Pemanfaatan Sludge Limbah Cair Domestik dengan Penambahan EM4 dan MOD sebagai Aktivator pada Proses pengomposan di IPAL Cemara Medan

(1)

Suhu Oneway

Descriptives

suhu

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

EM4 12 34.5000 9.54654 2.75585 28.4344 40.5656 25.00 50.00 MOD 12 33.5000 7.76355 2.24114 28.5673 38.4327 25.50 46.00 kontrol 12 25.1667 .24618 .07107 25.0102 25.3231 25.00 25.50 Total 36 31.0556 8.10007 1.35001 28.3149 33.7962 25.00 50.00

Test of Homogeneity of Variances

suhu

Levene Statistic df1 df2 Sig.

10.469 2 33 .000

ANOVA

suhu

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 630.222 2 315.111 6.241 .005

Within Groups 1666.167 33 50.490

Total 2296.389 35

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons Suhu Tukey HSD (I) metode (J) metode Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

EM4 MOD 1.00000 2.90086 .937 -6.1181 8.1181

kontrol 9.33333* 2.90086 .008 2.2152 16.4514

MOD EM4 -1.00000 2.90086 .937 -8.1181 6.1181

kontrol 8.33333* 2.90086 .019 1.2152 15.4514

kontrol EM4 -9.33333* 2.90086 .008 -16.4514 -2.2152

MOD -8.33333* 2.90086 .019 -15.4514 -1.2152


(2)

Homogeneous Subsets

suhu

Tukey HSDa

metode N

Subset for alpha = 0.05

1 2

kontrol 12 25.1667

MOD 12 33.5000

EM4 12 34.5000

Sig. 1.000 .937

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(3)

pH Oneway

Descriptives

pH

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

EM4 12 7.6333 .63006 .18188 7.2330 8.0337 6.80 8.60

MOD 12 7.3167 .47450 .13698 7.0152 7.6182 6.80 8.00

kontrol 12 6.7833 .03892 .01124 6.7586 6.8081 6.70 6.80 Total 36 7.2444 .56793 .09465 7.0523 7.4366 6.70 8.60

Test of Homogeneity of Variances

pH

Levene Statistic df1 df2 Sig.

30.755 2 33 .000

ANOVA

pH

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.429 2 2.214 10.653 .000

Within Groups 6.860 33 .208

Total 11.289 35

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons pH Tukey HSD (I) metode (J) metode Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

EM4 MOD .31667 .18614 .220 -.1401 .7734

kontrol .85000* .18614 .000 .3933 1.3067

MOD EM4 -.31667 .18614 .220 -.7734 .1401

kontrol .53333* .18614 .019 .0766 .9901

kontrol EM4 -.85000* .18614 .000 -1.3067 -.3933

MOD -.53333* .18614 .019 -.9901 -.0766


(4)

Homogeneous Subsets

pH

Tukey HSDa

metode N

Subset for alpha = 0.05

1 2

kontrol 12 6.7833

MOD 12 7.3167

EM4 12 7.6333

Sig. 1.000 .220

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(5)

FOTO DOKUMENTASI

Gambar Wadah Pengomposan


(6)

Gambar Pengukuran pH pada Kompos


(7)

(8)

(9)

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2007. Petunjuk Pemupukan. PT AgroMedia, Jakarta Selatan. Hal 32-33.

Arumsari A.; Syafrudin; Winardi. 2012. Pemanfaatan Sludge Hasil Pengolahan Limbah Cair PT. Indofood CBP Dengan Penambahan Sampah Domestik Serta EM4 Dan Lumpur Aktif Sebagai Aktivator Melalui Proses Pengomposan. Program Studi Teknik Lingkungan Teknik Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/40876/. Diakses tanggal 1 September 2015.

Cahaya, dkk. 2009. Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran Dan Ampas Tebu) oleh TS Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro www.eprints.undip.ac.id/ 1451/1/Makalah_Penelitian.pdf, diakses 11 Agustus 2015.

Habibi, Latfran. 2009. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah Rumah Tangga. Titian Ilmu, Bandung.

Husen. E. 2013. Efektivitas Dan Efisiensi Mikroba Dekomposer Komersial Dan Lokal Dalam Pembuatan Kompos Jerami.

Isroi. 2008. Kompos. Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Dari http://isroi.files.wordpress.com/2008/02/kompos.pdf . Bogor. (diakses 27 Desember 2015).

Ristyawan, A; Syafrudin; Samudro. G. 2012. Studi Pemanfaatan Aktivator Lumpur Aktif Dan EM4 Dalam Proses Pengomposan Lumpur Organik, Sampah Organik Domestik, Limbah Bawang Merah, Goreng Dan limbah Kulit Bawang. Program Studi Teknik Lingkungan Teknik Universitas Diponegoro. eprints.undip.ac.id/40914/1/Jurnal.docx. Diakses tanggal 1 September 2015.

Rosmarkam Afandie dan Yuwono, N.W, 2006. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.hal 160.

Soeryoko Hery. 2011. Kiat Pintar Memproduksi Kompos. Lily Publisher, Yogyakarta.

Susetya, Darma. 2014. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik. PustakaBaru Press, Yogyakarta.

Setiawan, S. Budi. 2012. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Penebar Swadaya. Depok.


(11)

Suryati, Teti. 2014. Bebas Sampah dari Rumah Cara Bijak Mengolah Sampah Menjadi Kompos dan Pupuk Cair. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) tentang Standar Kualitas Kompos.

Sitompul, S. M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sriharti dan T. Salim. 2006. Pembuatan Kompos Limbah Nenas dengan Menggunakan Berbagai Bahan Aktivator. Jurnal Purifikasi. VII(2) : 163-168.

Subur Jangkar Katulistiwa. 2011. Produk Puja 168. Jakarta.

Suhartati. 2008. Aplikasi Inokulum EM-4 dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 5(1) : 55-65.

Sutejo, M. M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta : Rineka Cipta. Sudjana. 2001. Metode Statistika. Tarsito : Bandung. Edisi 6. Hal 68-371.

Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam. Jakarta : Kencana.

Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Usman, Husaini & Akbar, PS. 2006. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Edisi 2. Hal 158.

Wahyono, Untung. 2014. Cara Cepat Buat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta Timur.

Widowati, W, Sastiono, A, & Jusuf, R. 2008. Efek Toksis Logam Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta: ANDI.

Utomo, B. 2009. Pengaruh Bioaktivator terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst) dan Perubahan Sifat Kimia Tanah Gambut. Jurnal Agronomi Indonesia. 38(1) : 15-18.

Yanqoritha N. 2013. Optimasi Aktivator Dalam Pembuatan Kompos Organik Dari Limbah Kakao. “Mektek” Tahun XV NO. 2, Mei 2013: 103-108.


(12)

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (quasi experiment) yaitu untuk mengetahui efektivitas penggunaan EM4 dan MOD dalam pembuatan sludge sebagai pupuk. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam pembuatan kompos dilakukan di Composting Pertanian Universitas Sumatera Utara. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Pengolahan Limbah Cemara Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 sampai Januari 2016.

3.3 Objek Penelitian

Sludge dari Instalasi Pengolahan Limbah Cemara Medan serta bahan campuran Effective Microorganism (EM4) dan Microorganism Decomposer (MOD) sebagai aktivator. Campuran bahan kompos kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik yang diberi lubang untuk proses aerasi, dengan diameter lubang 1 cm dan jarak tiap lubang 5 cm. Penumpukan bahan kompos diusahakan tidak terlalu padat agar proses aerasi dapat berlangsung optimal.


(13)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, yaitu dengan mengamati. Pengamatan terhadap parameter fisik dilakukan pada hari ke 10 hari ke 20 dan hari ke 30 dan kadar air untuk mengetahui perubahan kandungan kompos selama proses pengomposan berlangsung.

3.4.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Plastik/Terpal

2. Sprayer 3. Ember 4. pH meter

5. Termometer tanah 6. Kaos Tangan

3.4.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sludge Instalasi Pengolahan Air Limbah

2. EM-4 3. MOD

4. Air secukupnya

3.4.3 Prosedur Kerja Pengaktifan EM4 dan MOD

Prosedur kerja pengaktifan EM4 dan MOD adalah sebagai berikut:

1. Campurkan 1 liter EM asli dan MOD ke dalam 100 liter air bersih dan aduk hingga rata.


(14)

2. Dinginkan adonan mencapai suhu normal (35º-36º). Adonan yang masih panas akan membunuh bakteri EM4 dan MOD yang akan dibiakkan. Setelah dingin, masukkan cairan EM4 dan MOD dan aduk sampai rata, Setelah itu, tutup rapat selama 2 hari

3. Setelah 3-4 hari bakteri sudah dapat diambil dan di saring. Lalu masukkan ke dalam botol.

3.4.4 Prosedur Kerja Pembuatan Kompos

Prosedur kerja pembuatan kompos adalah sebagai berikut: 1. Siapkan wadah atau ember

2. Masukkan sludge telah diambil dari tumpukan limbah cair domestik

3. Tambahkan larutan aktivator EM4 dan MOD yang telah diaktifkan sebanyak 5 ml dengan ukuran sama pada setiap ember pengomposan.

4. Siramkan sedikit demi sedikit hingga merata sambil diaduk

5. Tutup atau taburkan tanah secukupnya pada ember tersebut untuk menghindari terjadinya bau.

6. Setelah bahan diaduk rata maka tutup bahan dengan menggunakan plastik hingga rapi dan rapat.

7. Sekitar 3-5 hari bongkar adukan dan ukur suhu, pH, dan kelembaban untuk mendapatkan kematangan kompos yang baik.

8. Apabila bahan tersebut telah berubah menjadi coklat kehitaman, tidak bau dan apabila dikepal tidak terasa panas dan remah maka kompos dikatakan sudah matang.


(15)

3.4.5 Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu dipersiapkan seluruh peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Letakkan 9 ember di dalam kandang, di bagian kandang yang kurang mendapat sinar dan lembab (bagian teras dekat kebun).

2. Ambil Sludge, masukkan ke dalam wadah yang diberi tanda,

Tanda A1– A3 : wadah untuk perlakuan kontrol, angka 1 menunjukkan

percobaan pertama, angka 2 menunjukkan replikasi kedua, angka 3 menunjukkan replikasi ketiga.

Tanda B1– B3 : wadah untuk perlakuan EM4, angka 1 menunjukkan

percobaan pertama, angka 2 menunjukkan replikasi kedua, angka 3 menunjukkan replikasi ketiga.

Tanda C1– C3 : wadah untuk perlakuan MOD, angka 1 menunjukkan

percobaan pertama, angka 2 menunjukkan replikasi kedua, angka 3 menunjukkan replikasi ketiga.

Pada hari pertama dilakukan pengukuran fisika terhadap ketiga sampel yaitu suhu, pH, warna, dan bau.

3. Amati dan periksa sludge pada hari ke 10, hari ke 20 dan hari ke 30. Ukur kembali suhu, pH, warna, dan bau pada masing-masing wadah pada waktu pengamatan tersebut.


(16)

Gambar 3.1. Skema Penelitian Aktivator EM4

Gambar 3.2. Skema Penelitian Aktivator MOD Sludge

IPAL

Aktivator EM4

Pengukuran warna, pH, suhu bau tiap

10 hari

Pembalikan tumpukan kompos

tiap 7 hari

Uji kualitas kompos (warna,

pH, suhu Bau) Penambahan aktivator EM4

(5 ml)

SNI 19-7030-2004

A1

lumpur (5 kg)

B1

lumpur (5 kg)

C1

Lumpur (5 kg)

A1 (10hari) lumpur

B1 (20hari) lumpur

C1 (30 hari) lumpur Sludge IPAL Aktivator MOD Pengukuran warna, pH, suhu bau tiap

10 hari

Pembalikan tumpukan kompos

tiap 7 hari

Uji kualitas kompos (warna,

pH, suhu Bau) Penambahan aktivator MOD

(5 ml)

SNI 19-7030-2004

A1

lumpur (5 kg)

B1

lumpur (5 kg)

C1

Lumpur (5 kg)

A1 (10hari)

lumpur

B1 (20hari)

lumpur

C1 (30 hari)


(17)

3.5Definisi Operasional

Untuk mendapatkan penafsiran yang sama dalam penelitian ini maka perlu diberi batasan operasionalnya yaitu:

1. Sludge (Lumpur) adalah jumlah endapan yang tersisa setelah mengalami penguapan pada suhu 103º-105º C dari suatu limbah.

2. Suhu adalah panas bahan kompos selama proses pembuatan kompos yang diukur dengan termometer air raksa, dimana suhu optimal yang dibutuhkan yaitu diantara 50°-60ºC.

3. Bau adalah aroma yang berasal dari bahan kompos yang apabila sudah menyerupai bau tanah maka bahan kompos sudah dikatakan matang.

4. Warna adalah perubahan fisik yang terjadi pada bahan kompos ditandai dengan warna hitam kecoklatan pada bahan kompos.

5. pH adalah derajat keasaman dan basa bahan kompos yang diukur dengan pH meter, dimana pH optimal pada pengomposan anaerob yaitu antar 6,7-7,2. 6. Pematangan pada hari ke 10 adalah proses terbentuknya kompos pada hari ke

10 setelah ditambahkan aktivator EM4 dan MOD.

7. Pematangan pada hari ke 20 adalah proses terbentuknya kompos pada hari ke 20 setelah ditambahkan aktivator EM4 dan MOD.

8. Pematangan pada hari ke 30 adalah proses terbentuknya kompos pada hari 30 setelah ditambahkan aktivator EM4 dan MOD.


(18)

3.6 Metode Pengukuran

Kompos yang sudah matang diukur berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan melihat ciri-ciri yang ditunjukkan oleh bahan dari kompos kemudian dicocokkan dengan ciri yang ditunjukkan kompos yang sudah matang dan dibandingkan dengan standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004.

3.7 Metode Analisis Data

Data akan diolah melalui beberapa tahapan antara lain : entri data, koding, editing, tabulating. Entri data dilakukan dengan memasukkan data sesuai hasil uji laboratorium. Koding dilakukan dengan memberi kode untuk masing-masing tingkatan sesuai tujuan yang dikumpulkan. Editing dilakukan dengan pemeriksaan kembali data yang telah masuk pada saat melakukan penelitian. Tabulating dilakukan dengan membuat tabel dan memasukkan data tersebut ke dalam tabel berupa angka-angka.

Untuk menguji efektivitas aktivator (EM4 dan MOD) pada sludge limbah cair domestik dengan menggunakan uji ANOVA untuk membandingkan mean dari dua kelompok sampel independen (bebas). Uji ANOVA ini juga biasa disebut sebagai One Way Analysis of Variance. Untuk mengetahui perbedaan suhu dan pH pada sludge limbah cair domestik yang diberi aktivator EM4 dan MOD dengan melakukan Uji Tukey atau uji beda nyata jujur.


(19)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Suhu)

Pengukuran kematangan kompos dalam penelitian ini berdasarkan parameter fisik (suhu) dengan melakukan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke-0, hari ke-10, hari-20, dan hari ke-30. Hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut:

Suhu sludge limbah domestik setelah ditambahkan aktivator EM4 pada hari 0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 49,5°C, pada hari ke-10 sebesar 33,3°C, pada hari ke-20 sebesar 30,0°C, pada hari ke-30 sebesar 25,2°C.

Suhu sludge limbah domestik setelah ditambahkan aktivator MOD pada hari 0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 45,5°C, pada hari ke-10 sebesar 33,0°C, pada hari ke-20 sebesar 30,0°C, pada hari ke-30 sebesar 25,5°C.

Suhu sludge limbah domestik (kontrol) pada hari ke-0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 25,5°C, pada hari ke-10 sebesar 25,2°C, pada hari ke-20 sebesar 25,0°C, pada hari ke-30 sebesar 25,0°C. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.


(20)

Tabel 4.1. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Suhu)

Pengukuran EM4 MOD KONTROL

R1 R2 R3 ̅ R1 R2 R3 ̅ R1 R2 R3 ̅

Hari-0 (°C) 50,0 49,0 49,5 49,5 45,5 46,0 45,0 45,5 25,5 25,5 25,5 25,5 Hari-10 (°C) 33,5 33,5 33,0 33,3 33,5 33,0 32,5 33,0 25,0 25,5 25,0 25,2 Hari-20 (°C) 30,5 30,0 29,5 30,0 30,5 30,0 29,5 30,0 25,0 25,0 25,0 25,0 Hari-30 (°C) 25,0 25,5 25,0 25,2 25,5 25,5 25,5 25,5 25,0 25,0 25,0 25,0

Secara grafik dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1. Grafik Hasil Pengukuran Berdasarkan Parameter Fisik (Suhu)

4.2 Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (pH)

Pengukuran kematangan kompos berdasarkan parameter fisik (pH) dengan melakukan sebanyak 4 kali yaitu pada hari 0, hari 10, hari-20, dan hari ke-30. Hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut:

pH sludge limbah domestik setelah ditambahkan aktivator EM4 pada hari ke-0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 6,9, pada hari ke-10 sebesar 8,4, pada hari ke-20 sebesar 8,0, pada hari ke-30 sebesar 7,3.

0 10 20 30 40 50 60

hari ke-0 hari ke-10 hari ke-20 hari ke-30

S u h u ( °C ) Hari Pengukuran/Pengamatan EM4 MOD Kontrol


(21)

pH sludge limbah domestik setelah ditambahkan aktivator MOD pada hari ke-0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 6,9, pada hari ke-10 meningkat menjadi 7,6, pada hari ke-20 sebesar 7,9, pada hari ke-30 turun menjadi sebesar 6,9.

pH sludge limbah domestik (kontrol) pada hari ke-0 dari 3 kali ulangan diperoleh nilai rata-rata sebesar 6,8, pada hari ke-10 sebesar 6,8, pada hari ke-20 sebesar 6,8, pada hari ke-30 sebesar 6,8. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (pH)

Pengukuran EM4 MOD KONTROL

R1 R2 R3 ̅ R1 R2 R3 ̅ R1 R2 R3 ̅

Hari ke-0 6,9 6,8 7,0 6,9 6,8 7,0 6,8 6,9 6,8 6,8 6,8 6,8

Hari ke-10 8,6 8,1 8,5 8,4 7,8 7,6 7,5 7,6 6,7 6,8 6,8 6,8

Hari ke-20 8,2 7,8 7,9 8,0 8,0 7,9 7,7 7,9 6,8 6,8 6,7 6,8

Hari ke-30 7,3 7,2 7,3 7,3 6,9 7,0 6,8 6,9 6,8 6,8 6,8 6,8

Secara grafik dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.2. Grafik Hasil Pengukuran Berdasarkan Parameter Fisik (pH) 5

6 7 8 9 10

hari ke-0 hari ke-10 hari ke-20 hari ke-30

p

H

Hari Pengukuran/Pengamatan

EM4 MOD Kontrol


(22)

4.3 Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Warna)

Pengukuran kematangan kompos berdasarkan parameter fisik (warna) dengan melakukan pengamatan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke-0, hari ke-10, hari-20, dan hari ke-30. Pengamatan secara visual untuk mengetahui perubahan warna pada sludge limbah cair domestik yang telah diberi aktivator EM4 dan MOD maupun sludge limbah cair yang tidak diberi aktivator (kontrol). Hasil pengamatan terhadap parameter fisik (warna) diperoleh data sebagai berikut:

Warna sludge limbah domestik dengan penambahan aktivator EM4 menunjukkan pada hari ke-0 sludge limbah domestik berwarna hitam. Pada hari ke 10 limbah domestik sudah mulai kelihatan membusuk dan berwarna kuning menandakan bahwa bakteri pengurai mulai bekerja. Hasil pengamatan pada hari ke 20 sludge limbah domestik berwarna kecoklatan dan pada pengamatan terakhir yaitu hari ke 30 maka sludge limbah domestik berwarna coklat terang agak gelap yang menandakan kompos mulai jadi.

Warna sludge limbah domestik dengan penambahan aktivator MOD menunjukkan pada hari ke-0 sludge limbah domestik berwarna hitam. Pada hari ke 10 limbah domestik berwarna kecoklatan. Pada pengamatan di hari ke-20 sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman dan pada pengamatan hari ke 30 maka sludge limbah domestik berwarna hitam (warna tanah).

Warna sludge limbah domestik (sampel kontrol) pada hari ke-0 berwarna hitam, dan sampai pengamatan visual pada hari ke-30 maka warna sludge limbah domestik, tetap berwarna hitam. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(23)

Tabel 4.3. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Warna)

Pengukuran EM4 MOD Kontrol

Hari Ke-0

Hitam Hitam Hitam (warna

sludge)

Hari Ke-10

Kekuningan Kecoklatan Hitam (warna sludge)

Hari Ke-20

Kecoklatan Coklat Kehitaman Hitam (warna sludge)

Hari Ke-30

Coklat terang Hitam (warna tanah) Hitam (warna sludge)

4.4 Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Bau)

Pengukuran kematangan kompos berdasarkan parameter fisik (bau) dengan melakukan pengamatan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke-0, hari ke-10, hari-20, dan hari ke-30. Pengamatan pada fisik (bau) untuk mengetahui perubahan bau sludge limbah cair domestik yang telah diberi aktivator EM4 dan MOD maupun sludge limbah cair yang tidak diberi aktivator (kontrol). Hasil pengamatan terhadap parameter fisik (bau) diperoleh data sebagai berikut:


(24)

Bau sludge limbah domestik dengan penambahan aktivator EM4 menunjukkan pada hari ke-0 sludge limbah domestik berbau bahan dasar kompos. Demikian juga pada hari ke 10 sludge limbah domestik masih memiliki bau yang sama pada pengamatan pertama. Hasil pengamatan pada hari ke 20 sludge limbah domestik sudah berkurang bau sludge limbah domestiknya, dan pada hari ke 30 maka sludge limbah domestik berbau kompos.

Bau sludge limbah domestik dengan penambahan aktivator MOD menunjukkan pada hari ke-0 dan hari ke-10 sludge limbah domestik berbau bahan dasar kompos. Pada pengamatan pada hari ke 20 sludge limbah domestik sudah berkurang bau sludge limbah domestiknya, dan pada hari ke 30 maka sludge limbah domestik berbau tanah (kompos).

Bau sludge limbah domestik (sampel kontrol) pada hari ke-0 sampai hari ke-30 memiliki bau yang sama yaitu bau sludge limbah domestik. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.4. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Bau)

Pengukuran EM4 MOD Kontrol

Hari Ke-0 Bau Sludge Limbah Cair domestik Bau Sludge Limbah Cair domestik Bau Sludge Limbah Cair domestik Hari Ke-10 Bau Sludge Limbah Cair domestik Bau Sludge Limbah Cair domestik Bau Sludge Limbah Cair domestik Hari Ke-20 Bau Sludge Limbah Cair domestik sudah berkurang Bau Sludge Limbah Cair domestik sudah berkurang Bau Sludge Limbah Cair domestik Hari Ke-30 Bau tanah (kompos) Menyerupai bau tanah. Bau Sludge Limbah Cair domestik


(25)

4.5. Efektivitas EM4 dan MOD Sebagai Aktivator pada Proses Pengomposan Sludge Limbah Cair Domestik

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan ANOVA melalui uji Tukey (uji beda nyata jujur) untuk mengetahui perbedaan efektivitas berdasarkan nilai rata-rata suhu dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.5. Tabel Hasil Uji Statistik Menggunakan Uji-t Berdasarkan Nilai Rata-rata Suhu

Aktivator Beda Rerata

(I-J) Probabilitas Metode (I) Metode (J)

EM4 MOD 1,000 0,937

Kontrol 9,333* 0,008

MOD EM4 -1,000 0,937

Kontrol 8,333* 0,019

Kontrol EM4 -9,333* 0,008

MOD -8,333* 0,019

* = Beda rerata signifikan pada taraf 0,05

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari uji perbedaan berdasarkan nilai rata-rata suhu pada sludge limbah cair domestik kelompok aktivator EM4, MOD, dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan antara aktivator EM4 dan MOD dalam proses pengomposan sludge limbah cair domestik, sedangkan kelompok kontrol ada perbedaan. Nilai signifikan untuk aktivator EM4 dan MOD sebesar 0,937 > 0,05, nilai signifikan untuk aktivator EM4 dan kontrol sebesar 0,008<0,05. Nilai signifikan untuk aktivator MOD dan EM4 sebesar 0,937 > 0,05, nilai signifikan untuk aktivator MOD dan kontrol sebesar 0,019<0,05. Nilai signifikan untuk kontrol dan EM4 sebesar 0,008 < 0,05, nilai signifikan untuk kontrol dan MOD sebesar 0,019<0,05.

Selanjutnya, hasil uji statistik menggunakan ANOVA melalui uji Tukey (uji beda nyata jujur) untuk mengetahui perbedaan efektivitas berdasarkan nilai rata-rata pH (power of hydrogen) dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(26)

Tabel 4.6. Tabel Hasil Uji Statistik Menggunakan Uji-t Berdasarkan Nilai Rata-rata pH

Aktivator Beda Rerata

(I-J) Probabilitas

Metode (I) Metode (J)

EM4 MOD 0,316 0,220

Kontrol 0,850* <0,001

MOD EM4 -0,316 0,220

Kontrol 0,533* 0,019

Kontrol EM4 -8,500* <0,001

MOD -0,533* 0,019

* = Beda rerata signifikan pada taraf 0,05

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari uji perbedaan berdasarkan nilai rata-rata pH pada sludge limbah cair domestik kelompok aktivator EM4, MOD, dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan antara aktivator EM4 dan MOD dalam proses pengomposan sludge limbah cair domestik, sedangkan kelompok kontrol ada perbedaan. Nilai signifikan untuk aktivator EM4 dan MOD sebesar 0,220 > 0,05, nilai signifikan untuk aktivator EM4 dan kontrol sebesar <0,001<0,05. Nilai signifikan untuk aktivator MOD dan EM4 sebesar 0,220 > 0,05, nilai signifikan untuk aktivator MOD dan kontrol sebesar 0,019<0,05. Nilai signifikan untuk kontrol dan EM4 sebesar <0,001 < 0,05, nilai signifikan untuk kontrol dan MOD sebesar 0,019<0,05.


(27)

5.1. Suhu

Berdasarkan hasil penelitian terhadap sludge limbah cair domestik yang dijadikan kompos setelah dilakukan pengukuran menunjukkan bahwa sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 pada hari ke-0 suhu rata-rata sebesar 49,5°C, selanjutnya menurun pada hari ke-10 dengan suhu rata-rata sebesar 33,3°C. Pada pengukuran hari ke-20 juga terjadi penurunan suhu rata-rata menjadi 30,0°C. Penurunan suhu rata-rata terus berlanjut pada pengukuran hari ke-30 menjadi 25,2°C. Besaran suhu pada akhir pengukuran tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai suhu standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu sebesar 30°C. Terjadinya peningkatan suhu pada pengukuran hari ke-0 dan hari ke-10, hal ini disebabkan aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan panas. Faktor yang mempengaruhi suhu tumpukan kompos bukan hanya pada tinggi tumpukan tetapi juga pada aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan panas.

Hasil pengukuran sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD pada hari ke-0 suhu rata-rata sebesar 45,5°C, selanjutnya menurun pada hari ke-10 dengan suhu rata-rata sebesar 33,0°C. Pada pengukuran hari ke-20 juga terjadi penurunan suhu rata-rata menjadi 30,0°C. Penurunan suhu rata-rata terus berlanjut pada pengukuran hari ke-30 menjadi 25,5°C. Besaran suhu pada akhir pengukuran tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai suhu standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu sebesar 30°C. Sama seperti aktivator EM4


(28)

tingginya suhu pada pengukuran awal dan hari ke-10 disebabkan aktivitas mikroorganisme MOD yang menghasilkan panas.

Hasil pengukuran sludge limbah cair domestik tanpa aktivator (kontrol) pada hari ke-0 suhu rata-rata sebesar 25,5°C, selanjutnya menurun pada hari ke-10 dengan suhu rata-rata sebesar 25,2°C. Pada pengukuran hari ke-20 juga terjadi penurunan suhu rata-rata menjadi 25,0°C. Penurunan suhu rata-rata terus berlanjut pada pengukuran hari ke-30 menjadi 25,0°C. Besaran suhu pada akhir pengukuran tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai suhu standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu sebesar 30°C. Sludge limbah cair domestik tanpa aktivator (kontrol) memiliki suhu rata-rata relatif stabil dari pengukuran awal sampai dengan pengukuran hari ke-30, hal ini disebabkan pada proses pengomposan semua kontrol tidak mengalami fase termofilik. Hal ini disebabkan karena tumpukan kompos yang tidak tinggi.

Hasil penelitian Yanqoritha (2013) menunjukkan bahwa temperatur proses yang paling tinggi terjadi pada hari ke-28 yaitu 54.88°C untuk aktivator EM4, 53.85°C untuk MOD 71, dan 48.22°C untuk kotoran domba. Sedangkan kompos tanpa aktivator, temperatur tertingginya terjadi pada hari ke-35. Hal ini menunjukkan bahwa kompos tanpa aktivator lambat dalam mendekomposisi limbah menjadi kompos.

Perubahan suhu atau temperatur dalam pembuatan kompos merupakan indikator apakah proses penguraian bahan organik berjalan dengan baik atau tidak. Pada hari ketiga temperatur akan naik pada fase termofilik. Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme termofolik (Djuarnani dkk, 2005).


(29)

Komarayati (2007) dalam penelitiannya, yang menyatakan bahwa tumpukan yang terlalu pendek menyebabkan panas cepat menguap yang disebabkan karena tidak ada bahan material yang digunakan untuk menahan panas dan menghindari pelepasan panas.

Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan humus. Temperatur kamar pada hari ke-56 adalah 28°C, dan kompos yang temperaturnya sudah sama dengan suhu kamar adalah EM4. Berdasarkan analisa temperatur ini diperoleh bahwa EM4 yang memiliki mikroba paling efektif di banding aktivator lainnya (Yanqoritha, 2013).

5.2. pH

Pemantauan pH pada kompos dilakukan setiap 10 hari dengan menggunakan pH meter dengan ketelitian 0,01. Cara pengukurannya yakni dengan menancapkan sensor pH ke dalam bahan kompos yang sudah dilarutkan ke dalam aquades dan dapat langsung dilakukan pembacaan nilai pH pada alat. Berdasarkan hasil penelitian pada parameter pH terlihat bahwa dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4, MOD maupun pada kontrol pada pengukuran akhir (hari ke-30) menunjukkan nilai pH memenuhi syarat standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu antara 6,8-7,49. Hasil pengukuran sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 pada pengukuran hari ke-0, nilai rata-rata pH yaitu 6,9, kemudian meningkat pada pengukuran


(30)

hari-10 menjadi 8,4, selanjutnya menurun pada pengukuran hari ke-20 menjadi 8,0 dan kembali turun pada pengukuran hari ke-30 menjadi 7,3. Kompos yang menggunakan aktivator EM4 mengalami penurunan pada awal proses, lalu pH meningkat setelah hari ke-10 dan menurun menuju netral pada akhir proses. Pada awal proses pH mengalami penurunan akibat adanya aktivitas mikroorganisme yang membentuk asam–asam organik. Selanjutnya pH meningkat yang disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2 dan sumbangan

kation-kation basa hasil mineralisasi bahan kompos.

Hasil pengukuran sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD pada pengukuran hari ke-0, nilai rata-rata pH yaitu 6,9, kemudian meningkat pada pengukuran hari-10 menjadi 7,6, selanjutnya meningkat kembali pada pengukuran hari ke-20 menjadi 7,9 dan turun pada pengukuran hari ke-30 menjadi 6,9. Terjadinya peningkatan pH disebabkan terjadinya perubahan asam-asam organik menjadi CO2 pada kompos. Nilai akhir pengukuran pH memenuhi syarat standar

kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu antara 6,8-7,49.

Hasil pengukuran sludge limbah cair domestik tanpa aktivator (kontrol) pada pengukuran hari ke-0, nilai rata-rata pH yaitu 6,8, kemudian meningkat pada pengukuran hari-10 menjadi 6,8, selanjutnya meningkat kembali pada pengukuran hari ke-20 menjadi 6,8 dan turun pada pengukuran hari ke-30 menjadi 6,8. Tidak terjadinya perubahan pH tanah disebabkan tanah tidak mendapatkan perlakuan apa pun sehingga selama masa pengamatan (30 hari) pH tanah tetap memiliki nilai rata-rata pH yang sama.


(31)

Hasil ini menunjukkan bahwa pH sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 pada pengamatan hari ke-30 diperoleh nilai 7,3. pH sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD pada pengamatan hari ke-30 diperoleh nilai 6,9, sedangkan pH sludge limbah cair domestik tanpa aktivator pada pengamatan hari ke-30 diperoleh nilai 6,8.

Penelitian Ristiawan (2012) mendapatkan hasil bahwa Perubahan pH yang agak berbeda terjadi pada kontrol sampah domestik dan bawang merah goreng. Sampah domestik cenderung memiliki pH basa (7.06 – 9.09) sedangkan bawang merah goreng cenderung memiliki pH asam (5,40 – 7,06). Pada proses pengomposan pH akhir berkisar antara 6,51 – 7,82 dengan rata-rata pH terendah 6,22 dan pH tertinggi 8,36 selama proses pengomposan. Pola perubahan pH pada aktivator lumpur aktif relatif sama dengan pola perubahan pH pada aktivator EM4. Pada awal proses pH turun, setelah minggu ke-2 pH akan naik sampai pada pH tertinggi, selanjutnya pH menurun menuju netral pada akhir pengomposan. Perubahan pH yang agak berbeda terjadi pada kontrol sampah domestik dan bawang merah goreng. Sampah domestik cenderung memiliki pH basa (7,04 – 8,90) sedangkan bawang merah goreng cenderung memiliki pH asam (4,05 – 7,15). Pada proses pengomposan pH akhir berkisar antara 6,32 – 7,72 dengan rata-rata pH terendah 6,06 dan pH tertinggi 7,78 selama proses pengomposan. pH optimal proses pengomposan yaitu 5,5 – 8,0.

Pengamatan pH dilakukan setiap hari dengan mencapkan pH-meter pada tumpukan kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 6,8 sampai 7,49 sesuai standar kualitas


(32)

kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004. Pada awal pengomposan nilai pH kompos cenderung turun, hal ini menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme dan telah terbentuknya asam – asam organik yang merupakan asam – asam lemah. Kemudian pH akan naik akibat perubahan asam – asam organik menjadi CO2

(Noor dkk, 2005).

Pola perubahan pH pada semua kontrol dan variasi tumpukan kompos yang menggunakan aktivator EM4 mengalami penurunan pada awal proses, lalu pH meningkat setelah minggu ke-2 dan menurun menuju netral pada akhir proses. Pada awal proses pH mengalami penurunan akibat adanya aktivitas mikroorganisme yang membentuk asam–asam organik. Selanjutnya pH meningkat yang disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan kompos. Hal ini sesuai dengan Noor, dkk (2006). Setelah menuju pH tertinggi, pH akan menurun kembali menuju netral. Pada fase ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri yaitu mengubah amonia menjadi nitrat. Pola perubahan pH telah sesuai dengan Tchobanoglous (1993).

5.3 Warna

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa pada pengamatan hari ke-30, warna kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 berwarna coklat terang, sedangkan kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD berwarna hitam (warna tanah). Pada sludge limbah cair domestik yang tidak diberi perlakuan


(33)

(kontrol) memiliki warna tetap sama pada saat pengamatan pertama kali dilakukan.

Sludge limbah cair domestik mengalami perubahan warna setelah diberi activator EM4. Warna yang tampak pada pengukuran hari ke-0 yaitu warna hitam, pada hari ke-10 menjadi kekuningan, dan berubah pada hari ke-20 menjadi kecoklatan, dan pada pengukuran akhir (hari ke-30) menjadi warna tanah coklat terang. Perubahan warna tersebut menunjukkan kompos sudah matang dan dapat digunakan sebagai pupuk.

Pada perlakuan kedua (sludge limbah cair domestik dengan aktivator (MOD) terjadi perubahan warna dari awal pengukuran sampai dengan akhir pengukuran. Pada pengukuran hari ke-0 warna yang tampak adalah warna bahan dasar (hitam), dan menjadi kecoklatan pada pengukuran hari ke-10, selanjutnya menjadi coklat kehitaman pada pengukuran hari ke-20 dan pada hari ke-30 berubah menjadi warna hitam (warna tanah/kompos). Terjadinya perubahan warna setelah diberi activator MOD menunjukkan bahwa kompos tersebut sudah matang.

Pada sludge limbah cair domestik yang tidak mendapatkan perlakuan (kontrol) warna tanah tidak mengalami perubahan dari awal pengukuran sampai akhir pengukuran yaitu warna hitam (warna sludge).

Kompos matang dapat diamati dari perubahan warnanya. Warna kompos yang sudah matang adalah semakin coklat kehitaman–hitaman, yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Menurut Isroi (2008), kompos yang matang berbau seperti tanah, berwarna coklat kehitam


(34)

-hitaman dan terasa lunak ketika dihancurkan. Berdasarkan syarat fisik kompos matang tersebut, dapat diperoleh bahwa semua variasi tumpukan kompos pada masing-masing aktivator sudah memenuhi persyaratan kompos matang. Kompos matang semua variasi berwarna coklat seperti tanah, tidak berbau dan hancur ketika diremas.

Bentuk kompos matang dari sludge limbah cair domestik yaitu berwarna coklat kehitaman yang diberi aktivator MOD sedangkan yang diberi aktivator EM4 berwarna coklat terang, berbentuk remah-remah dan hancur. Semua variasi memiliki warna coklat kehitaman sedangkan kontrol lumpur memiliki warna coklat kehitaman dengan intensitas warna yang sedikit lebih terang (Wahyono dkk, 2003).

Perubahan warna kompos dari coklat menjadi coklat kehitaman menunjukkan adanya bakteri yang melakukan aktivitas dekomposisi, sehingga mampu mengubah warna kompos. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Gaur (1986) bahwa proses pengomposan akan terjadi penguraian bahan organik oleh aktivitas mikroba, yaitu mikroba akan mengambil air, oksigen dan nutrisi dari bahan organik yang kemudian akan mengalami penguraian dan membebaskan CO2 dan O2.

5.4. Bau

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa pada pengamatan hari ke-30, bau kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 berbau kompos atau berbau tanah. Demikian juga pada kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD memiliki


(35)

bau kompos atau berbau tanah. Sedangkan sludge limbah cair domestik yang tidak diberi perlakuan (kontrol) memiliki bau yang tetap sama pada saat pengamatan pertama kali.

Kompos matang dapat diamati dari perubahan baunya. Bau kompos seperti tanah karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah (Isroi, 2008). Kompos matang tidak berbau, bau seperti bau tanah. Kompos matang tidak berbau dan hancur ketika diremas. Selain dilihat dari wujud fisiknya, kompos matang juga dapat dilihat dari penyusutan berat akhir kompos (Wahyono dkk, 2003).

Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan. Menurut Suryati (2014), pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% ke atas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa– senyawa gas dan bermacam-macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau kompos. Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak boleh menghasilkan bau yang menyengat (bau busuk). Walaupun demikian dalam pembuatan kompos tidak akan terbebas sama sekali dari adanya bau. Dengan memanfaatkan indra penciuman, dapat dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi permasalahan yang terjadi selama proses pembuatan kompos


(36)

5.5. Efektivitas EM4 dan MOD Sebagai Activator pada Proses Pengomposan

Sludge Limbah Cair Domestik

Berdasarkan hasil penelitian melalui uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan aktivator EM4 dan MOD dalam proses pengomposan sludge limbah cair domestik. Hasil pengujian pada suhu dan pH menunjukkan bahwa kedua aktivator tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama dalam proses pengomposan sludge limbah cair domestik. Kedua aktivator memiliki nilai rata-rata yang hampir sama baik pada suhu maupun pH pada setiap pengukuran (dari pengukuran awal sampai dengan pengukuran akhir, yaitu hari ke-30).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Husen (2013) yang meneliti efektivitas dan efisiensi mikroba dekomposer komersial dan lokal dalam pembuatan kompos jerami mendapatkan hasil bahwa tidak tampak adanya perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan mikroba komersial dan lokal dalam proses pembuatan kompos. Fluktuasi suhu yang lebih tajam yang menjadi ciri dari pengomposan secara aerobik dan berperan penting dalam membunuh patogen dan benih gulma justru ditunjukkan oleh perlakuan dengan mikroba lokal.

EM4 merupakan campuran dari mikroorganisme bermanfaat yang terdiri dari lima kelompok, 10 Genius 80 Spesies dan setelah di lahan menjadi 125 Spesies. EM berupa larutan coklat dengan pH 3,5-4,0. Terdiri dari mikroorganisme aerob dan anaerob. Meski berbeda, dalam tanah memberikan multiple effect yang secara dramatis meningkatkan mikro flora tanah. Bahan terlarut seperti asam amino, sacharida, alkohol dapat diserap


(37)

langsung oleh akar tanaman. Kandungan EM terdiri dari bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, actinomicetes, ragi dan jamur fermentasi. Bakteri fotosintetik membentuk zat-zat bermanfaat yang menghasilkan asam amino, asam nukleat dan zat-zat bioaktif yang berasal dari gas berbahaya dan berfungsi untuk mengikat nitrogen dari udara. Bakteri asam laktat berfungsi untuk fermentasi bahan organik jadi asam laktat, percepat perombakan bahan organik, lignin dan cellulose, dan menekan pathogen dengan asam laktat yang dihasilkan. Actinomicetes menghasilkan zat anti mikroba dari asam amino yang dihasilkan bakteri fotosintetik. Ragi menghasilkan zat antibiotik, menghasilkan enzim dan hormon, sekresi ragi menjadi substrat untuk mikroorganisme effektif bakteri asam laktat actinomicetes.

Bakteri dalam pembuatan kompos atau mikroba pengurai, atau dekomposer berfungsi melapukkan atau mendekomposisi sampah organik dan bahan organik (limbah kota, pertanian, peternakan, tinja, urine, sisa makanan, dan material organik lainnya). Pada kondisi kelembaban, suhu, porositas dan aerasi yang sesuai dengan kebutuhannya, bakteri dalam pembuatan kompos ini akan bekerja terus menerus tanpa henti, atau akan mendekomposisi material organik dengan cepat.

Bakteri dalam pembuatan kompos bekerja terus menerus, akan menekan pertumbuhan mikroba patogen, atau berbeda dengan apa yang terjadi pada kondisi tanpa oksigen (anaerobik). Dengan saling melengkapi peranan (simbiosis) antara teknologi mikrobiologi dan alat mesin rotary kiln, akan menurunkan biaya pengomposan karena efisiensi dari aspek waktu, tenaga kerja dan luas lahan bagi


(38)

keperluan penumpukan sampah. Peran mikroorganisme bakteri dalam pembuatan kompos sebagai perombakan dalam pengolahan sampah dan pembuatan kompos secara sempurna (cepat, higienis, tidak berbau, tidak menghidupkan hewan kecil dan serangga, serta bermutu baik yakni CN ratio< 20, gembur tanpa harus dihancurkan oleh mesin) diperlukan kesesuaian (compatible) antara alat (media komposter) dan jenis bakterinya sebagai satu kesatuan.


(39)

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Besaran suhu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai suhu standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu sebesar 30°C. Nilai suhu rata-rata tertinggi yaitu MOD yaitu 25,5°C dan terendah kontrol yaitu 25,0°C.

2. Sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4, MOD maupun pada kontrol menunjukkan nilai pH tertinggi pada EM4 yaitu 7,3 dan kontrol yaitu 6,8 yang berarti memenuhi syarat standar kualitas kompos berdasarkan SNI: 19-7030-2004 yaitu antara 6,8-7,49.

3. Warna kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 berwarna coklat terang, sedangkan kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD berwarna coklat kehitaman. Pada sludge limbah cair domestik yang tidak diberi perlakuan (kontrol) memiliki warna tetap sama pada saat pengamatan pertama kali dilakukan. Kompos sudah jadi (matang) pada hari ke-30.

4. Bau kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator EM4 berbau kompos atau berbau tanah. Demikian juga pada kompos yang dihasilkan dari sludge limbah cair domestik dengan aktivator MOD memiliki bau kompos atau berbau tanah. Sedangkan sludge limbah cair


(40)

domestik yang tidak diberi perlakuan (kontrol) memiliki bau yang tetap sama pada saat pengamatan pertama kali.

5. Tidak ada perbedaan efektivitas dalam proses pembuatan kompos antara aktivator EM4 dengan MOD ditinjau dari suhu dan pH.

5.2. Saran

Saran penelitian ini disampaikan kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai unsur hara yang ada pada sludge limbah cair domestik sebagai bahan dasar kompos.

2. Perlu juga dilakukan percobaan dengan menggunakan aktivator EM4 atau MOD sebanyak 10 ml, dan seterusnya.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan unsur hara mikro pada hasil kompos matang.

4. Pada saat pembuatan kompos agar selalu menggunakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan karena spora yang terkandung pada kompos tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit.


(41)

2.1 Sludge

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakan salah satu instalasi yang bergerak dalam bidang pengolahan air bersih. Salah satu potensi pencemaran lingkungan yang harus dikelola oleh industri ini sendiri adalah limbah sludge. Potensi limbah sludge yang dihasilkan sebesar 0,1 m3/hari. Seiring dengan berjalannya proses produksi, semakin meningkat pula jumlah limbah sludge yang di hasilkan IPAL. Meningkatnya jumlah limbah sludge menjadi permasalahan baru, mengingat limbah sludge hanya ditampung di Sludge Drying Bed (SDB), sewaktu-waktu dapat penuh. Sehingga limbah sludge dibiarkan secara terbuka. Limbah sludge yang dibiarkan di tempat terbuka tanpa penanganan lebih lanjut, berpotensi sebagai sumber pencemar. Selain karena menimbulkan bau tak sedap, limbah sludge yang terkena hujan akan terikut aliran air tanah dan masuk ke sungai yang ada di sekitarnya. Limbah sludge yang mengandung bahan organic

berpotensi meningkatkan “Biological Oxygen Demand” (BOD) dan “Chemical Oxygen Demand” (COD), yang akan mempengaruhi kualitas air sungai dan sistem kehidupan aquatik serta dapat mengakibatkan pendangkalan air sungai. Salah satu upaya untuk mengantisipasinya adalah dengan mengolah kembali limbah sludge menjadi barang yang bermanfaat (Ruliansyah, 2012)

Dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan, beberapa industri di Indonesia telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO 14001. Industri mempunyai beberapa masalah dalam penerapan hal tersebut, diantaranya


(42)

penanganan dan pengelolaan limbah lumpur Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Pengelolaan lumpur IPAL umumnya dibuang secara open dumping, baik di dalam maupun di luar lokasi pabrik. Pembuangan limbah secara open dumping tersebut, berpotensi terhadap terjadinya pencemaran air di permukaan air tanah (Purwati, 2006).

Lumpur hasil pengolahan limbah pada industri pangan terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, serat kasar dan air. Bahan-bahan ini mudah terdegradasi secara biologis dan menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama menimbulkan bau busuk. Pengomposan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah manajemen limbah padat industri pangan. Pengomposan adalah suatu proses biologis dimana bahan organik didegradasi pada kondisi aerobik terkendali. Dekomposisi dan transformasi tersebut dilakukan oleh bakteri fungi dan mikroorganisme lainnya. Pada kondisi optimum, pengomposan dapat mereduksi volume bahan baku sebesar 50-70% (Departemen Perindustrian, 2007).

Limbah pada kolam-kolam pengolahan banyak mengandung partikel-partikel yang lolos dari GC sehingga mengakibatkan pendangkalan pada kolam apabila tidak ditangani. Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut dibangun SBD yang terdapat pada sayap kanan IPAL yang berukuran 34 x 232 x 0,5 m dengan kapasitas 4.000 m3. Lumpur dikuras 1-2 tahun sekali dengan ejector udara bertekanan. Lumpur yang terkumpul pada dasar kolam dihisap dengan ejector udara bertekanan kemudian ditampung dalam SBD dan dikeringkan secara alamiah dan untuk selanjutnya dipergunakan sebagai pupuk.


(43)

Sludge berasal dari proses pengolahan air limbah. Karena proses fisik-kimia yang terlibat dalamnya, lumpur cenderung berkonsentrasi logam berat dan senyawa organik biodegradable serta organisme berpotensi patogen (virus, bakteri dll) terdapat di perairan limbah. Sludge kaya nutrisi seperti nitrogen dan fosfor dan berisi bahan organik yang berguna. Bahan organik dan nutrisi adalah dua elemen utama yang membuat pupuk atau tanah organik (Yazid,2005).

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu diterapkan suatu pengolahan lumpur lanjutan. Salah satu alternatifnya adalah dengan pemanfaatan lumpur sebagai bahan dasar kompos. Kompos adalah produk hasil proses dekomposisi materi organik secara biologis menjadi material seperti humus (Wahyono dkk, 2003). Lumpur hasil pengolahan limbah industri memiliki materi organik yang tinggi sehingga berpotensi untuk dijadikan kompos. Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung dengan fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan effective innoculant atau aktivator (Indriani, 2011).

2.2 Pengertian Kompos

Kompos adalah hasil penguraian, pelapukan, dan pembusukan bahan organik seperti kotoran hewan, daun, maupun bahan organik lainya. Bahan kompos tersedia di sekitar kita dalam berbagai bentuk. Beberapa contoh bahan kompos adalah batang, daun, akar tanaman, serta segala sesuatu yang dapat hancur. Banyak dari bahan tersebut menumpuk menjadi sampah yang mengganggu kesehatan (Soeryoko Hery, 2011).


(44)

Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikroba tersebut adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya. Bahan organik untuk bahan baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ternak, dan lain sebagainya (Rosmarkam dan Yuwono, 2006).

2.3 Prinsip Dasar Pembuatan Kompos

Membuat kompos adalah untuk meniru proses terjadinya humus di alam dengan bantuan mikroorganisme. Ada dua jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan, yaitu mikroorganisme yang membutuhkan kadar oksigen tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama (kompos), perbedaan proses pembuatan kompos akan memengaruhi proses pembuatan kompos (Suryati, 2014).

2.3.1 Prinsip Dasar Pengomposan Aerob

Pengomposan secara aerob harus berlangsung dalam keadaan di udara terbuka karena membutuhkan oksigen. Dalam hal ini, udara bebas harus bersentuhan langsung dengan bahan baku kompos berupa sampah organik. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, Kelembaban, ukuran bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk mempertahankan proses pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Selain itu untuk memperlancar udara masuk ke dalam bahan kompos. Pengontrolan secara intensif ini merupakan ciri khas proses pengomposan secara aerob. Oleh karena itu,


(45)

kegiatan operasional pengomposan secara aerob relatif lebih sibuk dibandingkan anaerob (Habibi, 2009).

Pengomposan dengan metode aerob tanpa bantuan aktivator dapat berlangsung selama 40-55 hari. Hasil akhir pengomposan aerob berupa bahan yang menyerupai tanah berwarna hitam kecoklatan, remah dan gembur, suhunya normal dan cenderung konstan (tetap). Apabila bentuknya sudah seperti ini maka kompos aerob siap digunakan pada tanaman atau dikemas dalam wadah.

Dalam Pembuatan kompos secara aerob agar berkualitas baik dan beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain akan dijelaskan berikut ini: 1. Rasio C/N bahan pada pengomposan secara aerob

Yang dimaksud dengan rasio C/N adalah perbandingan antara kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N) pada suatu bahan. Semua mahluk hidup tersusun dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta Nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Pembuatan kompos yang optimal membutuhkan rasio C/N 25:1 sampai 30:1. Sebagai contoh limbah rumah tangga padat (sampah) organik yang tercampur mempunyai rata-rata kandungan rasio C/N sekitar 15:1 sehingga perlu adanya penambahan unsur C agar mencapai atau mendekati perbandingan rasio C/N 25:1 hingga 30:1. Kisaran nilai rasio C/N 25:1 hingga 30:1 merupakan nilai perbandingan unsur C dan N yang terbaik agar bakteri dapat bekerja sangat cepat.

Jika bahan organik memiliki kandungan C terlalu tinggi maka proses penguraian akan berlangsung terlalu lama. Sebaliknya jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebih sehingga akan terbentuk gas amoniak (NH3).


(46)

Kadar amoniak yang terlalu banyak dapat meracuni bakteri. Oleh sebab itu, Jumlah C/N ratio perlu dihitung dan direncanakan secara tepat (Habibi, 2009). 2. Volume Bahan

Baik banyaknya bahan baku maupun cara menumpuk bahan baku sangat menentukan proses pengomposan. Tumpukan bahan yang lebih banyak dapat mempercepat proses pengomposan dibandingkan tumpukan bahan yang sedikit. Semakin besar tumpukan bahan baku, semakin sulit untuk mengatur atau mengontrol suhu dan kelembabannya.

Sisi-sisi tumpukan sebaiknya dibuat rata. Bentuknya dapat berupa kubus balok atau silinder, Tumpukan yang terlalu tipis, meruncing (berbentuk piramida atau segitiga) dan sempit kemungkinan tidak dapat mempertahankan suhu dan kelembaban yang diinginkan sehingga proses terbentuknya kompos akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

3. Ukuran bahan

Berlangsungnya proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik jika ukuran bahan baku yang kan dikomposkan diperkecil, karena mikroorganisme akan lebih mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut (substrat) dibandingkan bahan dengan ukuran besar. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan secara aerob yaitu antara 1-7,5 cm. Sebaiknya bahan dicacah dengan parang atau digiling dengan mesin agar mikroorganisme lebih mudah mencernanya. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur, karena pada saat berlangsung pengomposan akan mengeluarkan kadar air.


(47)

Pada pengomposan secara aerob, penghancuran bahan sampai lumat tidak dianjurkan, karena dikhawatirkan akan meningkatkan kadar air bahan melebihi 60% sehingga dapat mengganggu proses pengomposan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara menambahkan bahan organik kering atau dengan tanah kering. Ukuran yang kecil akan meningkatkan porositas tumpukan bahan dan memperlancar masuknya oksigen ke dalam tumpukan bahan.

4. Kadar air pada pengomposan secara aerob

Pada proses pengomposan secara aerob, kadar air bahan sebaiknya antara 40-50%. Kondisi kadar air seperti itu harus dipertahankan saat berlangsungnya pengomposan agar mikroorganisme aerob dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati. Kadar air yang sesuai sangat membantu pergerakan mikroba dalam bahan. Apabila kadar air terlalu banyak dapat menyebabkan bahan semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba dan menghalangi masuknya oksigen ke dalam bahan. Jika air terlalu sedikit maka bahan baku akan menjadi kering dan tidak mendukung kehidupan mikroba.

Kondisi kadar air yang terbaik yaitu sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Cara sederhana untuk mengetahui kadar air yaitu dengan mengambil bahan dan meremasnya dalam genggaman tangan. Apabila bahan kompos pecah/hancur dan tidak keluar air sama sekali dari genggaman maka perlu diberi tambahan air. Apabila bagian kompos keluar dari sela-sela jari dengan air dengan air berlebih berarti terlalu basah sehingga kompos perlu


(48)

dibalik-balik dan dibuat drainase yang bagus. Jika kompos terlalu basah maka udara akan sulit masuk ke sela-sela kompos. Hal ini dapat menyebabkan bakteri anaerob masuk ke dalamnya dan berkembang sehingga proses pengomposan tidak berjalan lancar. Kondisi bahan dengan kandungan air yang tepat yaitu, dapat dikepal dengan tangan meskipun hancur lagi. Untuk menjaga kadar air, sebaiknya kompos terlindung dari air hujan dan sinar matahari langsung. Hujan dapat menyebabkan kadar air berlebihan sedangkan sinar matahari dapat menyebabkan penguapan, sehingga kadar air terlalu sedikit.

Pada saat bahan baku kompos ditumpuk maka titik panas yang tertinggi akan berada di bagian tengah tumpukan. Hal ini dapat mengakibatkan mikroorganisme di bagian tengah bahan lebih aktif sehingga penguapan yang terhebat yang terjadi pada bagian ini. Sering dijumpai, tumpukan kompos yang terlihat lembab serta hangat, tetapi setelah dibuka ternyata bagian dalamnya kering dan dingin dapat dikatakan bahwa tumpukan terlalu panas dapat menyebabkan kadar air bahan menguap dan akhirnya bahan menjadi kering. Apabila bahan menjadi kering, mikroorganisme enggan melakukan aktivitasnya maka proses pembusukan pada bagian ini terhenti dan suhu biasanya akan turun. Cara untuk mengetahui basah atau tidaknya bagian tengah, dibutuhkan alat pengontrol berupa tongkat bambu atau kayu. Dengan menusukkan alat ini ke dalam tumpukan kompos sampai ke tengah maka dapat diketahui tiga hal penting, yaitu basah atau tidak, hangat atau tidak, dan berbau busuk atau tidak. Jika tongkat tersebut hangat dan basah berarti pengomposan masih berlangsung dengan baik namun apabila tongkat tersebut kering dan


(49)

dingin maka perlu disiram air. Untuk menjaga kadar air bahan diperlukan tempat yang terlindung dari air hujan dan sinar matahari langsung. Tempat yang teduh sangat dianjurkan agar proses pengomposan secara aerobik dapat berlangsung baik.

5. Suhu (Temperatur) pengomposan secara aerob

Suhu ideal untuk pengomposan secara aerob yaitu diantara 45-65ºC. Untuk mengetahui keadaan suhu bahan dapat digunakan termometer alkohol, agar kalau pecah di lapangan maka cairan alkohol tidak membahayakan kompos. Suhu kompos organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara mengatur kadar air. Suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang kurang lembab sehingga aktivitas mikroorganisme menurun. Masalah ini dapat diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan air hingga mencapai kadar air yang optimal. Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlalu tinggi, tidak baik bagi proses pengomposan secara aerob. Kondisi suhu yang tertinggi dapat mencapai 80ºC.

Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan bahan. Bakteri yang bekerja pada suhu ini biasanya hanyalah bakteri termofilik, yaitu bakteri yang tahan terhadap suhu tinggi. Apabila hal ini terjadi maka mikroorganisme lainnya akan mati. Penggunaan temperatur tinggi yaitu 80ºC biasanya untuk pengomposan skala besar karena diperlukan kecepatan tinggi untuk mengomposkan berton-ton bahan organik. Pengomposan skala industri kecil atau untuk kebun sendiri di rumah tidak terlalu berisiko apabila suhu dipertahankan pada kisaran antara 45-65º C saja.


(50)

6. Derajat Keasaman (pH)

Untuk berlangsungnya pengomposan secara aerob dengan baik dibutuhkan pH netral yaitu diantara 6-8. Jika kondisi asam biasanya dapat diatasi dengan pemberian kapur. Sebenarnya dengan cara memantau suhu dan membolak-balikkan bahan kompos secara tepat dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur. Dengan demikian, proses pemeriksaan pH setiap waktu tidak perlu dilakukan. Untuk lebih meyakinkan lagi, pemeriksaan pH dapat dilakukan dengan cara menggunakan kertas lakmus yang tersedia di apotik atau mempergunakan pH meter elektronik.

7. Aerasi

Pada pengomposan secara aerob harus dikondisikan sedemikian rupa agar setiap bagian bahan kompos memperoleh suplai oksigen yang cukup. Suhu kompos yang meningkat akan membuat bahan hancur dengan cepat dan akhirnya memadat. Kurangnya oksigen dapat disebabkan oleh kelembaban bahan terlalu tinggi sehingga bahan melekat satu sama lain. Terjadinya pemadatan pada bahan akan menghambat suplai oksigen yang dibutuhkan mikroba aerob. Akibatnya mikroba tidak dapat bertahan hidup. Agar aerasi lancar, Pengomposan dapat dilakukan di tempat terbuka sehingga udara dapat masuk dari berbagai sisi dan secara berkala dilakukan pembalikan kompos. Pada pembuatan kompos secara aerob skala kecil, jumlah oksigen tidak harus diketahui. Untuk skala industri, penghitungan kebutuhan oksigen harus dikuasai agar seorang teknisi dapat merancang alat yang mampu menyuplai kebutuhan oksigen pada bahan (Habibi, 2009).


(51)

2.3.2 Prinsip Dasar Pengomposan Secara Anaerob

Pengomposan secara anaerob yaitu pengomposan yang berlangsung tanpa adanya udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaannya dibutuhkan tempat khusus yang tertutup rapat. Cara pembuatan kompos secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau pembuatan septic tank. Hasil pengomposan anaerob berupa CH4, H2S, H2, CO2, asam asetat, asam

butirat, asam laktat, etanol, methanol dan hasil sampingan berupa lumpur. Lumpur inilah yang kita namakan sebagai kompos.

Kegiatan operasional sehari-hari pada pengomposan secara anaerob tidak sesibuk pengomposan secara aerobik. Biaya awal untuk membuat bak fermentasi lebih rumit dan lebih mahal dibandingkan dengan pembuatan kompos secara aerob. Pengendalian pH dan suhu harus dilakukan karena pada pembuatan kompos secara anaerob berlangsung dengan dibantu oleh bakteri pembentuk gas metan yang sangat rentan oleh kondisi pH dan suhu. Bakteri metan akan keracunan serta berhenti beraktivitas pada pH kurang dari 6,2. Sedangkan pengendalian suhu untuk daerah tropis seperti di Indonesia mungkin dapat ditiadakan karena suhu ideal dapat tercipta dengan mengatur desain bak fermentasi.

Jalannya pengomposan secara anerob berlangsung lebih lambat dibandingkan pengomposan secara aerob, yaitu memakan waktu 3-12 bulan. Lama tidaknya proses pengomposan secara aerob bergantung pada perlakuan yang diberikan, seperti antara lain rasio C/N, Kadar air, ukuran bahan, temperatur, pH, dan aerasinya. Beberapa bahan organik yang sulit terurai pada pengomposan


(52)

aerob, biasanya pada pengomposan secara anaerob dapat terurai, sehingga hampir semua bahan organik dapat diuraikan secara anaerob. Untuk membunuh bakteri patogen pada pengomposan secara aerob dapat dilakukan dengan meningkatkan suhu kompos pada 4 hari pertama hingga mencapai 70ºC. Pada pengomposan anaerob, patogen dapat terbunuh dengan sendirinya karena kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (tanpa udara).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan secara anaerob antara lain rasio C/N, ukuran bahan, kadar air (Rh), derajat Keasaman (pH), temperatur (suhu) dan aerasi. Untuk lebih jelasnya berikut akan diuraikan satu persatu.

1. Rasio C/N bahan

Proses pengomposan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio C/N =25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin cepat, dan kandungan N dalam lumpur semakin tinggi. Sebaiknya, apabila rasio C/N terlalu rendah maka amonia yang dihasilkan terlalu banyak sehingga dapat meracuni bakteri. Prinsip-prinsip perhitungan rasio C/N pada pengomposan secara aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan secara anaerob.

2. Ukuran Bahan

Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat-lumatnya sampai berubah bubur atau lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penguraian yang dilakukan oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau homogenisasi bahan.


(53)

3. Kadar air (Rh)

Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% ke atas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa–senyawa gas dan bermacam-macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

4. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan secara anaerob yaitu antara 6,7-7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal bahan dimasukkan.

5. Temperatur (suhu)

Suhu di daerah tropis rata-rata antara 25-35ºC sudah cukup baik bagi proses pengomposan secara anaerob. Suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu antara 50-60ºC. Suhu optimal tersebut dapat dibantu dengan cara meletakkan tempat pengomposan di lokasi yang terkena sinar matahari langsung. Apabila sinar matahari dimanfaatkan untuk menaikkan suhu maka gas methan yang dihasilkan akan semakin tinggi dan proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, gas methan perlu dikeluarkan setiap hari, yaitu dengan cara membuka lubang gas instalasi pengomposan. 6. Aerasi

Seperti telah dikemukakan bahwa proses pengomposan secara anaerob tidak dibutuhkan udara (oksigen), karena yang berperan dalam proses


(54)

pengomposan yaitu mikroorganisme anaerob. Oleh karena itu, tempat pembuatan kompos harus selalu dikondisikan tertutup rapat, tidak diperkenankan udara masuk sedikitpun juga.

2.4 Aktivator

Aktivator adalah bahan khusus yang menunjang aktivitas mikroorganisme dalam proses pembusukan bahan organik. Aktivator bias mengandung mikroorganisme pengurai, dan mengandung bahan makanan atau hormone yang menunjang kelangsungan hidup mikroorganisme pengurai. Dengan penambahan aktivator, akan semakin banyak jumlah dan jenis mikroorganisme yang bekerja dalam proses pengomposan (Anonim, 2007). Mikroorganisme dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan dan menguraikan bahan organik. Secara global terdapat beberapa golongan mikroorganisme dalam bioaktivator, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Ptomycetes sp, Ragi (yeast), dan actinomycetes. (Setiawan, 2012).

1. Bakteri fotosintetik

Bakteri fotosintetik merupakan bakteri bebas yang dapat sintesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Metabolir yang diproduksi dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan mikroorganisme yang menguntungkan.

2. Lactobacillus sp.

Bakteri ini memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri sintesis dan ragi. Asam


(55)

laktat ini merupakan bahan sterilisasi kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan menguraikan bahan organik dengan cepat. 3. Strepcomycetes sp.

Strepcomycetes sp. mampu memproduksi enzim streptomisin bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.

4. Ragi (yeast)

Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pembelahan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga ukuran dalam perkembangan atau pembelahan mikroorganisme menguntungkan lain, seperti acninomycetes dan bakteri asam.

5. Acninomycetes

Acninomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur. Organisme tersebut mengambil asam amino dan zat yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik. Tujuannya untuk mengendalikan patogen serta menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin, yaitu zat esensial untuk pertumbuhan. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain (Setiawan, 2012).

2.4.1 Jenis-jenis Aktivator

Jenis-jenis aktif yang dapat digunakan dalam pengomposan adalah sebagai berikut:


(56)

1. EM-4 (Effective Mikroorganisme)

Effective Mikroorganisme 4 (EM 4) merupakan suatu cairan berwarna kecoklatan dan beraroma manis asam (segar) yang di dalamnya berisi campuran beberapa mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi proses penyerapan/ persediaan unsur hara dalam tanah. Mikroorganisme atau kuman

yang berwatak “baik “itu terdiri dari bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, aktinomydetes, dan jamur peragaan. EM-4 merupakan produk bioaktivator yang beredar di pasaran berupa Effective Mikroorganisme (EM) asli yang tidak dapat langsung diaplikasikan pada media. Hal ini disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM asli masih dalam kondisi tidur (dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan (Suryati, 2014).

Fungsi EM4 untuk mengaktifkan bakteri pelarut, meningkatkan kandungan humus tanah lactobonillus sehingga mampu memfermentasikan bahan organik menjadi asam amino. Bila disemprotkan di daun mampu meningkatkan jumlah klorofil, fotosintesis meningkat dan percepat kematangan buah dan mengurangi buah busuk. Juga berfungsi untuk mengikat nitrogen dari udara, menghasilkan senyawa yang berfungsi antioksidan, menekan bau limbah, menggemburkan tanah, meningkatkan daya dukung lahan, meningkatkan cita rasa produksi pangan, perpanjang daya simpan produksi pertanian, meningkatkan kualitas daging, meningkatkan kualitas air (Suryati, 2014).


(57)

Keunggulan dari larutan EM4 adalah selain dapat mempercepat proses pengomposan, penambahan EM4 juga terbukti dapat menghilangkan bau yang ditimbulkan selama proses pengomposan bila proses berlangsung dengan baik (Susahyono, 2014). Cara mengaktifkan aktivator EM-4 dapat dilihat sebagai berikut:

a. Campurkan 1 liter EM asli dengan 1OO liter air hingga tercampur rata. b. Masukkan larutan yang telah jadi ke dalam wadah, lalu tutup hingga rapat. c. Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara.

d. Wadah harus tertutup rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung. e. Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar tidak

meledak.

f. Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium bau asam manis.

g. pH EM aktif berkisar 3,5-3,7.

h. Apabila tidak langsung digunakan, EM aktif bisa dimasukkan ke dalam wadah khusus. Wadah yang baik untuk menyimpan EM aktif adalah tangki plastik atau tangki stainless. Kondisi tangki bersih dan dapat mempertahankan kondisi anaerob. Sebaliknya, jangan gunakan tempat bekas oli, tempat bahan kimia atau tangki logam berkarat.

i. EM aktif tidak boleh digandakan agar hasilnya sempurna.

2. MOD (microorganism decomposer)

Mikroba pengurai atau di kenal dengan juga nama mikroba dekomposer, yaitu sejenis mikroba yang bertindak terlebih dalam sistem pengomposan, terlebih


(58)

dalam mengurai atau memecah material organik. Dalam sistem pembuatan kompos, peran mikroba dekomposer sangatlah utama, terlebih untuk memecah dinding selulose tanaman atau bahan organik yang bakal dikompos. Selolose adalah penyusun paling utama dinding sel tanaman, yang ada berbentuk terikat dengan plisakarida lain, seperti hemiselulose, pektin, serta lignin.

MOD (microorganism decomposer), di dalamnya terkandung 7 bakteri pembusuk dan 1 bakteri hidup di dalam air. Kandungan MOD terdiri dari bakteri Azotobacter, Bacillus, Nitrosomonas, Nitrobacter, Pseudomonas, Cytophaga, Sporocytophaga, Microcococcus, Actinomycetes, dan Streptomyces. Kandungan MOD 71 juga terdiri dari jamur Trichoderma sp, Aspergillus, Gliocladium, dan Penicilium (BBPPTP, 2015).

Untuk proses mengaktifkan MOD (microorganism decomposer) sama seperti proses mengaktifkan EM4.

2.5 Ciri-ciri Kompos yang Sudah Matang

Berdasarkan SNI 19-7030-2004, setelah semua proses pembuatan kompos dilakukan, mulai dari pemilahan bahan, pengadaan bahan, perlakuan bahan, pencampuran bahan, pengamatan proses, pembalikan kompos sampai menjadi kompos, maka dapat dilihat ciri-ciri kompos yang sudah jadi dan baik adalah sebagai berikut:

1. Warna kompos coklat kehitaman

2. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan.


(59)

3. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah.

Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik yaitu standar nasional Indonesia (SNI) No : 19-7030-2004. Spesifikasi ini menetapkan kompos dari sampah organik domestik yang meliputi, persyaratan kandungan kimia, fisik dan bakteri yang harus dicapai dari hasil olahan sampah organik domestik menjadi kompos, karakteristik dan spesifikasi kualitas kompos dari sampah organik domestik.

Menurut SNI: 19-7030-2004, kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut:

1. C/N - rasio mempunyai nilai (10-20): l 2. suhu sesuai dengan suhu air tanah

3. berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah 4. berbau tanah

Unsur mikro nilai-nilai ini dikeluarkan berdasarkan:

1. konsentrasi unsur-unsur mikro yang penting untuk pertumbuhan tanaman (khususnya Cu, Mo, Zn)

2. logam berat yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan tergantung pada konsentrasi maksimum yang diperbolehkan dalam tanah, seperti dalam Tabel I spesifikasi kompos dari sampah organik domestik.

Kompos yang dibuat tidak mengandung bahan aktif pestisida yang dilarang sesuai dengan Kepmen Pertanian No 434.1/KPTS/TP.27017/2001 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida pada Pasal 6 mengenai Jenis-jenis Pestisida yang mengandung bahan aktif yang telah dilarang.


(60)

Tabel 2.1. Standar Kualitas Kompos Berdasarkan SNI: 19-7030-2004

2.6. Manfaat Kompos

Manfaat kompos adalah sebagai berikut: 1. Memperbaiki sifat-sifat atau struktur tanah

Pemberian kompos pada tanah banyak memberikan keuntungan. Misalnya, pemberian kompos pada tanah berpasir akan menyebabkan bersatunya butiran-butiran pasir.Hal tersebut akan membuat tanah menjadi gembur dan menyuburkan tanaman. Sementara itu, pemberian kompos pada tanah lempung dapat meregangkan ikatan butiran penyusun tanah sehingga susunan tanah menjadi gembur dan sangat baik untuk ditanam.

2. Memperkaya mikroba tanah

Kompos mengandung sejumlah mikroba didalamnya. pemberian kompos berarti menambah atau memasukkan mikroba di dalam tanah.

3. Meningkatkan Unsur Hara Tanah

Kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang penting bagi pertumbuhan tanaman pemberian unsur hara akan meningkatkan unsur hara pada tanah.


(61)

4. Meningkatkan kemampuan Daya serap air Yang lebih baik

Pemberian kompos pada tanah berdampak pada kemampuan mengikat air Oleh karenanya, kehilangan air pada musim kemarau dapat diperkecil karena kompos telah mengikat air cukup baik pada saat musim hujan.

5. Memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah

Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Kompos akan mengembalikan kesuburan tanah. Tanah keras akan menjadi lebih gembur. Tanah miskin akan menjadi subur. Tanah masam akan menjadi lebih netral. Tanaman yang diberi kompos tumbuh lebih subur dan kualitas panennya lebih baik daripada tanaman tanpa kompos.

6. Menyehatkan tanah dan tanaman

Tanaman yang diberi kompos akan memperoleh cukup unsur hara sehingga tanaman akan kuat dalam menghadapi serangan hama penyakit yang menyerang. Kompos juga menjadi media bagi tumbuh kembangnya cacing yang diketahui dapat menyuburkan tanaman.

7. Bermanfaat bagi lingkungan sekitar

Mengurangi bertumpuknya sampah organik yang berserakan di sekitar tempat pengangkutan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menyelamatkan lingkungan dari kerusakan, seperti: gangguan bau, selokan macet, banjir, tanah longsor, dan penyakit yang ditularkan oleh serangga dan binatang pengerat.


(62)

2.7 Manfaat Pemakaian Pupuk Organik Bagi Kesehatan 2.7.1 Makanan Organik Lebih Sehat

Untuk mencegah tubuh tetap sehat, kita memerlukan asupan makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan keamanannya. Salah satu cara yang dapat dipertimbangkan untuk memenuhinya adalah dengan memilih makanan organik. Makanan organik adalah semua jenis bahan pangan yang berasal dari organisme hidup (hewan dan tanaman) yang tidak mempunyai kandungan kimia tambahan, (pestisida, insektisida, dan hormon). Manfaat makanan organik sudah diteliti mampu meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan proses degeneratif, mencegah terjadinya paparan radikal bebas, regenerasi sel dan optimilisasi antibodi. Beberapa penelitian menunjukkan, susu organik mempunyai lebih dari 60-80% kandungan nutrisi dibandingkan susu konvensional. Sedangkan seperti tomat, kentang, bawang kubis mempunyai 20-40% lebih kandungan antioksdan dibandingkan buah dan sayuran konvensional. Hal tersebut dapat disiasati dengan mulai menanam tanaman-tanaman rumahan (Susetye, 2014).

2.7.2 Kelebihan Makanan Organik

Menurut hasil penelitian makanan organik lebih bergizi daripada makanan biasa dapat memanjangkan umur dan mencegah penyakit. Berikut ini kelebihan makanan organik (Susetya, 2014) :

1. Memiliki antioksidan 50% lebih banyak

Menurut sebuah penelitian yang dibiayai oleh Uni Eropa, buah dan sayur anorganik memiliki 50% lebih banyak antioksidan yang dipercaya para ahli dapat menurunkan resiko penyakit kanker dan jantung. Makanan organik juga


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... xii

Riwayat Hidup ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Sludge ... 5

2.2. Pengertian Kompos ... 7

2.3. Prinsip Dasar Pembuatan Kompos ... 8

2.3.1. Prinsip Dasar Pengomposan Aerob ... 8

2.3.2. Prinsip Dasar Pengomposan Secara Anaerob ... 15

2.4. Aktivator ... 18

2.4.1. Jenis-jenis Aktivator ... 19

2.5. Ciri-ciri Kompos yang Sudah Matang ... 22

2.6. Manfaat Kompos ... 24

2.7. Manfaat Pemakaian Pupuk Organik Bagi Kesehatan ... 26

2.7.1. Makanan Organik Lebih Sehat ... 26

2.7.2. Kelebihan Makanan Organik ... 26

2.8. Kerangka Konsep ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 29

3.2.2. Waktu Penelitian ... 39

3.3. Objek Penelitian ... 29

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4.1. Alat Penelitian ... 30

3.4.2. Bahan Penelitian ... 30

3.4.3. Prosedur Kerja Pengaktifan EM4 dan MOD ... 30


(2)

3.4.4. Prosedur Kerja Pembuatan Kompos ... 31

3.4.5. Prosedur Penelitian ... 32

3.5. Definisi Operasional ... 34

3.6. Metode Pengukuran ... 35

3.7. Metode Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 36

4.1. Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Suhu) 36 4.2. Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (pH) ... 37

4.3. Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Warna) 39 4.4. Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter Fisik (Bau) .... 40

4.5. Efektivitas EM4 dan MOD Sebagai Aktivator pada Proses Pengomposan Sludge Limbah Cair Domestik ... 42

BAB V PEMBAHASAN ... 44

5.1. Suhu ... 44

5.2. pH ... 46

5.3. Warna ... 49

5.4. Bau ... 51

5.5. Efektivitas EM4 dan MOD Sebagai Aktivator pada Proses Pengomposan Sludge Limbah Cair Domestik ... 53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(3)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Kerangka Konsep ... 28 Gambar 3.1. Skema Penelitian Aktivator EM4 ... 33 Gambar 3.2. Skema Penelitian Aktivator MOD... 33 Gambar 4.1. Grafik Hasil Pengukuran Berdasarkan Parameter Fisik

(Suhu) ... 37 Gambar 4.2. Grafik Hasil Pengukuran Berdasarkan Parameter Fisik

(pH)... 38


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Standar Kualitas Kompos Berdasarkan SNI: 19-7030-2004 . 24

Tabel 4.1. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter

Fisik (Suhu) ... 37

Tabel 4.2. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter

Fisik (pH) ... 38

Tabel 4.3. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter

Fisik (Warna) ... 40

Tabel 4.4. Pengukuran Kematangan Kompos Berdasarkan Parameter

Fisik (Bau) ... 41

Tabel 4.5. Tabel Hasil Uji Statistik Menggunakan Uji-t Berdasarkan

Nilai Rata-rata Suhu ... 42

Tabel 4.6. Tabel Hasil Uji Statistik Menggunakan Uji-t Berdasarkan

Nilai Rata-rata pH ... 43


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Master Data ... 60

Lampiran 2. Output SPSS ... 61

Lampiran 3. Dokumentasi penelitian ... 65

Lampiran 4. Surat Izin Penelitian ... 67


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rahmi Haryani Harahap

Tempat Lahir : Gunung Tua

Tanggal Lahir : 14 Januari 1993

Janis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku Bangsa : Batak Mandailing

Anak ke : 2 dari 4 bersaudara

Alamat Rumah : Jl. Villa Gading Mas II Blok FF No. 24 Medan

Nama Ayah : Gembira Harahap

Suku Bangsa Ayah : Batak Mandailing

Nama Ibu : Gustini Simbolon

Suku Bangsa Ibu : Batak

Riwayat Pendidikan :

1. SD/Tamat tahun : SD Negeri 104050 Gunung Tua / 2005

2. SMP/Tamat tahun : MTs S. Baharuddin / 2008

3. SMA/Tamat tahun : SMA Negeri Plus Spirok / 2011

4. Tahun 2011-2015 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU