HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN BANDARHARJO KOTA SEMARANG
HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN
KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA
DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA
DI KELURAHAN BANDARHARJO
KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh: Diana Maryani R NIM. 6450407010
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012
(2)
ii
Agustus 2012 ABSTRAK
Diana Maryani R.
Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
xiii + 61 halaman + 18 tabel + 6 gambar + 15 lampiran
Permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan hasil survei bahwa Kelurahan Bandarharjo merupakan kelurahan yang paling banyak terdapat balita yang menderita ISPA menurut laporan Puskesmas Bandarharjo selama 3 tahun terakhir. Kelurahan Bandarharjo merupakan komplek pemukiman padat penduduk dengan jumlah penduduk sebesar 75.296 jiwa pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang ada di Kelurahan Bandarharjo sejumlah 1.571 balita. Sampel yang diambil sejumlah 91 balita yang diperoleh dengan menggunakan teknik Cluster Random Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan pengukuran (luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (α=0,05).
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar (p value=0,005), kelembaban udara kamar (p value=0,000), kepadatan hunian kamar (p value=0,000),dan kebiasaan merokok anggota keluarga (p value=0,001) dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Dan tidak ada hubungan antara pencahayaan alami (p value=0,937) dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
Saran yang diajukan bagi Masyarakat Bandarharjo berdasarkan nilai Contingency Coefficient tertinggi dari variabel yang diteliti, adanya hubungan antara kelembaban udara dan kejadian ISPA pada balita menunjukkan tingkat keeratan sedang (CC=0,512) adalah menambah ventilasi alami sebagai sarana pertukaran udara dan diharapkan dapat mengurangi kelembaban udara dalam rumah.
Kata Kunci: Kondisi Lingkungan Rumah, Kebiasaan Merokok, ISPA Kepustakaan: 31 (1996-2012)
(3)
iii
Agustus 2012 ABSTRACT
Diana Maryani R.
The Relationship between The House Environment Condition and Smoking Habit Home Family Members with ISPA Incident which Attact Children under 5 Years Old in The Bandarharjo Village Semarang City.
xiii + 61 pages + 18 tables + 6 pictures + 15 attachments
The problems in this study based on survey results that the Bandarharjo Village is the most villages there are many children who suffered from ISPA according to a report from Bandarharjo Health Center for 3 years. The Bandarharjo Village is a densely populated residential complex with a population of 75.296 inhabitants in 2011. The purpose of this study was to determine the relationship between the the house environment condition and smoking habit home family members with ISPA incident which attact children under 5 years old in the Bandarharjo Village Semarang City.
This type of research is to design a survey of analytical Cross Sectional. The population in this study were all young children in the Bandarharjo Village some 1571 childrens. Samples taken a total of 91 children who obtained using Cluster Random Sampling technique. Instruments used in this study is a questionnaire and measurement (area room ventilation, natural lighting room, room air humidity, the density of a room occupancy). The data obtained were analyzed using Chi Square test statistic with the confident interval (α = 0,05).
From the results of research and discussion can be concluded that there is a relationship between the area room ventilation (p value = 0,005), room air humidity (p value = 0,000), the density of room occupancy (p value = 0,000), and smoking habits of family members (p value = 0,001) with the ISPA incident which attact children under 5 years old in the Bandarharjo Village Semarang City. And there is no relationship between the natural lighting children room (p value = 0,937) with the ISPA incident which attact children under 5 years old in the Bandarharjo Village Semarang City.
Suggestions put forward for Bandarharjo’s society by value Contingency Coefficient highest of the variables studied, the relationship between relative humidity and the incidence of respiratory infection in infants showed moderate level of closeness (CC=0,512) is adding natural ventilation as a means of exchange is expected to reduce air and moisture in the air house.
Keywords: The House Environment Condition, Smoking Habit, ISPA References: 31 (1996-2012)
(4)
(5)
v MOTTO:
Sehat adalah suatu keadaan yang lengkap meliputi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata bebas dari penyakit dan cacat atau kelemahan (Mukono, 2000:3).
PERSEMBAHAN:
Karya ini Ananda persembahkan untuk:
1. Ayahnda (Tasrodik) dan Ibunda (Rukiyah) sebagai Dharma Bakti Ananda.
(6)
vi
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul “Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang”, disusun untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan bantuan berbagai pihak, dengan rendah hati disampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang tahun 2011, Bapak Drs. Said Junaidi, M.Kes., atas surat penetapan Dosen Pembimbing Skripsi.
2. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang tahun 2012, Bapak Drs. Tri Rustiadi, M.Kes., atas ijin penelitian.
3. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ibu Dr. dr. Hj. Oktia Woro KH., M.Kes., atas ijin penelitian.
4. Pembimbing I, Bapak Eram Tunggul Pawenang, S.KM., M.Kes., atas bimbingan, arahan dan saran dalam penyelesaian skripsi.
5. Pembimbing II, Bapak Drs. Sugiharto, M.Kes., atas bimbingan, kritik dan saran dalam penyelesaian skripsi.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Bapak dr. Widoyono, MPH., atas ijin penelitian.
(7)
vii
dorongan dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Kakak Sih Astuti dan Adek Heri Setiawan, atas doa, ketulusan dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Keluargaku di Kqfa IR 30, Karisma FIK, Formasi IKM, atas doa, ukhuwah, semangat dan motivasinya sehingga skirpsi ini dapat terselesaikan.
11. Sahabatku Itsna, Fitri, Avin, Mei, Linda, Lela, Riana, Mbak Dias, dan Iffah atas motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman diskusi (Mbak Isni, Uus, Isti, Andika, dan Titto), atas motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
13. Semua pihak yang terlibat, atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Semarang, Agustus 2012
(8)
viii
Halaman
JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Keaslian Penelitian ... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Pengertian ISPA ... 11
2.2 Epidemiologi ... 11
(9)
ix
2.6 Riwayat Alamiah Penyakit ISPA ... 16
2.7 Faktor Risiko Penyakit ISPA ... 17
2.8 Merokok sebagai Faktor Risiko ... 24
2.9 Kerangka Teori ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 27
3.1 Kerangka Konsep ... 27
3.2 Variabel Penelitian ... 27
3.3 Hipotesis Penelitian ... 27
3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 28
3.5 Jenis dan Rancangan Sampel Penelitian ... 29
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
3.7 Sumber Data Penelitian ... 33
3.8 Instrumen Penelitian ... 33
3.9 Teknik Perolehan Data ... 37
3.10 Pelaksanaan Perolehan Data ... 37
3.11 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.2 Hasil Penelitian ... 42
BAB V PEMBAHASAN ... 51 5.1 Hubungan antara Luas Ventilasi Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita. 51
(10)
x
5.3 Hubungan antara Kelembaban Udara Kamar dengan Kejadian ISPA
pada Balita ... 54
5.4 Hubungan antara Kepadatan Hunian Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita ... 55
5.5 Hubungan antara Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan ISPA pada Balita ... 56
5.6 Keterbatasan Penelitian ... 57
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 58
6.1 Simpulan ... 58
6.2 Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
(11)
xi
Halaman
Tabel 1.1: Keaslian Penelitian ... 7
Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 28
Tabel 3.2: Distribusi Sampel Penelitian ... 32
Tabel 3.3: Pedoman Interpretasi terhadap Koefisien dan Korelasi ... 40
Tabel 4.1: Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin ... 42
Tabel 4.2: Distribusi Responden berdasarkan Kelompok Umur ... 42
Tabel 4.3: Distribusi Responden berdasarkan Berat Badan ... 43
Tabel 4.4: Distribusi Responden berdasarkan Status Kejadian ISPA ... 43
Tabel 4.5: Distribusi Responden berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ... 44
Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Luas Ventilasi Kamar ... 44
Tabel 4.7: Distribusi Frekuensi Pencahayaan Alami Kamar ... 45
Tabel 4.8: Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Kamar ... 45
Tabel 4.9: Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Kamar ... 46
Tabel 4.10: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Luas Ventilasi Kamar ... 46
Tabel 4.11: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Pencahayaan Alami Kamar .. 47
Tabel 4.12: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kelembaban Udara Kamar .. 48
Tabel 4.13: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar.... 49
Tabel 4.14: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ... 49
(12)
xii
Halaman
Gambar 2.1: Kerangka Teori... 26
Gambar 3.1: Kerangka Konsep ... 27
Gambar 3.2: Skema Rancangan Penelitian Cross Sectional ... 30
Gambar 3.3: Rollmeter ... 34
Gambar 3.4: Luxmeter ... 35
(13)
xiii
Halaman
Lampiran 1: Surat Tugas Pembimbing ... 62
Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada Kepala Kesbangpolinmas Kota Semarang ... 63
Lampiran 3: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada Kepala Laboratorium Jurusan IKM UNNES ... 64
Lampiran 4: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada Kepala Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang ... 65
Lampiran 5: Surat Keterangan Selesai Penelitian oleh Sekretaris Lurah Bandarharjo ... 66
Lampiran 6: Kuesioner Penelitian ... 67
Lampiran 7: Data Mentah Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner ... 70
Lampiran 8: Karakteristik Responden ... 71
Lampiran 9: ISPA dan Kebiasaan Merokok ... 74
Lampiran 10: Data Pengukuran ... 77
Lampiran 11: Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner ... 80
Lampiran 12: Hasil Analisis Univariat ... 82
Lampiran 13: Hasil Analisis Bivariat ... 84
Lampiran 14: Daftar Guide Pengisian Kuesioner ... 89
(14)
1 1.1Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna dan berdaya-guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Departemen Kesehatan RI, 2009:21).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada anak di negara berkembang. Hampir semua kasus kematian karena ISPA pada anak adalah ISPA bagian bawah terutama pneumonia. ISPA bagian atas hanya sedikit yang mengakibatkan kematian tetapi dapat mengakibatkan sejumlah kecacatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009:19).
Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36% (Widoyono, 2008:156).
Di Indonesia ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena angka kejadian ISPA menduduki urutan pertama kemudian penyakit TBC.
(15)
Berdasarkan hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa (Widoyono, 2008:156).
Menurut Djoko Wahyono dkk, program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA oleh pemerintah dimaksudkan untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Episode penyakit batuk pilek pada anak usia dibawah lima tahun (balita) di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali setiap tahun. Berdasarkan laporan angka kematian balita karena pneumonia di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 6 kasus per 1000 balita pada tahun 2000 (Djoko Wahyono dkk, 2008:20).
Kematian ibu, bayi, dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesehatan suatu negara. Penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan utama di Jawa Tengah. Berdasarkan survei kematian balita tahun 2005, kematian balita sebagian besar disebabkan karena pneumonia (23,6%). Berdasarkan SKRT 2001 angka kematian bayi usia <1 tahun disebabkan karena saluran pernapasan sebesar 28% dan perinatal sebesar 38%. Penyebab kematian pada balita usia 1-4 tahun adalah karena saluran pernapasan sebesar 23% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009:19).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011, penyakit ISPA menduduki peringkat pertama di tingkat puskesmas yaitu sebesar 3.139 kasus ISPA pneumonia pada balita. Sedangkan berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Bandarharjo pada tahun 2011 terdapat 80 kasus ISPA pneumonia pada balita.
(16)
Menurut laporan tahunan Puskesmas Bandarharjo, penyakit ISPA selalu menduduki urutan pertama data 10 besar penyakit di 3 tahun terakhir setelah nyeri kepala dan dermatitis kontak. Sedangkan kelurahan yang paling banyak terdapat kejadian ISPA adalah Kelurahan Bandarharjo.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2001:19).
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang dan pangan, sehingga rumah harus sehat agar penghuninya dapat bekerja secara produktif. Konstruksi rumah dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan tahun 1995 penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak kedua erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat (Soedjajadi Keman, 2005:39).
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk
(17)
berlindung dari gangguan iklim dan makhluk lainnya, serta tempat perkembangan kehidupan keluarga. Kondisi fisik rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan merupakan faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit, termasuk ISPA (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2005:1).
Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap rokok. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga khususnya balita. Salah satu prioritas masalah dalam 16 indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku merokok. Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, perilaku anggota rumah tangga yang tidak merokok baru mencapai 33% dan 67% tumah tangga belum bebas rokok (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009:97).
Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), tidak kurang dari 900.000.000 (84%) perokok sedunia hidup di negara-negara berkembang atau transisi ekonomi termasuk di Indonesia. Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang mencapai 146.860.000 jiwa. The Tobacco Atlas mencatat, ada lebih dari 10 juta batang rokok diisap setiap menit, setiap hari, di seluruh dunia oleh satu miliar laki-laki, dan 250 juta perempuan (Evy Rachmawati, 2008:2).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 presentase penduduk umur 10 tahun keatas 23,7% merokok setiap hari; 5,5% merokok kadang-kadang; 3,0% adalah mantan perokok; dan 67,8% bukan perokok. Menurut karakteristik responden, presentase penduduk yang merokok setiap hari yang nilainya cukup tinggi adalah pada kelompok umur produktif (25-64 tahun) dengan rentang antara 29% sampai 32% dan hampir separuh penduduk laki-laki merokok setiap hari (45,8%) (Departemen Kesehatan RI, 2009:21).
(18)
Survei awal pada perumahan di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara menunjukkan kondisi lingkungan rumah yang pencahayaan alami dan kelembaban udaranya bervariasi dan merupakan komplek pemukiman yang padat penduduk dengan jumlah 75.296 penduduk pada tahun 2011 (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011:1).
Berdasarkan uraian diatas maka, judul penelitian ini adalah “Hubungan antara kondisi lingkungan rumah dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang?
2. Adakah hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang?
3. Adakah hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang?
4. Adakah hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang?
5. Adakah hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
(19)
2. Mengetahui hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
3. Mengetahui hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
4. Mengetahui hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
5. Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
1.4Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah: 1.4.1 Untuk Puskesmas Bandarharjo
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Puskesmas Bandarharjo khususnya di bidang tatalaksana P2 ISPA dan bidang pengelola program kesehatan lingkungan tentang data hasil penelitian yang meliputi luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan kebiasaan merokok anggota keluarga pada balita yang menderita ISPA.
1.4.2 Untuk Masyarakat Kelurahan Bandarharjo
Manfaat hasil penelitian ini adalah dapat memperoleh informasi mengenai hubungan antara luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan kebiasaan merokok anggota keluarga pada balita yang dengan kejadian ISPA.
1.4.3 Untuk Peneliti
Manfaat untuk peneliti adalah mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah (meliputi luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara
(20)
kamar, dan kepadatan hunian kamar) dan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
1.4.4 Untuk Mahasiswa IKM
Manfaat hasil penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan wacana serta dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian berikutnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini dan dapat menambah kepustakaan dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat.
1.5Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini merupakan matrik yang memuat tentang judul penelitian, nama peneliti, tahun dan tempat penelitian, rancangan penelitian, variabel yang diteliti dan hasil yang diteliti dengan membandingkan dua penelitian sebelumnya (Tabel 1.1).
Tabel 1.1: Keaslian Penelitian
No Penelitian Judul Peneliti Nama Tahun Rancangan Penelitian Penelitian Variabel Hasil Penelitian
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Hubungan kondisi lingkungan fisik rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di keluarga pembuat gula aren Desa Pandanarum dan Desa Beji Kecamatan Yunita Ringgih 2007 Jenis penelitian adalah explanatory research dengan rancangan cross sectional. Variabel bebas: pencahaya-an,ventilasi, lantai, dinding, atap, dapur, kepadatan hunian. Variabel terikat: kejadian ISPA pada balita. Ada hubungan antara pencaha-yaan alami kamar balita, pencaha-yaan alami ruang keluarga, luas ventilasi kamar balita, luas ventilasi
(21)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pandanarum Kabupaten Banjarnega-ra Tahun 2007. ruang keluarga, lantai, asap dapur, kepadatan penghuni rumah, dengan kejadian ISPA pada balita. Tidak ada hubungan antara dinding, atap, dan letak dapur, luas dapur dengan kejadian ISPA pada balita. 2. Hubungan
antara kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jekulo Kudus. Safitri Liana 2009 Jenis penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel bebas: dinding, lantai, langit-langit, asap dapur, kepadatan hunian tidur balita, pencaha-yaan, ventilasi. Variabel terikat: kejadian ISPA pada balita. Ada hubungan antara langit-langit, kepadatan hunian tidur, asap dapur, dan ventilasi kamar tidur balita dengan kejadian ISPA dan tidak ada hubungan antara jenis dinding dan lantai
(22)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) dengan kejadian ISPA pada balita. 3. Hubungan antara Kondisi Lingkungan rumah dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang Diana Maryani 2012 Observasi dengan desain penelitian cross sectional Variabel bebas: kondisi lingkungan rumah (luas ventilasi kamar, pencahaya-an alami kamar, kelembaban udara kamar, dan kepadatan hunian kamar) dan kebiasaan merokok anggota keluarga. Variabel terikat: ISPA pada balita. Ada hubungan antara luas ventilasi kamar, kelemba-ban udara kamar, kepadatan hunian kamar dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandar-harjo Kota Semarang. Tidak ada hubungan antara pencaha-yaan alami kamar balita dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandar-harjo Kota Semarang. Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:
(23)
1. Penelitian ini mengenai hubungan antara kondisi lingkungan rumah dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
2. Variabel bebas yang diduga berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita selain kondisi lingkungan rumah (luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, dan kepadatan hunian kamar) juga kebiasaan merokok anggota keluarga yang balitanya menderita ISPA.
3. Penelitian ini menggunakan observasi dengan desain penelitian cross sectional. 1.6Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. 1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 Juli-20 Juli tahun 2012. 1.6.3 Ruang Lingkup Materi
Materi dalam penelitian ini adalah kondisi lingkungan rumah dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita.
(24)
11 2.1 Pengertian ISPA
Menurut Departemen Kesehatan RI (2009:4) ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Pengertian ISPA menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2002 (dalam Triska Susila dan Lilis, 2005:46) adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan lendir yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Sedangkan pneumonia adalah infeksi alat yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan mempunyai gejala batuk, sesak napas, ronki, dan infiltrat pada foto rontgen. Terjadinya pneumonia pada anak sering bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut Bronko Pneumonia (Departemen Kesehatan RI, 2009:4).
2.2 Epidemiologi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Berdasarkan hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin
(25)
disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa (Widoyono, 2008:156).
Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36%. Sedangkan hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama sebesar 36%, dan angka mortalitas pada balita menduduki urutan kedua sebesar 13% (Widoyono, 2008:156).
Menurut UNICEF dan WHO (dalam Cissy B. Kartasasmita) pneumonia merupakan pembunuh anak paling utama yang terlupakan (major “forgotten killer of children”). Pneumonia merupakan penyebab kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun, lebih dari dua juta anak meninggal karena pneumonia, artinya 1 dari 5 orang balita meninggal di dunia. Pneumonia merupakan penyebab kematian yang paling sering, terutama di negara dengan angka kematian tinggi. Hampir semua kematian akibat pneumonia (99,9%), terjadi di negara berkembang dan kurang berkembang (least developed). Jumlah kematian tertinggi terjadi di daerah Sub Sahara yang mencapai 1.022.000 kasus per tahun dan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Cissy B. Kartasasmita, 2010:22).
Menutut laporan WHO, lebih dari 50% kasus pneumonia berada di Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa tiga per empat kasus
(26)
pneumonia pada balita di seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia merupakan salah satu diantara ke 15 negara tersebut dan menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta (WHO, 2006:11).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari Departemen Kesehatan tahun 1992, 1995, dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi besar terhadap kematian bayi dan anak. Sedangkan pada penelitian kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki peringkat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus (Cissy B. Kartasasmita, 2010:23). 2.3 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. Sedangkan aspirasi lain yang juga dapat menjadi penyebab ISPA adalah makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, dan benda asing seperti biji-bijian (Widoyono, 2008:156). 2.4 Etiologi Pneumonia berdasarkan Umur
Pada bayi yang baru lahir, pneumonia sering terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperti Coli, TORCH, Streptococcus, dan Pneumococcus. Pada bayi, pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus antara lain Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza,
(27)
Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. Streptococci, E.coli, P. Aeruginosa, Klebsiella, S. Pneumoniae, S. Aureus, dan Chlamydia (Cissy B. Kartasasmita, 2010:23).
Pneumonia pada batita dan anak pra sekolah disebabkan oleh virus yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu S. Pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus, dan Chlamydia. Pada anak usia sekolah dan remaja pneumonia disebabkan oleh virus yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu S. Pneumoniae, Streptococcus A, dan Mycoplasma (Cissy B. Kartasasmita, 2010:23).
2.5 Klasifikasi Penyakit ISPA
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada umumnya menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, kesulitan bernapas, demam, dan sakit telinga (Safitri Liana, 2009:17). Penentuan klasifikasi penyakit ISPA dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu:
2.5.1 Kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun
Untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas pneumonia berat, pneumonia, dan batuk bukan pneumonia.
2.5.1.1Pneumonia berat
Terjadi bila disertai napas cepat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam waktu menarik napas, dengan catatan dalam pemeriksaan anak harus tenang dan tidak menangis.
2.5.1.2Pneumonia
Terjadi bila hanya disertai napas cepat dengan batasan umur 2 bulan sampai umur kurang dari 1 tahun sebanyak 50 kali per menit atau lebih, sedangkan untuk umur 1 tahun sampai umur kurang dari sama dengan 5 tahun sebanyak 40 kali per menit atau lebih.
(28)
2.5.1.3Bukan pneumonia
Terjadi bila tidak ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan tidak menimbulkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (batuk pilek biasa). Sedangkan tanda hanya untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, dan gizi buruk.
2.5.2 Kelompok untuk umur kurang dari 2 bulan
Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pada kelompok umur kurang dari 2 bulan adalah infeksi bakteri sistemik dan infeksi bakteri lokal.
2.5.2.1Klasifikasi pneumonia berat
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) pada anak umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi pneumonia berat ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) kuat atau adanya nafas cepat lebih atau sama dengan 60 kali per menit.
2.5.2.2Klasifikasi pneumonia
Klasifikasi pneumonia ini didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat. Batas nafas cepat pada anak umur 2 bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali permenit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 sampai <5 tahun.
(29)
2.5.2.3Klasifikasi batuk bukan pneumonia
Klasifikasi batuk bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi batuk bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek (common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).
2.6 Riwayat Alamiah Penyakit ISPA
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 1996 riwayat alamiah penyakit ISPA pada tahap awal dimulai interaksi bibit penyakit dengan tubuh penjamu, dan tubuh penjamu berusaha untuk mengeluarkan, membatasi atau membasmi bibit penyakit tersebut melalui mekanisme pertahanan tubuh baik sistemik maupun lokal.
Virus merupakan penyebab utama ISPA yang menginfeksi mukosa, hidung, trachea, dan bronkus. Infeksi virus akan menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak lendir, jika pembengkakan tersebut tinggi maka akan menghambat aliran udara melalui pipa-pipa pada saluran pernapasan. Jika seseorang batuk merupakan tanda bahwa paru-paru tersebut sedang berusaha mendorong lendir keluar, dan membersihkan pipa saluran pernapasan.
Penderita akan menularkan kuman penyakit kepada orang lain melalui udara pernapasan atau percikan ludah. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di udara akan terhirup oleh orang yang berada di sekitarnya dan masuk ke dalam saluran pernapasan, dari saluran pernapasan akan menyebar ke seluruh tubuh. Apabila orang terinfeksi maka akan rentan terkena ISPA, ditambah jika kelembaban dan suhu kamar tinggi yang merupakan faktor pemicu pertumbuhan dan perkembangan bakteri, virus, dan jamur penyebab ISPA (Departemen Kesehatan RI, 1996:8).
(30)
2.7 Faktor Risiko Penyakit ISPA
Menurut Departemen Kesahatan RI (2001:2) secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, dan faktor perilaku.
2.7.1 Faktor Lingkungan
2.7.1.1Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis, pneumonia pada anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun.
2.7.1.2Luas Ventilasi
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Menyuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan.
2. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
(31)
4. Menyuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
5. Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
6. Mendisfungsikan suhu udara secara merata. Ada dua macam ventilasi, yaitu:
1. Ventilasi alamiah yang dapat mengalirkan udara ke dalam ruangan secara alamiah misalnya jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-lubang pada dinding.
2. Ventilasi buatan yang menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara ke dalam rumah, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:150).
Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan masuk dalam ruangan. Luas ventilasi yang kurang dapat menyebabkan suplai udara segar yang masuk ke dalam rumah tidak tercukupi dan pengeluaran udara kotor ke luar rumah juga tidak maksimal. Dengan demikian, akan menyebabkan kualitas udara dalam rumah menjadi buruk (Retno Widyaningtyas dkk, 2004:35).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang peraturan rumah sehat menetapkan bahwa luas ventilasi alamiah yang permanen minimal adalah 10% dari luas lantai. Ventilasi yang memenuhi syarat dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan temperatur 220C dan kelembaban 50-70% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2005:4).
2.7.1.3Pencahayaan
Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
(32)
2.7.1.4Kualitas udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut. 1. Suhu udara nyaman berkisar 180-300 Celcius.
2. Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%.
3. Konsentrasi gas CO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam. 4. Pertukaran udara=5 kaki kubik per menit per penghuni. 5. Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3. 2.7.1.5Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, kepadatan hunian ruang tidur minimal luasnya 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. 2.7.2 Faktor individu anak
2.7.2.1Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan.
2.7.2.2Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,
(33)
terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.
2.7.2.3Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan, tinggi badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Selain itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
(34)
infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.
2.7.2.4Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai risiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, maka dapat diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Oleh karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang baik. 2.7.2.5Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
(35)
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.
Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis. Pemberian imunisasi campak efektif mencegah 11% kematian pneumonia balita dan imunisasi pertusis mencegah 6% kematian pneumonia pada balita.
2.7.3 Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.
Peran aktif keluarga dan masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
(36)
Keluarga juga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat.
Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, dan pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.
Menurut Cissy B. Kartasasmita (2010:23) faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian, beratnya penyakit, dan kematian karena pneumonia, yaitu status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko), pemberian ASI (ASI eksklusif mengurangi risiko), suplementasi vitamin A (mengurangi risiko), suplementasi zinc (mengurangi risiko), bayi berat badan lahir rendah (meningkatkan risiko), dan polusi udara dalam kamar terutama asap rokok dan bakaran dari dapur (meningkatkan risiko).
2.7.4 Tingkat Pendidikan Ibu yang Rendah
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol
(37)
(khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Achmad Munib dkk, 2004:33).
Dalam Juli Soemirat Slamet (2002:87), menyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan lingkungan, dan informasi yang dapat diperoleh tentang kesehatan. Semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi prevalensi ISPA pada balita (Cissy B. Kartasasmita, 2010:24).
2.7.5 Tingkat Sosial Ekonomi yang Rendah
Bayi yang lahir di keluarga yang tingkat sosial ekonominya rendah maka pemenuhan kebutuhan gizi dan pengetahuan tentang kesehatannya juga rendah sehingga akan mudah terjadi penularan penyakit termasuk ISPA (Juli Soemirat Slamet, 2002:13).
2.8 Merokok sebagai Faktor Risiko
Tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok berada pada peringkat pertama penyebab kematian yang dapat dicegah di dunia. Tembakau menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta kematian pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata terjadi satu kematian setiap 6,5 detik. Jika hal itu terus berlanjut, maka diperkirakan kematian pada tahun 2020 akan mendekati dua kali jumlah kematian saat ini (Evy Rachmawati, 2008:2).
Merokok merupakan salah satu faktor risiko penting untuk beberapa penyakit, diantaranya batuk menahun, penyakit menahun seperti penyakit paru obstruktif menahun (PPOM), bronkhitis, dan empisema, ulkus peptikum, infertiliti, gangguan
(38)
kehamilan, artherosklerosis sampai penyakit jantung koroner, beberapa jenis kanker seperti kanker mulut, kanker paru, dan kanker sistem pernapasan lainnya (Buston, 2007:209).
Variabel merokok sebagai variabel independen dalam suatu penelitian mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak yang diakibatkannya. Oleh karena itu, paparan rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi diantaranya:
1. Jenis perokok: perokok aktif atau perokok pasif
2. Jumlah rokok yang dihisap: dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari.
3. Jenis rokok yang dihisap: keretek, cerutu atau rokok putih, pakai filter atau tidak. 4. Cara menghisap rokok: menghisap dangkal, di mulut saja atau isap dalam.
5. Alasan mulai merokok: sekedar ingin hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian, sebagai gaya, meniru orang tua.
6. Umur mulai merokok: sejak umur 10 tahun atau lebih.
Berdasarkan hal tersebut jenis perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan sampai berat, diantaranya:
1. Perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari. 2. Perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per hari. 3. Perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari.
Dalam melakukan aksinya, rokok bisa menjadi lebih agresif bila ditemani faktor-faktor lain. Interaksi rokok dengan asbes dapat memberikan peningkatan sepuluh kali terjadinya kanker paru. Rokok dan hipertensi akan meningkat 2 kali lipat untuk penyakit jantung koroner (Buston, 2007:210).
(39)
2.9Kerangka Teori
Berdasarkan hasil penelaah kepustakaan dan mengacu pada konsep dasar tentang faktor risiko penyakit ISPA, maka kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 2.1).
Gambar 2.1: Kerangka Teori
Sumber: Menkes RI No.829; Depkes RI, 2001; Buston, 2007:210-211. Faktor individu anak:
1. Umur anak 2. BBL 3. Status gizi 4. Vitamin A 5 Status imunisasi
ISPA
Mikroorganisme Faktor perilaku:
1. Praktek penanganan ISPA di keluarga 2. Kebiasaan merokok
anggota keluarga Faktor Lingkungan:
1. Pencemaran udara dalam rumah
2. Luas ventilasi 3. Pencahayaan alami 4. Kualitas udara
*Kelembaban udara 5. Kepadatan hunian
h
Faktor lain: 1. Pendidikan ibu 2. Status sosio-ekonomi
keluarga
(40)
27 3.1Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dirumuskan (Gambar 3.1).
Gambar 3.1: Kerangka Konsep 3.2Variabel Penelitian
Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah: 3.2.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan kebiasaan merokok anggota keluarga.
3.2.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita. 3.3Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:72). Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita di
Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
Variabel Terikat Kejadian ISPA
pada balita Variabel Bebas
1. Luas ventilasi kamar 2. Pencahayaan alami kamar 3. Kelembaban udara kamar 4. Kepadatan hunian kamar 5. Kebiasaan merokok anggota
(41)
2. Ada hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
3. Ada hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
4. Ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
5. Ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Definisi operasional pada penelitian ini memberikan penjelasan dan batasan mengenai variabel yang akan diteliti (Tabel 3.1).
Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel No Variabel Definisi
Operasional
Cara
Pengukuran Kategori Skala
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. ISPA Penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifat akut dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas, yang
berlangsung sampai 14 hari.
Kuesioner 1. Penderita ISPA. 2. Bukan
penderita ISPA.
Nominal
2. Luas ventilasi kamar Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen dengan luas minimal 10% dari luas lantai Pengukuran dengan rollmeter. 1. Tidak memenuhi syarat, apabila luas ventilasi <10% luas lantai. Ordinal
(42)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) 2. Memenu-hi syarat, apabila luas ventilasi ≥10% luas lantai 3. 4. 5. Pencaha-yaan alami kamar Kelemba-ban udara kamar Kepada-tan hunian kamar Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. Kualitas udara dalam rumah yang berkisar antara 40-70%. Ruangan yang digunakan untuk tidur, tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur
Pengukuran dengan Luxmeter Pengukuran dengan Hygrometer Membagi antara luas kamar (mengguna-kan rollmeter) dengan jumlah anggota keluarga 1. Tidak memenuhi syarat apabila <60 lux. 2. Memenuh i syarat apabila
≥60 lux. 1. Tidak memenuhi syarat apabila kurang dari 40%. 2. Memenu-hi syarat apabila berkisar 40%-70%. 1. Padat (bila terdapat >2 orang per 8m2). 2. Tidak
padat (bila terdapat
≤2orang per 8m2).
Ordinal Ordinal Ordinal 6. Kebiasa-an merokok anggota Apabila ada seorang anggota keluarga atau lebih yang menghisap
Kuesioner 1. Ada (bila terdapat seorang atau lebih
(43)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) keluarga. rokok dalam
rumah.
Kuesioner dalam rumah) 2. Tidak ada
(bila tidak terdapat perokok dalam rumah). 3.5Jenis dan Rancangan Sampel Penelitian
Jenis dan rancangan sampel pada penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi secara bersama pada waktu yang sama (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:148). Rancangan penelitian cross sectional dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.2: Skema Rancangan Penelitian Cross Sectional Sumber: Soekidjo Notoatmodjo, 2005:148
Berdasarkan skema rancangan tersebut, maka langkah penelitian Cross Sectional adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi variabel-veriabel penelitian (faktor risiko dan efek). 2. Menetapkan obyek penelitian (populasi dan sampel).
3. Melakukan observasi atau pengukuran variabel yang merupakan faktor risiko dan efek sekaligus berdasarkan status keadaan variabel pada saat itu (pengumpulan data).
Faktor Risiko + Faktor Risiko
Efek
-Efek + Efek + Efek -
(44)
4. Melakukan analisis korelasi dengan cara membandingkan proporsi antar kelompok-kelompok hasil observasi (pengukuran).
3.6Populasi dan Sampel Penelitian 3.6.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2005:56).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang ada di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara yaitu 1.571 balita dari 12 Rw.
3.6.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan subyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:79). Sampel dalam penelitian ini adalah balita di Kelurahan Bandarharjo berdasarkan besar sampel minimal. Sedangkan respondennya adalah ibu balita. Besar sampel minimal yang dibutuhkan ditentukan dengan rumus Lameshow:
Keterangan: n = Besar sampel N = Besar populasi
Z21-α/2= Tingkat kemaknaan yang dikehendaki P = Estimasi proporsi populasi
d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki Dengan Z21-α/2 = 1,96, p = 50%, d = 0,1 dan N = 1.543
(45)
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel minimal dapat diperoleh sebesar 91 responden.
3.6.3 Metode Perolehan Sampel
Pada penelitian ini metode perolehan sampel yang digunakan adalah perolehan sampel acak berkelas (Cluster Random Sampling) dimana suatu kelompok dari subyek atau kesatuan analisis yang berdekatan satu dengan yang lain secara geografik (Ahmad Watik Pratiknya, 2004:64).
Pembagian kelas berdasarkan pada jumlah sampel minimal yaitu 91 responden dibagi banyaknya Rw dalam Kelurahan Bandarharjo yaitu 12 Rw diperoleh hasil 8 Rw. Distribusi sampel penelitian dengan teknik random dapat dilihat pada tabel distribusi sampel penelitian (Tabel 3.2).
Tabel 3.2: Distribusi Sampel Penelitian
No. Rw Populasi Rw Perhitungan Sampel
1. IV 85 9
2. V 140 14
3. VI 163 16
4. VII 82 8
5. IX 173 18
6. X 109 11
7. XI 71 7
8. XII 76 8
(46)
Perolehan responden di tiap Rw dilakukan secara acak dengan cara yaitu: 1. Persiapkan koin yang sudah ditandai anak panah.
2. Peneliti berdiri di tengah populasi Rw.
3. Pelemparan koin yang sudah ditandai anak panah ke atas oleh peneliti. Jatuhnya koin dengan anak panah menunjukkan arah lokasi pengambilan sampel.
3.7Sumber Data Penelitian 3.7.1 Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden melalui pengisian kuesioner.
3.7.2 Data Sekunder
Metode pengumpulan data sekunder sering disebut metode penggunaan bahan dokumen, karena dalam hal ini peneliti tidak secara langsung mengambil data sendiri tetapi meneliti dan memanfaatkan data atau dokumen yang dihasilkan oleh pihak lain (Sugiarto dkk, 2003:19).
Data sekunder dimanfaatkan sebagai data pelengkap atau pendukung data primer yang berhubungan dengan keperluan penelitian. Data sekunder diperoleh dari: 1. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah untuk mengetahui kejadian ISPA di Jawa
Tengah.
2. Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk mengetahui wilayah kejadian ISPA di Kota Semarang.
3. Data dari Puskesmas Bandarharjo untuk mengetahui secara pasti kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.
3.8Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah perangkat yang digunakan untuk memperoleh data yang kemudian diolah dan dianalisis. Berdasarkan kerangka konsep dan dari tabel
(47)
penelitian, kemudian disusun instrumen untuk mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner dan pengukuran.
3.8.1 Kuesioner
Pentingnya kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah untuk memperoleh suatu data yang sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh karena itu, isi dari kuesioner adalah sesuai dengan hipotesis penelitian tersebut (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:116).
3.8.2 Pengukuran
3.8.2.1Pengukuran Luas Ventilasi Kamar
Kriteria luas ventilasi yang memenuhi syarat apabila luas ventilasi lebih dari atau sama dengan 10% luas lantai dan tidak memenuhi syarat apabila luas ventilasi kurang dari 10% luas lantai. Alat yang digunakan untuk pengukuran luas ventilasi adalah rollmeter (Gambar 3.3).
Gambar 3.3: Rollmeter (Sumber: Bpi. Lipi, 2012:1)
Cara pengukurannya yaitu: 1. Luas ventilasi kamar diukur. 2. Luas lantai kamar diukur.
(48)
3.8.2.2Pengukuran Pencahayaan Alami Kamar
Kriteria pencahayaan alami yang memenuhi syarat adalah apabila lebih dari atau sama dengan 60 lux dan tidak menyilaukan mata, sedangkan tidak memenuhi syarat apabila kurang dari 60 lux. Alat yang digunakan untuk pengukuran pencahayaan alami adalah luxmeter (Gambar 3.4).
Gambar 3.4: Luxmeter Sumber: Aditya, 2011:2
Cara penggunaannya yaitu: 1. Geser tombol “Off/On” kearah On.
2. Pilih kisaran Range yang akan diukur ( 2.000 lux, 20.000 lux atau 50.000 lux) pada tombol Range.
3. Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah yang akan diukur kuat penerangannya.
(49)
3.8.2.3Pengukuran Kelembaban Udara Kamar
Kriteria kelembaban udara yang memenuhi syarat apabila berkisar antara 40%-70% dan tidak memenuhi syarat apabila kurang dari 40%. Alat yang digunakan untuk pengukuran kelembaban udara adalah Hygrometer (Gambar 3.5).
Gambar 3.5: Hygrometer Sumber: Shafiyyah, 2009:1
Cara penggunaannya yaitu:
1. Ditentukan titik pengukuran kelembaban.
2. Hygrometer diletakkan di tempat yang telah ditentukan . 3. Selama pengukuran alat didiamkan tiga menit.
4. Hasil pengukuran dibaca setelah jarum hygrometer stabil atau konstan. 3.8.2.4Pengukuran Kepadatan Hunian Kamar
Kepadatan hunian kamar diukur dengan membagi antara luas kamar dengan jumlah anggota keluarga yang menghuni kamar. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 kriteria kepadatan hunian kamar yaitu memenuhi syarat apabila terdapat ≤2 orang per 8m2 kecuali anak di bawah umur 5 tahun dan tidak memenuhi syarat atau padat bila terdapat >2 orang per 8m2.
(50)
3.9Teknik Perolehan Data
Teknik perolehan data dilakukan sesuai dengan instrumen penelitian yang digunakan. Pada penelitian ini teknik perolehan data yang digunakan yaitu:
3.9.1 Pengukuran Langsung
Pengukuran langsung meliputi pengukuran luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, dan kepadatan hunian kamar.
3.9.2 Observasi
Observasi dilakukan dengan melihat dan mencatat hal yang berhubungan dengan aktivitas dari obyek penelitian yang ada hubungannnya dengan masalah dalam penelitian.
3.10 Pelaksanaan Perolehan Data
Langkah pelaksanaan penelitian meliputi beberapa tahap yaitu: 3.10.1 Tahap Pra-perolehan Data
Tahap pra-perolehan adalah kegiatan sebelum dilakukan penelitian. Adapun langkah pada tahap pra-perolehan data yaitu:
1. Peminjaman alat pengukur luas ventilasi kamar (rollmeter), alat pengukur pencahayaan alami kamar (luxmeter), dan alat pengukur kelembaban udara kamar (hygrometer).
2. Koordinasi dengan Kepala Puskesmas tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian.
3. Koordinasi dengan Kepala Kelurahan tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian.
4. Penentuan responden berdasarkan kriteria yang ditetapkan. 5. Persiapan kuesioner penelitian.
(51)
3.10.2 Tahap Perolehan Data
Tahap perolehan data adalah kegiatan yang dilakukan saat pelaksanaan perolehan data. Adapun langkah pada tahap perolehan data yaitu:
1. Persiapan alat pengukur luas ventilasi kamar (rollmeter), alat pengukur pencahayaan alami kamar (luxmeter), dan alat pengukur kelembaban udara kamar (hygrometer) yang sudah dikalibrasi.
2. Persiapan kuesioner penelitian.
3. Persiapan responden berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan. 4. Pengarahan pada responden tentang prosedur penelitian.
5. Pengukuran luas ventilasi kamar dengan menggunakan rollmeter. 6. Pengukuran pencahayaan alami kamar dengan menggunakan luxmeter. 7. Pengukuran kelembaban udara kamar dengan menggunakan hygrometer. 8. Pengukuran kepadatan hunian kamar dengan menggunakan rollmeter. 9. Pencatatan hasil pengukuran pada lembar hasil pengukuran.
10. Pengisian kuesioner oleh responden. 3.10.3 Tahap Pasca-perolehan Data 1. Pencatatan hasil perolehan data. 2. Pengolahan dan analisis data.
3.11 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis agar memberikan arti yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian ini.
3.11.1 Pengolahan Data
Menurut Muchamad Fauzi (2009:204) data yang diperoleh di lapangan diolah menggunakan komputer yang dilakukan melalui proses dengan tahapan sebagai berikut:
(52)
3.11.1.1Editing
Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahan yang terdapat pada pencatatan yang ada di lapangan dan bersifat koreksi (Muchamad Fauzi, 2009:204).
3.11.1.2Coding
Coding adalah usaha mengklasifikasi jawaban-jawaban para responden menurut macamnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan menandai atau memberi kode pada setiap jawaban para responden (Muchamad Fauzi, 2009:204).
3.11.1.3Tabulasi
Pada tahap ini diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar tidak terjadi kesalahan khususnya dalam tabulasi silang. Tabel tabulasi dapat berbentuk tabel pemindahan, tabel biasa, dan tabel analisis (Muchamad Fauzi, 2009:205).
3.11.2 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini yaitu: 3.11.2.1Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, yang menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:188). Analisa univariat bermanfaat untuk melihat apakah data sudah layak untuk dilakukan analisa dengan melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data sudah optimal.
3.11.2.2Analisis Bivariat
Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:188). Dalam penelitian ini menggunakan Chi Square dengan bantuan SPSS versi 16 for windows untuk menggabungkan variabel bebas
(53)
dengan variabel terikat. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 95% atau taraf kesalahan 0,05% dan untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat menggunakan nilai Contingency Coefficient (CC).
Syarat uji Chi Square adalah tidak ada sel yang nilai observed bernilai nol dan sel yang nilai expected (E) kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka dipakai uji alternatifnya yaitu:
1. Alternatif uji Chi Square untuk tabel 2x2 adalah uji Fisher.
2. Alternatif uji Chi Square untuk tabel 2xk adalah uji Kolmogorov-Smirnov.
3. Penggabungan sel adalah langkah alternatif uji Chi Square untuk tabel selain 2x2 dan 2xk sehingga terbentuk suatu tabel B dan K yang baru. Setelah dilakukan penggabungan sel, uji hipotesis dipilih sesuai dengan tabel B kali K yang baru tersebut (Sopiyudin Dahlan, 2008:19).
Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas dan variabel terikat maka digunakan koefisien korelasi. Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3: Pedoman Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi
No. Interval Koefisien Tingkat Hubungan
1. 0,00-0,199 Sangat lemah
2. 0,20-0,399 Lemah
3. 0,40-0,599 Sedang
4. 0,60-0,799 Kuat
5. 0,80-1,000 Sangat kuat
(54)
41 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Bandarharjo terletak di Jalan Cumi-cumi Raya Rt 7 Rw IV Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara. Wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo meliputi Kelurahan Tanjungmas, Kelurahan Dadapsari, Kelurahan Bandarharjo, dan Kelurahan Kuningan. Menurut laporan tahunan Puskesmas Bandarharjo, penyakit ISPA selalu menduduki urutan pertama data 10 besar penyakit di 3 tahun terakhir setelah nyeri kepala dan dermatitis kontak. Sedangkan kelurahan yang paling banyak terdapat kejadian ISPA adalah Kelurahan Bandarharjo.
Lokasi penelitian yaitu di wilayah Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Kelurahan Bandarharjo merupakan komplek pemukiman yang padat penduduk dengan jumlah 75.296 penduduk pada tahun 2011 (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011:1).
Batas-batas wilayah Kelurahan Bandarharjo yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Panggung Lor, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Dadapsari, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjungmas, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kuningan.
Kelurahan Bandarharjo terbagi dalam 12 rukun warga yang semuanya berpotensi menjadi sampel dalam penelitian. Pembagian kelas berdasarkan pada jumlah sampel minimal yaitu 91 dibagi banyaknya Rw yang ada di Kelurahan Bandarharjo yaitu 12 Rw diperoleh hasil 8 Rw. Distribusi sampel penelitian yaitu
(55)
Rw IV sebanyak 9 responden, Rw V sebanyak 14 responden, Rw VI sebanyak 16 responden, Rw VII sebanyak 8 responden, Rw IX sebanyak 18 responden, Rw X sebanyak 11 responden, Rw XI sebanyak 7 responden, dan Rw XII sebanyak 8 responden.
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Analisis Univariat
4.2.1.1Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel distribusi responden berdasarkan jenis kelamin merupakan matrik yang memuat jenis kelamin balita responden, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.1). Tabel 4.1: Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis kelamin Frekuensi Prosentase (%)
1 Laki-laki 40 44,0
2 Perempuan 51 56,0
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai balita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 51 responden (56,0%), sedangkan responden yang mempunyai balita yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 40 responden (44,0%).
4.2.1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Tabel distribusi responden berdasarkan kelompok umur merupakan matrik yang memuat kelompok umur balita responden, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.2).
Tabel 4.2: Distribusi Responden berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Umur Frekuensi Prosentase (%)
1 < 2 bulan 3 3,3
2 2 bulan- < 5 tahun 88 96,7
(56)
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita responden berumur 2 bulan sampai < 5 tahun yaitu sebanyak 88 balita (96,7%) dan yang berumur kurang dari 2 bulan ada 3 balita (3,3%).
4.2.1.3Distribusi Responden berdasarkan Berat Badan
Tabel distribusi responden berdasarkan berat badan merupakan matrik yang memuat berat badan balita responden, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.3). Tabel 4.3: Distribusi Responden berdasarkan Berat Badan
No. Berat Badan Balita Frekuensi Prosentase (%)
1 3,9-8,9 kg 27 29,67
2 9,0-14,0 kg 47 51,65
3 14,1-19,0 kg 17 18,68
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita responden memiliki berat badan 9,0-14,0 kg yaitu sebanyak 47 balita (51,65%), sedangkan prosentase terendah yaitu balita responden yang memiliki berat badan 14,1-19,0 kg sebanyak 17 balita (18,68%).
4.2.1.4Distribusi Responden berdasarkan Status Kejadian ISPA
Tabel distribusi responden berdasarkan status kejadian ISPA merupakan matrik yang memuat status kejadian ISPA balita responden, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.4).
Tabel 4.4: Distribusi Responden berdasarkan Status Kejadian ISPA
No. Status Kejadian ISPA Frekuensi Prosentase (%)
1 Ya 52 57,1
2 Tidak 39 42,9
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita responden pernah menderita ISPA sebanyak 52 balita (57,1%), sedangkan jumlah balita responden yang tidak pernah menderita ISPA sebanyak 39 balita (42,9%).
(57)
4.2.1.5Distribusi Responden berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Tabel distribusi responden berdasarkan kebiasaan merokok anggota keluarga merupakan matrik yang memuat kebisaan merokok anggota keluarga, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.5).
Tabel 4.5: Distribusi Responden berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga No. Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Frekuensi Prosentase (%)
1 Ada 71 78
2 Tidak 20 22
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar keluarga responden ada yang memiliki kebiasaan merokok sebanyak 71 responden (78%), sedangkan keluarga responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak 20 responden (22%).
4.2.1.6Distribusi Frekuensi Luas Ventilasi Kamar
Tabel distribusi frekuensi luas ventilasi kamar merupakan matrik yang memuat kriteria, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.6).
Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Luas Ventilasi Kamar
No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%)
1 Tidak memenuhi syarat 71 78,0
2 Memenuhi syarat 20 22,0
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki luas ventilasi kamar yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 10% luas lantai) sebanyak 71 responden (78,0%) dan responden yang memiliki luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat (lebih dari sama dengan 10% luas lantai) sebanyak 20 responden (22,0%).
(58)
4.2.1.7Distribusi Frekuensi Pencahayaan Alami Kamar
Tabel distribusi frekuensi pencahayaan alami kamar merupakan matrik yang memuat kriteria, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.7).
Tabel 4.7: Distribusi Frekuensi Pencahayaan Alami Kamar
No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%)
1 Tidak memenuhi syarat 75 82,4
2 Memenuhi syarat 16 17,6
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki pencahayaan alami kamar yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 60 Lux) sebanyak 75 responden (82,4%) dan responden yang memliki pencahayaan alami kamar yang memenuhi syarat (lebih dari atau sama dengan 60 Lux) sebanyak 16 responden (17,6%).
4.2.1.8Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Kamar
Tabel distribusi frekuensi kelembaban udara kamar merupakan matrik yang memuat kriteria, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.8).
Tabel 4.8: Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Kamar
No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%)
1 Tidak memenuhi syarat 52 57,1
2 Memenuhi syarat 39 42,9
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kelembaban udara kamar yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 40%) sebanyak 52 responden (57,1%) dan responden yang memliki kelembaban udara kamar yang memenuhi syarat (berkisar antara 40%-70%) sebanyak 39 responden (42,9%).
(59)
4.2.1.9Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Kamar
Tabel distribusi frekuensi kepadatan hunian kamar merupakan matrik yang memuat kriteria, frekuensi, dan prosentasenya (Tabel 4.9).
Tabel 4.9: Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Kamar
No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%)
1 Tidak memenuhi syarat 59 64,8
2 Memenuhi syarat 32 35,2
Total 91 100
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat (terdapat >2 orang per 8m2) sebanyak 59 responden (64,8%) dan responden yang memliki kepadatan hunian kamar yang memenuhi syarat (terdapat ≤2 orang per 8m2) sebanyak 32 responden (35,2%).
4.2.2 Analisis Bivariat
Analisis ini untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yaitu variabel kondisi lingkungan fisik rumah yang meliputi luas ventilasi kamar, pencahayaan alami kamar, kelembaban udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
4.2.2.1Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Luas Ventilasi Kamar
Adapun untuk mengetahui hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita dapat dilihat dalam Tabel 4.10.
Tabel 4.10: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Luas Ventilasi Kamar No Luas Ventilasi Kamar
Kejadian ISPA pada Balita
p Ya Tidak
Total % N % N %
1 Tidak memenuhi syarat 46 64,8 25 35,2 71 100 0,005 2 Memenuhi syarat 6 30,0 14 70,0 20 100
(60)
Berdasarkan Tabel 4.10 terlihat bahwa dari 71 responden yang mempunyai luas ventilasi kamar yang tidak memenuhi syarat ada 46 balita responden yang menderita ISPA (64,8%) dan 25 balita responden yang tidak menderita ISPA (35,2%). Sedangkan dari 20 responden yang mempunyai luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat, ada 6 balita responden yang menderita ISPA (30,0%) dan 14 balita responden yang tidak menderita ISPA (70,0%).
Dari hasil analisis antara luas ventilasi kamar terhadap kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji Chi Square didapat nilai p value (0,005) kurang dari 0,05 maka Ha diterima. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. 4.2.2.2Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Pencahayaan Alami Kamar
Adapun untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita dapat dilihat dalam Tabel 4.11.
Tabel 4.11: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Pencahayaan Alami Kamar
No Pencahayaan Alami Kamar
Kejadian ISPA pada Balita
p Ya Tidak
Total % N % N %
1 Tidak memenuhi syarat 43 57,3 32 42,7 75 100 0,937 2 Memenuhi syarat 9 56,2 7 43,8 16 100
Total 52 57,1 39 42,9 91 100
Berdasarkan Tabel 4.11, terlihat bahwa dari 75 responden yang mempunyai pencahayaan alami kamar yang tidak memenuhi syarat, ada 43 balita responden yang menderita ISPA (57,3%) dan 32 balita responden yang tidak menderita ISPA (42,7%). Sedangkan dari 16 responden yang mempunyai pencahayaan alami kamar yang memenuhi syarat, ada 9 balita responden yang menderita ISPA (56,2%) dan 7 balita responden yang tidak menderita ISPA (43,8%).
(61)
Dari hasil analisis antara pencahayaan alami kamar terhadap kejadian ISPA pada balita, dengan menggunakan uji Chi Square didapat nilai p value (0,937) lebih dari 0,05 maka Ha di tolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
4.2.2.3Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kelembaban Udara Kamar
Adapun untuk mengetahui hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita dapat dilihat dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kelembaban Udara Kamar No Kelembaban Udara
Kamar
Kejadian ISPA pada Balita
p Ya Tidak
Total % N % N %
1 Tidak memenuhi syarat 43 82,7 9 17,3 52 100 0,000 2 Memenuhi syarat 9 23,1 30 76,9 39 100
Total 52 57,1 39 42,9 91 100
Berdasarkan Tabel 4.12, terlihat bahwa dari 52 responden yang mempunyai kelembaban udara kamar yang tidak memenuhi syarat, ada 43 balita responden yang menderita ISPA (82,7%) dan 9 balita responden yang tidak menderita ISPA (17,3%). Sedangkan dari 39 responden yang mempunyai kelembaban udara kamar yang memenuhi syarat, ada 9 balita responden yang menderita ISPA (23,1%) dan 30 balita responden yang tidak menderita ISPA (76,9%).
Dari hasil analisis antara kelembaban udara kamar terhadap kejadian ISPA pada balita, dengan menggunakan uji Chi Square didapat nilai p value (0,000) kurang dari 0,05 maka Ha diterima. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara kelembaban kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
4.2.2.4Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar
Adapun untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita dapat dilihat dalam Tabel 4.13.
(62)
Tabel 4.13: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar No Kepadatan Hunian
Kamar
Kejadian ISPA pada Balita
p Ya Tidak
Total % N % N %
1 Tidak memenuhi syarat 46 78,0 13 22,0 52 100 0,000 2 Memenuhi syarat 6 18,8 26 81,2 39 100
Total 52 57,1 39 42,9 91 100
Berdasarkan Tabel 4.13, terlihat bahwa dari 52 responden yang mempunyai kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi syarat, ada 46 balita responden yang menderita ISPA (78,0%) dan 13 balita responden yang tidak menderita ISPA (22,0%). Sedangkan dari 39 responden yang mempunyai kepadatan hunian kamar yang memenuhi syarat, ada 6 balita responden yang menderita ISPA (18,8%) dan 26 balita responden yang tidak menderita ISPA (81,2%).
Dari hasil analisis antara kepadatan hunian kamar terhadap kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji Chi Square didapat nilai p value (0,000) kurang dari 0,05 maka Ha diterima. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. 4.2.2.5Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota
Keluarga
Adapun untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita dapat dilihat dalam Tabel 4.14.
Tabel 4.14: Kejadian ISPA pada Balita berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga
No
Kebiasaan Merokok Anggota
Keluarga
Kejadian ISPA pada Balita
p Ya Tidak
Total % N % N %
1 Ada 47 66,2 24 33,8 71 100 0,001
2 Tidak 5 25,0 15 75,0 20 100
(63)
Berdasarkan Tabel 4.14 terlihat bahwa dari 71 responden yang mempunyai kebiasaan merokok anggota keluarga, ada 47 balita responden yang menderita ISPA (66,2%) dan 24 balita responden yang tidak menderita ISPA (33,8%). Sedangkan dari 20 responden yang mempunyai kebiasaan merokok anggota keluarga, ada 5 balita responden yang menderita ISPA (25,0%) dan 15 balita responden yang tidak menderita ISPA (75,0%).
Dari hasil analisis antara kebiasaan merokok anggota keluarga terhadap kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji Chi Square didapat nilai p value (0,001) kurang dari 0,05 maka Ha diterima. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang.
(1)
Hubungan antara Kelembaban Udara Kamar dengan Kejadian ISPA pada
Balita
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kelembaban * Status_ISPA 91 100.0% 0 .0% 91 100.0%
Kelembaban * Status_ISPA Crosstabulation
Status_ISPA
Total Ya Tidak
Kelembaban Tidak memenuhi syarat Count 12 17 29 Expected Count 16.6 12.4 29.0 % within Kelembaban 41.4% 58.6% 100.0%
Memenuhi syarat Count 40 22 62
Expected Count 35.4 26.6 62.0 % within Kelembaban 64.5% 35.5% 100.0%
Total Count 52 39 91
Expected Count 52.0 39.0 91.0 % within Kelembaban 57.1% 42.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 4.319a 1 .038
Continuity Correctionb 3.426 1 .064 Likelihood Ratio 4.305 1 .038
Fisher's Exact Test .044 .032
Linear-by-Linear Association 4.271 1 .039 N of Valid Casesb 91
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,43. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .213 .038
N of Valid Cases 91
(2)
Hubungan antara Kepadatan Hunian Kamar dengan Kejadian ISPA pada
Balita
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kepadatan_hunian_kamar * Status_ISPA 91 100.0% 0 .0% 91 100.0%
Kepadatan_hunian_kamar * Status_ISPA Crosstabulation
Status_ISPA
Total Ya Tidak
Kepadatan_hunian _kamar
Tidak memenuhi syarat
Count 49 32 81
Expected Count 46.3 34.7 81.0 % within
Kepadatan_hunian_kamar 60.5% 39.5% 100.0% Memenuhi syarat Count 3 7 10 Expected Count 5.7 4.3 10.0 % within
Kepadatan_hunian_kamar 30.0% 70.0% 100.0%
Total Count 52 39 91
Expected Count 52.0 39.0 91.0 % within
Kepadatan_hunian_kamar 57.1% 42.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 3.380a 1 .066
Continuity Correctionb 2.249 1 .134 Likelihood Ratio 3.377 1 .066
Fisher's Exact Test .092 .067
Linear-by-Linear Association 3.343 1 .068 N of Valid Casesb 91
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,29. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .189 .066
N of Valid Cases 91
(3)
Hubungan antara Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan ISPA pada
Balita
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan_Merokok * Status_ISPA 91 100.0% 0 .0% 91 100.0%
Kebiasaan_Merokok * Status_ISPA Crosstabulation
Status_ISPA
Total YA TIDAK
Kebiasaan_Merokok ADA Count 47 24 71 Expected Count 40.6 30.4 71.0 % within Kebiasaan_Merokok 66.2% 33.8% 100.0%
TIDAK Count 5 15 20
Expected Count 11.4 8.6 20.0 % within Kebiasaan_Merokok 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 52 39 91
Expected Count 52.0 39.0 91.0 % within Kebiasaan_Merokok 57.1% 42.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.814a
1 .001
Continuity Correctionb 9.197 1 .002 Likelihood Ratio 10.956 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear Association 10.695 1 .001 N of Valid Casesb 91
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,57. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .326 .001
N of Valid Cases 91
(4)
DAFTAR GUIDE PENGISIAN KUESIONER
No. Nama
1.
Diana Maryani R
2.
Itsna Fajar Zuliana
3.
Fitri Rusydiana Tsani
4.
Isni Nurul Aeni
5. Dyas
Sulistyaningrum
(5)
DOKUMENTASI PENELITIAN
Dokumentasi 1: Guide Pengisian Kuesioner
Dokumentasi 2: Pengukuran Luas Kamar
Lampiran 15
(6)