Metode Penulisan Pengertian Perjanjian Kredit 1. Pengertian Kredit

karena hakim atas desakan kebutuhan masyarakat melakukan suatu rechtvinding yaitu menemukan hukum baru, oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa hukum fidusia sebagai hukum hakim. Undang-Undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan Jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan Zakelijke Zekerheid yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak didahulukan terhadap kreditur lainnya. 14 1. Tinjauan Kepustakaan yaitu, berupa buku bacaan yang relevan dengan penulisan skripsi ini, dengan membaca dan mempelajari bahan buku bacaan maupun perundang-undangan seperti Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

F. Metode Penulisan

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk mendapatkan hasil maksimal, diupayakan pengumpulan data secara baik dan layak yang dilakukan penulis berupa : 2. Tinjauan lapangan yaitu dengan melakuan tinjauan secara langsung terhadap perjanjian penggabungan antara PT. Bank Haga dengan PT. Rabobank. 14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, ibid, hal. 130. Universitas Sumatera Utara

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Di dalam Bab ini disajikan pengantar-pengantar permasalahan pokok yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok

Pada Bab yang kedua ini akan membahas tentang Pengertian Perjanjian Kredit, Akta Perjanjian Kredit, Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok, Proses Pemberian Kredit Oleh Bank, Perjanjian Pokok Sebagai Akta Otentik.

BAB III : Pengaturan Objek Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit

Pada Bab yang ketiga ini membahas mengenai Ruang Lingkup Jaminan, Lingkup Jaminan Kredit dan Objek Jaminan Fidusia.

BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Hal Terjadi Eksekusi Jaminan Fidusia

Pada Bab yang ke empat ini membahas mengenai Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia, Terjadinya Ingkar JanjiWanpresatasi Apabila Debitr Tidak Membayar, Eksekusi Terhadap Objek Jaminan Fidusia, Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Berupa Barang Bergerak Universitas Sumatera Utara

BAB V : Kesimpulan Dan Saran

Dalam Bab ke lima ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang dapat berguna sebagai perkembangan merger perbankan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara

BAB II PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI PERJANJIAN POKOK

A. Pengertian Perjanjian Kredit 1. Pengertian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari Bahasa Latin, credere, yang berarti percaya atau credo yang berarti saya percaya. Sedangkan menurut tata bahasa Indonesia kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang di izinkan oleh bank atau badan lain. 15 Noah Websten, sebagaimana dikutip Munir Fuady mengartikan kata “kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”. Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit berarti ia percaya akan kemampuan pihak debitur pada masa yang akan datang mampu memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik itu berupa uang, barang atau jasa. 16 Dengan demikian, walaupun kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung arti “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan. 15 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Di Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagimana Telah diubah Dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998 dan Undang-Undang N0.23 tahun 1999 Jo Undang-Undang No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Jakarta:Prenada Media,2005, hlm 55 16 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 128 18 Universitas Sumatera Utara Savelberg mangatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain : 1. Sebagai dasar dari setiap perikatan verbintenis dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. 2. Sebagai jaminan, demana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 17 Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut: Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit mempergunakan pinjaman itu untuk kepentingannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari. 18 Sedangkan M. Jake mengemukakan bahwa “Kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”. 19 Dari Black’s Laws Dictionary yang dikutip oleh Djulhaendah Hasan, diproleh pengertian bahwa “Credit is the ability of a businessman to borrow money, or to obtain goods on time, inconsequence of favorable opinion held by the particular tender, as to his solvency and reliability”. 20 Dalam dunia bisnis kata “kredit” diartikan sebagai “Kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang, atau jasa dengan perjanjian akan membayarkannya kelak”. 21 Pengertian kredit dapat juga dilihat dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang 17 Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 21 18 Ibid, hal. 22 19 Ibid 20 Djulhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 140-141 21 A. Abdurrahman, Ensikopedia Ekonomi, Keuangan Perdagangan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hal. 279, dalam S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPNBUPLN Suatu Kajian Teori dan Praktek ,Medan : Pustaka Bangsa. 2001, hal. 17 Universitas Sumatera Utara Perbankan selanjutnya disingkat dengan UU Perbankan, kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menurut OP. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi misalnya uang, barang dengan balas prestasi kontra prestasi yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi dimasa mendatang. 22 a. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; Intisari dari kredit adalah kepercayaan. Unsur lainnya adalah mempunyai pertimbangan moral. Selain itu, dililhat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontra prestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan yang berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dengan kontra prestasi tersebut ada suatu masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang berupa ketidak tentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan di dalam pemberian kredit. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu antaranya : 22 OP.Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1991, hlm 91 Universitas Sumatera Utara b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat akan membawa keerugian; c. Bank tidak diperkenankan memberikan kredituntuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jualbeli; d. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit.

2. Perjanjian Pada Umumnya

Hartkamp, menyatakan bahwa: “perjanjian adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal atau perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua pihak atau lebih dan dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak semua pihak bertimbal balik. 23 Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang. 24 Menurut Roscou Pound, perjanjian bagian dari harta kekayaan. Sebagian kekayaan terdiri atas janji-janji. Sebagian yang penting dari harta benda seseorang adalah keuntungan yang dijanjikan oleh orang lain bahwa akan disediakan atau diserahkannya, terdiri atas tuntutan terhadap keuntungan yang dijanjikan, yang diajukannya terhadap perseorangan tertentu. 25 23 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 139. 24 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 2006, hal.93. 25 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 6. Hubungan antara perjanjian dengan Universitas Sumatera Utara perikatan adalah bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan atau perikatan timbul karena adanya perjanjian. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 empat syarat, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Mengenai suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 26 Apabila salah satu dari syarat subjektif tersebut diatas tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan apabila salah satu dari syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. 27 26 Subekti, Op.cit, hal 17. 27 Johannes Ibrahim Lindawaty, Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Modern, Bandung : Refikab Aditama, 2004, hal. 44. Syarat pertama, sepakat atau juga dinamakan perizinan maksudnya bahwa subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu: Universitas Sumatera Utara a. Bahasa yang sempurna dan tulisan; b. Bahasa yang sempurna secara lisan; c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan, karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e. Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima pihak lawan. Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tulisan. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna apabila timbul sengketa dikemudian hari. Momentum terjadinya perjanjian yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur. 28 Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan Kesepakatan di antara para pihak diatur dalam Pasal 1321 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata sampai dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan. 28 Salim, H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 31. Universitas Sumatera Utara hukum adalah orang yang sudah dewasa. Dewasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu: a. Anak dibawah umur minderjaringheid; b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; c. Isteri Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi dalam perkembangannya isteri dapat melakukakan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Di berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari: a. Memberikan sesuatu; b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 29 Syarat kedua, orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. 30 29 Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 33-34. 30 Subekti, Op.cit, hal.17. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa dan orang yang dibawah pengampuan Pasal 1329-1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai syarat ketiga, disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu maksudnya suatu perjanjian harus mempunyai objek tertentu dan sekurang-kurangnya dapat ditentukan sesuai dengan Pasal 1332-1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu benda-benda itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan dikemudian hari akan ada. Universitas Sumatera Utara Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Dalam Pasal 1334 KUH Perdata angka 1 ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian, namun dalam Pasal 1334 KUH Perdata ayat 2 barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian, kendatipun hal itu dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan itu. 31 Syarat terakhir adanya sebab halal, dimaksudkan tiada lain pada isi perjanjian dengan segera harus dihilangkan kemungkinan salah sangka. Jadi isi perjanjian tersebut harus mencerminkan tindakan yang tidak melanggar hukum yang berlaku. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. 32 Hoge Raad sejak tahun 1972 mengartikan kausa yang halal ozaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. 33 31 Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 2004, hal.209. 32 Ibid, hal. 211. 33 H. Salim HS H. Abdullah, dkk, Perancangan Kontrak Memorandum Of Understanding MoU, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal. 11. Universitas Sumatera Utara Unsur-unsur perjanjian yang harus diperhatikan adalah: a. Unsur essensialia Unsur essensialia adalah unsur yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian. Merupakan unsur mutlak di mana tanpa adanya unsur tersebut tidak mungkin ada suatu perjanjian. Unsur essensialia, terdiri dari: 1 Kata sepakat dari para pihak yang melakukan perjanjian. Hal ini didasarkan pada pernyataan kehendak dari para pihak; 2 Ada dua pihak atau lebih yang berdiri sendiri; 3 Kata sepakat yang tercapai antara para pihak tersebut tergantung satu dengan yang lainnya; 4 Para pihak menghendaki agar perjanjian itu mempunyai akibat hukum; 5 Akibat hukum tadi adalah untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik yaitu untuk kepentingan dan beban kedua belah pihak. b. Unsur naturalia Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur dan merupakan bagian dari suatu perjanjian yang tanpa disebutkan secara khusus sudah merupakan bagian yang ada pada perjanjian tersebut. Misalnya jaminan kenikmatan, jaminan keamanan dan tidak adanya cacat-cacat tersembunyi dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian jual beli. c. Unsur accidentalia Unsur accidentalia merupakan bagian yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang secara khusus diperjanjikan oleh para pihak di mana Undang- Universitas Sumatera Utara Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut, misalnya domisili para pihak. Berdasarkan Pasal 1332 KUH Perdata, berbunyi: “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. 34 a. Asas kebebasan berkontrak Asas-asas dari hukum perjanjian, seperti: Prof. Subekti, menyimpulkan bahwa Pasal 1338 KUH Perdata mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau menganut sistem terbuka, dengan menekankan pada kata “semua” maka pasal tersebut seolah- olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat tentang diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja asalkan dibuat secara sah dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang 35 dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 36 b. Asas konsensualisme Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 37 Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang timbal balik antara para pihak melahirkan sepakat dan sekaligus melahirkan perjanjian yang mengikat seperti Undang-Undang. Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 38 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1332. 35 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal. 37. 36 Djuhaendah Hasan, Lembaga jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahaan horisontal, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 177. 37 Salim HS, ibid, hal. 10. 38 Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Sepuluh, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 7. Universitas Sumatera Utara c. Asas itikad baik Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak lain. d. Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas-asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut perlunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. e. Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarineming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada “kesusilaan” moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya. Universitas Sumatera Utara f. Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. g. Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak. 39 Asas kepastian hukum asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 angka 1 yang berbunyi: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- Undang”. 40 h. Asas kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang. i. Asas kekuatan mengikat Dari asas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan akan mengikat para pihak. 39 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : alumni, 2005, hal. 43-44. 40 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak innominaat di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 10-11. Universitas Sumatera Utara j. Asas persamaan hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekeuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

3. Perjanjian Kredit dengan Jaminan

Pengertian perjanjian kredit menurut hukum perdata merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada praktik perbankan modern hubungan hukum dalam kredit tidak lagi semata-mata hanya berbentuk perjanjian pinjam meminjam tetapi sudah ada bentuk perjanjian yang lain seperti bentuk perjanjian pemberian kuasa. Pada Praktiknya bentuk dan materi perjanjian kredit antara suatu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing, dengan demikian perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum. Asas utama dari perjanjian kredit adalah asas kebebasan berkontrak, dalam perkembangannya asas ini mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa yang ditunjukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berdasarkan asas pemerataan. Dalam pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipinjamnya. Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh bank sebagai pemberi dana, Universitas Sumatera Utara dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit. Pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. M. Jakile mengemukakan bahwa “kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari perjanjian untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.” 41 “Kredit adalah merupakan suatu penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, dimana prestasi tersebut pada dasarnya akan berbentuk nilai uang”. Menurut Thomas Suyanto, 42 Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank adalah seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank contoh: apabila seseorang membeli peralatan rumah tangga dengan kredit maka ia mendapat kepercayaan dari toko yang menjual peralatan rumah tangga tersebut. Pengertian kredit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa dalam pengertian kredit tersebut terkandung perkataan perjanjian pinjam-meminjam sebagai dasar diadakannya 41 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotek Serta Hambatan –hambatannya Dalam Praktik, Bandung : Alumni : 1978, hal. 21-22. 42 Muhammad, Op.cit, hal 368. Universitas Sumatera Utara perjanjian kredit, atas dasar itu pula dapat dikatakan bahwa kredit adalah suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.

B. Akta Perjanjian Kredit

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

3 60 89

Kedudukan Benda Jaminan Yang Di Bebani Jaminan Fidusia Jika Terdapat Eksekusi Dalam Hal Debitur Pailit (Studi Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H. Juanda Medan)

8 183 110

Kedudukan Kreditur Selaku Penerima Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit Menurut UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

0 71 84

Eksekusi Di Bawah Tangan Objek Jaminan Fidusia Atas Kredit Macet Kepemilikan Mobil Di Lembaga Keuangan Non-Bank PT. Batavia Prosperindo Finance Cabang Medan

2 115 132

Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia (Studi Pada Lembaga Pendaftaran Fidusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Propinsi Aceh)

1 60 128

Pendaftaran Jaminan Fidusia : Hambatannya dilihat Dari Aspek Sistem Hukum

3 39 120

Eksekusi Barang Jaminan Fidusia Yang Lahir Dari Perjanjian Kredit Bank

0 27 2

Tanggungjawab Kreditur (Bank) Dalam Mengembalikan Piutang Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada Bank Perkreditan Rakyat Mitra Dana Madani Medan)

2 73 113

Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Fidusia Dalam Hal Terjadi Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Persetujuan Penerima Fidusia.

0 0 13

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA BANK A. Jaminan Fidusia - Analisis Yuridis Faktor Penghambat Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Melindungi Kreditur (Studi Pada Pt. Bank Mandiri (Persero), Tbk Balai Kota Medan)

0 0 30