Tinjauan Yuridis Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur Ditinjau Dari Sudut Kriminologi (Studi Kasus Putusan NO. 95/Pid.B/2013/PN.MDN)”

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku ;

Abdulsyani, Sosiologi Kriminalitas, Bandung: CV. Remadja Karya, 1987. Abdussalam, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007.

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 1998.

Atmasasmita, Romli, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1997.

Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995.

Ali, Zainudin, Metode penelitian Hukum, Jakarta : Sinar grafika, 2009

Bonger W. A., Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Penerbit PT. Pembangunan, 1962.

Ediwarman, Monograf: Kriminologi, Medan: Fakultas Hukum USU, 2012. Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency, Pemahaman dan

Penanggulangannya, Bandung: Citra Bakti, 1997.

Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Penerbit Nuansa, 2008. Kartono, Kartini, Psikologi Anak, Bandung: Alumni, 1979.

Kartono, Kartini, Patologi sosial 2 kenakalan remaja, Jakarta: Rajawali, 1992. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, 1990.

Liklikuwata, Henkie, Sosiologi Hukum Pidana Kejahatan dan Penjahat suatu sketsa, Jakarta: Ind-Hillco, 1990.

Luhulima, AchieSudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT. Alumni, 2000.

Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo, Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 2013.

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Nugroho, Fentini, Jurnal Sosiologi Masyarakat: Studi Eksploratif Mengenai

Tindakan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga, JurusanSosiologi FISIP UI- Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.


(2)

R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA, Bogor: Politea, 1994.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2007. Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: CV. Mandar

Maju, 1994

Sambas, Nandang, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

J. E Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005

Simajuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Bandung:Tarsito, 1977. Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramitha, 1992.

Suharto, Edi, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, Lembaga Studi Pembangunan–Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1997.

Suharto, Edi, Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Anak, Bandung, 2003.

Susanto, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana, 2010.

Internet :

www.google.com,

http://detikNews.html, diakses pada hari Jumat, 20 Desember 2013.

http://kompas.html, diakses pada hari Sabtu, 9 November 2013

PeraturanPerundang-undangan :

Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(3)

BAB III

TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI KUHP,

UU PERLINDUNGAN ANAK (UU NO. 23 TAHUN 2002),

DAN UU SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (UU NO. 11 TAHUN 2012)

A. Kekerasan Seksual terhadap Anak di bawah umur ditinjau dari KUHP Kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi dari masyarakat bahkan ketidakpuasan terhadap pidana yang telah dijatuhkan. Selain daripada pemerkosaan dan pemidanaan terhadap permekosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan/pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana dimuat dalam BAB II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal tersebut dibebankan kepada penegak hukum.

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.

Dalam pembahasan ini penulis akan uraikan atau deskripsikan posisi korban kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif (KUHP).

Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Pasal 289 dan Pasal 290. Disini penulis membahas Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Dalam rumusan KUHP dirumuskan perbuatan perkosaan pada Pasal 289 yang bunyinya sebagai berikut:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.


(4)

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat dikawin.

3. Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalu tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan oranglain dengan tiada kawin.

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah:

1) barangsiapa,

2) dengan kekerasan, atau 3) dengan ancaman kekerasan, 4) memaksa,

5) seorang wanita yang belum masanya kawin, 6) adanya percabulan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cabul diartikan keji, kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).


(5)

Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal 289 KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan. Sanksi minimalnya tidak ada sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.

Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan pasal 289 oleh hakim, hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak semata-mata bias menyalahka hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya.

1. tentang unsur “barang siapa” dalam KUHP memang tidak penjelasan rinsci. Namun kalau kita lihat dalam Pasal 44, 45, 46, 48, 49,50, dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” atau subjek tindak pidana adalah orang atau manusia. Bukti lain yang menunjukkan bahwa subjek tindak pidana adalah orang lain ialah untuk penjatuhan pidana diharuskan adanya kesalahan atau kemampuan bertanggung jawab dalam hokum pidana sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila dikenakan pada orang atau manusia.

2. Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini antara lain bias berupa perbuatan menindih, memegang, melukai, mendekap dan perbuatan sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik yang menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.


(6)

Dalam tindak perkosaan, kekerasan ini dilakukan oleh pelaku sebagai upaya untuk mewujudkan maksud dan niatnya untuk bersetubuh dengan korban. Sudah barang tentu ini dilakukan karena adanya pertentangan kehendak.

Dalam kasus tindak pidana percabulan, berlaku prinsip semakincepat kasus dilaporkan dantempat kejadian perkara diamankan, maka akan semakin cepat tertangkap pelakunya. Untuk menentukan ada atau tidaknya sperma dalam tubuh korban, paling lama visum dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan.

3. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak orang yag mengancam dengan kekerasan.

4. Unsur “memaksa” dalam pencabulan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan apabila tidak ada pemaksaan.

5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya untuk kawin” atau anak-anak di bawah umur atau seseorang yang umurnya belum cukup 15 tahun. Terhadap “wanita yang belum dewasa” memerlukan perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berniat bersetubuh dangan wanita tersebut mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar. Anak-anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan menarik paksa si anak untuk masuk ke rumah dan kemudian ke kamar si pelaku. Dan si pelaku meyuruh si korban untuk membuka seluruh pakaiannya dan langsung menyetubuhinya.


(7)

6. Untuk selesainya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur maka harus terjadi pencabulan yang dilakukan pelaku kepada korban.

Adapun tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau penetrasi antara lain:

a. Robeknya selaput dara (hymen) dalam hal anak-anak sebelum dicabuli masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan berbeda antara hubungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya robekan hymen akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.

b. Tanda kekerasan pada vagina (vulva) yang dimana si pelaku memasukkan penisnya secara paksa atau tergesa-gesa.

c. Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.

Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya:

a) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang anak perempuan dan menyentuhkan pada alat kelaminnya;

b) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.

Konsep mengenai kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur/ Paedofilia ini sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing kejahatan tersebut telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.

Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga dapat dijatuhi


(8)

sanksi berupa denda yanratus g sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) bagi setiap pelaku Paedofilia yang tertangkap sebagai ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya.

Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa mengimbangi ancaman hukuman yang digariskan hukum Islam. Padahal dalam hukum Islam, kalau kasus seperti itu yang terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah hukuman mati.

Idealnya, pembaharuan hukum yang hendak direncanakan sebagai bagian dari konsekuensi politik hukum di Indonesia ini adalah dapat mengacu pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban kejahatan.

B. Kekerasan Seksual terhadap Anak di bawah umur ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002)

Seperti yang kita ketahui bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat dan martabat serta hak-haknya sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Undnag-Undang 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak anak-anak. Dari sisi kehidupan anak adalah penerus masa depan bangsa dan penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan.

Perlindungan pada anak-anak masih memerlukan suatu undang-undnag mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukkan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun social. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan


(9)

kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai ahlak mulia dan nilai pancasila.

Berangkat dari konteks yang ada di atas, maka penulis akan mengangkat tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak ini. Dalam Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi:

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1) Diskriminasi, misalnya perlakua yang membedakan suku, agama, ras, jenis kelami, etnik, dan bahasa;

2) Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan seorang anak untuk memperoleh keuntungan dalam hal seksualitas;

3) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, misalnya seperti tindakan atau perbuatan secara zolim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak dan perbuatan melukai dan atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial;

4) Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan-tindakan pelecehan seksual dan perbuatan tidak senonoh kepada anak.

Seperti yang suah dijelaskan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini sungguh sangat merugikan korban-korbannya yang sebagian besar adalah anak-anak. Untuk itu diharapkan dengan hadirnya UU ini ditengah-tengah masyarakat, dapat membuat takut para pelaku.

Menurut penulis ketentuan pidana yang terdapat dalam undnag-undang ini sudah cukup baik di dalam penjatuhan hukuman. Karena dengan masa hukuman yang cukup lama dapat membuat para pelaku menjadi jera dan takut untuk melakukannya.


(10)

1. Pasal 80 ayat 1 UU No. 23/2002, yang berbunyi: “ Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah)”.

2. Pasal 81 ayat 1 UU No. 23/2002, yang berbunyi: “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan oranglain, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

3. Pasal 82 UU No. 23/2002, yang berbunyi: “ Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau anacaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebihingan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

Ancaman hukuman yang diberikan undang-undang ini cukup tinggi, namun untuk menjatuhkan dan menerapkan hukumannya sangat sulit. Hal ini disebabkan, karena untuk dapat dihukum, si pelaku harus dapat memenuhi unsur-unsur, seperti harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak-anak bersetubuh dengan dia. Apabila semua itu tidak dapat dibuktikan di persidangan tersangka tidak dapat dihukum dengan tuduhan memperkosa.

Karena itu, sering terdengar kasus-kasus yang memprihatinkan. Hakim, jaksa, dan polisi gagal memperoleh bukti-bukti perkosaan yang dilakukan tersangka. Hingga banyak pelaku pemerkosaan, yang meninggalkan sejumlah penderitaan bagi para korban yang diperkosa, karena pelaku lolos dari jarring-jaring hukum.


(11)

C. Kekerasan Seksual terhadap Anak di bawah umur ditinjau dari Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (UU No. 11 Tahun 2012)

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak UU No. 11 Tahun 2012, kebanyakan yang dibahas adalah tentang kenakalan anak (juvenile delinquency). Secara etimologis, istilah juvenile delinquency berasal dari bahasa latin Juvenils yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; dan delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan. Kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Dengan demikian, juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan itu disebut delinquen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur antinormatif. Dalam UU No, 11/2012anak yang berhadapan dengan hukum dibagi dalam tiga bagian,yaitu :

1. anak yang berkonflik dengan hukum, 2. anak yang menjadi korban tindak pidana, 3. anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Ada dua kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :

a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewas tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

b. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.


(12)

Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum.

Anak yang berkonflik dengan hukum, secara tegas memiliki jaminan hak asasi anak yang sudah dimasukkan dalam UU Sistem Peradilan Anak, dimana itu merupakan konsekuensi dari politik hukum perlindungan hak-hak anak. Hal yang penting di sini adalah bahwa sebenarnya anak bukanlah untuk dihukum, sehingga jaminan hak anak tersebut merupakan penjelmaan upaya memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak yang berkonflik dengan hukum.

Rumusan hak-hak anak yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Sistem Peradilan Anak berupaya untuk memberikan jaminan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak, yakni prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.

Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dan juga si anak tersebut dapat dikategorikan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.

Anak korban dan anak saksi diatur dalam BAB VII UU Sistem Peradilan Anak, terdiri dari 3 pasal, yakni Pasal 89, 90, dan 91. Anak korban dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, baik itu dalam Konvensi Anak, UU Perlindungan Anak, UU HAM, dan lain-lain. Keberadaan anak korban dan anak saksi menunjukkan perhatian khusus dari legislator dalam politik hukumnya untuk memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi mereka yang sering kali diabaikan, mengingat para pihak sering kali lebih terfokus pada anak pelaku. Pada Pasal 90 ayat 1 ditentukan bahwa anak korban dan anak saksi berhak atas:


(13)

a) Upaya rehabilitasi medis da rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b) Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial;

c) Kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Sementara itu dalam Pasal 91 ditentukan bahwa:

1) Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk anak, anak korban, atau anak saksi ke instansi atau lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial ank. 2) Dalam hal anak korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk anak korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani perlindungan anak sesuai dengan kondisi anak korban.

3) Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, anak, anak korban, dan/atau anak saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegritasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak. 4) Anak korban dan/atau anak saksi yang memerlukan perlindungan dapat

memperoleh perlindungan dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau rumah perlindngan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dari bunyi pasal 90 tersebut, jelas, lugas dan tegas bahwa baik anak pelaku, anak korban, dan anak saksi harus diberikan perlindungan dan penanganan yang sebaik mungkin. Dengan demikian, prinsip utama perlindungan anak adalah kepentingan terbaik bagi anak, nondiskriminasi, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta prinsip partisipasi anak dapat terjamin. Peran serta masyarakat tertuang dalam Bab IX dan terdiri atas 1 pasal yakni pasal 93 UU Sistem Peradilan Anak. Dalam pasal tersebut disebutkan


(14)

bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak dengan cara:

1. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang;

2. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak;

3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak;

4. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan pendekatan keadilan restoratif;

5. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan;

6. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak; atau

7. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak.

Anak yang menjadi korban tindak pidana dan sekaligus anak yang menjadi saksi tindak pidana tersebutlah yang sangat tepat dikaitkan ke dalam kasus yang terdapat dalam skripsi ini, dimana anak tersebut telah menjadi korban dan saksi atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya dan anak tersebut harus mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum selama kasusnya dipersidangkan.


(15)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI (STUDI KASUS PUTUSAN

NO. 95/Pid.B/2013/PN.MDN)

A. KASUS

Terdakwa Khairuddin alias ADEK pada hari, tanggal, dan bulan yang tidak bisa ditentukan lagi tahun 2004 sampai dengan hari Selasa tanggal 22 Mei 2012 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2004 sampai dengan 2012 bertempat di Jalan Cinta Karya Gg. Bengkok No. 21 Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Kotamadya Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yakni Indah Permata Sari.

B. ANALISA KASUS

Berdasarkan kasus yang penulis dapatkan di Pengadilan Negeri Medan terdapat putusan pidana NO. 95/Pid.B/2013/PN.MDN termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, maka dalam hal ini penulis akan memberikan tanggapan atau analisa terhadap kasus tersebut.

Dari segi yuridis, Terdakwa melanggar Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Yang dimana dalam pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur setiap orang


(16)

Unsur ini menunjuk siapa pelaku atau subjek dari tindak pidana yang dimaksud dalam Surat Dakwaan. Dalam persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa menerangkan identitas yang sama dengan identitas dalam Surat Dakwaan yaitu Khairuddin alias ADEK, kemudian karena tidak diketemukan fakta-fakta yang dapat menghilangkan atau menghapuskan kesalahan terdakwa, maka dengan demikian dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

2. Unsur dengan sengaja

Dalam teori dasar Hukum Pidana, kata “sengaja” digambarkan dalam arti “tahu” dan “dikehendaki” artinya terdakwa tahu akibat apa yang akan timbul dari perbuatan tersebut, sebab terdakwa sejak semula telah mengetahui bahwa orang yang ia cabuli adalah bukan isterinya dan lagi masih anak di bawah umur yakni Indah Permata Sari dan akibat dari perbuatan cabul tersebut, Indah Permata Sari mengalami luka robek pada selaput dara dari hasil Visum et Ripertum Nomor: R/236/VER/2012/RS.Bhayangkara, tanggal 17 Oktober 2012, yang ditanda tangani oleh Dr. Syamsul SpOG pada Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan.

3. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

Bahwa unsur ini bersifat alternatif berarti bahwa apabila salah satu perbuatan dalam unsur ini telah terbukti maka unsur ini juga harus dinyatakan telah terbukti. Dari pemeriksaan persidangan diperoleh fakta


(17)

bahwa terdakwa Khairuddin alias ADEK mau melakukan perbuatan cabul dengan saksi korban (Indah Permata Sari), sehingga saksi merasa kesakitan dan kemudian menjerit dan langsung ditampar pipinya oleh terdakwa sambil mengatakan, “Jangan kau menjerit ku bunuh oma kau, biar gak ada oma lagi”.

Selain dari UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Terdakwa juga dapat dikenakan Pasal 285 KUHP menyatakan, “ Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Yang dimana unsur-unsur objektif, yakni:

a) Barangsiapa

Dalam Pasal 285 KUHP, barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal ini, maka ia dapat disebut pelaku.

b) Dengan kekerasan atau

Karena dalam undang-undang maupun yurisprudensi tidak memberikan arti yang tepat dalam kata “kekerasan”, maka Prof. Simons mengartikan kekerasan ialah setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan. c) Dengan ancaman akan memakai kekerasan

Dalam undang-undang, dengan ancaman akan memakai kekerasan tidak memberikan penjelasannya. Karena kekerasan tidak hanya dapat dilakukan


(18)

memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh Prof. Simons, melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuah alat, sehingga tidak diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak dengan senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman, yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam.

d) Memaksa

Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan.

e) Seorang wanita

f) Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan g) Dengan dirinya

Yang dimaksud dengan kata-kata “dengan dirinya” ialah diri orang yag dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan di luar perkawinan.

Dari segi kriminologi, jenis kejahatan yang cocok dikenakan pada Terdakwa (Khairuddin alias ADEK) adalah The Episodic Criminals, yakni pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya sebagai akibat dorongan perasaan/emosi yang mendadak tak terkendali. Dalam kasus ini, terdakwa melakukan kekerasan seksual karena adanya


(19)

dorongan perasaan/ emosi yang mendadak tak terkendali. Faktor penyebab kejahatan kekerasan seksual terjadi pada anak di bawah umur antara lain:

1. Faktor keinginan

Yang dimaksud dengan faktor keinginan adalah: suatu kemauan yang sangat kuat yang mendorong si pelaku untuk melakukan sebuah kejahatan. Misalnya seseorang yang setelah menonton suatu adegan atau peristiwa yang secara tidak langsung telah menimbulkan hasrat yang begitu kuat dalam dirinya untuk meniru adegan tersebut. Dalam kasus tersebut, si Terdakwa telah menonton suatu adegan yang secara tidak langsung menimbulkan hasrat dalam diri si Terdakwa.

2. Faktor kesempatan

Adapun yang dimaksud dengan faktor kesempatan disini adalah: suatu keadaan yang memungkinkan (memberi peluang) atau keadaan yang sangat mendukung untuk terjadinya sebuah kejahatan. Faktor kesempatan ini biasanya banyak terdapat pada diri si korban seperti:

 Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak - anaknya, hal ini disebabkan orang tua sibuk bekerja.

 Kurangnya pengetahuan si anak tentang seks, hal ini didasarkan kepada kebudayaan ketimuran yang menganggap bahwa pengetahuan seks bagi anak merupakan perbuatan yang tabu. Sehingga anak dengan mudah termakan rayuan dan terjerumus tanpa mengetahui akibatnya.

Dalam kasus putusan ini, si korban (Indah Permata Sari) sering dititipkan oleh kedua orang tuanya kepada si Terdakwa (Khairuddin alias ADEK) karena kedua orang tua korban pergi bekerja. Dan itu membuat si terdakwa mendapatkan kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korban.


(20)

Faktor lemahnya iman di sini merupakan faktor yang sangat mendasar yang menyebabkan seseorang melakukan sebuah kejahatan. Dalam kasus putusan tersebut, terdakwa memiliki iman yang lemah, dimana terdakwa telah melakukan kekerasan seksual terhadap korbannya yang bernama Indah Permata Sari.

Jika ketiga faktor itu telah terkumpul, maka perbuatan akan terlaksana dengan mudah. Tapi apabila salah satu dari ketiga faktor tersebut di atas tidak terpenuhi maka kejahatan tidak mungkin terjadi. Misalnya saja apabila hanya ada faktor keinginan dan faktor lemahnya iman, sedangkan faktor kesempatan tidak ada maka perbuatan itu tidak akan terjadi. Demikian juga apabila hanya ada faktor kesempatan, sedangkan faktor keinginan tidak ada serta faktor imannya ada maka perbuatan itu juga tidak akan terjadi. Tetapi faktor yang paling menentukan dalam hal ini adalah: faktor lemahnya iman. Jika lemahnya iman seseorang atau iman seseorang tidak ada, maka perbuatan pasti akan terjadi tanpa ada yang dapat mencegahnya.

Motivasi kekerasan seksual ini dapat terjadi karena lingkungan, dimana Terdakwa tinggal di dusun yang begitu padat penduduknya sehingga mengakibatkan kesesakan, dan ini menjadi pemicu terdakwa dalam melakukan kekerasan seksual tersebut secara berulang-ulang dan dengan cara paksaan. Dalam kasus diatas dilihat bahwa kejadian tersebut berlangsung sangat lama yaitu sekitar 8 (delapan) tahun. Hal ini terjadi karena korban (anak) tersebut tidak berani melaporkan kejadian yang telah dialaminya, disebabkan korban diancam oleh pelaku. Namun hal itu akhirnya diketahui oleh Ibunya Indah, ketika Indah dijemput dari rumah temannya keesokan harinya.Ibu Indah melihat ada bekas merah pada bagian lehernya. Dan setelah itu ibu Indah menceritakan hal tersebut ke Risdiani untuk meminta bantuan dan melaporkan hal tersebut dan pelaku akhirnya tertangkap.

Penanggulangan yang dapat dilakukan oleh ke dua belah pihak antara lain: a) Metode Per-Entif

Metode ini merupakan suatu upaya untuk mencegah secara dini agar tidak terjadi kejahatan dalam masyarakat.


(21)

Sistem ini dapat dilakukan bersifat moralistis yaitu bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarkan norma-norma maupun ajaran agama kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengekang nafsu untuk berbuat jahat.

Dan di samping itu melakukan pembimbingan disiplin terhadap anak-anak remaja seperti melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah tingkat SLTP dan SLTA sampai keperguruan tinggi dalam bentuk ceramah-ceramah mengenai kejahatan yang dipandang perlu agar dapat menjaga diri.

b) Metode Preventif

Metode ini mencegah terjadinya kejahatan yang sudah terlibat adanya kecenderungan ke arah itu misalnya mengadakan razia terhadap para anak, para pelajar, para mahasiswa. Di tempat-tempat ramai seperti di plaza, karaoke, diskotik dan lain-lain agar mereka terlepas dari sasaran perbuatan jahat.

c) Metode Represif

Metode ini diterapkan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan, kemudian diproses dan dilanjutkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

d) Metode Reformasi

Metode ini merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan-pengurangan jumlah kejahatan. Menurut Sutherland ada beberapa metode ini antara lain:

 Metode klasik

Metode ini memberikan hukuman yang cukup berat. Cara ini memperlihatkan teori hedonistic yang nyata dan berpegang pada pendapat publik.

 Metode klinis

Metode ini adalah reformasi klinis, dimana penjahat dimasukkan ke dalam penjara, dipencilkan seorang diri untuk merenungkan kejahatan yang telah dilakukannya agar supaya insyaf dari kesalahannya dan menimbulkan rasa sesal serta taubat.


(22)

 Metode moralistik

Metode ini dilakukan dengan jalan menarik dan memberikan kotbah-kotbah serta dorongan perorangan atas nama Tuhan dan lain-lain. Dorongan ini menimbulkan pergolakan dalam diri narapidana. Cara ini merupakan cara yang penting bagi social control.

 Metode resolusi

Metode ini dilakukan dengan cara menginduksi penjahat agar menunjukkan jaminan bahwa ia telah sadar dan akan memperbaiki dirinya. Hal ini tidak dapat dipertanggung jawabkan karena reformasi mencakup masalah hubungan sosial yang konflik yang tidak dapat dirubah dengan adanya resolusi saja.

 Metode menempatkan narapidana dengan pengawasan yang konstan. Metode ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dimana penjara berbentuk sangkar dengan pengawas pada menara di tengahnya yang melakukan pengawasan setiap saat pada narapidana.

Dalam kasus putusan ini, tertangkapnya pelaku karena telah terpenuhinya syarat formil seperti yang terdapat dalam putusan pidana. Syarat formil tersebut terdapat dalam Pasal 143 ayat 2 (a) dan (b) yang berbunyi :

a. Nama lengkap, tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka

b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat pidana tersebut dilakukan.

Bercermin pada kasus di atas, ada dua prinsip dasar Undang-Undang Perlindungan Anak yang dilanggar yakni :

a. Prinsip meletakkan anak dalam konteks hak-haknya untuk bertahan hidup dan berkembang.

b. Prinsip kepentingan terbaik anak, dimana tiga hak dasar tersebut telah dilanggar, yakni :


(23)

2) Hak atas perlindungan hidup; dan 3) Hak untuk tumbuh kembang.

Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan Anak, menyatakan,

“ Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat”. Upaya ini bertujuan untuk mencegah :

1) Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah

2) Penggunaan anak yang secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lainnya yang tidak sah.

3) Penggunaan anak secara eksploiatif dalam pertunjukkan-pertunjukkan dan perbuatan yang bersifat pornografis.

Pasal 66 ini, menghendaki adanya tanggung jawab Negara dan masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anak dari tindakan eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Jika dikaitkan dengan pasal ini, dalam kasus di atas anak telah di paksa untuk menuruti perintah pelaku dan juga pelaku telah mengeluarkan ancaman agar kemauannya terwujud .

Pasal 64 UU Perlindungan Anak, menyatakan, “pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, eksploitasi atau penyalahgunaan, penyiksaan atau setiap bentuk kekerasan lainnya yang dilaksanakan melalui : upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; upaya perlindungan dari pemberitaan media massa; pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban, saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial; dan pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara”. Maksud dari pasal ini adalah pemerintah diharapkan juga ikut bertanggung jawab dalam memberikan rehabilitasi bagi anak-anak yang telah menjadi korban dalam kekerasan seksual. Jika dikaitkan dengan pasal ini, kasus di atas yang mengalami kekerasan seksual anak sudah seharusnya mendapatkan


(24)

perlindungan dari pemerintah agar jiwa anak tersebut tidak mengalami mental ataupun psikis yang menurun.

Empat permasalahan yang harus diatasi terhadap korban kekerasan seksual adalah sebagai berikut :

1. Permasalahan trauma psikis

Dimana ini berkaitan dengan dampak dari perlakuan salah yang diterima oleh korban. Dalam kasus ini, korban yang telah mengalami kekerasan seksual pada masa anak- anak biasanya adalah:

a. Kurangnya motivasi/harga diri;

b. Problem kesehatan mental, misalnya kecemasan yang berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur;

c. Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen, seperti terkena infeksi akibat paksaan dari kekerasan seksual tersebut;

d. Problem-problem kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, ketularan penyakit menular seksual;

e. Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan;

f.Mimpi buruk dan serba ketakutan; g. Kehilangan nafsu majan; h. Belajar lamban;

i.Kematian karena merasa malu.

Jika ini tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat, maka dapat menimbulkan trauma seumur hidup dalam diri korban sehingga itu akan dilakukannya juga ketika dia dewasa nanti.

2. Permasalahan sosial

Dimana permasalahan ini berkaitan dengan respon keluarga dan masyarakat di lingkungan korban. Pandangan keluarga dan masyarakat terhadap korban akan sangat mempengaruhi perkembangan anak, misalya orang tua yang selalu menanyakan setiap kegiatan apa saja yang dilakukan oleh anaknya.


(25)

Itu dapat membuat orang tua dan anak berkomunikasi dengan lancar dan membuat anak terlepas dari kekerasan seksual.

3. Permasalahan hukum

Dimana berkaitan dengan penuntasan kasusnya secara hukum.Sebab seringkali hukum tidak mampu memberikan perlindungan bagi para korban dan lebih berpihak pada pelaku.Hal ini dapat dilihat dari ancaman pidana bagi pelaku kejahatan seksual yang masih sangat rendah.Sehingga itu dapat membuat si pelaku tidak jera dan melakukan kekerasan seksual lagi kepada anak-anak lainnya.

4. Hukum pidana yang dipakai saat ini kurang mampu untuk menghukum kejahatan maupun pelanggaran yang ada. Di samping produk Kolonial Belanda dan kurang mampu mengkoordinir semua kejahatan dan pelanggaran yang berkembang semakin pesat. Untuk memberantas kejahatan terhadap anak sebaiknya polisi dan hakim menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, karena ancaman hukuman di undang-undang ini jauh lebih berat. Jika para hakim menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak maka pemberian sanksinya maksimal 15 (lima belas) tahun bagi pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan denda maksimal Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan selain itu hakim juga dapat menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012. Dimana dalam undang-undang ini terdapat perlindungan dan hak bagi anak sebagai korban tindak pidana dan anak sebagai saksi tindak pidana, dalam Pasal 90 ayat (1), yang berisi :

a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

c. Kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.


(26)

Dilihat dari kasus yang penulis bahas dalam skripsi, sanksi hukuman yang dibebankan kepada pelaku sangatlah ringan yaitu 7 tahun 6 bulan dan dendanya juga sangat sedikit yaitu sebesar Rp 60.000.000,- karena dilihat dari tindakan terdakwa yang selama 8 tahun telah berulangkali memaksa korban untuk memuaskan keinginan nafsu dan birahinya. Seharusnya, menurut hemat penulis, pelaku harus dihukum selama 15 (lima belas tahun) penjara dan denda sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dikarenakan masa depan korban telah hancur dan bakal akan terjadi masalah psikis karena akan mengalami ketakutan sepanjang hidupnya setelah saksi tumbuh menjadi dewasa. Apalagi ketika saksi akan menikah, dia akan terbayang-bayang dengan peristiwa yang menimpa dirinya, dan kemungkinan besar saksi akan ketakutan kepada suaminya karena dia menikah dalam keadaan keperawananya tidak utuh lagi karena sudah direnggut oleh terdakwa.


(27)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan dan melakukan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis memberi kesimpulan dan saran sebagai berikut ini:

1. Tindakan kekerasan seksual sesungguhnya adalah tindakan kriminal yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat khususnya anak di bawah umur. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak pada umumnya disebabkan kurangnya perhatian dari keluarga maupun pihak pemerintah dalam perlindungan anak. Artinya, keluarga berperan besar dalam mendidik anak agar anak memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan daya tahan yang tangguh sehingga tidak menjadi korban seksual berkepanjangan. Di sisi lain, pemerintah harus memiliki keinginan kuat untuk memperkuat sistem keamanan sosial agar tidak terjadi lagi kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

2. Pengaturan tindak pidana kekerasan seksual pada anak sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 95/Pid.B/2013/PN.Mdn, masih belum sepenuhnya mengacu pada UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena hanya menetapkan hukuman 7 tahun 6 bulan dan denda Rp 60.000.000.-

B. Saran

Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak terlebih dahulu berfokus pada anak, yakni dengan mengajari anak metode berani. Metode tersebut adalah sebagai berikut :

a. Badanmu adalah milikmu

Tubuh adalah milik pribadi terutama bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian dalam. Bagian tubuh itu tidak boleh dilihat, apalagi disentuh orang lain. Kadang, anggota keluarga, dokter, atau suster harus menyentuh bagian


(28)

yang tertutup itu. Tapi aturannya, mereka harus menjelaskan mengapa dan apa tujuan sentuhan itu.

b. Enggak ya enggak

Semua orang berhak untuk bilang tidak, enggak, atau melarang orang melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Bahkan, kita punya hak untuk berkata tidak pada mama atau anggota keluarga yang lain. Ingat, yang memiliki kontrol atas tubuh dan perasaanmu itu hanya kita.

c. Rahasia yang harus dibagi

Rahasia yang tidak boleh membuatmu khawatir atau sedih. Jika rahasia itu membuatmu sedih, beritahu mama atau orang dewasa yang kamu percaya, misalnya papa atau guru. Kamu tidak akan mendapat masalah jika berbagi rahasia yang membuatmu sedih.

d. Ayo mengobrol

Jika ada hal-hal yang membuatmu sedih atau khawatir, bicarakan pada mama atau orang dewasa yang lain. Mama akan mendengarkan dan memberi kamu bantuan. Jika kamu segan pada mama, bicarakan pada papa, guru, atau nenek.

e. Niat jahat harus di lawan

Jika ada seseorang yang memaksa kamu untuk membuka baju atau mereka memaksa kamu untuk melakukan hal-hal yang tidak kamu inginkan atau membuat kamu malu, kamu harus melawan. Berteriaklah atau lari meminta bantuan kepada orang dewasa yang lain. Niat jahat orang itu harus dilawan.

f. Ingat! Tubuhmu adalah milikmu

Ingatkan lagi pada anak bahwa tubuhnya adalah miliknya. Tidak ada oranglain yang boleh melakukan hal-hal yang akan membuatnya malu, marah, atau merasa tidak nyaman. Kalau ada yang berusaha demikian, cari bantuan ke mama atau orang dewasa yang lain yang kamu kenal.


(29)

Setelah itu, berfokus pada masyarakat sendiri, yakni dengan mengubah persepsi mereka tentang tindak kekerasan terhadap anak-anak. Namun upaya tersebut selayaknya dapat ditunjang oleh upaya lainnya yang lebih mendekati sasaran, seperti:

a. Pengaturan kembali mengenai tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak dalam ketentuan perundang-undangan, sehingga lebih dapat mencakup banyak perilaku yang sampai kini belum dicakup dalam peraturan perundang-undangan, misalnya polisi dan hakim dalam memberantas kejahatan pada anak khususnya kekerasan terhadap anak sebaiknya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana ancaman hukumannya lebih berat dibandingkan undang-undang yang lainnya termasuk KUHP. Masa hukumannya paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan paling singkat 3 (tiga) tahun penjara.

b. Anak yang mengalami kekerasan seksual tersebut harus diberi perlindungan khusus, seperti:

Mendapat perlindungan dari aparat yang berwenang, ketika anak (korban) tersebut memberikan kesaksian sehingga pelaku dijatuhi hukuman yang sepantasnya;

 Memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban memberi perlindungan pada dirinya, maupun dari perilaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban;

 Memperoleh bantuan medis, psikologis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya, merawat dan menyembuhkan cedera yang dialaminya;

Memperoleh informasi mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim.


(30)

c. Memberlakukan prosedur khusus dalam lembaga penegak hukum terutama kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang berkenaan dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Prosedur ini harus dipastikan dapat menyelesaikan kasus dengan adil dan berlandaskan hukum. Selain itu, diadakan pelatihan para petugas penegak hukum mengenai tindak kekerasan sekual terhadap anak, termasuk melatih mereka agar lebih peka terhadap masalah kekerasan ini. Selain dari lembaga penegak hukum, partisipasi publik juga harus ikut membantu agar terjadi perubahan.


(31)

BAB II

FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR

A. Faktor-Faktor Timbulnya Kekerasan Seksual

Sebelum penulis membahas faktor-faktor timbulnya kekerasan seksual, penulis ingin membahas teori-teori sebab terjadinya kejahatan yang terdapat dalam kriminologi,yaitu:

a) Teori Biologi Kriminal

Cesare Lombroso (1835-1909), seorang dokter kedokteran kehakiman merupakan tokoh penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri fisik (biologis) penjahat. Ajaran-ajaran yang dikemukakan yaitu:

1) Penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat.

2) Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran yaitu diwariskan dari nenek moyang.

3) Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu seperti muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan sebagainya. 4) Bakat jahat tersebut tidak dapat diubah, artinya bakat jahat tersebut

tidak dapat dipengaruhi. b) Teori Psikologi Kriminal

Usaha mencari ciri-ciri psikis pada prara penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di tingkat individu dalam melakukan kejahatan.

c) Teori Sosiologi Kriminal

Dalam teori iini, mempelajari, meneliti, dan membahas hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok baik karena hubungan tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang


(32)

hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan. Teori ini dapat dibagi atas dau bagian antara lain:

1. Non Class Oriented Theories  Teori Ekologis

Teori ini mempersoalkan hubungan antara kejahatan dengan faktor-faktor kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, perbedaan desa dengan kota, daerah delinkwen dengan perumahan.

 Teori Konflik Kebudayaan

Teori ini mempersoalkan hubungan antara kejahatan dengan konflik antara berbagai sistem nilai dalam suatu daerah.

 Faktor Ekonomi

Faktor ini mencoba mencari hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan dan penderitaan rakyat.

 Differential Association Theory (Sutherland)

Menurut teori ini kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil peniruan terhadap perbuatan kejahatan yang ada dalam masyarakat dan ini terus berlangsung.

2. Class Oriented Theory  Teori Anomie

Teori ini menggambarkan keadaan suatu masyarakat dimana himpunan-himpunan peraturan yang mengatur hubungan unsur-unsur dalam sistem sosial menjadi kacau balau, akibatnya ialah bahwa anggota masyarakat mengalami kebingungan sendiri.  Teori Sub Kultur

Teori ini pada dasarnya membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe geng. Teori sub kultur ini sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual.  Teori Labeling (teori label)


(33)

Teori label ini diartikan dari segi pandangan pemberian nama yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label dalam masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. Berdasarkan perspektif ini pelanggaran hukum tidak bisa dibedakan dari mereka yang tidak melanggar hukum, terkecuali bagi adanya pemberian nama atau label terhadap mereka yang ditentukan demikian, oleh sebab itu maka kriminal dipandang oleh teoritisi pemberian nama sebagai korban lingkungannya dan kebiasaan pemberian nama oleh masyarakat.

 Teori Kontrol Sosial (Hirschi)

Teori ini memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyelesaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. Menurut Hirschi, terdapat empat unsur kunci dalam teori sosial mengenai perilaku kriminal, yaitu:

5) Ikatan untuk para remaja yang dipandang penting 6) Keterikatan dalam sub konvensional

7) Berfungsi aktif dalam sub sistem konvensional

8) Percaya pada nilai moral dari norma-norma dan nilai-nilai dari pergaulan hidup.

 Teori Psychoanalitical

Keinginan-keinginan yang ditekan karena tidak memenuhi norma-norma, menimbulkan kejahatan. Sigmund Freud penemu Psikoanalisa hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor diluar kesadaran yang tergolong ke dalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidak beresan atau penyakit.

 Teori Sobural

Sobural sebagai akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor structural dari suatu masyarakat tertentu.


(34)

Tujuan teori sobural bukan semata-mata untuk mencegah kejahatan, melainkan merekayasa hukum dalam kebenaran dan keadilan agar tercipta kedamaian dan kesejahteraan, maka hanya polrilah yang dapat memberitahukan kepada semua aparat pemerintah baik pusat maupun daerah bahwa timbulnya dan semakin meningkatnya kejahatan atau tindak pidana.

Melihat dari teori-teori sebab terjadinya kejahatan menurut kriminologi, maka terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, seperti yang dijelaskan oleh beberapa pakar berikut ini. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarkat, seperti:

1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

2. Kemiskinan keluarga, orangtua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.

3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah, mislanya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah.

5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

6. Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham


(35)

ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.

Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu:

a. Faktor orangtua/keluarga

Faktor orangtua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Factor-faktor yang menyebabkan orangtua melakukan kekerasan pada anak diantaranya:

1) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak:  Kepatuhan anak kepada orangtua

 Hubungan asimetris

2) Dibesarkan dengan penganiayaan 3) Gangguan mental

4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun

5) Pecandu minuman keras. b. Faktor lingkungan sosial/komunitas

Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Factor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak di antaranya:

1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis 2) Kondisi sosial-ekonomi yang rendah

3) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri

4) Status wanita yang dipandang rendah 5) System keluarga patriarchal

6) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis. c. Faktor anak itu sendiri

1) Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya


(36)

2) Perilaku menyimpang pada anak.

Selanjutnya Moore dan Parton yang dikutip Fentini Nugroho mengungkapkan ada orang yang berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual da nada juga yang menganggap bahwa faktor struktur sosial yang lebih penting. Mereka yang menekankan faktor individual mengatakan bahwa orangtua yang “berbakat” untuk menganiaya anak mempunyai karakteristik tertentu, yaitu:

1. mempunyai latar belakang (masa kecil) yang juga penuh kekerasan, ia juga sudah terbiasa menerima pukulan;

2. ada pula yang menganggap anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua (role reversal) sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum;

3. karakter lainnya adalah ketidaktahuan kebutuhan perkembangan anak, misalnya usia anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orangtua, si anak dipaksa untuk melakukannya dan ketika ternyata anak memang belum mampu, orangtua menjadi marah.

Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu:

1. Pewarisan kekerasan antargenerasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Beberapa ahli yakin bahwa faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan di masa depan yaitu apakah anak menyadari bahwa perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah untuk memperlakukan mereka dengan tindakan kekerasan.


(37)

2. Stres sosial

stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:

 Pengangguran (nemployment);  Penyakit (illness);

 Kondisi perumahan buruk (poor housing-conditions);

Ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size);  Kelahiran bayi baru (a new baby);

 Orang berkebutuhan khusus ( disabled person);  Di rumah dan kematian (the death).

Penggunaan alkohol dan narkoba yang umum di antara orangtua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemahan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orangtua dan meningkatkan risiko tindakan kekerasan.

3. Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghiangkan sistem dukungan dari orangtua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka menatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menjadikan para orangtua ini kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.

4. Struktur keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Karena keluarga dengan orangtua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan


(38)

sebagai penyebab meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak lebih tinggi.

B. Akibat-akibat dari Kekerasan Seksual

Menurut Rusmil, anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran mengahadapi resiko:

1. Usia yang lebih pendek

2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk

3. Masalah pendidikan (termasuk drop-out dari sekolah) 4. Kemampuan yang terbatas sebagai orangtua kelak 5. Menjadi gelandangan

Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan pada anak juga bisa dilihat dari penjelasan Moore dalam Fentini Nugroho yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negative dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orangtuanya, mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri; ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya , dan rasa benci terhadap dirinya sendiri ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri seperti bunuh diri dan sebagainya. Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya system saraf, dan sebagainya. Dari uraian di atas terlihat bahwa impak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu menggenaskan. Mungkin belum


(39)

banyak orang menyadari bahwa pemukulan bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan emosional anak.

Ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual (sexual abuse) dalam penjelasan Charles Zastrow dalam Suharto, yakni:

1. Tanda-tanda perilaku

 Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia.

Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman yang lama.

 Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama atau mimpi buruk.

 Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya.

 Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.

 Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindar dari orang tertentu (orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah.

Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

 Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.

 Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri: merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri

2. Tanda-tanda kognisi

 Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian singkat/terpecah.


(40)

 Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.

 Respon/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan oranglain dalam jarak dekat.

3. Tanda-tanda sosial-emosional

 Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga

 Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.

Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.  Ketakuan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap oranglain.  Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti

sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya. 4. Tanda-tanda fisik

 Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.  Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kemaluan: pada vagina, penis, atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.

 Hamil.

C. Kekerasan Seksual terhadap Anak di bawah umur ditinjau dari Sudut Kriminologi

Kekerasan seksual sering terjadi kepada anak-anak dan perempuan, selain itu juga dimuat di dalam surat kabar maupun lewat media-media lain, dan ini sering terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana, yang seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum, misalnya adalah seorang siswa kelas III SMP diperkosa olehayah tirinya. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi, sebab bagaimanapun korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil, dan dilindungi hak-haknya.


(41)

Siapapun orangnya, menjadi korban kejahatan adalah sesuatu hal yang tidak pernah diinginkannya. Dalam kasus kekerasan seksual seringkali pelakunya adalah orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, dengan kata lain orang yang telah dikenalnya atau jadi anggota keluarga.

Sebagaimana yang diketahui, dampak dari perilaku kekerasan seksual terhadap anak-anak cenderung merusak mental korban bahkan seringkali mengalami keterbelakangan mental. Untuk itu sungguh beralasan jika terus mencari solusi terbaik guna pencegahan dan penanggulangannya.

Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mau mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Meskipun demikian, dari sudut hukum acara, korban tetap mempunyai kedudukan yang sangat pasif, dan dalam hal ini sebatas diwakilkan kepentingannya oleh jaksa penuntut umum. Bahkan, seringkali kita tahu bahwa masih ada aparat hukum yang menolak untuk menegakkan hukum apabila kejahatan itu terjadi dalam lingkup domestik. Teori yang berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini adalah sebagai berikut :

1. Teori Containment

Menurut Reckless, teori Containment menerangkan terjadinya kejahatan dari posisi individu (pelaku kejahatan) diantara presi sosial (social pressures) dan tarikan sosial (social pulls). Posisi individu di dalam dan diantara kedua faktor tersebut sangat menentukan bentuk pola tingkah laku yang akan terjadi. Kejahatan adalah kelemahan baik kendali (didalam) pribadi seseorang (internal control) dan kurangnya kendali dari luar atas diri orang yang bersangkutan (external control) di dalam menghadapi baik presi sosial maupun tarikan sosial tadi. Kaca mata kriminologi melalui teori ini melihat terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah disebabkan karena bukan hanya semata-mata masalah lemahnya kendali internal melainkan jua lemahnya kendali eksternal atau kendala-kendala struktural (pendidikan kesusilaan dalam keluarga, lingkungan, kediaman pelaku dan mekanisme peradilan pidana dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur).


(42)

2. Teori Labeling

Menurut Becker, teori Labeling menerangkan dua hal, yaitu 1) tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label; 2) bagaimana efek lebaling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya pada diri seseorang terhadap mana ia memperoleh cap.

Dalam konteks kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, teori ini cenderung memberikan justifikasi atas kebenaran keterlibatan unsur pemaksaan kehendak disertai dengan cara kekerasan pada setiap kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Melekatnya cap atau label mengenai eksistensi unsur ini di dalam setiap tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur telah menghilangkan kemungkinan untuk menghadirkan unsur non-kekerasan di dalam kasus tersebut.

Setelah diketahui teori yang berkaitan dengan kekerasan seksual tersebut, alangkah baiknya juga mengetahui macam-macam tipe tindak perkosaan yang dapat terjadi terhadap anak di bawah umur, yaitu :

a. Sadistic Rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Dimana pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.

b. Anger Rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertahan. Dimana tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.

c. Domination Rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

d. Seductive Rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Dimana mulanya korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tertentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan


(43)

hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.

e. Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.

Setelah diketahui tipe-tipe perkosaan, maka dilakukan upaya penanggulangannya. Dimana ini dibagi ke dalam dua hal, yaitu :

1. Upaya yang bersifat Preventif, dimana upaya ini dilakukan jauh sebelum kejahatan itu terjadi, yaitu:

a. Peran individu

Yang harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus mencoba agar tidak menjadi korban kejahatan, khususnya kekerasan seksual, salah satunya adalah tidak memberikan kesempatan atau ruang kepada setiap orang atau setiap pelaku untuk melakukan kejahatan. Salah satunya yaitu menghindari pakaian yang dapat menimbulkan rangsangan seksual terhadap lawan jenis, ataupun tidak tidur bersama dengan anggota keluarga yang berlainan jenis yang telah dewasa.

b. Peran orang tua

Anak yang dididik dengan baik dalam keluarga harmonis memungkinkan mereka memperoleh kepercayaan diri tinggi dan berdaya tahan lebi tangguh sehingga mereka tidak mudah menjadi korban seksual berkepanjangan. Keterbukaan anak terhadap orang tua dalam hal berkomunikasi, membuat anak dapat mengatakan apa saja secara bebas tentang apa yang mereka alami.

Eratnya relasi orang tua-anak membantu orang tua memantau pergaulan anaknya mencegah lebih banyak problem yang terkait dengan masalah relasi sosial anaknya. Selain itu, teladan kehidupan seksualitas orangtua yang bersih adalah unsur positif yang memberi


(44)

arah bagi anak sehingga anak mampu mengembangkan kehidupan seks yang bebas pula.

c. Peran masyarakat

Masyarakat merupakan suatu komunitas manusia yang memiliki watak yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga kehidupan masyarakat sangat penting dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu kejahatan dilakukan. Dalam kehidupan bermasyarakat perlu adanya pola hidup yang aman dan tentram sehingga tidak terdapat ruang atau untuk terjadinya kejahatan, khususnya kejahatan di bidang asusila terutama kekerasan seksual terhadap anak. Upaya yang dilakukan agar mencegah hal itu yaitu dengan menciptakan suasana yang tidak menyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat yaitu mengadakan silahturahmi antara anggota masyarakat yang diisi dengan ceramah-ceramah yang dibawakan oleh tokoh masyarakat dilingkungan tempat tinggal.

d. Pengawasan peredaran film porno dan kaset porno

Peredaran film porno yang semakin banyak beredar di masyarakat luas sangat berdampa terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya, karena dengan begitu akan sangat mudah seorang anak-anak untuk mendapatkan film tersebut dari kawannya maupun orang yang tidak dikenalnya. Akibatnya, seseorang yang sudah mempunyai hasrat birahinya namun tidak mempunyai kesempatan melampiaskan kepada wanita dewasa akhirnya melampiaskan kepada anak tetangga, anak saudara, maupun anaknya sendiri. Sehingga dalam hal ini pihak kepolisian telah mengambil sikap dalam meniadakan pengawasan terhadap peredarannya.

e. Pemakaian internet

Sehubungan dengan pemakaian internet, pihak kepolisian menambahkan, banyak rental-rental di kota Medan selain memberikan pelayanan peminjaman pemakaian internet kepada penyewa, pemilik


(45)

rental juga memasukkan film-film yang tidak layak ditonton oleh penyewanya termasuk anak-anak yang dibawah umur, sehingga film-film tersebut dapat diakses dengan mudah di dalam internet. Hal itu dilakukan oleh para pemilik rental sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik penyewa ke rental internet mereka. Para pemilik rental tidak tahu efek negatif yang dapat terjadi akibat kemudahan akses terhadap hal-hal yang berbau porno ini, salah satunya dapat merusak moral masyarakat terlebih anak-anak. Oleh karena itu, untuk menanggulanginya aparat kepolisian harus melakukan penyidikan kepada rental-rental internet yang mempertontonkan adegan tersebut, dan memberikan sanksi yang tegas agar tidak terjadi kembali.

2. Upaya yang bersifat Represif

Penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan dan pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Tindakan represif yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan atas perintah atasan tertinggi kepolisian tersebut. Tindakan tersebut harus mendapat perintah dari atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosedur dan lain sebagainya yang mengakibatkan kerugian bagi pelaku ataupun masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab atasan. Sehingga aparat yang bekerja dilapangan dalam melakukan tindakan tidak sewenang-wenang. Tindakan tersebut dapat berupa pelumpuhan terhadap pelaku, melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan lain sebagainya.

Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan penyidikan dari kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim pengadilan negeri.

Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksimal kepada pelaku diharapkan agar pelaku dan calon pelaku mempertimbangkan


(46)

kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera untuk mengulangi kembali.

Sementara bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan berupa pembinaan mental agama, penyuluhan hukum serta berbagai macam keterampilan.


(1)

ABSTRAK Ayu Ulina Siahaan*

Liza Erwina Alwan

Skripsi ini menguraikan tentang status dan kondisi anak di Indonesia yang bersifat paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai dengan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitanya diwarnai kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap anak seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Maka dari itu penulis ingin menguraikan Tinjauan Yuridis Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur Dari Sudut Kriminologi (Studi Kasus Putusan No : 95/Pid.B./2013/PN/MDN), dimana didasarkan pada keadaan masyarakat kita yang pada akhir-akhir ini banyak mengalami tindakan kekerasan fisik maupun seksual khususnya terhadap anak perempuan. Tindakan kekerasan ini pada dasarnya adalah gejala yang sangat kompleks, mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis gender, seksualitas, identitas diri serta dipengaruhi oleh pranata sosial yang berkembang di komunitas itu.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bahwa kekerasan seksual ini dalam banyak hal dipahami dan dianggap sebagai suatu perpanjangan kontinum keyakinan yang memberi hak kepada laki-laki untuk mengendalikan perilaku anak-anak (perempuan), membuat anak (perempuan) tersebut tidak memiliki kebebasan terhadap kehidupan seksual dan peran reproduksinya sendiri. Walaupun kekerasan seksual sering terjadi namun jarang diangkat ke pengadilan. Hal ini bisa dikarenakan korban dan pelaku merupakan keluarga ataupun orang yang dikenal sangat dekat. Tetapi ketika kasus tersebut diangkat ke pengadilan, korban sering kali dirugikan dan dikecewakan karena penjatuhan putusan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku cukup ringan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yurdis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilakku masyarakat yang nyata di lapangan.

* Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  Pembimbing I/Staf Pengajar Fakultas Hukum


(2)

Hasil penelitian ini menganjurkan proses antisipasi agar jangan sampai terjadi tindakan demikian yang dapat merugikan korban dan keluarga korban dibuatlah Undang-Undang Perlindungan Anak yang khusus untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur agar tidak semakin berkembang.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas kemurahannya memberikan kesehatan, kasih sayang dan kekuatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hokum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah : “TINJAUAN YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI

SUDUT KRIMINOLOGI (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 95/Pid.B/2013/PN.MDN)”.

Sangat disadari oleh penulis bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya, baik dari segi isi maupun tata bahasanya. Namun tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak semua ini tidak akan terwujud. Dan segala kritik serta saran yang membangun akan sangat dihargai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penuh hormat, kerendahan hati dan ketulusan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH selaku Kepala Departemen Jurusan Hukum Pidana Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, atas segala saran, waktu serta kesabarannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak Alwan, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II, atas segala saran,

waktu serta kesabarannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. 8. Ibu Dr. Utary M. Barus, SH, M.Hum selaku Penasehat Akademik.


(4)

9. Bapak/IbuDosen (staf pengajar) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan beserta staf pegawai yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama perkuliahan. 10. Teristimewa untuk kedua Orang Tua Penulis yang tercinta : Ayahanda A. Siahaan, SE, ATD, MT. dan Ibunda H. Marsundung Simbolon yang telah berjerih payah membesarkan, memberikan kasih sayang dan didikan baik moril maupun materil yang tidak bias digantikan dengan apapun, serta tidak lupa kepada Kakak, dan Adik Penulis yang ikut memberikan semangat di dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan saya, Agnes Deslina, Septha Lidya Purba, Dewi A.N Purba, dan Berthauli Dwi Y.K, mulai dari semester 1 sampai semester akhir ini, atas dorongan dan semangat yang diberikan.

Walaupun telah berupaya semaksimal mungkin, Penulis juga menyadari kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan. Oleh Karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki Skripsi ini.

Akhir kata Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Medan, 12 September 2014 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Keaslian Penulisan ... 5

F. Metode Penulisan… ... 5

G. Tinjauan Kepustakaan ... 7

H. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR... 31

A. Faktor-faktor timbulnya kekerasan seksual ... 31

B. Akibat-akibat dari kekerasan seksual ... 38

C. Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau dari sudut kriminologi ... 41

BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI KUHP, UU PERLINDUNGAN ANAK (UU NO. 23 TAHUN 2002), DAN UU SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (UU NO. 11 TAHUN 2012) ... 47

A. Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau dari KUHP ... 47

B. Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau dari C. UU PERLINDUNGAN ANAK (UU NO. 23 TAHUN 2002) ... 52 Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau dari


(6)

(UU NO. 11 TAHUN 2012) ... 55

BAB IV ANALISIS YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 95/Pid.B/2013/PN.MDN) ... 60

A. Kasus ... 60

B. Analisa Kasus ... 60

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran... 72