Dewi, NIM: 6411410081, dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Mulyoharjo Kabupaten Jepara”

Pada Hari : Senin

Tanggal : 07 September 2015

Panitia Ujian,

Ketua Panitia, Sekretaris,

Dr. H. Harry Pramono, M.Si. Rudatin Windraswara, ST., M.Sc. NIP. 19591019 198503 1 001 NIP. 19820811 200812 1 004

Dewan Penguji: Tanggal

Ketua Penguji, 1. Widya Hary C., S.KM., M.Kes. (Epid) ___________ NIP. 19771227 200501 200 1

Anggota Penguji, 2. drg. Yunita Dyah P.S., M.Kes. (Epid) ___________ NIP. 19830605 200912 200 4

Anggota Penguji, 3. dr. Mahalul Azam, M.Kes. ___________ (Pembimbing Utama) NIP. 19751119 200112 100 1


(5)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah digunakan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian manapun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam daftar pustaka.

Semarang, Agustus 2015


(6)

vi Motto:

Ada banyak hal dalam kehidupan kita yang tak bisa kita pahami dengan kemampuan akal dan pikiran kita, juga tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata yang mengalir keluar dari bibir kita. Terkadang dengan diam akan menjadikan kita faham atas sebuah keadaan (Anonim).

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Bapakku Prayitno (Alm.) dan Ibuku Nasu‟ah yang senantiasa tulus berkorban, mendoakan, memotivasi serta menjadi semangatku


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemeberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara” dapat terselesaikan. Penyelesaian skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Sehubungan dengan penyelesaian skripsi ini tak lepas dari dukungan dan petunjuk dari berbagai pihak, untuk itu dengan rasa rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Dr. H. Harry Pramono, M. Si., atas ijin penelitianya.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Bapak Irwan Budiono, S.KM., M.Kes., atas ijin penelitiannya.

3. Dosen Pembimbing, Bapak dr. H. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, motivasinya dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Penguji I, Ibu Widya Hary Cahyati, S.KM, M.Kes. (Epid), atas kritik dan saran serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Penguji II, Ibu drg. Yunita Dyah Puspita Santik, M.Kes. (Epid), atas kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

viii penelitiannya.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, Ibu dr. Dwi Susilowati, M.Kes atas ijin penelitiannya.

9. Kepala Kelurahan Mulyoharjo, Bapak H.M. Rosyid atas ijin penelitiannya. 10.Masyarakat di wilayah Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten

Jepara atas keikutsertaannya dalam penelitian ini

11.Guruku, Syech Sholahuddin bin Abdul Jalil Mustaqim dan Bapak Zaenal Mubarok atas doa, motivasi, dan bantuannya.

12. Ibuku Nasuah dan Almarhum Bapakku Prayitno atas segala doa, kekuatan, pengorbanan, dan bantuannya.

13. Teman-temanku (Dewy, Mbak Ela, Ayuk, Yudia, Biut, Riana, Maya, Risma, Umi, Iwan) atas semangat, masukan, diskusi, serta bantuannya,

14. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Semarang, Agustus 2015


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PERNYATAAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Keaslian Penelitian ... 10

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13


(10)

x

2.1.4. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 17

2.1.5. Cara Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 23

2.1.6. Tanda dan Gejala Demam Berdarah Dengue ... 25

2.1.7. Diagnosis Demam Berdarah Dengue ... 28

2.1.8. Pencegahan Demam Berdarah Dengue ... 29

2.1.9. Pengobatan Demam Berdarah Dengue ... 33

2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) . 34 2.2.1. Pemberantasan Sarang Nyamuk Dewasa ... 35

2.2.2. Pemberantasan Jentik ... 35

2.3. Perilaku ... 38

2.3.1. Konsep Perilaku ... 38

2.3.2. Perilaku Kesehatan ... 41

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku PSN DBD ... 42

2.4. Kerangka Teori ... 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 58

3.1. Kerangka Konsep ... 58

3.2. Variabel Penelitian ... 59

3.3. Hipotesis Penelitian ... 59

3.4. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 60


(11)

xi

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian ... 63

3.6.1. Populasi ... 63

3.6.2. Sampel ... 63

3.7. Sumber Data Penelitian ... 66

3.7.1. Data Primer ... 66

3.7.2. Data Sekunder ... 66

3.8. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data ... 66

3.8.1. Instrumen Penelitian ... 66

3.8.2. Teknik Pengambilan Data ... 67

3.9. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 68

3.9.1. Validitas ... 68

3.9.2. Reliabilitas ... 69

3.10. Prosedur Penelitian ... 70

3.11. Analisis Data ... 72

3.11.1. Analisis Univariat ... 72

3.11.2. Analisis Bivariat ... 72

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 74

4.1. Gambaran Umum ... 74

4.2. Hasil Penelitian ... 75

BAB V PEMBAHASAN ... 89

5.1. Pembahasan ... 89


(12)

xii

DAFTAR PUSTAKA ... 107 LAMPIRAN ... 112


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian ... 10

Tabel 3.1. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 60

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Praktik PSN DBD ... 75

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur ... 75

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan ... 76

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan ... 76

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengalaman Sakit DBD ... 77

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan ... 77

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap ... 78

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Dukungan Petugas Kesehatan .... 78

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengalaman Mendapat Penyuluhan Kesehatan ... 79

Tabel 4.10. Hubungan antara Umur dengan Praktik PSN DBD ... 79

Tabel 4.11. Hubungan antara Pendidikan dengan Praktik PSN DBD ... 80

Tabel 4.12. Hubungan antara Pekerjaan dengan Praktik PSN DBD ... 81

Tabel 4.13. Hubungan antara Pengalaman Sakit dengan Praktik PSN DBD... 82

Tabel 4.14. Hubungan antara Pengetahuan dengan Praktik PSN DBD ... 83

Tabel 4.15. Hubungan antara Sikap dengan Praktik PSN DBD ... 84

Tabel 4.16. Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Praktik PSN DBD ... 85


(14)

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Dengue Transmission Risk ... 14

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti ... 18

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 21

Gambar 2.4. Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue ... 24

Gambar 2.5. Cara Pemberantasan DBD ... 34

Gambar 2.6. Kerangka Teori ... 56


(16)

xvi

Lampiran 1. Surat Tugas Dosen Pembimbing ... 112

Lampiran 2. Surat dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (Ethical Clearance)... 113

Lampiran 3. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Bappeda Kab. Jepara ... 114

Lampiran 4. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke DKK Kab. Jepara ... 115

Lampiran 5. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Kelurahan Mulyoharjo ... 116

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian dari Bappeda Kab. Jepara ... 117

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian dari DKK Kab. Jepara ... 118

Lampiran 8. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 119

Lampiran 9. Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek ... 120

Lampiran 10. Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian ... 122

Lampiran 11. Instrumen Penelitian (Kuesioner) ... 123

Lampiran 12. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Keusioner ... 131

Lampiran 13. Data Responden ... 139

Lampiran 14. Skoring Hasil Penelitian ... 143

Lampiran 15. Rekap Hasil Penelitian ... 147

Lampiran 16. Output SPSS Analisis Univariat ... 151

Lampiran 17. Output SPSS Analisis Bivariat ... 154


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Demam berdarah masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh daerah tropis dan sub-tropis di dunia. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, dengan peningkatan 30 kali lipat dalam insiden global selama 50 tahun terakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 2,5 miliar atau 40% populasi di dunia berisiko terhadap penyakit DBD terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 390 juta infeksi dengue yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2015: 1).

Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia dengan kelembaban udara yang cukup tinggi menjadi pemicu berkembang biaknya nyamuk seperti Aedes aegypti yang merupakan salah satu vektor DBD, sehingga DBD mudah ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Terhitung sejak tahun 1986 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Kemenkes RI, 2010: 7).

Terjadi peningkatan kasus DBD di Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2011, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 65.725 kasus DBD dengan jumlah kematian 597 orang (Incidence Rate/ Angka Kesakitan=


(18)

27,67/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/ Angka Kematian= 0,91%). Meningkat pada tahun 2012 sebesar 90.245 kasus (IR= 37,11/100.000 penduduk) dengan jumlah kematian 816 orang (CFR= 0,90%). Meningkat lagi pada tahun 2013 sebesar 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang (IR= 45,85/100.000 penduduk dan CFR= 0,77%). Target Renstra angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar 53/100.000 penduduk, dengan demikian Indonesia telah mencapai target Renstra 2012. Walaupun demikian, masih terdapat disparitas antarprovinsi dan antarkabupaten/ kota yang variasinya cukup besar (Kemenkes RI, 2014: 149).

Penyakit DBD masih merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 15.144 kasus (IR= 30,84/100.000 penduduk dan CFR 1,21%). Menurun pada tahun 2014 sebesar 8.076 kasus (IR= 32,95/100.000 penduduk dan CFR 1,44%). Dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Pada tahun 2013 dilaporkan IR tertinggi terjadi di Kabupaten Jepara sebesar 166,3/100.000 penduduk disusul oleh Kota Semarang sebesar 137/100.000 penduduk (Dinkes Prov. Jateng, 2014: 41). Pada tahun 2014 IR tertinggi ditemukan di Kota Semarang sebesar 98,57/100.000 penduduk disusul Kabupaten Jepara pada posisi kedua dengan IR 67,26/100.000 penduduk (Dinkes Prov. Jateng, 2015: 49).

Kabupaten Jepara yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pantai dan dataran rendah, merupakan daerah endemik DBD. Dalam satu dekade ini, kasus DBD di Kabupaten Jepara cenderung fluktuatif. Pada tahun 2009 Kabupaten Jepara menduduki peringkat 2 tertinggi kasus DBD di Jawa Tengah,


(19)

3

yaitu 1680 kasus (IR 15,4/100.000 penduduk dan CFR 1,13%). Pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 1894 kasus dengan 15 kematian. Terjadi penurunan kasus pada tahun 2011 dan tahun 2012. Namun, meningkat lagi pada tahun 2013 sebesar 1.951 kasus dengan 11 kematian (IR 166,30/100.000 penduduk dan CFR 0,5%) yang menempatakan Kabupaten Jepara pada posisi pertama kasus DBD di Jawa Tengah (Dinkes Kab. Jepara, 2014:1). Pada tahun 2014 kasus DBD di Kabupaten Jepara mengalami penurunan yaitu sebanyak 806 kasus dengan 6 kematian (IR 67,26/100.000 penduduk dan CFR 0,64%). Kasus tertinggi terjadi di Puskesmas Jepara dengan 411 kasus pada tahun 2013 dan 196 kasus pada tahun 2014. Di wilayah kerja Puskesmas Jepara, ditemukan kasus tertinggi di Kelurahan Mulyoharjo dengan 58 kasus pada tahun 2013 dan 30 kasus pada tahun 2014 (Dinkes Kab. Jepara, 2015:1).

Kelurahan Mulyoharjo merupakan salah satu kelurahan endemis DBD di Kecamatan Jepara yang berada di wilayah kerja Puskesmas Jepara. Kelurahan Mulyoharjo terdiri atas 37 RT dan 5 RW. Berdasarkan rekapitulasi Pemantauan Jentik Rutin (PJR) Puskesmas Jepara pada Bulan Desember 2014 menunjukkan bahwa Kelurahan Mulyoharjo memiliki Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 58% dari 250 rumah yang diperiksa, angka ini masih di bawah standar ABJ nasional yaitu 95%.

Salah satu upaya yang dianggap tepat dalam pencegahan dan pemberantasan DBD adalah dengan memutus rantai penularan dengan cara mengendalikan vektor melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) yaitu suatu kegiatan untuk memberantas telur, jentik, dan kepompong


(20)

nyamuk Aedes aegypti penular penyakit DBD. PSN DBD dilakukan dengan cara 3M yaitu menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan menguburkan barang yang tidak terpakai/barang bekas. Selain itu ditambah dengan cara lainnya yang dikenal dengan 3M plus yaitu kegiatan 3M ditambah pencegahan gigitan nyamuk, pengurangan tempat perkembangbiakan dan tempat peristirahatan nyamuk penular penyakit DBD (Kemenkes RI, 2010).

Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara dengan petugas Puskesmas Jepara telah dilakukan upaya pengendalian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Jepara melalui penyuluhan kepada masyarakat dengan berbagai media seperti radio spot, dialog radio, penyuluhan langsung kepada masyarakat, penyebaran leaflet, stiker, dan baliho. Selain penyuluhan kepada masyarakat, upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi DBD seperti penaburan butiran abate (abatesasi), kegiatan pengasapan (fogging) di tempat tertetu yang memenuhi syarat serta menggerakkan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilakukan secara perodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan menekankan kegiatan 3M plus.

Untuk mengoptimalkan gerakan PSN pemerintah telah melakukan berbagai macam kegiatan diantaranya mengadakan lomba PSN antar desa dan kecamatan se-Kabupaten Jepara, melaksanakan larvasida masal dan pengembangan kawasan bebas jentik. Namun upaya PSN DBD yang dilakukan masyarakat ternyata belum optimal terbukti dari angka bebas jentik (ABJ) yang belum mencapai 95%.


(21)

5

Perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat sangat berpengaruh terhadap keberhasilan upaya penanggulangan DBD di Kabupaten Jepara. Masyarakat masih bergantung kepada pemerintah dalam penanggulangan DBD, kalau tidak dilakukan pengasapan (fogging) pemerintah dianggap tidak bekerja.

PSN DBD merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Masyarakat berperan penting dalam pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling utama untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka memberantas penyakit DBD. Salah satu elemen terkecil adalah tingkat keluarga. Di dalam keluarga ibu mempunyai peranan penting sebagai pemelihara kesehatan keluarganya. Ibu mempunyai peranan besar dalam menentukan nilai-nilai kebersihan dan hidup sehat di rumah.

Perilaku masyarakat yang baik akan memberikan dampak yang baik bagi kesehatan, dan sebaliknya perilaku masyarakat yang tidak baik akan berdampak buruk bagi kesehatannya. Penelitian yang dilakukan oleh Hardayati, et al (2011) yang dilakukan di Kota Pekanbaru Riau menyatakan bahwa perilaku masyarakat akan sangat menentukan tingkat kesehatan dari masyarakat itu sendiri. Tercatatnya Kota Pekanbaru sebagai daerah endemis DBD, diperkirakan ada keterkaitannya dengan perilaku masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.

Banyak faktor yang mempengaruhi praktik PSN DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan praktik pemberantasan sarang nyamuk DBD (p=0,032), hal ini sejalan dengan penelitian Naing (2011) dengan kemaknaan (p=0,001). Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian Hardayati (2011) yang menyebutkan tidak


(22)

ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik PSN DBD. Faktor lain yang mempengaruhi keluarga dalam melakukan PSN DBD adalah sikap. Penelitian Mohammad (2014) di Malaysia menunjukkan terdapat hubungan antara sikap (p=0,004) dengan praktik PSN, hal ini sejalan dengan penelitian Alidan (2011) dengan kemaknaan (p=0,032). Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian Agustiansyah yang menyebutkan tidak ada hubungan antara sikap dengan praktik PSN DBD.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan Praktik Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Rumusan Masalah Umum

Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus

a. Apakah faktor umur berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

b. Apakah faktor tingkat pendidikan berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?


(23)

7

c. Apakah faktor pekerjaan berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

d. Apakah faktor pengalaman sakit DBD berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

e. Apakah faktor tingkat pengetahuan berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

f. Apakah faktor sikap berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

g. Apakah faktor dukungan petugas kesehatan berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

h. Apakah faktor pengalaman mendapat penyuluhan kesehatan berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara. 1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus

a. Mengetahui hubungan umur dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

b. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.


(24)

c. Mengetahui hubungan pekerjaan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

d. Mengetahui hubungan pengalaman sakit DBD dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

e. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

f. Mengetahui hubungan sikap dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

g. Mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

h. Mengetahui hubungan pengalaman mendapat penyuluhan kesehatan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Masyarakat

Informasi yang diperoleh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Jepara Kecamata Jepara Kabupaten Jepara dapat digunakan sebagai bahan referensi atau masukan sebagai upaya preventif (pencegahan) dalam penanganan penyakit DBD dan sebagai pemacu gerakan PSN mandiri oleh masyarakat agar tidak bergantung pada petugas kesehatan sebagai pengendalian dini dalam pencegahan penyakit DBD.


(25)

9

1.4.2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara

Dapat memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi pengambilan kebijakan program penanggulangan DBD di Kabupaten Jepara.

1.4.3. Bagi Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Dapat dijadikan sebagai bahan pustaka dan menambah khasanah penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

1.4.4. Bagi Peneliti

Dapat memperoleh keterampilan, pengalaman, dan wawasan mengenai mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik PSN DBD keluarga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara yang dapat diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut.


(26)

1.5. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Penelitian-penelitian yang Relevan dengan Penelitian ini

No. Judul Penelitian Nama

Peneliti, Tahun Tempat Penelitian Rancangan Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1. Factor

associated with larval control practices in a dengue outbreak prone area.

Mariam Mohamad , et al., 2014.

Selangor, Malaysia.

Cross-sectional.

Variabel bebas: pengetahuan, sikap,

pengalaman sakit DBD,

keikutsertaan dalam kampanye PSN DBD. Variabel terikat: praktik

pemberantasan sarang nyamuk.

Terdapat hubungan antara

sikap (p=0,004) dan

pengalaman sakit DBD

(p=0,002) dengan praktik

pemberantasan sarang

nyamuk.

2. Analisis perilaku masyarakat terhadap Angka

Bebas Jentik

dan Demam

Berdarah

Dengue di

Kecamatan Pekanbaru Kota, Riau.

Hardayati W, et al., 2011. Kecamatan Pekanbaru Kota, Riau. Cross-sectional. Variabel bebas: pendidikan, pekerjaan, status ekonomi,

pengetahuan, sikap, sarana dan prasana,

keterpaparan penyuluhan. Variabel terikat: perilaku

masyarakat dalam PSN DBD.

Terdapat hubungan antara

pendidikan (p=0,039)

dengan perilaku masyarakat dalam PSN DBD.

Tidak terdapat hubungan

antara: pengetahuan

(p=0,929), sikap (p=0,226),

sarana dan prasarana

(p=0,708), keterpaparan

penyuluhan (p=0,986),

dengan perilaku masyarakat dalam PSN DBD.

3. Faktor-faktor yang

mempengaruhi masyarakat dalam

memelihara ikan cupang (Betta splendens) untuk

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah

Dengue di Kota Pontianak.

Agustian-syah, 2003.

Pontianak. Cross-sectional.

Variabel bebas:

umur, lama

pendidikan, besar pengeluaran,

besar anggota

rumah tangga,

pekerjaan,

aktivitas sosial, pengetahuan, dan sikap.

Variabel terikat: praktik

memelihara ikan

cupang untuk

Terdapat hubungan antara

besar pengeluaran

(p=0,015) dan pengetahuan (p=0,000) dengan praktik memelihara ikan cupang untuk PSN DBD.


(27)

11

pemberantasan

sarang nyamuk

DBD. 4. The corelation

of knowledge, attitude and health

elucidation to the Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) mosquito

breeding place eradication in Subdistrict of Simpang III Sipin District of Kotabaru Jambi Municipality. Alidan, 2011. Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Cross- Sectional. Variabel bebas: pengetahuan,

sikap, dan

penyuluhan kesehatan. Variabel terikat: pemberantasan

sarang nyamuk

DBD.

Ada hubungan yang

bermakna antara

pengetahuan (p=0,032),

sikap (p=0,042) dan

penyuluhan kesehatan

(p=0,038) dengan

pemberantasan sarang

nyamuk DBD.

5. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan tindakan kepala keluarga

dalam upaya

pencegahan

penyakit DBD

di Desa

Gondang Tani

Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Sragen.

Diah Nia Heaswati, 2008. Desa Gondang Tani, Sragen. Cross- sectional. Variabel bebas: pendidikan,

jumlah anggota

keluarga,

informasi DBD,

partisipasi sosial, dan pengalaman sakit.

Variabel terikat: upaya pencegahan penyakit DBD.

Ada hubungan yang

bermakna antara

pendidikan (p=0,039)

dengan upaya pencegahan penyakit DBD.

6. Perilaku pemberantasan sarang nyamuk di masyarakat. Eni Nuryanti, 2013. Desa Karangjati, Kabupaten Blora. Cross- sectional.

Variabel bebas: umur, pendidikan,

jenis kelamin,

pendapatan, pengetahuan, sikap, informasi DBD, dan peran petugas

kesehatan.

Variabel terikat: perilaku

pemberantasan sarang nyamuk.

Ada hubungan yang

bermakna antara

pengetahuan (p=0,001),

sikap (p=0,001), informasi DBD (p= 0,0001), dan peran petugas kesehatan (p=0,001) dengan perilaku

pemberantasan sarang


(28)

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

a. Variabel yang berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah

b. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah rumah tangga di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian 1.6.1. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

1.6.2. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan setelah proses pra penelitian sampai dengan penelitian selesai dilaksanakan yaitu bulan Juli 2015.

1.6.3. Ruang Lingkup Materi

Penelitian ini termasuk dalam lingkup ilmu kesehatan masyarakat, khususnya di bidang epidemiologi penyakit menular, yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD).


(29)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

2.1.1. Definisi Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (ptekie), lebam (echymosis), atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Kemenkes RI, 2011:133).

2.1.2. Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa populasi di dunia yang berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2,5 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 390 juta infeksi dengue yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2015: 1). Data WHO menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Di antara sekitar 2,5 miliar orang yang berisiko diseluruh dunia, sekitar 1,3 miliar atau 52% populasi berada di kawasan Asia Tenggara. Diperkirakan sekitar 2,9


(30)

juta kasus DBD dengan 5.906 kematian terjadi di Asia Tenggara setiap tahunnya (WHO, 2012: 1).

Di bawah ini adalah gambar peta yang menunjukkan wilayah di dunia yang berisiko untuk terjadinya transmisi virus dengue karena vektor nyamuk. Indonesia berada dalam wilayah berisiko terjadinya transmisi dengue tersebut.

Gambar 2.1. Dengue Transmission Risk Reproduced from The World Health Organization’s: International adn Travel Health Publication

(Sumber: WHO, 2014).

Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1986 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand. Di Indonesia kasus DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968 (Kemenkes RI, 2010).


(31)

15

Mordibitas dan mortalitas DBD di berdagai daerah bervariasi disebabkan beberapa faktor meliputi, faktor penjamu (host), faktor lingkungan (environment), dan faktor agen penyakit (agent).

Faktor penjamu yang berhubungan kejadian DBD meliputi umur, jenis kelamin, ras, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, imunitas, status gizi, dan perilaku. Berdasarkan hasil penelitian Djati ,et al (2010) di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa umur dan kondisi kerja berhubungan dengan kejadian DBD di daerah endemis. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiastuti (2007) di Puskesmas Kedaton Kabupaten Cirebon menunjukkan bahwa faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan menguras dan menyikat tempat penampungan air. Penelitian lain oleh Supriyanti (2014) menunjukkan bahwa aktifitas kerja, mobilitas kebiasaan tidur pagi dan sore hari berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gombong II Kabupaten Kebumen.

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit DBD meliputi: 1) Lingkungan fisik (jarak rumah, tata rumah, macam kontainer, ketinggian tempat, dan iklim) (Depkes RI, 1998). 2) Lingkungan biologi (banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban, pencahayaan di dalam rumah, merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap dan beristirahat) (Soegijanto, 2003). 3) Lingkungan sosial ekonomi (pendapatan keluarga, aktifitas sosial, kepadatan hunian, bencana alam, kemiskinan, dan kondisi rumah). Penelitian yang dilakukan oleh Roose (2008) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekan Baru menunjukkan bahwa faktor lingkungan


(32)

yang mempengaruhi kejadian DBD adalah jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air bukan untuk kebutuhan sehari-hari, keberadaan jentik, dan keberadaan tanaman hias atau pekarangan.

Faktor agen penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah virus dengue yang termasuk kelompok B Artrhopoda Borne Virus (arboviruses). Anggota dari genus Flavivirus, famili Flaviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes alpobictus yang merupakan vektor infeksi DBD (Widoyono, 2008).

2.1.3. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam group B Arthropoda Borne Viruse (arboviruses) yaitu virus yang ditularkan melalui serangga. Virus dengue termasuk genus Flavivirus dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe lain yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Soegiyanto, 2003).

Untuk pertama kalinya, pada bulan Maret 2002, Michael Rossman dan Richard Kuhn dari Purdue University, Amerika Serikat melaporkan bahwa struktur virus dengue berbeda dengan struktur virus lainnya yang telah ditemukan.


(33)

17

Permukaan virus ini halus dan selaputnya ditutupi oleh lapisan protein yang berwarna biru, hijau, dan kuning (ilustrasi komputer). Protein amplop tersebut dinamakan protein E yang berfungsi melindungi bahan genetik di dalamnya (Widoyono, 2008:60).

Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Virus penyebab penyakit bertahan hidup dalam suatu siklus yang melibatkan manusia dan nyamuk yang hidup aktif di siang hari (Sembel, 2009:61).

2.1.4. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue

Vektor adalah Arthropoda yang secara aktif menularkan mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita kepada orang yang sehat baik secara mekanik maupun biologi. Penularan penyakit DBD dari satu orang ke orang lain dengan perantara nyamuk Aedes. Penyakit ini tidak akan menular tanpa ada gigitan nyamuk. Nyamuk pembawa virus dengue yang paling utama adalah jenis Aedes aegypti, sedangkan Aedes albopictus relatif jarang. Nyamuk Aedes aegypti mulanya berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut atau udara. Nyamuk hidup dengan baik di belahan dunia yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.


(34)

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti (Sumber: Kemenkes RI, 2011)

Klasifikasi dari Aedes aegypti menurut Mullen dan Durden (2002) adalah sebagai berikut :

Fillum : Arthropoda Kelas : Insecta

Ordo : Nematocera

Infra Ordo : Culicomorfa Super famili : Culicoidea Sub famili : Culicinae

Genus : Aedes

Species : Aedes aegypti 2.1.4.1. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk berukuran kecil (4-13 mm) dan rapuh. Kepalanya mempunyai probosis halus dan panjang yang melebihi panjang kepala. Pada nyamuk betina, probosis dipakai sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan,


(35)

buah-19

buahan, dan juga keringat. Di kiri kanan probosis terdapat palpus yang terdiri dari 5 ruas dan sepasang antena yang terdiri dari 15 ruas. Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose). Sebagian besar toraks yang tampak (mesonotum) diliputi bulu halus. Bagian posterior dari mesonotum terdapat skutelum yang membentuk 3 lengkungan (trilobus).

Sayap nyamuk panjang dan langsung, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti vena. Pada pinggir sayap terdapat sederetan rambut yang disebut fringe. Abdomen berbentuk silinder dan terdiri dari 10 ruas. Dua ruas yang terakhir berubah menjadi alat kelamin. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki (heksapoda) yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri atas 1 ruas femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas tarsus (Sembel, 2009: 51).

2.1.4.2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti a. Telur

Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam bentuk dorman. Namun, bila air cukup tersedia, telur-telur biasanya menetas 2-3 hari sesudah diletakkan (Sembel, 2009: 52).

b. Larva atau Jentik

Telur menetas menjadi larva atau sering disebut dengan jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, larva nyamuk Aedes aegypti biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus dengan


(36)

permukaan air. Kebanyakan larva nyamuk menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel lainnya dalam air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan berpupasi sesudah 7 hari (Sembel, 2009: 52).

Jentik memerlukan empat tahap perkembangan. Jangka waktu perkembangan jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan jentik dalam sebuah kontainer. Dalam kondisi optimal, waktu yang dibutuhkan dari telur menetas hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari, termasuk dua hari dalam masa pupa. Pada suhu rendah, dibutuhkan waktu beberapa minggu (Depkes RI, 2005). Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva Aedes aegypti tersebut, yaitu (Depkes RI, 2005): a) Instar I: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

b) Instar II: 2,5-3,8 mm

c) Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II d) Instar IV: berukuran paling besar 5 mm

c. Pupa

Setelah mengalami pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Bila perkembangan pupa sudah sempurna, yaitu sesudah 2 atau 3 hari, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar dan terbang (Sembel, 2009: 52).

d. Dewasa

Nyamuk dewasa yang keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya. Setelah itu


(37)

21

nyamuk akan terbang untuk mencari makan. Dalam keadaan istirahat, nyamuk Aedes aegypti hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan (Sembel, 2009: 53).

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti (Sumber: Kemenkes RI, 2011)

2.1.4.3. Tempat Perindukan Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti yang aktif pada siang hari biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor, atau perkuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, tempurung kelapa, ban-ban bekas, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut (Sembel, 2009: 53).

2.1.4.4. Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Untuk dapat memberantas nyamuk Aedes aegypti secara efektif diperlukan pengetahuan tentang pola perilaku nyamuk tersebut yaitu perilaku mencari darah,


(38)

istirahat, dan berkembang biak, sehingga diharapkan akan dicapai PSN dan jentik nyamuk Aedes aegypti yang tepat.

a. Perilaku Mencari Darah

Setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari, dan lebih suka pada jam 08.00-12.00 dan jam 15.00-17.00. Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan.

b. Perilaku Istirahat

Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur. Tempat istirahat yang disukai yaitu tempat-tempat yang lembab dan kurang terang, seperti kamar mandi, dapur, WC, di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu, tirai, di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah.

c. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk Aedes aegypti bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih. Telur diletakkan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar 100 butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 mm per butir. Telur ini di tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 2 hari terendam air. Jentik nyamuk setelah 6-8 hari akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa


(39)

23

nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam air, tetapi tidak makan dan setelah 1-2 hari akan memunculkan nyamuk Aedes aegypti yang baru (Sembel, 2009: 53).

2.1.5. Cara Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor utama) meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus (vektor potensial) yang biasa hidup di kebun-kebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut (Kemenkes RI 1, 2010: 2).

Nyamuk Aedes aegypti mendapatkan virus dengue sewaktu menggigit/menghisap darah orang yang sakit DBD atau tidak sakit, tetapi di dalam darahnya terdapat virus dengue. Virus dengue yang terhisap akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk kelenjar liurnya. Jika orang yang tertular tidak memiliki kekebalan tubuh yang cukup, maka virus itu akan menyerang sel pembeku darah dan merusak dinding pembuluh darah kecil. Akibatnya terjadi perdarahan dan kekurangan cairan yang ada di dalam pembuluh darah orang tersebut. Dalam darah manusia, virus dengue akan mati dengan sendirinya dalam waktu lebih kurang satu minggu (Depkes RI, 2006 : 1-2).

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus dengue dalam darah selama 4–7 hari mulai 1–2 hari sebelum demam. Bila penderita


(40)

tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi eksentrik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya (Hastuti, 2008).

Gambar 2.4. Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) (Sumber: Depkes RI, 2006:1)

Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur ini lah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Akibat infeksi virus DBD, orang yang kemasukan virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti (antibodi) yang spesifik sesuai dengan tipe virus dengue yang masuk (Hastuti, 2008).


(41)

25

Tanda atau gejala yang timbul ditentukan reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalam virus dengue yang baru masuk. Penularan demam berdarah dengue dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Menurut teori infeksi sekunder, seseorang dapat terserang demam berdarah dengue, jika mendapat infeksi ulangan dengan virus dengue tipe yang berlainan dengan infeksi sebelumnya (misal infeksi pertama dengan virus dengue-1 infeksi kedua dengan dengue–2). Infeksi dengan satu tipe virus dengue saja, paling berat hanya akan menimbulkan demam dengue tanpa disertai perdarahan (Hastuti, 2008: 4).

2.1.6. Tanda dan Gejala Demam Berdarah Dengue

Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut: a. Demam

Demam dapat terjadi selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Derajat demam berdarah dengue dikelompokkan dalam empat derajat (pada setiap derajat ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi), yaitu:

- Derajat I

Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas, satu-satunya gejala pendarahan adalah hasil uji tourniquet positif.

- Derajat II

Gejala yang timbul pada demam berdarah dengue derajat I, ditambah pendarahan spontan, biasanya dalam bentuk pendarahan di bawah kulit dan atau bentuk pendarahan lainnya.


(42)

- Derajat III

Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (< 20 mmHg ) atau hipertensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.

- Derajat IV

Syok berat dengan tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah. b. Manifestasi Perdarahan

Perdarahan ini disebabkan oleh trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit. Perdarahan dapat terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, ematemesis, melena, dan hematu spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah hitam.

Uji tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji tourniquest positif pada hari pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita demam berdarah dengue. Namun uji tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (thypus abdominalis), dan lain-lain.

Petekie merupakan tanda pendarahan yang tersering ditemukan. Tanda ini dapat muncul pada hari pertama demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, sedangkan perdarahan gastrointestinal biasanya


(43)

27

menyertai renjatan. Terkadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva serta hematuri.

c. Trombositopenia

Jumlah trombosit di bawah 150.000/ mm3 (normal: 150.000-300.000 µL) biasanya ditemukan diantara hari ketiga sampai ketujuh sakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai kita yakin trombosit dalam batas-batas normal atau menyokong ke arah penyakit DBD. Pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali. Pertama pada waktu pasien masuk dan apabila normal diulangi pada hari kelima sakit. Bila perlu diulangi lagi pada hari ke 6-7 sakit.

d. Hemokonsentrasi

Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) merupakan indikator yang peka terhadap akan terjadinya renjatan sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berulang secara periodik.

e. Hepatomegali

Pembesaran hati berkaitan dengan strain serotipe virus dengue. Sifat pembesaran hati:

- Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit.

- Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.


(44)

f. Renjatan (Shock)

Renjatan disebabkan karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler darah yang rusak. Tanda-tanda renjatan adalah:

- Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki. - Penderita menjadi gelisah.

- Sianosis di sekitar mulut.

- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.

- Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang).

- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun hingga 80 mmHg atau kurang) (Kemenkes RI 2, 2010: 23).

2.1.7. Diagnosis Demam Berdarah Dengue

Diagnosis DBD ditegakkan berdassarkan kriteria diagnosis WHO (2012) terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis).

1) Kriteria Klinis

a) Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari.

b) Terdapat manifestasi tanda-tanda perdarahan ditandai dengan: -Uji bendung (tourniquet test) positif.

-Petekie, ekimosis, purpura.


(45)

29

-Hematemesis dan/ atau melena. c) Pembesaran hati (hepatomegali).

d) Renjatan (shock), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

2) Kriteria Laboratorium

a) Trombositopenia (150.000/ mm3 atau kurang).

b) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai adanya: hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit ≥ 10% dari data baseline saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia (hipoalbuminemia) (Kemenkes, 2011:67).

2.1.8. Pencegahan Demam Berdarah Dengue

Menurut Kemenkes RI (2010:2), pencegahan penyakit demam berdarah dengue dapat dibagi menjadi tingkatan.

2.1.8.1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Sebelum ditemukannya vaksin terhadap virus demam berdarah dengue, pengendalian vektor adalah satu-satunya upaya yang diandalkan dalam mencegah demam berdarah dengue. Secara garis besar ada cara pengendalian vektor yaitu:


(46)

a. Pengendalian Cara Kimiawi

Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organopospor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah penduduk.

Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypty yaitu dari golongan organopospor (temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.

b. Pengendalian Hayati atau Biologik

Pengendalian hayati atau sering disebut pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrata atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit, dan pemangsa.

Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax) dan ikan gabus (Gambusia afffinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa etnis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis inyegari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk. c. Pengendalian Radiasi

Pengendalian cara radiasi memakai bahan radioaktif dengan dosis tertentu sehingga nyamuk jantan menjadi mandul. Nyamuk jantan yang telah diradiasi dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti nyamuk jantan akan berkopulasi


(47)

31

dengan nyamuk betina, tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil.

d. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

Pencegahan yang paling tepat dan efektif dan aman untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M (plus) yaitu: menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa. Mendaur ulang barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang kesemuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti.

2.1.8.2. Pencegahan Sekunder

Dalam pencegahan sekunder dilakukan upaya diagnosis dan dapat diartikan sebagai tindakan yang berupaya untuk menghentikan proses penyakit pada tingkat permulaan, sehingga tidak akan menjadi lebih parah.

a. Melakukan diagnosis sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang tepat bagi penderita demam berdarah dengue.


(48)

b. Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang menemukan penderita / tersangka penderita demam berdarah dengue segera melaporkan ke puskesmas dan dinas kesehatan dalam waktu 3 jam.

c. Penyelidikan epidemiologi dilakukan petugas puskesmas untuk pencarian penderita panas tanpa sebab yang jelas sebanyak 3 orang atau lebih, pemeriksaan jentik, dan juga dimaksudkan untuk mengetahui adanya kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, sehingga perlu dilakukan fogging fokus dengan radius 200 meter dari rumah penderita, disertai penyuluhan.

2.1.8.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit demam berdarah dengue dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Ruang Gawat Darurat

Membuat ruangan gawat darurat khusus untuk penderita DBD di setiap unit pelayanan kesehatan terutama di puskesmas agar penderita dapat penanganan yang lebih baik.

b. Tansfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan untuk mendapatkan tranfusi darah secepatnya.

c. Mencegah Terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)

Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:


(49)

33

- Endemis: daerah dengan kejadian tiap tahunnya dalam tahun terakhir. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan (SMP), abatesasi selektif, Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.

- Sporadis: daerah yang dalam tahun terakhir terjangkit demam berdarah dengue, tetapi tidak setiap tahun. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), dan penyuluhan.

- Potensial: daerah yang dalam tahun terakhir tidak terjadi kejadian demam berdarah dengue tetapi mempunyai penduduk yang padat, dan ditemukan house index lebih dari 10%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB dan penyuluhan.

- Bebas: daerah yang tidak pernah terjadi demam berdarah dengue dan berada lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Kegiatan yang dilakukan adalah penyuluhan.

2.1.9. Pengobatan Demam Berdarah Dengue

Sampai saat ini belum ada obat maupun vaksin untuk DBD. Prinsip dasar pda pengobatan adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes RI, 2005: 45).

Pengobatan bersifat simtomatif dan suportif. Penderita dianjurkan beristirahat saat sedang demam. Pengobatan ditujukan untuk mencegah penderita DBD masuk ke fase syok. Pertolongan pertama yang dilakukan adalah memberi minum kepada penderita sebanyak mungkin memberi obat penurun panas


(50)

golongan parasetamol dan kompres dengan air hangat. Apabila penderita tidak dapat minum atau muntah-muntah, dipasang infus cairan ringer laktat atau NaCl dan segara rujuk ke rumah sakit (Depkes RI, 2006:2).

Pengobatan pasien DBD derajat I-II, sama dengan pengobatan pada penderita demam dengue, tetapi dengan monitoring yang ketat akan terjadinya kebocoran plasma. Penderita dapat dirawat dengan pemberian cairan intravena selama 12-14 jam. Pasien yang menunjukkan kenaikan kadar hematokrit, jumlah trombosit <50.000/mm3, atau menunjukkan tanda-tanda perdarahan spontan selain ptekie, harus dirawat secara intensif (Kemenkes RI, 2009: 56).

2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Hingga saat ini pemberantasan nyamuk Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas DBD, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara pemberantasan yang dilakukan adalah terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya, seperti bagan di bawah ini (Depkes RI, 2005: 2-6).

Gambar 2.5 Cara Pemberantasan DBD Sumber: Depkes RI,2005

Dengan Insektisida (Fogging dan ULV) Nyamuk

Dewasa

Jentik

Fisik Kimiawi


(51)

35

2.2.1. Pemberantasan Sarang Nyamuk Dewasa

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan/pengabutan = fogging) dengan insektisida. Mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Untuk membatasi penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan mengisap darah penderita DBD yang masih ada yang dapat menimbulakan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan kedua agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain (Kemenkes, 2011: 58).

2.2.2. Pemberantasan Jentik

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD) dilakukan dengan cara:

2.2.2.1. Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan ”3M plus”, 3M yang dimaksud yaitu:

1) Menguras dan menyikat tempat penampungan air seperti bak mandi/WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali.


(52)

2) Menutup tempat penampungan air rumah tangga seperti gentong air/tempayan, drum dan lain-lain.

3) Mengubur, menyingkirkan, memanfaatkan dan/atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, ban bekas, dan lain-lain.

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

- Mengganti air vas bunga, tempat minum burung, atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.

- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

- Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain).

- Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air.

- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/ bak-bak penampungan air. - Memasang kawat kasa.

- Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. - Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai. - Menggunakan kelambu.

- Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

- Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah (Kemenkes, 2011: 59). Bila PSN DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus


(53)

37

dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

Penelitian Rosidi dan Adisasmito (2006) serta Nugroho (2009) menyebutkan bahwa perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.

2.2.2.2. Kimia

Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal dengan larvasidasi, yang biasa digunakan antara lain adalah temephos. Formulasinya adalah granules (sand granules), dan dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos mempunyai efek residu 3 bulan.

2.2.2.3. Biologi

Misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan black moli, dan lain-lain).

Program pemberantasan penyakit DBD pada umumnya masih belum berhasil karena masih bergantung pada kegiatan penyemprotan dengan insektisida yang hanya membunuh nyamuk dewasa serta tidak dibarengi dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk secara rutin dan berkelanjutan. Sebenarnya ditegaskan bahwa untuk mencapai kelestarian program pemberantasan vektor DBD sangat penting untuk memusatkan pada pembersihan sumber larva dan harus bekerja sama dengan sektor non-kesehatan seperti organisasi non-pemerintah,


(54)

organisasi swasta, dan kelompok masyarakat untuk memastikan pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaannya (Azwar, 1988: 78).

2.3. Perilaku

2.3.1. Konsep Perlilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang mempunyai cakupan luas antara lain: berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007:133).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Skinner membedakan adanya dua respon dalam proses terjadinya perilaku, yaitu:

1) Respondent respon atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap, misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.


(55)

39

2) Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforces, karena memperkuat respon, misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2007: 133- 134).

Berdasarkan rumus teori Skiner tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1) Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior.

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007: 145).


(56)

Menurut Notoatmodjo (2007), tindakan memiliki 4 tingkatan yaitu : 1. Persepsi (Perception)

Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Respon terpimpin adalah dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme (Mechanism)

Mekanisme adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung dan langsung. Secara langsung dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran secara langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007: 145).

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :


(57)

41

1) Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.

2) Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.

Dari penelitian-penelitian yang ada, faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007: 136).

2.3.2. Perilaku Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.

Secara lebih terinci, perilaku kesehatan itu mencakup:

1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, adalah bagaimana seseorang merespon, baik secara pasif maupun aktif terhadap sakit dan penyakit yang dialaminya. Perilaku ini meliputi tingkatan pencegahan sebagai berikut:


(58)

a) Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour).

b) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour). c) Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour). d) Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behaviour).

2) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan modern maupun tradisional.

3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

4) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour), adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD)

Menurut Notoatmodjo (2005), meskipun perilaku adalah bentuk respon terhadap stimulus dari luar diri seseorang, namun karakteristik dan faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan juga dapat memengaruhi respon seseorang.

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:


(59)

43

1) Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor pemudah perilaku adalah faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada individu atau masyarakat, meliputi: pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, sistem, dan nilai yang ada di masyarakat.

Apabila seorang penderita penyakit demam berdarah dengue memiliki pengetahuan tentang demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue, itu akan mempermudah dirinya untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk DBD. Hal tersebut juga akan dipermudah pula apabila ia memiliki sikap positif terhadap penyakit demam berdarah dengue dan PSN DBD.

2) Faktor Pendukung (Enabling Factor)

Faktor pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, misalnya tersedianya pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

3) Faktor Pendorong (Reinforcing Factor)

Faktor pendorong perilaku adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, misalnya untuk berperilaku sehat diperlukan contoh dari para tokoh masyarakat, seperti lurah, dokter (tenaga kesehatan), camat, dan lain-lain.

Dalam hal ini, faktor yang mempengaruhi kepala keluarga dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue adalah sebagai berikut:


(60)

2.3.3.1. Karakteristik Individu 1) Umur

Umur dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung jawab seseorang serta kesadaran untuk menjaga kesehatannya. Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan seseoarang akan lebih tinggi dalam berpikir dan menerima informasi. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berumur lebih tua tidak mutlak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang lebih muda (Notoatmodjo, 2003: 116).

Agustiansyah (2003) dan Nuryanti (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa umur tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Naing, Cho, et al. (2011) di daerah semi-perkotaan Mantin, Malaysia menunjukkan bahwa umur responden berhubungan dengan praktik pemberantasan DBD.

2) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan tertentu, sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan sesorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseoarang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa


(61)

45

seoarang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula (Notoatmodjo, 2003: 116).

Heraswati (2008) dan Hardayati (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pendidikan menunjukkan hubungan secara signifikan terhadap perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue, sedangkan menurut Agustiansyah (2003) dan Nuryanti (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pendidikan tidak menunjukkan hubungan terhadap perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue.

3) Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat dijadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Contohnya, seseorang yang mempunyai pekerjaan di bidang kesehatan lingkungan tentunya akan lebih memahami bagaimana cara menjaga kesehatan di lingkungannya, termasuk cara memberantas sarang nyamuk demam berdarah jika dibandingkan dengan orang yang bekerja di luar bidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003: 117).

Agustiansyah (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pekerjaan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue, sedangkan Naing, Cho, et al. (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pekerjaan justru menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap pemberantasan sarang nyamuk.

4) Pengalaman Sakit DBD

Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasa, ditanggung) (KBBI, 2005: 324). Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman


(62)

sendiri maupun dari orang lain. Pengalaman ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang yang kemudian akan mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam hal ini pengalaman menderita penyakit DBD baik yang dialami sendiri oleh kepala keluarga ataupun yang dialami anggota keluarga akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.

Heraswati (2008) dan Itrat (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengalaman atau riwayat menderita demam berdarah dengue mempunyai hubungan yang signifikan terhadap perilaku masayarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue. Namun Mohamad (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengalaman sakit DBD tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan praktik PSN DBD.

2.3.3.2. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) 1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindran terhadap obyek tertentu, misalnya tentang demam berdarah dengue dan pemberantasan sarang nyamuk DBD. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket tentang materi yang akan diukur (Notoatmodjo, 2005: 144- 146).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang, dalam hal ini pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: (1) Tahu (know), (2) Memahami (comprehension), (3) Aplikasi (aplication), (4) Analisis (analysize), (4) Sintesis (synthesis), dan (5) Evaluasi (evaluation).


(63)

47

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, „tahu‟ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguanaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sistesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.


(1)

Hubungan antara Sikap dengan Praktik PSN DBD

Sikap * Praktik Crosstabulation Praktik

Kurang Baik Baik Total

Sikap Negatif Count 23 13 36

Expected Count 15.6 20.4 36.0

Positif Count 16 38 54

Expected Count 23.4 30.6 54.0

Total Count 39 51 90

Expected Count 39.0 51.0 90.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 10.324a 1 .001

Continuity Correctionb 8.976 1 .003

Likelihood Ratio 10.439 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .001

Linear-by-Linear Association

10.210 1 .001

N of Valid Cases 90

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,60. b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .321 .001

Interval by Interval Pearson's R .339 .100 3.377 .001c

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .339 .100 3.377 .001c

N of Valid Cases 90

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.


(2)

Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Praktik PSN DBD

Dukungan_petugas * Praktik Crosstabulation Praktik

Kurang Baik Baik Total

Dukungan_petugas Tidak Mendukung Count 10 25 35

Expected Count 15.2 19.8 35.0

Mendukung Count 29 26 55

Expected Count 23.8 31.2 55.0

Total Count 39 51 90

Expected Count 39.0 51.0 90.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 5.083a 1 .024

Continuity Correctionb 4.146 1 .042

Likelihood Ratio 5.200 1 .023

Fisher's Exact Test .030 .020

Linear-by-Linear Association

5.026 1 .025

N of Valid Cases 90

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,17. b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .231 .024

Interval by Interval Pearson's R -.238 .100 -2.295 .024c

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.238 .100 -2.295 .024c

N of Valid Cases 90

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.


(3)

Hubungan antara Penyuluhan Kesehatan dengan Praktik PSN DBD

Penyuluhan_Kesehatan * Praktik Crosstabulation Praktik

Kurang Baik Baik Total

Penyuluhan_Kesehatan Tidak Pernah Count 24 14 38

Expected Count 16.5 21.5 38.0

Pernah Count 15 37 52

Expected Count 22.5 29.5 52.0

Total Count 39 51 90

Expected Count 39.0 51.0 90.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 10.526a 1 .001

Continuity Correctionb 9.175 1 .002

Likelihood Ratio 10.665 1 .001

Fisher's Exact Test .001 .001

Linear-by-Linear Association

10.409 1 .001

N of Valid Cases 90

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,47. b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .324 .001

Interval by Interval Pearson's R .342 .100 3.414 .001c

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .342 .100 3.414 .001c

N of Valid Cases 90

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.


(4)

Lampiran 18

Dokumentasi Penelitian


(5)

Gambar 2. Penandatanganan Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Kondisi Perumahan dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabaru Kecamatan Keritang Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun 2012

1 59 132

Kepadatan Jentik Penular Demam Berdarah Dengue (DBD) Antara Desa Endemis Dan Non Endemis Serta Faktor Yang Mempengaruhinya Di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Tahun 2000

0 32 97

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN GROGOL Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo.

0 2 16

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN GROGOL Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo.

1 1 13

(ABSTRAK) HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH DENGUE (PSN DBD) DI RW I KELURAHAN MEDONO KECAMATAN PEKALONGAN BARAT KOTA PEKALONGAN.

1 1 3

Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga tentang Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Di RW I, Kelurahan Medono, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.

0 0 109

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAKSANAAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH DENGUE (PSN DBD) DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG -

0 0 93

Epidemiologi Demam Berdarah di Kelurahan

0 0 6

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH DENGUE (PSN DBD)

0 0 10

HUBUNGAN PERAWATAN KESEHATAN KELUARGA DALAM PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

0 0 15