1 Agen - Struktur

V.1 Agen - Struktur

V.1.1 Klarifikasi Agen, Agensi

Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen bebas. Bagaimanapun juga peneliti perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk bertindak pada ruang-ruang tertentu.

Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada kekuaasan subjektif dikaji secara khas.

Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang

digambarkan pada skema berikut: 105

Kondisi-kondisi

konsekuensi – konsekuensi Tindakan tak dikenali

monitoring refleksif

tindakan tak dikehendaki

terhadap tindakan

rasionalisasi tindakan

motivasi tindakan

Gambar. V.1 Skema Agensi

Motivasi mengacu pada potensi tindakan bukan pada model pelaksanaan tindakan secara terus menerus oleh agen yang bersangkutan. Motif-motif cenderung memiliki perolehan langsung atas tindakan hanya dalam keadaan- keadaan yang relatif tak biasa, situasisituasi yang dalam beberapa sisi terputus dari rutinitas. Kebanyakan motifmotif memasok seluruh rencana atau program ‘proyek-proyek’ dalam istilah Schutz, tempat dilakukannya gugusan perilaku.

Kebanyakan perilaku sehari-hari tidak dimotivasi secara langsung. 106

Berkaitan dengan adanya agen dalam relasi Perda TSP di Jatim, motivasi merupakan hal yang mendasar mendorong para agen untuk merumusakan Perda TSP Jatim, Agen yang dimaksud dalam hal ini ialah pihak dari DPRD Jatim

105 Anthony Giddens, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 6

106 Ibid., hal 7 106 Ibid., hal 7

Dalam hal ini juga bisa dilihat kemunculan Perda No 4/2011 tersebut karena provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan iklim investasi yang sangat baik, hal ini bisa dilihat bahwa di Jawa Timur terdapat banyak perusahaan- perusahaan baik dari BUMN, BUMD atapun BUMS. Hal tersebut dilihat bahwasanya adanya potensi yang besar yang bisa diperoleh dari dana CSR peruahaan yang ada di Jawa Timur khususnya BUMN untuk membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam membangun masyarakat melalui program- programnya yang terkadang tidak bisa ter-cover dengan dana APBD Jatim. Dan juga dalam mengsinergiskan mengenai upaya pembangunan yang ada di Jawa Timur dengan melibatkan dari dunia usaha masih belum optimal itu karena adanya kesenjangan potensi daerah yang ada di Jawa Timur itu sendiri, semisal ada suatu daerah yang terdapat jumlah perusahaan yang begitu banyak hal ini sangat mendorong percepatan pembangunan yang ada di wilayah tersebut contohnya Surabaya, Gresik dan Sidoarjo akibat dana CSR dari perusahaan tersebut. Akan tetapi ada daerah yang sangat minim jumlah perusahaan sehingga dalam upaya pembangunan hanya mengandalkan APBD sehingga peroses pembangunan tersebut bisa dilihat sangat lambat. Oleh karena itu melalui Perda ini bahwasanya akan mengakomodasi daerah yang minim perusahaan akan Dalam hal ini juga bisa dilihat kemunculan Perda No 4/2011 tersebut karena provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan iklim investasi yang sangat baik, hal ini bisa dilihat bahwa di Jawa Timur terdapat banyak perusahaan- perusahaan baik dari BUMN, BUMD atapun BUMS. Hal tersebut dilihat bahwasanya adanya potensi yang besar yang bisa diperoleh dari dana CSR peruahaan yang ada di Jawa Timur khususnya BUMN untuk membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam membangun masyarakat melalui program- programnya yang terkadang tidak bisa ter-cover dengan dana APBD Jatim. Dan juga dalam mengsinergiskan mengenai upaya pembangunan yang ada di Jawa Timur dengan melibatkan dari dunia usaha masih belum optimal itu karena adanya kesenjangan potensi daerah yang ada di Jawa Timur itu sendiri, semisal ada suatu daerah yang terdapat jumlah perusahaan yang begitu banyak hal ini sangat mendorong percepatan pembangunan yang ada di wilayah tersebut contohnya Surabaya, Gresik dan Sidoarjo akibat dana CSR dari perusahaan tersebut. Akan tetapi ada daerah yang sangat minim jumlah perusahaan sehingga dalam upaya pembangunan hanya mengandalkan APBD sehingga peroses pembangunan tersebut bisa dilihat sangat lambat. Oleh karena itu melalui Perda ini bahwasanya akan mengakomodasi daerah yang minim perusahaan akan

Selain itu diberlakukan Perda tersebut memberikan kepastian hukum yang jelas untuk implementasi program CSR perusahaan-perusahaan yang ada di Jawa Timur, hal ini guna menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya tidak jelas dan juga memberikan perhatian kepada perusahaan-perusahaan yang sudah melaksanakan program CSR sesuai dengan standart yang berkelanjutan melalui reward yang diberikan kepada perusahaan tersebut. Dalam hal ini seperti yang diutarakan oleh informan.

“Jadi gini, terlepas dari masalah-masalah yang ada di Jawa Timur. Masalah-masalah itu termasuk banyaknya perusahaan-perusahaan di luar perusahan itu sendiri, kemudian potensi ekonomi Jawa timur yang pertumbuhannya sangat baik, sehingga memungkinkan untuk masuknya modal asing. Karena disitu Undang-undang CSR itu katanya di undang- undang no. 25 tahun.. tentang ranah modal dan perseroan terbatas (PT) itu sehingga itu yang banyak mendorong. Itu yang kemudian harus perlu di a. adanya produk hukum yang berkaitan dengan aturan CSR itu sendiri. Di samping itu ada issue aktual, issue aktual itu yang menyangkut mengenai masalah di Jawa Timur. Misalnya gini, untuk menghindari adanya kesenjangan sosial terhadap potensi daerah. Ada daerah, daerah itu perkembangannya itu lebih cepat pada daerah yang banyak perusahan, dengan daerah yang sama sekali tidak ada perusahaannya. Lha untuk itu, untuk menghindari ada kesenjangan itu sendiri, karena di perda sendiri ada aturan. Daerah yang tidak ada perusahaannya itu juga wajib mengajukan CSR melalui forum TSP yang dibentuk. Kemudian, masalah-masalah yang lebih lain adalah Termasuk agar perusahaan-perusahaan itu ada kepastian hukum dalam menyalurkan CSA’nya. Ada bijakan hukum yang jelas. Sehingga mereka juga akan mengindari pengutan-pungutan yang sifatnya gak jelas disitu. Meskipun kenyataannya selama ini, a.a perusahaan itu sendiri harus ada perhatian yang jelas pula. Misalnya, kan disini ada 33kriteria. Perusahaan yang mampu melaksanakan CSR dengan standart minimal, mereka melaksanakan saja sama yang sedang, kemudian ada yang “Jadi gini, terlepas dari masalah-masalah yang ada di Jawa Timur. Masalah-masalah itu termasuk banyaknya perusahaan-perusahaan di luar perusahan itu sendiri, kemudian potensi ekonomi Jawa timur yang pertumbuhannya sangat baik, sehingga memungkinkan untuk masuknya modal asing. Karena disitu Undang-undang CSR itu katanya di undang- undang no. 25 tahun.. tentang ranah modal dan perseroan terbatas (PT) itu sehingga itu yang banyak mendorong. Itu yang kemudian harus perlu di a. adanya produk hukum yang berkaitan dengan aturan CSR itu sendiri. Di samping itu ada issue aktual, issue aktual itu yang menyangkut mengenai masalah di Jawa Timur. Misalnya gini, untuk menghindari adanya kesenjangan sosial terhadap potensi daerah. Ada daerah, daerah itu perkembangannya itu lebih cepat pada daerah yang banyak perusahan, dengan daerah yang sama sekali tidak ada perusahaannya. Lha untuk itu, untuk menghindari ada kesenjangan itu sendiri, karena di perda sendiri ada aturan. Daerah yang tidak ada perusahaannya itu juga wajib mengajukan CSR melalui forum TSP yang dibentuk. Kemudian, masalah-masalah yang lebih lain adalah Termasuk agar perusahaan-perusahaan itu ada kepastian hukum dalam menyalurkan CSA’nya. Ada bijakan hukum yang jelas. Sehingga mereka juga akan mengindari pengutan-pungutan yang sifatnya gak jelas disitu. Meskipun kenyataannya selama ini, a.a perusahaan itu sendiri harus ada perhatian yang jelas pula. Misalnya, kan disini ada 33kriteria. Perusahaan yang mampu melaksanakan CSR dengan standart minimal, mereka melaksanakan saja sama yang sedang, kemudian ada yang

“ehm..begini, keterlibatan pihak dunia usaha dalam proses pembangunan jawa timur ini dirasa masih kurang proaktif. Artinya, bahwa yang pertama kurang proaktif, yang ke-2 tidak intergritas. Tidak integritas artinya kemudian yang namanya pembangunan kan sudah..sudah dicanangkan dalam sebuah pergub yang namanya RPJMD yang sebentar lagi RPJMD yang waktu itu menjadi perda nomor berapa itu ? masih pergub, itu kan sudah ada kanal-kanal sudah ada koridor-koridor yang itu adalah atas dasar RPJMD. Apapun proses pembagunan itu tidak boleh jauh melenceng dari RPJMD, agar kemudian konstruktif, runut dan ukuran-ukuran jelas. Gitu kan ? itu yang pertama. Sehigga kemudian, Kenapa kemudian ada kegelisahan dari komisi E untuk kemudian peran serta dunia usaha terhadap pembangunan Jawa Timur itu menjadi sedikit penting. Tapi kemudian, ya atas dasar itulah kemudian kita mencoba untuk memberikan kanal-kanal, yang kemudian ininya seperti ini. Kita tidak mengikat terlalu ekstrim, setidaknya kita beri ril dan kemudian arahnya indah gitu aja sesuai RPJMD.” (Sugiri, Ketua Komisi E, DPRD Jatim Fraksi Demokrat)

Tidak hanya itu, Perda tersebut dirumuskan karena keterlibatan dari pihak dunia usaha masih dirasa kurang proaktif dalam proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur, sedangkan dalam penguatan dalam terciptanya pembangunan yang bersinergis tidak hanya pihak pemerintah yang terlibat, akan tetapi dari dunia usaha dan masyarakat itu sendiri. Hal tersebut diharapkan ketiganya saling terintegritas dan bersinergis dengan baik.

Sedangkan yang dimaksud dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa aktor secara rutin mempertahankan suatu ‘pemahaman teoritis’ yang terus menerus tentang landasan aktifitas mereka. Akan tetapi pemahaman mengenai hal Sedangkan yang dimaksud dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa aktor secara rutin mempertahankan suatu ‘pemahaman teoritis’ yang terus menerus tentang landasan aktifitas mereka. Akan tetapi pemahaman mengenai hal

Mengenai rasionalisasi tindakan yang dimaksud dalam Perda tersebut ialah tentang rasionalisasi dan pentingnya Perda tersebut dibuat ialah guna mempercepat pembangunan yang ada di wilayah di Jawa Timur, karena jika hanya mengandalkan dari dana APBN dan APBD pembangunan tersebut dirasa akan lambat, oleh karena itu Perda tersebut mengatur mengenai peran dari dunia uasaha dan masyarakat melalui program CSR yang diberikan kepada masayarakat secara langsung dan tepat maka pembangunan akan sangat cepat karena keterlibatan aktor-aktor tersebut.

“ iya jadinya peran serta dunia usaha adalah sangat penting dan kami butuhkan bersama-sama membangun jawa timur. Karena kalau hanya mengandalkan APBD dan APBN yang kemudian yang di terima jawa timur rasanya masih cukup lambat. Pergerakannya kan tidak secepat jika peran serta masyarakat dan dunia ussaha ikut cawe-cawe mwmikirkan jawa timur seperti apa ? yang intinya adalah itu menggedor kesadaran. Gimana caranya menggedor? Yang karena kita di ruang legislasi ya tentu dengan perda” (Sugiri, DPRD Jatim)

Secara tekhnis hal yang diatur dalam Perda melalui Pergub mengatur implementasi program CSR yang akan disalurkan oleh peruahaan tidak hanya mengutamakan pemberian dana CSR hanya kepada wilayah-wilayah yang menjadi range I mereka, akan tetapi pemerataan mengenai program-program CSR oleh perusahan bisa tersalurkan di wilayah-wilayah yang seharusnya mendapatkan dana meskipun tidak di wilayah range I mereka. Pengaturan tekhnis tersebut melalui informasi-informasi yang dimiliki oleh pihak pemerintah mengenai Secara tekhnis hal yang diatur dalam Perda melalui Pergub mengatur implementasi program CSR yang akan disalurkan oleh peruahaan tidak hanya mengutamakan pemberian dana CSR hanya kepada wilayah-wilayah yang menjadi range I mereka, akan tetapi pemerataan mengenai program-program CSR oleh perusahan bisa tersalurkan di wilayah-wilayah yang seharusnya mendapatkan dana meskipun tidak di wilayah range I mereka. Pengaturan tekhnis tersebut melalui informasi-informasi yang dimiliki oleh pihak pemerintah mengenai

“dan ini kan perussahaan tidak tersebar di seluruh kabupaten kota. Lha kalo begituitu biasanya, kalau mengutamakan TSP memprioritaskan range

I, nah itulah antara lain tugas fasilitasi provinsi agar wilayah-wilayah yang tidak terdapatkan perusahaan sta kondisinya bisa kita ukur. Mungkin perusahaan yang..karena kan perusahan di surabaya sidoarjo kan 200an. Mungkin range I nya sudah terlalu banyak. Kemudian kita informasikan datanya ini ke wilayah madura. Bayak hal yang perlu didapatkan. Perolehan datanya kita informasikanke perushaan-perusahaan lain dengan harapan perusahaan yang ada di surabya yang ada di gresik mau menengok ke wilayah yang lain diluar range I nya. Gitu. Salah satu fungsi fasilitasi yang ada di provinsi.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“ketika mereka kesini meminta rujukan itu akan kami sampaikan, mbok kesana, mbok kesana. Karena jawa timur ini ada 38 kabupaten kota. Dan tidak hanya di range I’nya ada tempat-tempat lain. Daerah-daerah lain barang kali bisa disentuh denga CSR. Karena sekali lagi daerah itu apapun adalah menurut saya dalam tanda petik peluang pasarnya perusahaan yang bisa jadi sekarang daerah itu belum maju sehingga masyarakatnya belum berdaya, tapi visa bertolak. Katakanya unilever mau masuk kepacitan yang penjualan produknya rendah gitu aja, tapi ketika masuk CSRnya untuk kegiatan yang sama dan kemudian memberdayakan dengan pelatihan sehingga tumbuh kesadaran, tumbuh perilaku yang baik terhadap misalnya PHBS, orang akan bicaranya konsummsi sabun dan sanitarian.” (Karimah, Bappeda Jatim)

Karena mengingat wilayah di Jawa Timur itu sendiri sangatlah luas, dengan terbagi menjadi 38 daerah Kabupaten Kota, hal ini agar program maupun dana CSR perusahaan tersebut bisa terserap dengan baik dan juga adanya penebaran program CSR tersebut juga membantu brand image perusahan itu sendiri nantinya, karena yang merasakan dana maupu program perusahaan Karena mengingat wilayah di Jawa Timur itu sendiri sangatlah luas, dengan terbagi menjadi 38 daerah Kabupaten Kota, hal ini agar program maupun dana CSR perusahaan tersebut bisa terserap dengan baik dan juga adanya penebaran program CSR tersebut juga membantu brand image perusahan itu sendiri nantinya, karena yang merasakan dana maupu program perusahaan

Hingga sejauh ini dengan adanya Perda tersebut cukup meberikan dampak yang positif kepada perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Jawa Timur dikarenakan pihak dari perusahaan juga dilibatkan oleh pemerintah provinsi Jawa Timur dalam melaksanakan proses percepatan pembangunan yang ada. Dengan melalui setiap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak perusahaan segera dilaporkan kepada pihak pemerintah provinsi yang dalam hal ini diwakili oleh BAPPEDA Jatim.

“intinya Perda ya itu mengajak kerja sama ya.. kita tanggapi positif itu bagus. Disampng kita juga melakukan diwilayah kerjanya Bapeprov jatim kan Jawa Timur kan mas. Artinya kan kita juga membantu pemerintah daerah , iya to? Cuma dengan kegiatan kita sendiri gitu lho. Kita juga melapor ke Pemprov supaya tidak terjadi over climbing itu sudah jadi program kita jadi pemerintah tidak usah ikut lagi gitu.. biar nggak tumpuk . berhubung pembiayaan dari pak agus sendiri kurang kan dananya . jadi sinerginya itu tadi kita membina wilayah jawa itu juga pasti kita laporkan pada Bapeprov, misalnya pada saat rapat-rapat bulanan juga di ajak temenannya juga erat gitu lho…” (Erawan, PTPN X & FORUM CSR BUMN)

“keuntungannya mungkin gini mas, jadi kita lebih selektif kan mempunyai wilayah kerja masing-masing, tidak ada yang benturan, tidak ada over climbing. Jadi dengan adanya Perda itu semakin merata, pemerataan wilayah pembangunan lah.” (Erawan, PTPN X & FORUM CSR BUMN)

“saya pernah mengobrol ikut pak robertt. Itu lebih ke tidak semua program yang dilaksanakan tidak semua bisa dibiayai oleh APBD gitu, sehingga banyak titik” yang belum bisa terpenuhi itu. disisi yang petama, sisi ke-2 perusahaan juga beberapa sudah melakukan CSR di masyarakat dlingkungan apa usahanya atau bahkan meluas dari tempat usahanya, sering “saya pernah mengobrol ikut pak robertt. Itu lebih ke tidak semua program yang dilaksanakan tidak semua bisa dibiayai oleh APBD gitu, sehingga banyak titik” yang belum bisa terpenuhi itu. disisi yang petama, sisi ke-2 perusahaan juga beberapa sudah melakukan CSR di masyarakat dlingkungan apa usahanya atau bahkan meluas dari tempat usahanya, sering

Lebih dari itu juga pengaturan melalui Perda tersebut cukup rinci dalam pelaksanaannya, dalam hal ini mencoba menghindari beberapa kemungkinan masalah yang terjadi ketika program CSR tersebut diimplementasikan di lapangan. Yakni mengenai masalah tumpang tindih program ‘over climbing’ baik dalam program maupun wilayah, yang seharusnya program tersebut bisa dilaksanakan oleh perusahaan melalui program CSR akan tetapi juga program yang sama dilakukan oleh pihak pemerintah dan juga wilayah yang seharusnya sudah dimasuki oleh perusahaan tetapi juga disana benturan dengan program yang dilakukan oleh pemerintah, begitupun sebaliknya. Hal ini menghindari terjadinya miss komunikasi antara pihak masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Diharapkan nantinya sinergitas antara ketiganya sangat baik demi melancarkan proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur khususnya.

Monitoring refleksif aktivitas merupakan ciri terus menrus tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga perilaku

orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tenpat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya. Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari bahwa actor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud- maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik Motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tenpat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya. Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari bahwa actor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud- maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik Motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar

Berkaitan dengan hal ini yag dimaksud dengan monitoring refleksivitas ialah sejauh mana efektifitas Perda tersebut diimplementasikan. Dampak mengenai kadanya Perda itu sendiri mungkin sejauh ini masih belum bisa dirasakan oleh semua kalangan stakeholders yang ada di Jawa Timur, akan tetapi keberadaan Perda juga cukup efektif dalam upaya menyalurkan program perusahaan. Dimana penyaluran tersebut melalui pihak pemerintah melalui BAPPEDA yang di Koordinasikan dengan pihak SKPD terkait mengenai bentuk program yang akan disalurkan oleh perusahaan tersebut agar tepat guna.

“Misalnya, unilever mengagendakan akan ada pelaksanaan CSR yang mendukung sponsor kesehatan. Kita akan koordinasikan dengan dinas kesehatan, karena dinas kesehatan juga anggota tim fasilitator. Anggota tim fasilitator ini adalah seluruh SKPD yang terkait dengan kegiatan- kegiatan yang menjadi bagian kajian CSR. Yang biasanya bagian dari CSR.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“Perda ini kan lebih kepada, kalo yang menjalankan itu kan lebih pada yang melaksanakan TSP, perda itu kan tidak mengatur secara detail gitu kan gk, tapi bagaimana pemerintah daerah ini memfasilitasi dari pelaksanaan TSP itu sendiri, memberikan apresiasi pada perusahaan yang melaksankan TSP. Dan disana memang ada substansi terhadap yang sudh melaksanakan tapi itu lebih kepada administratif. Dan itu kan kewenanganya terbatas. Jadi kita lebih mnegedepankan bagaimana apresiasi kepada perusahaan yang melaksanakn TSP dengan baik. Kalau secara regulasi pusat, dari pemerintah pusat memberikan subtansi yang tegas. Adakan yang terkadang terkait sumber daya alam, kan itu menjadi bagian dari biaya operasional untuk yang CSR untuk lingkungan dalam arti ketika perusahaan tersebut mengelola tidak berdampak pada sumber

107 Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 hal 7 107 Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 hal 7

Pada prinsipnya adanya Perda yang sudah dibentuk oleh pihak pemerintah yang pada pelaksaannya dilaksanakan oleh pihak BAPPEDA yang mewakili pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dengan memfasilitasi pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga memberikan apresiasi kepada pihak perusahaan yang telah melaksanakan program tersebut dengan tepat dikarenakan memang tidak ada sangsi tegas sendiri kepada perusahaan dalam melaksanakan program CSR akan tetapi mencoba memberikan penyadaran dalam mendorong setiap perusahaan untuk melakukan program CSR tersebut.

Terkait mengenai proses monitoring mapun evaluasi terhadapa pelaksanaan Perda ketika diimplementasikan oleh perusahaan tidak sepenuhnya dilakukan oleh pihak pemerintah, akan tetapi hal tersebut dipasrahkan sepenuhnya kepada pihak perusahan. Namun kewajiban yang dilakukan oleh perusahaan ialah melaporkan kepada pihak BAPPEDA selaku ketua Tim Fasilitasi CSR di Jawa Timur. Sehingga dari apa yang sudah dilaporkan tersebut diteruskan kepada pihak DPRD Jatim selaku pembuat regulasi dan nantinya jika ada hal yang memang belum bisa diatur dalam Perda ini maka akan perlu ditinjau kembali.

“Gini terkait pelaksanaan sesuai yang diamanatkan dalam perda bahwa monitoring, evaluasi dan lain-lain itu menjadi kewenangan perusahaan. Kalo keterlibatan kami di tim fasilitasi, kalo memang dikehendaki oleh perusahaan untuk monitoring bersama, join monitoring istilahnya waktu kebijakan pergub itu, ya dimungkinkan. Namun tidak kemudian kewajiban “Gini terkait pelaksanaan sesuai yang diamanatkan dalam perda bahwa monitoring, evaluasi dan lain-lain itu menjadi kewenangan perusahaan. Kalo keterlibatan kami di tim fasilitasi, kalo memang dikehendaki oleh perusahaan untuk monitoring bersama, join monitoring istilahnya waktu kebijakan pergub itu, ya dimungkinkan. Namun tidak kemudian kewajiban

“Cuman aplikasi di lapangan ini kita belum bisa memantau secara intensif, sehingga mungkin seperti apanya saya belum bisa mengukur. Misalnya, darii laporan teman-teman di bapeda ketika perda ini ada banyak perusahaan yang sudah lonjakannya melaporkn kepada CSR sudah sangat tinggi, saya sudah melakukan ini pak, saya melakukan iini, dan seperti apa ini sudah luar biasa. Di Bappeda kan ada forum CSR yang itu dikelola Bappeda yang ini menjadi rujukan.” (Sugiri DPRD Jatim)

Mengenai sangsi dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri memang sampai sejauh ini belum bisa mengikat sepenuhnya, karena sampai sekarang ini memang tidak ada sangsi yang mengikat, akan tetapi adanya Perda ini diharapkan ada peningkatan peran dari perusahaan yang peduli dalam upaya melaksanakan program CSR tersebut.

“ya bisa jadi dikatakan itu. Karena kita mau itu apa? Untuk sanksi berupa tuguran administrasi. Ditegurun terus kalo mereka gk ada respon untuk apa ? tapi paling tidak dengan adanya perda ini, sudah ada peningkatan peran perusahaan. Saya sudah menanyakan ke Bapeda apakah ada peningkatan pada saat sosialisasi ? kemarin juga mengatakan ada peningkatan katanya, perusahaan yang peduli melaksanakan program CSR itu”. (Kodrat DPRD Jatim)

“Punishmentnya, yang memnag ada punishmentnya berupa sanksi administrasi, baru yang paling keras lewat teguran tertulis. Itu sudah hukuman yang paling hebat, teguran tertulis. Tapikan, ketika perusahaan di tegur secara tertulis oleh provinsi oleh gubernur kan sudah luar biasa. Dan artinya ini memang..memang, kami ulangi kembali bahwa kami tidak bisa mengikat terlalu erat, dan hanya membangkitkan kesadaran. Sesungguhnya aturan itu, semakin banya aturan orang biasanya itu semakin banyak untuk mencari celah untuk mencari kelemahan aturan dan kami mencoba untuk menggedor kesadaran dan kemudian kepentingan rakyat ini harus ditopang “Punishmentnya, yang memnag ada punishmentnya berupa sanksi administrasi, baru yang paling keras lewat teguran tertulis. Itu sudah hukuman yang paling hebat, teguran tertulis. Tapikan, ketika perusahaan di tegur secara tertulis oleh provinsi oleh gubernur kan sudah luar biasa. Dan artinya ini memang..memang, kami ulangi kembali bahwa kami tidak bisa mengikat terlalu erat, dan hanya membangkitkan kesadaran. Sesungguhnya aturan itu, semakin banya aturan orang biasanya itu semakin banyak untuk mencari celah untuk mencari kelemahan aturan dan kami mencoba untuk menggedor kesadaran dan kemudian kepentingan rakyat ini harus ditopang

Meskipun hingga sejauh ini sangsi atau punishment yang diberikan kepada pihak perusahaan hanya bersifat teguran tertulis oleh pihak provinsi hanya saja memang teguran tersebut ada yang tidak mendapatkan respon. Karena memang fungsi dari pihak pemerintah hanya sebagai fasilitasi perusahaan dalam melaksanakan program CSR tersebut. Jika sanksi kemudian dipraktekan maka perusahaan akan terbebani mengenai sanksi tersebut karena kegiatan CSR pada prinsipnya ialah bersifat sukarela dan juga ketakutan yang akan terjadi jika perusahaan tersebut merasa terbebani maka perusahaan-perusahaan tersebut akan berfikir kembali jika ingin menginvestasikan modalnya di wilayah Jawa Timur, sehingga imbasnya produksi di Jawa Timur menurun dan secara langsung berdampak kepada penurunan jumlah lapangan kerja.

“karena kita kan juga berfikir gini mas, bukan sekedar TSPnya tetapi ketika kita harus memberi sanksi itu kemudian perusahaan akan merasa terbebani. Lha kalau terbebani, di akan menimbulkan anggapan bahwa jawa timur akan menjadi mahal ketika pelaksanaan TSP. Ya kalo mereka lari dari jawa timur, imbasnya kan banyak. Produksi menurun, lapangan pekerjaan menurun. Jadi kita harus hati-hati mensikapi itu.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“artinya biar jauh juga apa yang belakangan ingin dicari melalui pemberitaa sosial itu adalah kemudian bisa sama-sama mengukur. Ukuranya kemudian bukan hanya soal keberhasilan, bukan soal tujuan, bukan soal sasaran. Tapi, berapa kemudian yan telah dikontribusikan oleh dunia usaha melalui CSR terhadap hal yang diharapkan. Misalnya RTLH, karena data sasarannya untuk pemerinah, sehingg apemerintah bisa mengukur. Oohh.. menyumbang 10 unit dari rumah tidak layak huni. Itu “artinya biar jauh juga apa yang belakangan ingin dicari melalui pemberitaa sosial itu adalah kemudian bisa sama-sama mengukur. Ukuranya kemudian bukan hanya soal keberhasilan, bukan soal tujuan, bukan soal sasaran. Tapi, berapa kemudian yan telah dikontribusikan oleh dunia usaha melalui CSR terhadap hal yang diharapkan. Misalnya RTLH, karena data sasarannya untuk pemerinah, sehingg apemerintah bisa mengukur. Oohh.. menyumbang 10 unit dari rumah tidak layak huni. Itu

Sehingga memang yang diharapkan adanya Perda ini bukan hanya diukur pada keberhasilan atau tujuan dalam pelaksanaan program CSR tersebut melainkan yang diharapkan ialah bahwasanya program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan kebutuhan yang di butuhkan oleh pemrintah dalam proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur itu sendiri.

Pembedaan antara monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan dengan motivasinya. Jika alasan-alasan mengacu pada keinginan-keinginan yang mengarahkannya. Akan tetapi, motivasi tidaklah secara langsung dibatasi oleh kesinambungan tidakan-tindakan seperti halnya rasionalisasi atau monitoring refleksifnya.

Menginduksi pernyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa sifat- sifat khusus agen ialah sebagai berikut:

1. Agen tidak hanya memonitor terus menerus aliran dan aktivitasaktivitas mereka dan mengharapkan pihak lain bertindak seperti dirinya. Mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek fisik dan sosial dari konteks tempat mereka bergerak.

2. Dengan rasionaliasi tindakan secara rutin dan berlalu tanpa tumpang tindih, maka hal itu mengukuhkan pemahaman teoritis secara terus 2. Dengan rasionaliasi tindakan secara rutin dan berlalu tanpa tumpang tindih, maka hal itu mengukuhkan pemahaman teoritis secara terus

3. Pertanyaan sering menjadi tujuan dan alasan filosof yang biasanya untuk membantu menjelaskan bagi aktor awam yang tengah menghadapi beberapa situasi yang membingungkan atau ketika ada semacam perubahan atau keretakan kompetensi yang mungkin secara nyata menjadi sesuatu yang diharapkan.

4. Monitoring refleksif dan rasionalisai tindakan dibedakan bedasarkan motivasi. 108

Guna memfokuskan klarifikasi mengenai agensi, perlulah sekiranya dibuat batasan mengenai agensi manusia yang diluruskan di bawah ini:

1. Agensi manusia menekankan hubungan antara aktor dan kekuasaan. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk membuat sebuah perbedaan dari kondisi peristiwa atau tingkatantingkatan kejadian sebelumnua. Seorang agen akan berhenti menjadi agen jika ia kehilangan kemampuan untuk membuat sebuah perbedaan dalam melatih beberapa jenis kekuasaan. Banyak kasus yang menarik dari analisis sosial yang terfokus pada margin yang dapat kita artikan sebagai tindakan, yaitu saat kekuasaan individu dibatasi oleh jarak keadaan-keadaan khusus. Tetapi ini menjadi kepentingan pertama untuk mengenali keadaankeadaan pengekangan sosial yang membuat individu tidak memiliki pilihan yang

108 Argyo Demartoto, (tanpa tahun), Teori Strukturasi dari Anthony Giddens, hal 4 108 Argyo Demartoto, (tanpa tahun), Teori Strukturasi dari Anthony Giddens, hal 4

2. Sebagian aliran teori sosial terkemuka tidak mengenal pembedaan, utamanya yang berhubungan dengan objektivitisme dan structural. Mereka menyatakan bahwa kekangan beroperasi seperti kekuatan alam, seolah-olah tidak memiliki pilihan yang sama dengan yang digerakkan tanpa perlawanan dan tidak mampu dipahami oleh tekanan-tekanan mekanis.

3. Agen tidak bebas untuk memilih bagaimana membentuk dunia sosial, tetapi dibarasi oleh pengekangan posisi historis yang mereka tidak pilih.

4. Baik tindakan aktor maupun struktur akan melibatkan tiga aspek yakni makna, norma dan kekuasaan. 109

Lagi, kata Giddens setiap manusia merupakan agen yang betujuan (purposive agent) karena sebagai individu, ia memiliki dua kencenderungan, yakni memiliki alasan-alasan untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus menerus sebagai bertujuan,

bermaksud dan bermotif. 110 Sedangkan Agensi mengacu pada perbuatan, kemampuan atau tindakan otonom untuk melakukan apa pun.

109 Ibid., hal 5 110 Ibid, hal 5

V.1.2 Pandangan Struktur

Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur. Namun konsep atau pandangan Giddens tentang struktur berbeda dengan pandangan strukturalisme atau pos-strukturalisme, meskipun hingga batas tertentu konsep Giddens mengenai struktur tidak mudah untuk dipahami dan mengundang kritik. Dalam pandangan Giddens struktur itu sebagai “rules and resources”

yakni tata aturan dan sumber daya 111 , yang selalu diproduksi dan direporuksi, serta memiliki hubungan dualitas dengan agensi, serta melahirkan berbagai

praktik sosial sebagaimana tindakan sosial. Dalam teori strukturalisme struktur dipandang sebagai suatu penciptaan pola relasi-relasi sosial atau fenomena- fenomena sosial serupa, sebagai kerangka atau morfologi sebuah organisme atau tiang penyangga sebuah bangunan, yang berada di luar tindakan manusia. Kritik Giddens kepada strukturalisme ialah, bahwa pandangan strukturalisme terutama strukturalisme-fungsional cenderung lebih tertuju pada “fungsi” daripada

“struktur” dan meletakkan struktur sebagai sesuatu yang berada di luar 112 .

Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural yang me- mungkinkan pengikatan ruang dan waktu yang mereproduksi praktik-praktik

111 Jari David and Julia Jary, 1991, Collins Dictionary Of Sociology. Glasgow: Harpers Collins Publisher, hal 8

Anthony Giddens, 2010, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 25-26 Anthony Giddens, 2010, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 25-26

Aturan dan sumber daya

Kondisi-kondisi yang atau seperangkat relasi

Relasi-relasi yang

mengatur keterulangan transformasi,

direproduksi di antara

atau transformasi terorganisasi sebagai

para aktor atau

kolektivitas, terorganisasi struktur-struktur, dan kelengkapan-kelengkapan sebagai praktik-prtaktik

karenanya reproduksi dari sistem-sistem sosial. sosial reguler.

sistem-sistem sosial itu sendiri.

Gambar. V.2 Bagan Struktur, Sistem & Strukturasi

Dengan kelengkapan-kelengkapan struktural itu suatu struktur memung- kinkan keberadaan praktik-praktik sosial bersifat sistemik. Karena itu, Giddens memaknai struktur sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin, berada di luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidakhadiran subjek. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur ialah Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) bagi pelaku usaha yang ada di wilayah Jawa Timur.

Sedangkan sistem sosial secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia dan direproduksi sepanjang ruang dan waktu. Sistem sosial ini dimaknai sebagai sebagai relasi-relasi yang terbangun antara masing-masing agen yang berkaitan dengan struktur tersebut. Strukturasi

113 Ibid., hal 40 113 Ibid., hal 40

Struktur menurut Giddens, ialah “hal-hal yang menstrukturkan (aturan dan sumberdaya)...hal-hal yang memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di ruang dan waktu serta yang memberi mereka bentuk

sistemis” 114 . Menurut Giddens bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia”. Dalam pandangan Giddens, berdasarkan konsep ‘dualitas

struktur’ dalam hubungan antara agen dan struktur (agency and structure), bahwa ‘struktur’ merupakan medium sekaligus hasil dari tindakan yang ditata secara berulang oleh struktur. Ditekankan pula tentang ‘keterinformasian’ aktor yang

tergantung pada pengetahuan dan strategi yang ada untuk meraih tujuan 115 . Agen atau pelaku adalah orang-orang yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan

dan peristiwa. Sedangkan struktur adalah “aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial” 116 .

Sedangkan sistem sosial, “memproduksi praktik sosial, atau mereproduksi hubun-

114 Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, hal 571.

115 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 78

B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002, hal. 19.

gan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial yang terorganisasi” 117 .

Berbeda dengan pandangan strukturalisme yang memandang struktur be- rada di luar (eksternal) yang menentang dan mengekang pelaku, teori strukturasi Giddens memandang objektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan dan praktik sosial yang dilakukan agen atau pelaku. Struktur bukanlah benda melainkan skemata yang hanya tampil dalam praktik- praktik sosial (social practices). Praktik sosial itu bersifat berulang dan berpola dalam lintas ruang dan waktu. Praktik sosial itu dapat berupa kebiasaan-kebiasaan seperti penyebut pengajar dengan istilah guru, pemungutan suara dalam pemilihan umum, menyimpan uang di bank, sampai kebiasaan membawa SIM (Surat Izin Mengemudi) ketika mengemudi kendaraan. Praktik sosial seperti itu dapat berlangsung kapan dan dimana saja. Dalam praktik sosial yang berpola dan berulang itulah terjadi dualitas antara pelaku (tindakan) dan struktur. Dualitas relasi tersebut terletak dalam fakta bahwa struktur mirip dengan pedoman, yang

menjadi prinsip praktik-praktik sosial berlangsung 118 .

Karena itu Giddens melihat tiga gugus struktur. Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Contoh menyebut guru kepada pengajar atau menyalakan lampu kendaraan tanda belok kiri merupakan praktik sosial pada

117 Ritzer dan Goodman, , Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008 hal. 571

118

B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002,, hlm. 22.

gugus struktur signifikasi. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (economy). Contoh menyimpan uang di bank merupakan bentuk struktur dominasi ekonomi dalam bentuk kontrol atas uang atau barang. Contoh lain pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan bentuk struktur dominasi politik yakni penguasaan atas orang. Ketiga, struktur pembenaran (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Contoh dari praktik sosial dalam bentuk struktur legitimasi ialah razia polisi lalu-lintas terhadap pengendara sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM (Surat Izin Mengemudi). Ketiga gugus struktur tersebut sal- ing berkaitan satu sama lain. Contohnya skemata signifikasi orang yang mengajar disebut guru pada gilirannya menyangkut skemata dominasi otoritas guru atas murid dan juga skemata legitimasi hak guru atas pengadaan ujian untuk menilai

proses belajar murid. Hal serupa terjadi dalam struktur dominasi dan legitimasi 119 .

Perda TSP dalam Ranah

Perda TSP dalam Ranah Sosial

Perda TSP dalam Ranah

Politik

Hukum

Gambar. V.3 Bagan Struktur Perda TSP

Dari penjelasakan tabel diatas bahwasanya ranah Perda TSP yang merupakan sebuah struktur itu sendiri memberikan sebuah pemetaan yang ada, Signifikansi dalam Perda tersebut mempunyai wilayah bahwasanya Perda tersebut

119 B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002, hlm. 24-25.

berada dalam ranah sosial. Hal ini bisa dijelaskan bahwasanya adanya Perda tersebut turut membantu pembangungan yang ada di wilayah Jawa Timur sesuai dengan RPJMD yang tealh disepakati bersama sehingga menjadi acuan baik dari pemerintah itu sendiri dibantu dengan keterlibatan dunia usaha dalam proses percepatan pembangunan tersebut.

“oh sangat, mereka melaporkan ke bapeda mereka telah melakukan apapun, kegiatan sosial baik membina sekolah membina lingkungan hidup. Itu merupakan sebuah kemajuan. Tapi ketika dia melaporkan setidaknya ada komunikasi dengan bapeda, RPJMD seperti ini. Setidaknya bapak kalau ke ini jangan ke ini thok, karena yang dibutuhkan tahun depan seperti ini. Setidaknya ada koridor yang mereka jelaskan di RPJMD, sehingga acuan-acuan CSR diharapkan tidak melenceng dari skema pembangunan jawa timur yang memnag telah kita buat sejak awal.” (Sugiri, DPRD Jatim)

“Sesungguhnya aturan itu, semakin banya aturan orang biasanya itu semakin banyak untuk mencari celah untuk mencari kelemahan aturan dan kami mencoba untuk menggedor kesadaran dan kemudian kepentingan rakyat ini harus ditopang oleh semua stakeholder di Jawatimur baik itu pemerintah, DPR atau apapun juga tidak luput dari peran dunia usaha juga sangat kami butuhkan untuk memebangun jawa timur secara berssama- sama.” (Sugiri, DPRD Jatim)

Perda tersebut dalam ranah sosial ingin menekankan mengenai kesadaran kepada seluruh elemen masyarakat yang ada di Jawa Timur dalam upaya membawa perkembangan wilayah provinsi Jawa Timur itu sendiri melalui keterlibatan seluruh stakeholder yang ada, tidak hanya pembangunan tersebut dipasarahkan begitu saja terhadap pemerintah akan tetapi peran serta dari seluruh elemen masyarakat dan juga dari pihak dunia usaha dalam mengoptimalkan pembangunan yang terintegrasi dengan baik dan saling bersinergis.

Secara tekhnik pelaksanaan di lapangan Perda tersebut dalam mengsinergiskan program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang Secara tekhnik pelaksanaan di lapangan Perda tersebut dalam mengsinergiskan program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang

“Jadi disini kan tim fasilitasi memfasilitasi mengenai program kegiatan perusahaan dengan program kegitan pemerintah, pemerintah profensi maupun daerah supaya tidak ada over lap, dulu kan kayak over lap gitu sekarang kan eee jadi misalnya programnya CSRnya perusahaan apa apa apa sementara kita juga program pemerintah daerah kabupaten kota provensi programnya kita apa, nah ini kita temukan kira kira mana yang ini yang ini jadi biar tidak ada over lap antar progaram jadi tugas tim fasilitasi dan di dalam tim fasilitasi ini kita tidak melibatkan perusahaan jadi murni dari pemerintah, kalau dulu kan memang kita ada melibatkan beberapa perusahaan sekarang enggak ini murni, jadi sementara perusahaan sendiri memiliki forum, jadi dari forum itulah tim fasilitasi program program kita satukan.”(Herlina, BIRO PEREKONOMIAN)

“iya, semua SKPD, jadi ada Bapeda, kemudian biro kesra, dinas sosial, dinas tenaga kerja, kemudian dari BUMN juga ada , telkom, PLN, semen gresik. Itu proses pembuatannya dilibatkan, tapi kalo pada saat publik learning, tapi pada saat formulasi kebijakan tahapan sebelum adopsi itu ada masukan-masukan dari LSM juga.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Dan juga dalam proses pembentukan Perda tersebut juga yang terlibat tidak hanya pihak dari legislatif meskipun leading sektornya adalah anggota dewan itu sendiri, akan tetapi juga melibatkan dari keselurhan stakehoders ataupun intansi yang terkait juga dilibatkan baik dari pemerintah, dunia usaha maupun dari civil society itu sendiri.

Sedangkan bentuk Perda tersebut ialah Dominasi, hal ini berarti bahwa Perda tersebut berada pada ranah politik. Dimana hal tersebut bisa dimaknai secara politik karena dalam pembentukan Perda tersebut juga menyatukan beberapa kepentinga-kepentingan yang ada sehingga bisa dikatakan bahwa Sedangkan bentuk Perda tersebut ialah Dominasi, hal ini berarti bahwa Perda tersebut berada pada ranah politik. Dimana hal tersebut bisa dimaknai secara politik karena dalam pembentukan Perda tersebut juga menyatukan beberapa kepentinga-kepentingan yang ada sehingga bisa dikatakan bahwa

“jadi di teori William dahm mengenai gaya perumus kebijakan itu kan ada macam-macam. Ada yang namanya gaya pro-aktif, dimana mulai pertama mereka sudah mengetahui permasalahan sehingga sampai proses perjuangan diadopsi, sampek pengambilan keputusan dia memperjuangkan. Yang kedua ada gaya perumus kebijakan yang mereka itu reskutif istilahnya, dia tidak tahu maslahnya tapi pada saat itu pokoke setuju. Ada gaya rasionalis, yaitu mereka tahu permasalahannya tapi pada saat pembahasan hal pasal-pasal tertentu mereka mengikuti. Misalnya gini, ada kepentingan ini yang namanya pembuatan perda itu kan kompromi pilitik. Sehingga ada yang beberapa kepentingan tertentu kita mengikuti. Contohnya di perda ini sanksi kan tidak ditulis .... hanya sanksi administrasi gak jelas. Kadang kan ada undang-undang sampai pencabutan izin. Tapi karena kompromi politik dikuatirkan apabila dalam taraf perda ini telah menyangkut yang tegas, investor ditakutkan malah meninggalkan kita. Itu yang berkaitan. Itu yang kemudian ................ ikuti saja setuju sudah. Jadi 3 itu yang menonjol. Ada yang proses terhadap pembahasan masalah itu juga setuju, terlibat aktif, ada yang kemudian tahu masalahnya tapi dia juga ngikuti tapi ada yang ndak ngerti tapi setuju diadopsi. Nah, itu sampean tafsirkan terserah itu.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Memang pada awal pembentukan Perda tersebut terjadi sebuah perdebatan dari anggota DPRD itu sendiri selaku pembuat kebijakan, karena ada beberapa pihak yang berpendapat jika Perda tersebut dibuat trus nantinya tidak ada aturan yang secara tegas mengikat secara hukum, makan Perda tersebut sama halnya kertas kosong yang tidak berlaku. Akan tetapi yang perlu ditekankan bahwasanya aturan Perda tersebut memang untuk saat ini belum sepenuhnya bisa mengikat secara hukum, karena jika keika Perda tersebut dipraktekan secara tegas makan akan menyebabkan sebuah beban bagi dunia usaha yanh ada di Jawa Timur.

Karena dari pihak dunia usaha pun sendiri melihat bahwasanya apa yang telah mereka lakukan itu juga sangat penting dalam proses pembanguna, dengan beban pajak yang diberikan dan juga dengan adanya perusahaan tersebut di Jawa Timur setidaknya membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan taraf ekonomi kehidupan masyarakat.

“ya, saya pikir kan misalnya gini, tidak setujunya ada pada isi dari pada perda, semangatnya semua sepakat. Contentnya misalnya tidak setuju mungkin ini harus ada punishment jika perusahaan tidak bisa memenuhi. CSR ini seperti apa hukumannya ? punishmentnya seperti apa ? kemudian jika memenuhi rewardnya seperti apa ? itu yang menjadi debat perusahaan. Kalau perda tidak bisa memberikan punishment buat apa ada perda, hanya menjadi kertas belaka. Ada yang mengatakan demikian. Tapi kan kita mencoba, ingat yang saya katakan ini adalah perda kompromi terhadap berbagai kepentingan sehingga jangan mimpi untuk memberikan punishment terlalu dalam karena kami juga menjaga dunia usaha jangan sampai kemudian sudah ada pajak, sudah ada apa, sudah ada CSR yang diikat. Inikan menjadi mahal, faktor-faktornya menjadi mahal, saya kuatir kalo sampai meninggalkan jawa timur. tapi Inilah yang saya sebut kompromi kepentingan.” (Sugiri, DPRD Jatim)

“sesungguhnya perda ini saya katakan bukan lagi aturan tapi ini sebuah komppromi kepentingan yang kemudian kita rangkum jadi satu, namanya Perda TSP. Kepentingan dimana perusahaan kita sadarkan bahwa sesunggunhya yang namanya CSR it bukan sekedar hanya pertimbangan pahala dan nama baik saja tapi disini ada muatan-muatan yang menurut saya dahsyat untuk menjadi image brand ya ? ketika perusahaan ini berperilaku baik, inikan corporate image’nya akan muncul kemudian akan menjadi trusth masyarakat pada perusahaan ini kan menjadi tinggi. Ini penting sebetulnya bagi perusahaan, yang pertama. Yang kedua, jika Perda TSP ini tidak ada, pungli-pungli yang hari ini berkeliaran misalnya perusahaan pertambangan atau apa yang saat ini ada biasanya seorang RT aja yang bertepatan ada pabrik disebelahnya itu jauh lebih berharga dari pada seorang gubernur dimata perusahaan, karena dia merasa bisa mengayomi, bisa mengamankan. Nah ini kan, mencoba akan kita generalisasikan kemudian kita indahkan. Punglinya akan kita kikis pelas- “sesungguhnya perda ini saya katakan bukan lagi aturan tapi ini sebuah komppromi kepentingan yang kemudian kita rangkum jadi satu, namanya Perda TSP. Kepentingan dimana perusahaan kita sadarkan bahwa sesunggunhya yang namanya CSR it bukan sekedar hanya pertimbangan pahala dan nama baik saja tapi disini ada muatan-muatan yang menurut saya dahsyat untuk menjadi image brand ya ? ketika perusahaan ini berperilaku baik, inikan corporate image’nya akan muncul kemudian akan menjadi trusth masyarakat pada perusahaan ini kan menjadi tinggi. Ini penting sebetulnya bagi perusahaan, yang pertama. Yang kedua, jika Perda TSP ini tidak ada, pungli-pungli yang hari ini berkeliaran misalnya perusahaan pertambangan atau apa yang saat ini ada biasanya seorang RT aja yang bertepatan ada pabrik disebelahnya itu jauh lebih berharga dari pada seorang gubernur dimata perusahaan, karena dia merasa bisa mengayomi, bisa mengamankan. Nah ini kan, mencoba akan kita generalisasikan kemudian kita indahkan. Punglinya akan kita kikis pelas-

Karena jika Perda tersebut disepakati secara tegas dan mengikat kepada seluruh dunia usaha yang ada di Jawa Timur yang maka hal tersebut akan menjadi beban tersendiri kepada masyarakat. Hal ini nantinya akan ditakutkan bahwasanya selanjut tidak ada investor yang akan menanamkan modalnya di Jawa Timur karena aturan tersebut, sehingga yang terjadi berpengaruh kepada proses pertumbuhan pembangunan itu sendiri.

“ya tidaklah, kami juga..kami juga.. tahun ini akan sedikit kami longgari lah ya namanya kompromi kepentingan. Tahun ini mungkin akan kita longgari, berikutnya agak sedikit kita perketat gitu. Bahkan mungkin nanti ketika ini sudah menjadi sebuah kebudayaan bahwa CSR sudah menjadi kebutuhan perusahaan akan CSR, kita akan lebih ikat lagi. Agar ini sedikit menjadi sebuah kebutuhan, bahwa perusahaan mengeluarkan CSR adalah kebutuhan sedikit kita ikat kembali tidak selonggar sekarang. Tapi, biarkan ini mengalir organik lah, saat ini biarkan mengalir organik jangan..jangan terlalu di kekang nemen-nemen karena saya kuatir efek domino yang tidak baik. Tapi karena ketika kesadaran ini sudah bangkit dan CSR memang perlu. CSR memang harus kita berikan, CSR harus kita bagikan, harus adalah. Anti akan sedikit kita kencengi. Tapi butuh waktu.” {Sugiri DPRD Jatim)

Akan tetapi pada berjalanya waktu ketika semua dunia usaha menjadikan bahwasanya CSR menjadi sebuah kebutuhan yang harus dijalankan oleh perusahaan maka peraturan mengenai implementasi aturan-aturan pelaksanaan CSR tersebut akan sedikit diikat sehingga semua dunia usaha yang ada di Jawa Timur semuanya terlibat secara aktif dalam membantu pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan yang ada di Jawa Timur.

Selanjutnya penjelasan mengenai Perda dalam Struktur ialah legitimasi. Legitimasi itu sendiri dimaknai bahwasanya Perda berada dalam wilayah hukum, yang berarti bahwa perda menjadi sebuah aturan yang formiil yang harus dilaksanakan kepada seluruh elemen terkait, hal ini yang dimaksud ialah seluruh dunia usaha yang berada di wilayah Jawa Timur yang mengatur mengenai implementasi program CSR yang dilaksanakan perusahaan-perusahan dengan tujuan untuk mensinergiskan dengann pelaksanaan pembangunan pemerintah wilayah provinsi Jawa Timur.

Memang secara aturan di tingkat nasional itu sendiri, aturan mengenai Perda itu sudah ada sebelumnya yakni pada pada Undang-Undang PT (Perseroan terbatas) No 40 Tahun 2007 yang mengatur segala jenis bentuk usaha wajib melaksanakan program CSR, sedang pada UU BUMN itu sendiri sudah diatur bahkan sebelum UU PT tersebut diputuskan lalu di follow up dengan munculnya PP 47 Tahun 2012 yang mengatur pelaksanan teknis implementasi CSR itu sendiri.

Bilamana jika kita amati bahwasanya Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai TSP (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ) dalam hal ini dimaksud ialah Perda TSP Jatim tersebut keluar telebih dahulu dari pada PP (Peraturan Pemerintah), akan tetapi dalam hal ini bukan menjadi sebuah persoalan hukum dikarenakan baik PP maupun Perda tersebut induknya mengacu pada UU No 4 Tahun 2007 tersebut.

“tidak ada sama sekali. Justru PP kan mengikuti dari undang-undangnya, mengikuti undang-undang no 40 tahun 2007, sedangkan pijaka hukum kita mengikuti yang undang-undangnya. Gk mungkin PP akan benturan pada perda jika kita mengikuti itu”. (Kodrat, DPRD Jatim)

“iyya, artinya kan tidak ada yang benturan. Misalnya, tidak pasal yang berlotak belakang, yang satu menolak yang satu memperbolehkan kan tidak ada. Kami membuat itupun berdasarkan koridor-koridor hukum dan berdasarkan ..ya ini yang akan terjadi sudah kami hitung. Isalnya ketika kami memberikan...ini kalau tidak membayar, ijin dicabut. Lha ijin itu addalah domain. Kalo ijn pertambangan kan sampek kemana? Kita tidak bisa sejauh itu. Sehingga, adanya PP baru itu , dari perda duluan perdanya saya pikir tidak menjadi kendala apapun, pasalnya juga tidak ada yang bertolak belakang. Isinya sama. Gitu lho mas” (Sugiri, DPRD Jatim)

Karena baik dalam PP ataupun Perda tersebut tidak ada benturan-benturan masing-masing pasal, tidak ada pasal yang satu sama lain saling menolak. Sehingga secara hukum adanya Perda tersebut adalah produk hukum yang sah. Sehingga memang kedudukannya harus dipatuhi oleh pihak terkait.

Memang pada awalnya sebelum perda tersebut disahkan masih terjadi pro- kontra terhadap status hukumnya, dikarenakan Perda tersebut tidak bisa mengikat secara penuh terkait mengenai sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak melaksanakan secara penuh isi Perda tersebut karena ada bebarapa hal yang tidak bisa dipaksakan yang nantinya ditakutkan bahwasanya Perda tersebut menjadi blunder tersendiri dalam peningkatan perekonomian pembangunan yang ada di Jawa Timur.

“kalau reward dipasal berapa itu aku lupa, itu akan dipergunakan oleh gubernur. Punishmentnya, yang memnag ada punishmentnya berupa sanksi administrasi, baru yang paling keras lewat teguran tertulis. Itu sudah hukuman yang paling hebat, teguran tertulis. Tapikan, ketika perusahaan di tegur secara tertulis oleh provinsi oleh gubernur kan sudah luar biasa.” (Sugiri, DPRD Jatim)

“ya awalnya memang prosentase disitu. Disitu disebutkan kalo di undang- undang BUMN. Undang-undang No. 19 kalo gk salah yang tentang BUMN yang kemudian diperkuat dengan permentri BUMN No. 5 itu bahwa program kemitraan dengan lingkungan yang dinamakan dengan CSR itu maksimal itu kan 2%, maksimal dari sisa keuantungan yang telah dipotong pajak. Itu, pro kontranya disitu dulu. Ada teman saya yang salah nyebutnya 5%, sampek ngamuk itu. Ada itu, saya ingat dari fraksi apa gitu sampek......... karena saat itu penolakan yang berkaitan dengan masalah ee..berapa prosentasenya? Makanya doperda disebutkan apa ndak dulu itu.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Dan juga pada saat itu terjadi perdebatan mengenai aturan prosentase dana pelaksanaan program CSR yang dikeluarkan dari laba bersih perusahaan yang nantinya juga menjadi masalah bagi perusahan itu sendiri jika perusahan tersebut mengalami likuiditas dan harus dipaksanakan dengan presentase yang dinilai cukup besar maka yang terjadi perusahaan tersebut akan sangat menjadi beban dan bahkan sama sekali tidak bisa melaksanakan program CSR tersebut.

Untuk itu dalam Perda saat ini tidak diatur secara detail mengenai prosentase yang dikeluarkan dari laba bersih perusahaan untuk melaksanakan program CSR dan hal itu sepenuhnya dipasrahkan kepada perusahaan.

“eee sebenarnya ini leading sectornya adalah dari BAPEDA jadi biro perekonomian dalam hal ini karena kita kan selaku pengguna dari BUMD jadi kita dilibatkan karena ini mengatur perusahaan perusaan baik yang berbentuk perusaahan daerah, BUMN maupun BUMS ini berlaku untuk seluruhnya tidak hanya untuk pemprof milik pemprof, tidak! jadi semua BUMN, BUMD dan BUMS yang da di wilayah jawa timur itu tunduk pada perda ini makanya kita selaku pembina dari BUMD milik pemprof kita juga ikut ikut anu membahas tapi leading sektor dari pembahasan perda ini adalah BAPEDA dan Biro Hukum”. (Herlina, BIRO PEREKONOMIAN)

Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya mengenai aturan secara jelas mengenai pelaksanaan CSR itu sendiri terdapat kekuatan hukum yang mengikat Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya mengenai aturan secara jelas mengenai pelaksanaan CSR itu sendiri terdapat kekuatan hukum yang mengikat

V.2 Strukturasi

Giddens konsisten melihat struktur dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang tidak lepas dari tindakan manusia yang berada di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Mengenai hubungan antara struktur dan tindakan Gidden selanjutnya menyatakan sebagai berikut:

“The social environments in which we exist to do not just consist of random assortments of events or actions – the are structured. There are underlying regularities in how people behave and in the relationships in which they stand with one another. To some degree it is helpful to picture the structural characteristics of societies as resembling the structure of a building. A building has walls, a floor and a roof, which together give it a particular “shape” of form. But the metaphore can be very misleading if applied too strictly. Social system are made up of human actions and relationships: what gives these their patterning is their repetition across periods of time and distances of space. Thus the ideas of social reproduction and structure are very closely related to one another in sociological analysis. We should understand human societies to be like buildings that are at every moment being reconstructed by the very bricks that compose them. The actions of all of us are influenced by the structural characteristics of the societies in which we are brought up and live; at the same time, we recreate (and also

to some extent alter) those structural characteristics in our actions” 120 .

Dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial dimana manusia berada tidak hanya terdiri dari aneka peristiwa atau tindakan yang kebetulan, namun merupakan sesuatu yang terstruktur. Ada keteraturan yang mendasari dalam cara orang berperilaku dan dalam hubungan dimana mereka berdiri satu sama lain. Untuk tingkat tertentu akan sangat membantu untuk membayangkan karakteristik

120 Anthony Giddens, Sociology. Second Edition. Cambridge-UK: Polity Press, 1993, hal. 18.

struktural dari masyarakat sebagai menyerupai struktur bangunan. Sebuah bangunan memiliki dinding, lantai dan atap, yang bersama-sama memberikan “bentuk” tertentu atas format bagunan itu. Tapi metafora bisa sangat menyesatkan jika diterapkan terlalu ketat. Sistem sosial terdiri dari tindakan manusia dan berb- agai hubungan tentang apa yang memberi pola dan bagaimana pengulangannya di seluruh periode waktu dan jarak ruang. Dengan demikian ide-ide reproduksi dan struktur sosial itu sangat erat terkait satu sama lain dalam analisis sosiologis. Kita harus memahami masyarakat manusia menjadi seperti bangunan yang setiap saat sedang direkonstruksi oleh susunan batu bata yang membentuk bangunan itu. Tindakan orang itu semua dipengaruhi oleh karakteristik struktural dari masya- rakat dimana orang itu dibesarkan dan hidup, pada saat yang sama manusia men- ciptakan (dan juga sampai batas tertentu mengubah) karakteristik struktural dalam tindakan mereka.

Dalam teori strukturasinya Gidden mengaitkan struktur dan tindakan sosial itu dalam relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktek sosial dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara tersusun atau terstruktur yang berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus yang penting dari teori strukturasi adalah hubun- gan antara agensi dengan struktur (agency and structure), yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubungan dialektis antara agensi dengan struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus dijalankan Dalam teori strukturasinya Gidden mengaitkan struktur dan tindakan sosial itu dalam relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktek sosial dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara tersusun atau terstruktur yang berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus yang penting dari teori strukturasi adalah hubun- gan antara agensi dengan struktur (agency and structure), yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubungan dialektis antara agensi dengan struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus dijalankan

aktvitas-aktivitas ini” 121 .

Agen adalah aktor, sedangkan agensi menurut Giddens terdiri atas peristiwa yang di dalamnya individu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan peristiwa itu tidak akan terjadi jika saja individu tidak melakukan intervensi. Agen, menurut Giddens “memiliki kemampuan menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan; jadi, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas untuk menciptakan perbedaan. Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhdap aktor, namun tidak berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan perbedaan. Bagi Giddens, secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Jadi teori strukturasi Giddens menempatkan kekuasaan pada aktor dan tindakan yang bertolak belakang dengan teori-teori yang cenderung mengabaikan orientasi tersebut dan justru mementingkan niat aktor (fenomenologi) atau struktur

eksternal (fungsionalisme struktural)” 122 .

Menurut teori strukturasi Giddens, hubungan antara agen dan struktur bersifat dualitas, bukan hubungan dualisme. Dalam pandangan Giddens,

121 Ritzer dan Goodman, op.cit, hal. 569 122 Ritzer dan Goodman, ibid, hal. 571.

merupakan sesuatu yang sudah jelas jika dikatakan ada perbedaan antara pelaku (agen, aktor) dan struktur, sebagaimana dikatakan ada keterkaitan antara struktur dan pelaku atau sebaliknya. Persoalannya adalah, apakah perbedaan dan hubungan antara pelaku dan struktur itu bersifat dualisme (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal-balik)? Giddens melihatnya sebagai dualitas (duality) dan bukan dualisme sebagaimana yang telah menjadi pandangan umum ilmu-ilmu sosial

yang mempertentangkan pelaku (agen) versus struktur 123 .

Dualitas antara struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial. Struktur analog dengan langue (yang mengatasi ruang dan waktu), sedangkan praktik sosial analog dengan parole (dalam waktu dan ruang). Berdasarkan

prinsip dualitas tersebut itulah dibangun teori strukturasi 124 . Adapun ruang dan waktu menurut Giddens, bukanlah arena atau panggung tindakan, tetapi

merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan, karena itu waktu dan ruang harus men-

jadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial 125 . Mengenai relasi antara agen dan kekuasaan dalam struktur sosial, Giddens mengajukan pertanyaan penting:

apakah watak hubungan logis antara tindakan dan kekuasaan? Berikut penjelasan Giddens tentang agen dan kekuasaan:

“...Meskipun penjelesan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang ada bisa dengan mudah ditunjukkan. Mampu ‘bertindak lain’ berarti mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi

123

B. Herry-Priyono, op.cit, hal. 18.

124

B. Herry-Priyono, ibid, hal. 19.

125

B. Herry-Priyono, ibid, hal. 20.

semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial bepusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu. ‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan ob- jektivisme dan ‘sosiologi struktural’ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab-mazhab sosial itu menganggap bahwa pembatas-pembatas sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak memiliki pilihan’ sama ketika tidak kuasa menahan doro dorongan dari tekanan-

tekanan mekanis” 126 . Giddens mengakui adanya konsep kekuasaan sebagai kemampuan

transformatif, yang mendahului subjektivitas atau terbentuknya kemampuan introspeksi dan mawas diri, yang dalam ilmu sosial pada umumnya bersifat dualisme antara subjek dan objek. Dalam konsepsi tersebut kekuasaan-kekuasaan kerap kali didefinisikan dalam kaitan dengan maksud atau kehendak, yakni sebabagai “kemampuan untuk menggapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksudkan”. Para ahli lain seperti Parsons dan Foucault memahami kekuasaan sebagai suatu “kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial”. Dalam kaitan ini, sebagaimana pendapat Bachrach dan Baratz, Giddens juga memahami makna kekuasaan dalam dua sisi, yakni di satu pihak sebagai “kemampuan para aktor

126 Anthony Giddens, op.cit, hlm. 22-23.

dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang disukai”, di pihak lain kekuasaan sebagai “mobilisasi bias yang dilekatkan ke dalam institusi-institusi”. Namun Giddens melihat kekuasaan dalam kaitan dualitas struktur. Dalam memaknai kekuasaan yang dipahaminya, Gidden memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Sarana atau sumber daya (yang terpusat melalui siginifasi dan legitimasi) merupakan kelengkapan-kelengkapan terstruktur dari sistem-sistem sosial, yang diproduksi dan direproduksi oleh para agen pintar selama terjadinya interaksi. Kekuasaan tidak terkait secara intrinsik dengan pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam konsepsi ini, penggunaan kekuasaan menyifati bukan jenis perilaku, namun seluruh tindakan, dan kekuasaan itu sendiri bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya merupakan sarana penggunaan kekuasaan, sebagai unsur rutin instansiasi perilaku dalam reproduksi sosial. Kita tidak boleh memandang struktur- struktur dominasi yang melekat dalam institusi-institusi sosial mirip seperti memerintah ‘tubuh-tubuh patuh’ yang bertindak laksana benda-benda mekanis sebagaimana dalam pandangan ilmu sosial objektivis. Kekuasaan dalam sistem-sistem sosial yang memilki suatu kontinuitas di sepanjang ruang dan waktu mengandaikan rutinisasi relasi-relasi kemandirian dan ketergantuangan di antara para aktor atau kelompok dalam konteks-konteks interaksi sosial. Akan tetapi, semua bentuk ketergantungan menawarkan sejumlah sumber daya yang memberikan kemampuan bagi para bawahan untuk bisa memengaruhi aktivitas-aktivitas para atasan mereka. Inilah yang saya sebut dengan dielaktika kendali (dialectic of control) dalam sistem-

sistem sosial” 127 . Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan)

dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut

127 Anthony Giddens, op.cit., hal. 24-25.

sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.

Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.

Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem- sistem itu.

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan- tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulangulang.

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.

Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih

dianugerahkan padanya. 128

Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Pada penjelasan sebelumnya, sudah dipaparkan secara jelas mengenai klarifikasi agen itu sendiri dan pendangan struktur dalam bingkai teori strukturasi.

128 Anthony Giddens, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, terjemahan Maufur & Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 4.

Mengenai dualitas struktur tersebut akan coba dijelaskan dalam penjelasan gambar di bawah ini :

STRUKTUR =

Signifikan Dominasi

(sarana-antara) = Bingkai fasilitas

Komunikas Kekuasaan

Gambar.V.4 Skema Strukturasi Perda TSP

Pada bagan tersebut dijelaskan dualitas antara struktur dan agensi berlangsung sebagai berikut. Dalam kontek ini sudah di jelaskan bahwasanya yang disebut struktur ialah aturan atau sumberdaya dalam hal ini yang dimaksud Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau lazimnya disebut CSR. Sedangkan yang dimaksud agensi ialah para pelaku yang terlibat dalam pertautan tersebut yakni negara, perusahaan dan civil society.

Pada proses awalnya Perda tersebut bermula pada ranah dominasi, karena pembahasan awal sebelum Perda tersebut tersebentuk ialah berada pada ruang politik dalam koridor legislatif yang membuat kebijakan tersebut yang pada pembahasan awalnya juga melibatkan dari beberapa aktor. Dan juga pada tahapan pembahasan dan pembentukan Perda tersebut terjadi juga tarik menarik sebuah kepentingan mengenai aturan yang nantinya bahwasanya Perda tersebut dibentuk sebagai aturan yang mengikat atauhanya sebagai pendorong agar terbangunya perusahaan dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri.

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor- aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.

Setelah terjadi tarik ulur beberapa kepentingan dalam perumusan Perda tersebut, akhirnya Perda tersebut dapat disahkan dengan sebagai sumber hukum Setelah terjadi tarik ulur beberapa kepentingan dalam perumusan Perda tersebut, akhirnya Perda tersebut dapat disahkan dengan sebagai sumber hukum

Dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kompromi politik ialah karena masing-masing agen itu sendiri juga mempunyai kekuasaan tersendiri. Pemerintah provinsi Jawa Timur dan DPRD Jatim sebagai agen yang mewakili negara mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam membuat Perda tersebut yang nantinya harus dipatuhi bersama terutama oleh pihak-pihak yang terkait dalam hal ini ialah dunia usaha yang ada di Jawa Timur. Dan juga Perusahaan yang berposisi sebagi agen juga mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk menentukan sampai berapa lama dia akan menginvestasikan modalnya di Jawa Timur, sejauh ini bisa diamati bahwasanya jika perusahaan terbebani dengan adanya turan yang mengikat terhadap kewajiban pelaksanaan CSR maka bisa saja para investor tersebut tidak akan menginvestasikan modalnya sehingga dampak yang terjadi proses pembangunan yang ada di Jawa Timur akan mengalami masalah terutama dalam penurunan kehidupan yang layak dan meningkatnya pengangguran. Sedangkan civil society sendiri mempunyai kewenangan juga bahwasanya dalam proses pelaksanaan CSR tersebut juga melibatkan masyarakat sebagai salah satu aktor dalam partisipasi pembangunan.

Untuk itu adanya masing-masing kepentingan dan kekuasaan untuk mengakomodasi tersebut ialah dengan cara dikomunikasikan melalui Perda yang mengatur pelaksaan CSR dan secara teknis diatur dalam Tim Fasilitasi. Bentuk komunikasi yang ada dalam Tim Fasilitasi tersebut ialah mengatur bagaimana pelaksanaan program CSR itu dengan cara memberikan peta sosial wilayah Jawa Timur yang masyarakatnya sangat membutuhkan.

Dengan demikian signifikansi mengenai Perda TSP tersebut ialah bisa terlaksana dengan baik dan tepat sasaran kepada masyarakat yang berada di wilayah keselurahan Jawa Timur tidak hanya terfokus pada masyarakat Ring I disekitar perusahaan. Sehingga dalam hal ini peran serta dari dunia usaha turut terlibat secara aktif dalam membantu pembangunan pemerintah provinsi di Jawa Timur.

V.2 Relasi Tripartid Negara, Pasar, Masyarakat

Dalam dua dasawarsa teakhir “pembangunan” telah menjadi semacam “agama baru” ataupun ideologi baru bagi berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga. Pembangunan menjanjikan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan dalam nasib kehidupan mereka. Masalahnya adalah, meskipun pembangunan telah dilangsungkan, jumlah kemiskinan absolut dan prosentase rakyat di Dunia Ketiga terus meningkat. Setiap program pembangunan menunjukan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa pembangunan yang digunakan. Konsep pembangunan yang dominan, yang diterapkan dibanyak dunia ketiga, mencerminkan paradigma pembangunan model barat. Dalam konsep ini

pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju modernitas. Modernitas tersebut dalam bentuk kemajuan dan ekonomi seperti yang dilalui bangsa-bangsa industri maju. Konsep pembangunan ini memiliki akar sejarah dan intelektual pada periode perubahan sosial yang berkaitan dengan Revolusi Industri. Disebagian besar bangsa Dunia Ketiga, penafsiran konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup. Pembangunan juga dipahami sebagai sarana memperkuat Negara, terutama melalui proses industrialisasi, yang mengikuti pola yang seragam dari satu negara dengannegara lainnya. Dari perspektif sperti ini, peran pemerintah menjadi subjek pembangunan yakni memperlakukan rakyat sebagai objek, resipem atau penerima, klien atau

bahkan partisan pembangunan. 129

Konsep pembangunan yang pada pertengahan 1970-an sempat dicita- citakan oleh Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta badan di bawahnya untuk memperbaiki kehidupan mayoritas manusia dan masyarakat melalui progra-program seperti pengurangan ketimpangan pendapatan, pengangguran, kemiskinan, pelestarian hidup, pembangunan kesehatan, pembangunan masyarakat berbasis komunitas dan sebagainya, ternyata hanya beberapa tahun saja menjadi wacana di Indonesia. Setalah melewati masa-masa penyesuaian struktural melalui serangkaian kebijakan deregulasi antara 1983- 1987, wacana tersebut surut seiring dengan praktik pembangunan Indonesia yang

129 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosia: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal 71 129 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosia: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal 71

Kata ‘pembangunan’ menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya pemerintahan Orde baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata ‘pembangunan’ juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata ‘pembangunan’, meskipun kata ‘pembangunan’ sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam konteks orde baru sangat erat dikaitkanta dengan discourse development yang dikembangkan oleh negara barat. Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengertian dasarnya, pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres dan modernisasi. Dari kata-kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada konteks siapa yang mengunakannya dan untuk kepentingan apa, uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari konteks sejarah

bagaimana istilah tersebut dikembangkan. 131

130 Adrinof A. Chaniago, 2001, Gagalnya Pembangunan : Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2001, hal 5-6

131 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 13

Dalam kondisi krisis multi-dimensional, sulit bagi Indonesia untuk melaksanakan pembangunannya. Apabila Indonesia mampu menyelesaikan masalahnya dan keluar dari krisis multi-dimensional, masih ada harapan dan optimisme untuk mampu melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.

Banyak hal mendasar yang harus dibenahi dan tidak sederhana dan membutuhkan waktu. Pendidikan politik untuk menegakkan demokrasi harus terus dilakukan, menegakkan hak asasi manusia, merubah wawasan masyarakat yang sempit dan primordial menjadi wawasan yang luas dan universal dengan keyakinan semua manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, ditegakkannya dan diberlakukannya hukum (law in order dan law inforcement), pengakuan hak-hak intelektual dan kemampuan daya saing. Masyarakat harus diberdayakan untuk dapat menjadi pengawas yang ampuh terhadap setiap pelaksanaan pembanguan. Civil society harus dapat diwujudkan dalam upaya mewujudkan demokrasi.

Reformasi birokrasi menuju sitem birokrasi yang mempunyai kompetensi harus dilakukan. Standar kompetensi birokrasi serta kompetensi (sistem penggajian) yang realistis dan kompetitif harus diterapkan. “Reward and Punishment” harus diberlakukan pada birokrasi sehingga memicu usaha peningkatan kapasitas birokrasi. Penempatan jabatan dan pemberian jabatan merupakan bagian dari kompetensi dan bukan “like and dislike” dan merupakan hal yang wajar.

Etika bisnis ditegakkan melalui sistem yang efektif dan terbuka. Akuntabilitas bukan hanya berlaku pada birokrasi tetapi juga pada setiap manajemen kegiatan usaha. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik dimasing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.

Gambar V.5 Relasi Tripartid

Agen (State)

Struktur (Perda TSP Jatim)

Agen Agen (Civil Society)

(Market)

V.2.1 Relasi Negara

Gambar V.5 Relasi Negara

Agen (State)

Struktur (Perda TSP Jatim)

Agen Agen (Civil Society)

(Market)

Negara merupakan lembaga tertinggi dalam masyarakat atau bangsa yang merupakan wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan secara utuh. Sebuah Negara harus memiliki unsur pokok yaitu wilayah, rakyat, pemerintahan yang berdaulat baik keluar maupun kedalam, kemudian mendapat pengkuan internasional.

Di dalam sebuah Negara juga terdapat sebuah pemerintahan (Goverment) dan Tata pemerintahan (Governance) yang saling mempengaruhi satu sama Di dalam sebuah Negara juga terdapat sebuah pemerintahan (Goverment) dan Tata pemerintahan (Governance) yang saling mempengaruhi satu sama

Berkaitan dengan Perda tersebut bahwasanya posisi negara ialah pada tataran leading sektor dalam membuat aturan Perda itu sendiri serta pada tataran implementasi juga mengawal hasil Perda tersebut melalui Tim Fasilitasi yang dibentuk oleh pemerintah provinsi Jawa Timur. Pembentukan Tim Fasilitasi tersebut ialah sesuai dengan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2012 tentang petunjuk pelaksanaan Perda dan juga di tetapkan oleh Ketua BAPPEDA Jatim sebagai kekuatan hukum dalam mengatur secara teknis pelaksanaan Perda itu sendiri.

“bukan mengawal ya, ya istilahnya melaksanakan amanah. Jadi melaksanakan amanah, artinya gini pasal terakhir itu disebutkan selanjutnya hal-hal yang belum diatur dengan peraturan gubernur. Akhirnya kan pak gubernur membuat peraturan pergub No. 5 tahun 2012 tetang petunjuk pelaksanaan perda. Lha kemudian, dibagian terakhir juga di pergub, disebutkan bahwa hal-hal yang perlu diatur ditetapkan dengan surat keputusan gubernur dan ada juga yang ditetapkan dengan keputusan kepala bapeda. Kalo tim fasilitasi ditentukan oleh SK Gubernur, sedangkan sekretariatnya yang ada disini ditetapkan olehh keputusan kepala Bapeda. Jadi prosesnya seperti itu. Jadi tidak mengawal tapi melaksanakan.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“itu kaitannya ya, kalo dengan perusahaan itu memang menyampaikan dan menginformasikan kepada kami kalau kemudian perlu keberlanjutan dalam pembinaannya, nah nanti kita bisa settingkan, sinergikan program yang ada di SKPD anggota timm fasiliitasi tadi. Katakan perusahaan melakukan program CSR tentang pemberdayaan usaha mikro, kan biasanya perusahaan sekali saja, itu perlunya 4 x. Nah agar itu terpusat dan berkelanjutan kan perlu pembinaan lagi. Jadi kalau mereka menginformasikan ke kami, maka kami akan menginformasikan ke pihak SKPD terkait. Gitu lho. Jadi manfaatnya bisa berkelanjutan.” ( Karimah, Bappeda Jatim)

Relasi antara negara dengan perusahaan yang berkaitan dengan Perda tersebut ialah sebagai tim fasilitasi yang nantinya memfasilitasi mengenai program CSR yang nantinya akan dilaksanakan oleh Perda tersebut yang nantinya disesuaikan dengan program pembangunan yang ada di Jawa Timur yang nantinya oleh BAPPEDA di sinergiskan dengan SKPD terkait. Hal ini nantinya agar program CSR tersebut bisa tepat sasaran dan berkelanjutan.

Dalam hal pelaksanaan, ada sebuah perbedaan antara sebelum dan sesudah Perda tersebut diputuskan. Perbedaannya ialah dalam bentuk kelembagaan, sebelum Perda tersebut disahkan bentuknya ialah SEKTAP (Sekretariat Tetap) yang di dalamnya terdapat seluruh perusahaan, peruguruan tinggi dan adanya LSM sedangkan setelah adanya Perda tersebut dalam tim fasilitasi hanya terapat perusahaan yang nantinya programnya di sesuaikan dengan program prioritas pembangunan pemerintah.

“jadi yang jelas ada beda antara sebelum dan sesuadah, terutama kalo sebelum perda itutadi ya cuman sebelumnya bentuknya sektap isinya campur. Tapi setelah ada perda bentuk kelembagaannya terpisah, perusahaan kumpul perusahaan sendiri, kemudian ...... sebagai tim fasilitasi saja. Kalo kemarin di sektap itu menyusun perencanaanya bersama-sama karena semua terlibat jadi satu. Tapii kalo ini tidak, kalo perencanaan ya perusahaan sendiri, memperhatikan skala prioritas seperti yang telah dicantumkan dalam perda itu. Memperhatikan skala prioritas pembangunan “jadi yang jelas ada beda antara sebelum dan sesuadah, terutama kalo sebelum perda itutadi ya cuman sebelumnya bentuknya sektap isinya campur. Tapi setelah ada perda bentuk kelembagaannya terpisah, perusahaan kumpul perusahaan sendiri, kemudian ...... sebagai tim fasilitasi saja. Kalo kemarin di sektap itu menyusun perencanaanya bersama-sama karena semua terlibat jadi satu. Tapii kalo ini tidak, kalo perencanaan ya perusahaan sendiri, memperhatikan skala prioritas seperti yang telah dicantumkan dalam perda itu. Memperhatikan skala prioritas pembangunan

“sektap, sekretariat tetap yang menangani CSR ini. Nah itu, juga diarahkan ke ee kabupaten kota juga juga diarahkan untuk membuat sektap. Misalnya sebgai contoh kabupaten banyuwangi. Ini sekarang sudah punya sektap. Jombang. Sudah punya sektap. Karena mereka dibentuk sebelum ada perda No. 4 tahun 2011, setelah ada perda No. 4 tahun 2011 yang kita langsung membentuk tim fasilitator TSP. Lha untuk kabupaten kota yang sudah membentuk sektap itu dipersilahkan jalan gak papa”. (Karimah, Bappeda Jatim)

Akan tetapi jika di beberapa daerah yang sebelumnya sudah memiliki SEKTAP bukan menjadi persoalan dikarenakan adanya SEKTAP tersebut dibentuk sebelum Perda tersebut disahkan.

Jadi memang pada intinya Tim Fasilitasi yang dibentuk oleh pemerintah melalui Pergub sebagai pengatur pelaknaan teknis dari Perda TSP Jawa Timur sendiri hanya mengatur mengenai hubungan antara pemerintah daerah dengan pihak perusahaan dan tidak mengatur mengenai fungsi dan peran civil society.

“tidak, jadi begini yang diatur dalam perda itu adalah berbagi peran. Sebetulnya forum atau perusahaan itu melakukan apa pemerintah daerah melakukan apa. Jadi yang diatur disitu adalah hubungan antara pemerintah daerah dengan perusahaan atau forum. Jadi tidak mengatur tentang peran- peran, tentang civil society, tentang NJO tidak diatur dalam perda ini. Jadi lebih mengatur hubungan antara perusahaan dengan pemerintah daerah.” (Karimah, Bappeda Jatim)

Akan tetapi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat ialah ketika dalam pembahsan perda tersebut pihak legislatif juga melibatkan dari civil society dikarenakan civil society tersebut juga merupakan kelompok kepentingan yang nantinya dalam pelaksaan program CSR tersebut pihak dari masyarakat terlibat secara langsung. Karena pemerintah, dunia usaha dan civil socety merupakan Akan tetapi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat ialah ketika dalam pembahsan perda tersebut pihak legislatif juga melibatkan dari civil society dikarenakan civil society tersebut juga merupakan kelompok kepentingan yang nantinya dalam pelaksaan program CSR tersebut pihak dari masyarakat terlibat secara langsung. Karena pemerintah, dunia usaha dan civil socety merupakan

“he’eh. Makanya saya kalo teorinya nicholas hendri dalam model perumusan kebijakan itu dia hanya mendasarkan kelompok tekanan kepentingan dari eksekutif legislatif thok. Tapi kalo kemudian di perda ini itu justru merekonstruksi dari itu. Karena ternyata tidak hanya legislatif eksekutif, ada unsur dari LSM, Society. Kemudian dari kelompok kepentingan ada dari BUMN, karena mereka sebagai pelaku. Pada saat sebagai sebyeknya kan ? yang melaksanakan CSR itu. Ada 4 unsur itu. Gitu lhoo..”(Kodrat, DPRD Jatim)

“perguruan tinggi yang terlibat d Perda TSP siapa lupa, yangg jelas kami bergandengan dengan perguruan tinggi. Pasti. Karena akhirnya ada justifikasi akademik lah, lami juga tidak. He’eh. Ini yang paling....... naskah pasti orang-orang ahli, kami libatkan pasti praktisi akademik. Itu yang jelas itu. Kemudian, keterlibatan perguruan tinggi sangat kentara.” (Sugiri, DPRD Jatim)

V.2.2 Relasi Perusahaan (Market)

Agen (State)

Struktur (Perda TSP Jatim)

Agen Agen (Civil Society)

(Market)

Dalam perspektif teori ekonomi klasik, pasar merupakan salah satu sistem besar yang bisa dijalankan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonominya yang meliputi produksi, konsumsi, dan distribusi. Pasar dengan mekanismenya mampu berjalan sendiri dengan mengikuti logika hukumnya, permintaan dan penawaran. “Invisible hand”, pasar diatur oleh tangan yang tidak terlihat, mengatur sendiri. Pasar dianggap sebagai mekanisme otomatis (self- regulating) yang selalu mengarah pada neraca keseimbangan, equilibrium, sehingga terwujud alokasi sumberdaya dengan cara yang paling efektif dan efisien.

Adam Smith memaklumatkan liberalisme pasar secara luas dalam mekanismenya. Melalui ajarannya, Laissez faire (biarkan saja), Smith menahbiskan “absolutisme pasar,”atas lembaga-lembaga lainnya di masyarakat. Menurutnya ekonomi pasar akan berkembang dengan bebas jika negara tidak

menghalanginya dengan memberi batasan-batasan. Peranan pemerintah sebaiknya ditekan seminimal mungkin dalam mekanisme ekonomi pasar. 132

Adalah pasar dapat mengatur dirinya sendiri merupakan argumentasi terkuat kapitalisme liberal dan menentang campur tangan negara. Smith mengatakan, jika seluruh sistem yang memberikan hak istimewa dan memberikan batasan dihapuskan maka dengan sendirinya akan terbentuk suatu sistem kebebasan alamiah yang jelas dan sederhana. Selama setiap pribadi tidak melanggar aturan ini, ia akan diberikan kebebasan sepenuhnya agar dapat mengikuti kepentingannya dengan caranya sendiri serta dapat mengembangkan

modalnya di bidang lain. 133

Kendati demikian, bukan berarti pasar sama sekali imun dari peran negara, melainkan pada kondisi-kondisi tertentu masih memungkinkan negara melakukan campur tangan terhadap pasar. Hanya saja upaya itu sejauh mengamankan kemungkinan-kemungkinan terjadinya kompetisi yang tidak fair di antara sub sistem di dalam pasar, seperti munculnya gejala destruksi yang berpotensi

132 Paul Heinz Koestero, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia: Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita, Jakarta: Gramedia, 1987, hal 8.

133 Ibid., hal 27 133 Ibid., hal 27

Kompetisi yang terjadi di pasar berlangsung secara terbuka bagi siapapun yang mampu bersaing. Proses persaingan di antara individu itu mendapat jaminan dari pemerintah. Negara dalam konsep ini hanya bertugas menyediakan kerangka hukum untuk kontrak, pertahanan serta ketertiban dan keamanan. Ia hanya menjadi “stempel” bagi mekanisme pasar yang berjalan. Karena, dalam keyakinan ekonomi klasik, intervensi negara yang besar terhadap pasar akan memperburuk

lajunya pasar. 134

Menurut Smith, negara hubungannya dengan pasar memiliki tiga tugas utama, yaitu melakukan proteksi masyarakat dari pelanggaran yang dilakukan masyarakat lainnya. Kedua, proteksi itu dimungkinkan sejauh melindungi dari tekanan atau ancaman individu masyarakat atas masyarakat lain; negara juga menjaga kondisi agar tetap ada dalam keadilan. Ketiga, menjaga institusi-institusi

publik agar tetap aman dari tindak kerusakan yang dilakukan oleh komunitas. 135

Dari penjelasan Smith tampak bahwa negara semaksimal mungkin tidak melakukan intervensi terhadap pasar. Negara diberikan tugas pada bidang-bidang tertentu seperti menjaga kemungkinan terjadinya pelanggaran. Mekanisme pasar dibiarkan berjalan sendiri. Pada konteks ini pasar menjadi sub sistem dari sebuah masyarakat yang sangat kuat, berdiri di atas sub lainnya. Negara hanya menjadi

134 Mansour Fakih,2003, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist, hal 6.

James A. Caporaso dan David P.Lavine, Theories of Political Economy, New York: Cambridge University, 1992, hal 44.

subordinasi dari pasar dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya. Pasar steril dari kepentingan negara. Kenyataan ini pun telah menegaskan bahwa ada gejala

baru dari proses tersebut, yaitu “fundamentalisme pasar”. 136 Pasar dengan hukum- hukumnya menguasai seluruh kehidupan masyarakat.

Berkaitan dengan penelitian ini yang dimaksud dengan pasar ialah perusahan/ dunia usaha yang ada di Jawa Timur, yang menjadi agensi dalam pelaksanaan mengenai Perda yang mengatur pelaknaan program CSR yang dilakukan dibebankan kepada sekuruh perusahaan yang ada di wilayah Jawa Timur. Sejauh ini relasi yang dibangun antara pihak perusahaan dengan pihak pemerintah terkait Perda tersebut ialah program-program CSR yang akan dilaksanakan oleh perusahaan nantinya akan dikomunikasikan terlebih dahulu kepada pihak pemerintah, yang nantinya program terebut disesuaikan dengan program pembangunan pemerintah provinsi sehingga program tersebut dapat membantu proses percepatan pembangunan.

“Hm ya itu. Kan biasanya itu kan gini kalo mungkin dari sejarahnya atau dari relavansi adanya bapeda itu mengakomodir smua kegiatan csr yag ada dijawatimur untuk mendistribusikan ke wilayah2 yang memang diluar jangkauan perusahaan yang saya tau dari bapeda ini apakah dari pertamina ini ada relasi cenderung melakukan program csr diwilah a taub

b itu berhubungan dengan pihak pemerintah terkait pemerintah mungkin bapeda atau pemerintah daerah” (Ibnu, CSR PERTAMINA)

“Ya,, ya kami melibatkan civil society baik itu dari LGO ataupun dari universitas, ooo seperti beberapa contoh kalo dari social maping itu terkadang-kadang kami memperkejakan civitas academia yang terdekat dengan lokasi kami.” (Ibnu , PERTAMINA)

136 Manfred B. Steger,2006, Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl Pustaka, hal 1.

Akan tetapi relasi yang dibangun oleh pihak perusahaan itu tidak hanya kepada pemerintah saja, akan tetapi pihak dari perusahaan juga menjalin relasi dengan civil society yang meskipun hal tersebut tidak diatur dalam Perda, relasi yang dibangun oleh pihak perusahaan tersebut ialah sebagai community relation dan sebagai rekan perusahaan dalam membantu mengimplementasikan program CSR perusahaan baik dalam perencanaan dan monitoring secara langsung.

“laa… itu kan ada kita kan punya 2 program BETA dan BL , BETA itu kemitraan artinya implementasi pinjaman, pinjaman utang. Yang ke-2 itu kita ngasih bantuan lingkungan… apa sih yang dibutuhkan mereka.. benar- benar dibutuhkan lho ya. Tapi masyarakat sendiri banyak permintaan seperti pembangunan jalan, musholla,ya gereja ya macam-macam . maka kita bantu mas. Artinya kita tidak melihat masyarakat kesulitan, apalagi posisi yang utama yaitu deket pabrik itu. Yaitu yang utama di ring no.1 Selama kita masih ada dana mas, ya itu tadi yang seperti yang saya bilang, kalau kita masih punya provit masih ada lokasi dana, tapi kalau sudah rugi ya ga ada dana yang disisihkan untuk CSR , krisis lah…. Atau dengan forum BUMN kita sering melakukan sinerji mas, mereka juga membantu menanamkan uang, PK lah mas namanya, dengan pk itu kita menyalurkan ke petani ini ada sinergi dengan ada 14 bumn, gajah mada, jasa raharja hmm.. banyak. Mandiri, BNI,Aspen ,Askes … banyak 14 pkoknya. Jadi mereka mempunyai dana tapi tidak bisa menyalurkan nah… kita akan bantu menyalurkan ke petani tadi.” (Erawan, FORUM CSR BUMN)

Adapun bentuk-bentuk progam yang dilaksanakan oleh perusahaan sebagai implementasi program CSR nya sangat beragam, dari program yang bersifat charity (amal) dengan memberikan bantuan dalam hal pembangunan fasilitas umum yang meliputi pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, masjid, gereja dll. Dan juga ada program yang bersifat kemitraan yakni melakukaan pinjaman yang diberikan kepada komunitas untuk mengembangkan usaha baik individu ataupun kelompok adapun program yang berorientasi kepada lingkungan dengan kegiatan seperti melakukan penanaman pohon terutama di wilayah perusahaan yang bersifat eksplorasi sumber daya alam.

V.2.3 Relasi Masyarakat (Civil Society)

Gambar V.8 Relasi Masyarakat

Agen

(State)

Struktur (Perda TSP Jatim)

Agen Agen (Civil Society)

(Market)

Dunia sedang mengalami perubahan dalam mengukur keberhasilan suatu pembangunan yang dilakukan oleh suatu bangsa. Indikator-indikator keberhasilan suatu pembangunan yang bersifat konvensional seperti naiknya pendapatan bukan lagi menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan suatu pembangunan yang terpenting guna mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Muncul indikator baru sebagai tolak ukur keberhasilan suatu pembangunan yakni apakah Dunia sedang mengalami perubahan dalam mengukur keberhasilan suatu pembangunan yang dilakukan oleh suatu bangsa. Indikator-indikator keberhasilan suatu pembangunan yang bersifat konvensional seperti naiknya pendapatan bukan lagi menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan suatu pembangunan yang terpenting guna mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Muncul indikator baru sebagai tolak ukur keberhasilan suatu pembangunan yakni apakah

Kehadiran masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi tidak bisa dilepasakan dari hakikat masyarakat sipil itu sendiri. Konsepsi masyarakat sipil telah mengalami evolusi yang panjang. Masyarakat sipil merupakan sebuah ruang publik di mana penduduk dapat melakukan aktifitas politik dan sosial secara independen terhadap negara. Masyarakat sipil sendiri terdiri dari berbagai organisasi yang sangat kuat untuk mengimbangi negara dan mencegahnya mendominasi aktifitas masyarakat, tanpa menghalangi negara untuk memenuhi perannya sebagai peacekeeper dan arbritator diantara pihakpihak yang memiliki

kepentingan tertentu. 138

Dilihat dari aspek sejarahnya, gagasan mengenai masyarakat sipil sebenarnyatelah muncul pada abad ke-17 ketika pemikir, seperti Thommas Hobbes dan John Locke merumuskan masyarakat sipil sebagai suatu abstraksi atas kondisi masyarakat yang dihadapkan dengan konsepsi negara alam, yaitu suatu kondisi hipotesis dimana kehidupan manusia tidak diatur, dan manusia mengejar kepentingannya masing-masing. Dalam kondidi yang seperti itu, dikhawatirkan akan terjadi warre (war of all againts all) yang akibatnya akan membahayakan hak-hak fundamental individu. Selanjutnya, untuk mengatasi para individu tersebut menyerahkan kebebasan alamiah mereka dan sepakat untuk memasuki masyarakay yang terikat peraturan. Konsep masyarakat sipil yang dimaksud oleh

137 Loekman Soetrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, hal 46 138 Martin Griffith dan Terry O’Callaghan, 2002, International Relations: The Key Concept, London:

Routledge, hal 122

Hobbes and Locke pada abad ke-17 ini cenderung mengarahpada pengertian masyarakat yang beradab. Menurut lLocke, masyarakat sipil merupakan bagian dari peradaban (civilization) yang berada diluar kendali pemerintah dan pasar (market) termaginlisasi oleh keduanya. Locke melihat pentingnya pergerakan sosial masyarakat yang mampu dilakukan oleh kelompok nsipil untuk melindungi

publik dari kepentingan komersial dan pemerintah. 139

Bagi kaum Lockean, masyarakat sipil merupakan manifestasi tertinggi sistem demokrasi dan secara moral, masyarakat sipil berada dalam posisi yang lebih superior dari pada negara. Konsep masyarakat sipil lebih berbentuk jejaring kerja (working network) yang tidak hanya terdiri dari civil society organization, namun melibatkan partai politik, lembaga-lembaga agama, pranata adat, dan aktor indivudual, seperti para pemimpin informal dan tokoh-tokoh agama. Jejaring kerja ini bergerak secara stimultan dan berupaya untuk mengimplementasikan melalui, (1) proses demokratisasi melalui perluasan partisipasi rakyat dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik, (2) prinsip good governance dalam pencapaian political goods, (3) pemerataan distribusi kesejahteraan, dan (4) prinsip non-kekerasan untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Gerak jejaring kerja tersebut tidak ditunjukan untuk mengurangi peran dan kewanangan negara, namun lebih diarahkan untuk memperkuat kapasitas masyarakay sipil sendiri

139 Riza Primahendra, Pemberdayaan Masyarakat Sipili: Sebuah Pengantar, dalam CIVIC Vol. 1, April 2003, hal 2 139 Riza Primahendra, Pemberdayaan Masyarakat Sipili: Sebuah Pengantar, dalam CIVIC Vol. 1, April 2003, hal 2

Proses lahirnya masyarakat sipil di Eropa berbeda dengan di negara- negara dunia ketiga. Kemunculan masyarakat sipil Eropa cenderung terjadi karena adanya kekuatan internal yang menginginkan suatu perubahan tatanan sosial politik. Rakyat secara sadar membentuk masyarakat sipil untuk melindungi hak- hak dasarnya dari tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, serta berusaha membuat pemerintah pertanggungjawaban tindakannya kepada rakyat dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, kemunculan masyarakat sipil di negara-negara dunia ketiga terjadi karena adanya upaya penyebaran gagasan- gagan neoliberal, di mana desentralisasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi. Ada intervensi dari pihak asing dalam pembentukan masyarakat sipil dengan pemberian dana bantuan untuk advokasi dan pembangunan kapasitas masyarakat sipil yang diberikan oleh institusi-institusi internasional karena lemahnya masyarkat sipil di negara-negara dunia ketiga dan

termasuk Indonesia. 141

Konsepsi masyarakat sipil sebagai suatu arena dan sistem interaksi di antara berbagai institusi negara, pasar dan masyarakat memiliki peran yang strategis. Potensi peran yang dimiliki oleh masyarakat sipil adalah sebagai katalis

140 Andiwidjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 2007, hal 6 141 Ibid., Hal 7 140 Andiwidjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 2007, hal 6 141 Ibid., Hal 7

Inti dari perjuangan masyarakat akar rumput adalah bagaimana mereka mendapatkan kesejahteraan tanpa harus mengorbankan kebutuhan mendasar mereka lainnya, sepeerti jaminan kesehatan atau prospek masa depan anak-anak mereka. Berbeda dengan prinsip organisasi tradisional dan pergerakan massa politik, pengembangan komunitas akar rumput secara umum bersifat pragmatis

dan memfokuskan pada pembangunan melalui partisipasi luas. 143 Peran masyarakat sipil dalam sebuah negara baru dapat optimal dengan beberapa

perangkat sistem, yakni (1) tersedia sistem sipil yang mampu mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan kelompok masyarakat secara santun (civilized), dan (2) tersedia aturan main yang menjaga keseluruhan proses dalam koridor dinamika sosial yang tidak mengabaikan hak-hak fundamental individu dan komunitas. Dengan demikian, masyarakat sipil memberikan kerangka berbasis

hak (rights based framework). 144

Masyarakat sipil mempunyai kecenderungan untuk bersifat plural sehingga seringkali berkonsekuensi pada distorsi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang. Satu atau sekelompok masyarakat memiliki kekuasaan dan menjadi powerfull, sementara sebagian lainnya tidak berdaya. Keragaman kekuasaan ini

142 Ibid., Hal 8 143 Ibid., Hal 67 144 Ibid., hal 67 142 Ibid., Hal 8 143 Ibid., Hal 67 144 Ibid., hal 67

Masyarakat sipil mempunyai kemampuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dan membuat suara dari “bawah” lebih terdengar, dengan memunculkan diskusi baru yan sebelumnya tidak diperhitungkan sebagai masalah-masalah politis, seperti kekerasan dan hak penduduk asli terhadap tanah leluhurnya. Manifestasi masyarakat sipil yang paling terlihat dan berpengaruh diantara bentuk masyarakat sipil yang lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau

organisasi non pemerintah (NGO). 146

Civil society dalam konteks Indonesia dilembagakan melalui institusi- institusi, seperti perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, yayasan derma, kelompok agama, dan kelompok adat. Di negara demokrasi baru dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok ini memainkan peranan penting untuk melakukan check and balance terhadap power negara serta bekerja berdampingan dengan

negara untuk menghasilkan perubahan menuju demokrasi. 147

Berkaitan dengan implementasi Perda TSP di Jawa Timur, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwasanya dalam Perda tersebut tidak mengatur mengenai hubungan peran civil society itu sendiri dalam hal ini yang dimaksud ialah LSM maupun NGO melainkan hanya mengatur hubugan antara pemerintah dengan pihak perusahaan yang ada di Jawa Timur.

145 Andiwidjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 2007. hal 45 146 Emma Porio, 2005, Civil Society and Democratization in Asia: Prospect and Challenges in the New Millenium

147 Andiwidjajanto, op.cit hal 134

Karena keterlibatan dari civil society berkenaan Perda tersebut ialah hanya berada dalam wilayah proses sosialisasi yang diadakan oleh DPRD atau BAPPEDA saat itu, akan tetapi jika dalam proses pembahasan hingga penyusunan Perda itu sendiri tidak melibatkan dari pihak civil society. Sehingga pada awal tersebut dibentuk menumbuhkan sebuah kecurigaan dari pihak civil society kepada perusahaan dan pemerintah itu sendiri.

“dulu sebelumnya ada sosialisasi, tapi tidak dalam sekup pembahasan.” (Agus Darmawan, SPEKTRA)

“nah.. iya itu. Dari mapeda itu, kalau sudah begitu itu dari jadi pihak socity tidak bisa masuk terus itu kan jadi urusan antara perusahaan denga pemerintah. La dari ini memunculkan kecurigaan karena itu tadi.”( Agus Darmawan, SPEKTRA)

Kecurigaan dari civil society itu sendiri bermula karena memang pada awalnya mereka tergabung semuanya dalam pembahasan mengenai program CSR yang direncanakan bersama ialah dalam bentuk SEKTAP yang sudah dijelaskan sebelumnya diawal, trus tiba-tiba munculah Perda tersebut yang pada posisi ini mengurangi peran dari civil society dan hanya mengatur mengenai hubungan antara pemerintah dan perusahaan saja.

“hm… gimana ya, dari pandangan kita Cuma hanya perlu telaah bersama. la sebelumnya perlu ada telaah bersama gitu. Nggak seperti yang tadi dan tidak memunculkan kecurigaan antara pihak socity dengan pihak perusahaan dan negara. Kita tidak begitu memahami program yang mereka rencanakan, Jadi kan kalau ada penjelasan apa yang akan dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah kita akan paham.” (Pak Agus Darmawan, SPEKTRA)

“ha…iya. Mencegah terjadinya kecurigaan antara produk hukum denga produk negara itu bagaimana, kalau CSR ada dalam mayarakat baik tentunya dalam kultur juga akan berjalan dengan baik pula. Ini kan kegiatan terhadap masyarakat, takutnya omplang kayak tadi. Jadi kan kalau “ha…iya. Mencegah terjadinya kecurigaan antara produk hukum denga produk negara itu bagaimana, kalau CSR ada dalam mayarakat baik tentunya dalam kultur juga akan berjalan dengan baik pula. Ini kan kegiatan terhadap masyarakat, takutnya omplang kayak tadi. Jadi kan kalau

Adapun relasi yang dibangun oleh pihak civil society kepada pemerintah ini hanya bersifat koordinatif, jika suatu perusahaan dalam melaksanakan program CSR tersebut melibatkan pihak LSM/NGO sebagai tim ahli mereka untuk menangani program perusahaan makan nantinya LSM tersebut nantinya untuk mengimplementasikan programnya untuk masuk ke daerah mana yang sangat sesuai dan membutuhkan tersebut mereka melakukan komunikasi kepada pihak pemerintah daerah.

“iya kalau.. kita sih sebisa mungkin memang kita melekukan komunikasi dengan pemerintah setempat, pak ini masuk kemana? Kemudian pemerintah menunjukkan lokasi-lokasi mana yang memerlukan bantuan? Kami sendiri kan bergeraknya dibidang perusahaan yang memang selalu sama dengan kita dalam 1 daerah yang mana juga mereka merespon dengan daerah yang kami tawarkan yang sesuai denga persetujuan mereka. Tapi kadang memprioritaskan tempat lain yang lebih dekat dengan mereka mendirikan usaha. Iya sama-sama memiliki tujuan tapi kan mungkin itu menjadi prioritas utama bagi mereka dan itu jadi prioritas ke-2 bagi pemerintah. Tapi tetap kita arahkan ke sana.” (Andrian, Habitat For Hummanity)

“ingat...tenang ..pernyataan tentang organisaasi. Jadi gini, kita ini secaara organisasi sudah bersikap tegas. Jadi kita, menolak segala bentuk program CSR yang kesatu. Nah yang ke dua adalah alasan kita menolak ? karena itu memang kami anggap sebagai upaya untuk melemahkan dari upaya-uapay bersama lingkungan terutama yang dilakukan olehh masyarakat. Nah, sehingga setiap kali kami ada pembahasan termasuk perda atau pp kemarin itu kita sebenarnya menolah dalam posisi itu menolak menyetujui, organisasi kami seperti itu. Tapi toh kemudian tahun 2011 itu ada undangan itu bukan dalam rangka menyetujui Perda TSP itu tau sosialisasi. Nah, dalam posisi sebatas menghadiri undangan pada saat itu hanya untuk mengetahui saja apa yang sedang dikerjakan pemerintah jawa timur terkait dengan progam CSR itu. Nah, sehingga sebenarnya “ingat...tenang ..pernyataan tentang organisaasi. Jadi gini, kita ini secaara organisasi sudah bersikap tegas. Jadi kita, menolak segala bentuk program CSR yang kesatu. Nah yang ke dua adalah alasan kita menolak ? karena itu memang kami anggap sebagai upaya untuk melemahkan dari upaya-uapay bersama lingkungan terutama yang dilakukan olehh masyarakat. Nah, sehingga setiap kali kami ada pembahasan termasuk perda atau pp kemarin itu kita sebenarnya menolah dalam posisi itu menolak menyetujui, organisasi kami seperti itu. Tapi toh kemudian tahun 2011 itu ada undangan itu bukan dalam rangka menyetujui Perda TSP itu tau sosialisasi. Nah, dalam posisi sebatas menghadiri undangan pada saat itu hanya untuk mengetahui saja apa yang sedang dikerjakan pemerintah jawa timur terkait dengan progam CSR itu. Nah, sehingga sebenarnya

Adapun mengenai alasan hingga kenapa di Perda tersebut tidak mengatur mengenai fungsi dan peran dari civil society (LSM) dikarenakan posisi dari agen atau pelaku aktor tersebut sepenuhnya tidak semunya sepakat mengenai Perda tersebut karena mereka menganggap bahwasnya keberadaan Perda tersebut melalui CSR dianggap melemahkan posisi masyarakat itu sendiri untuk memperjuangkan kehidupan lingkungan dan komunitas di sekitar perusahaan yang secara langsung terkena dampak adanya eksplorasi.

BAB VI PENUTUP