Masyarakat (Civil Society)

II.2.2 Masyarakat (Civil Society)

Konsep individu tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami masyarakat. Memahami masyarakat tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan negara. Begitu juga melihat bangunan negara tidak dapat dilepaskan dari pasar. Begitulah adanya. Ilmu politik terbentuk berdasarkan konjuntur relasional antar- tiga domain tersebut: masyarakat, negara, dan pasar. Maka, membicarakan individu, masyarakat, negara, dan pasar, sama artinya menelusuri dialektikanya dalam sejarah sosial politik. Dalam literatur sosial, kita akan bertemu dengan apa yang disebut dengan konsep civil society yang sejarah perkembangannya dibentuk dari interaksinya dengan negara dan pasar.

Konsep masyarakat (civil society) merupakan konsep yang lahir dari kesejarahan sosial masyarakat Barat. Karenanya, sebelum melihat “daya rambah” konsep ini di luar basis kesejarahannya, dibutuhkan pemahaman historis- struktural terhadapnya. Artinya, konsep masyarakat akan dipahami beriring dengan konteks sosial atau struktur ekonomi dan politik yang melingkupinya. Dari sana baru kemudian dilihat kapasitas daya rambahnya termasuk jika konsep tersebut dipakai untuk menatap masyarakat Indonesia.

Konsep masyarakat berasal dari sejarah masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara. Berjalan dalam sejarah selama ribuan tahun mulai Yunani Kuno hingga masa paling produktif pembentukannya, yakni masa pencerahan. Kemunculannya diwarnai pergulatan antar basis epistemologis berbeda-beda, saling menyambung dengan pembedaan antara masyarakat dan negara, hingga diferensiasi kulturalnya seperti humanisme, individualisme, dan liberalisme.

Peletak dasarnya adalah Aristoteles (abad k-4 SM) yang merujukkan konsep masyarakat sipil pada polis dan menyebutnya sebagai politike koinonia. Istilah ini menggambarkan masyarakat politik dan etis yang memiliki kesetaraan di hadapan hukum yang berlaku. Aristoteles menyamakan negara dan masyarakat, kumpulan kampung, individu, dan famili. Apa yang sekarang dipahami sebagai masyarakat, olehnya disebut sebaga negara. Oikos dan polis (society dan state) tidak dibedakan.

Cicero, pemikir Rumawi Kuno, memakai istilah societas civilis, yang menekankan peran akal dalam memberi keabsahan kehidupan politik yang diatur Cicero, pemikir Rumawi Kuno, memakai istilah societas civilis, yang menekankan peran akal dalam memberi keabsahan kehidupan politik yang diatur

Setelah lama, baru muncul pemikir Katolik, Thomas Aquinas di abad pertengahan/kegelapan, yang ditandai pergulatan tarik menarik antara negara dan gereja. Terjadi benturan antara Paus dan raja-raja daerah soal otoritas raja dan agama. Persoalan yang muncul adalah penentuan mana wilayah publik dan privat. Zaman kegelapan ditandai oleh penindasan akal, kekuasaan absolut, perang salib. Aquinas meletakkan hubungan agama dan negara dalam konsep societas civilis res publika. Konstruksi ini amat mempengaruhi pembentukan masa berikutnya, era renaissance, enlighttenment, sebagai momentum zaman modern.

Pada konteks itulah Niccolo Machiavelli (1469-1527) hadir, yang mencoba membongkar kungkungan gereja dan beralih ke kejayaan masa lalu, yang membawanya pada pemikiran diktatorial. Pemikirannya merupakan suatu anomali dalam perkembangan konsep masyarakat.

Kemudian muncullah masa pencerahan yang memunculkan teori negara modern. Thomas Hobbes (Inggris) dalam Leviathan (1651) mengatakan bahwa keadaan alami (state of nature), sebagai hukum alam kehidupan manusia, adalah kebebasan tanpa batasan apapun. Inilah akar dari perselisihan antar-manusia. Persamaan antar individu hanya pada upaya mempertahankan kebebasan masing- masing individu, yang kemudian melahirkan kontrak sosial untuk melindungi Kemudian muncullah masa pencerahan yang memunculkan teori negara modern. Thomas Hobbes (Inggris) dalam Leviathan (1651) mengatakan bahwa keadaan alami (state of nature), sebagai hukum alam kehidupan manusia, adalah kebebasan tanpa batasan apapun. Inilah akar dari perselisihan antar-manusia. Persamaan antar individu hanya pada upaya mempertahankan kebebasan masing- masing individu, yang kemudian melahirkan kontrak sosial untuk melindungi

John Lock, pemikir Inggris, dengan basis hukum alam, mengatakan keadaan alami adalah keadaan bebas dan terjamin hak-haknya, yang dibatasi oleh hak orang lain. Berbeda dengan Hobbes, untuk menjadi hakim yang tidak dapat ditumpukan pada satu orang sebab cenderung diskriminatif, namun harus ditumpukan pada negara dengan kontrak sosial. Locke di sini sudah membedakan antara masyarakat dan pemerintah, meskipun keduanya dalam konteks monarkhi yang lahir dari kontrak sosial.

Montesqieu (1689-1775), ahli hukum Perancis, setelah keliling Eropa terutama Inggris, menyimpulkan bahwa yang paling berbahaya adalah kekusaan sewenang-wenang. Maka, dibutuhkan kontrol kekuasaan (trias politika), kejelasan hukum, yaitu hukum positif yang berbasis keadilan sebagai kebenaran universal. Dia membedakan masyarakat dan pemerintah sebagai entitas berbeda, yang mengacu pada dua bentuk hukum: civil law (mengatur antara warga dan pemerintah; public/political law (mengatur hubungan antar-warga).

Melalui keduanya, konsep masyarakat menjadi bagian penting diskursus pemikiran politik modern. Konsep kontrak sosial menyambung ke Rousseau

(1712-1778). Dalam kondisi alami, manusia amat digerakkan oleh nafsu yang tak terkendali, yang menciptakan keadaan tidak menentu. Untuk menjawab ketidakpastian ini dibutuhkan kontrak sosial, di mana negara adalah persekutuan politik, di mana persamaan muncul bersamaan dengan terjadinya persekutuan antar-kekuatan politik. Tiap sekutu hanya bertanggung jawab pada persekutuan politik ini, sehingga kebebasan individu tidak hilang. Di sinilah lahir konsepnya mengenai kebebasan sipil, kebebasan yang disokong oleh kemauan bersama, yang berbeda dengan konsep kebebasan alami Hobbesian dan Lockean.

Rousseau dengan demikian menolak persetujuan dengan kekerasan. Hukum, baginya, hasil persetujuan yang didasarkan oleh kebebasan bersama, sebab kemauan bersama mengatasi kepentingan individual. Hanya saja, sama seperti Locke, dia menganggap masyarakat sebagai negara (state) dan sekaligus pemerintahan sipil (civil government).

Thomas Paine (1737-1809), pemikir Amerika, melanjutkan pemikiran tentang masyarakat. Menurutnya, masyarakat merupakan kumpulan individu memiliki hak alami yang tidak dapat diambil siapapun, termasuk negara. Negara ada karena legitimasi masyarakat. Namun, Paine juga mengidentikkan political society dan civil society sebagai negara.

Tradisi pemikiran di atas, yang memaknai masyarakat sebagai civilized society, selalu mengidentikkannya, paling tidak dalam prakteknya, dengan political society atau negara. Berikut ini muncul juga tradisi pemikiran yang juga memaknai masyarakat sebagai civilized society, namun mengidentikkannya Tradisi pemikiran di atas, yang memaknai masyarakat sebagai civilized society, selalu mengidentikkannya, paling tidak dalam prakteknya, dengan political society atau negara. Berikut ini muncul juga tradisi pemikiran yang juga memaknai masyarakat sebagai civilized society, namun mengidentikkannya

Ferguson, dalam buku terkenalnya, An Essay on History of Civil Society (1767), melukiskan perubahan alamiah masyarakat primitif yang khas menuju masyarakat bernegara yang beradab. Industrialisasi yang diikuti komersialisasi produksi menandai cara produksi baru masyarakat. Masyarakat, dalam konstruks sosial ini, menurutnya, menyimpan banyak problem. Proses industrialisasi- komersialisasi produksi menciptakan individualisme, atomisasi manusia, dan akhirnya kesenjangan sosial. Individu dihargai dengan ukuran-ukuran komersial, yang dapat mengakibatkan individu kehilangan spirit publiknya. Bahkan pemerintahan berdasar rule of law tidak memiliki jiwa utuh sebab despotisme telah merasuk sejak awal, bahkan sejak terbentuknya masyarakat. Despotisme yang dimaksud adalah perselingkuhan antara kaum borjuasi dengan raja-raja.

Dari dua tradisi di atas, yang nantinya diperkaya Adam Smith, konsep dominan yang mencoba merajut hubungan masyarakat dan negara adalah teori kontrak sosial. Teori ini dimentahkan oleh kaum utilitarian yang dikomandani Jeremy Bentham (1748-1832) dan JS Mills (1806-1873). Gagasan pokonya adalah bahwa kebahagiaan individu diukur dari rasa susah dan senang. Kepentingannya adalah menggapai rasa senang dalam hidup. Dalam konteks masyarakat, kebahagiaan terletak pada rasa senang mayoritas masyarakat. Dalam teori negara hal ini mereka terjemahkan dalam majelis parlemen yang diukur melalui mayoritas-minoritas yang dalam prosesnya dimungkinkan koalisi yang bisa terus Dari dua tradisi di atas, yang nantinya diperkaya Adam Smith, konsep dominan yang mencoba merajut hubungan masyarakat dan negara adalah teori kontrak sosial. Teori ini dimentahkan oleh kaum utilitarian yang dikomandani Jeremy Bentham (1748-1832) dan JS Mills (1806-1873). Gagasan pokonya adalah bahwa kebahagiaan individu diukur dari rasa susah dan senang. Kepentingannya adalah menggapai rasa senang dalam hidup. Dalam konteks masyarakat, kebahagiaan terletak pada rasa senang mayoritas masyarakat. Dalam teori negara hal ini mereka terjemahkan dalam majelis parlemen yang diukur melalui mayoritas-minoritas yang dalam prosesnya dimungkinkan koalisi yang bisa terus

Pemikiran lain yang menempatkan individu sebagai pusat analisis adalah Adam Smith. Menurutnya, setiap manusia tunduk dan dipimpin oleh kepentingan ekonominya. Kepentingan bersama hanya dapat lahir jika masing-masing individu dapat memenuhi kepentingannya tanpa batasan apapun baik dari masyarakat maupun negara.

Pada saat yang bersamaan, tumbuh gagasan tentang masyarakat di Jerman, yang memiliki perbedaan dengan konstruksi gagasan di atas. Perbedaan utamanya pada sudah adanya pembedaan tegas antara masyarakat dan negara. Pemikiran ini dipengaruhi Immanuel Kant. Menurutnya, masyarakat merupakan realitas berbeda dengan negara. Kesimpulan ini diambil dari pengamatan adanya hukum publik yang mengganti hukum alam. Masyarakat adalah tujuan bersama berdasarkan hukum dan harus dipisahkan dengan kekuasaan absolut. Di sinilah masyarakat dan negara dipisahkan, yang masing-masing memiliki rasionalitasnya sendiri.

Pemikir berikutnya, peletak dasar metode berpikir dialektik, Hegel (1770- 1831), keduanya bukan hanya dipisahkan, namun dilihat sebagai entitas yang berlawanan. Hegel memahami masyarakat sebagai economic society, yakni sebagai wilayah privat, dan negara sebagai wilayah atau domain publik. Cita masyarakat beradab secara dialektik pada akhirnya terdapat dalam negara, sebagai Pemikir berikutnya, peletak dasar metode berpikir dialektik, Hegel (1770- 1831), keduanya bukan hanya dipisahkan, namun dilihat sebagai entitas yang berlawanan. Hegel memahami masyarakat sebagai economic society, yakni sebagai wilayah privat, dan negara sebagai wilayah atau domain publik. Cita masyarakat beradab secara dialektik pada akhirnya terdapat dalam negara, sebagai

Pewaris dialektika Hegel, Marx (1818-1883) memiliki kesimpulan berbeda. Pembedaan antara masyarakat dan negara oleh Marx berakar pada kesenjangan sosial yang ada. Dalam cara produksi kapitalisme, masyarakat terbelah dalam dua kelas: proletar dan borjuis. Negara hanya melayani kaum borjuis, yang dalam teori negara disebut teori negara instrumentalis. Dalam konteks ini, satu-satunya jalan menurutnya adalah dengan merebut negara. Namun, ironisnya, justru dalam tahap inilah secara perlahan konsep negara menghilang dan digantikan dengan masyarakat beradab, yang dalam kamus politiknya disebut dengan masyarakat komunis. Artinya, Marx melihat negara bukan merupakan realitas masyarakat, dan karenanya berbeda, sehingga negara sebagai entitas sosial justru harus dilenyapkan.

Pemikiran ini digeser oleh neomarxis Italia. Jika Marx meletakkan masyarakat dalam domian ekonomi, maka Gramsci (1891-1937), meletakkannya dalam domain politik dan kultural, di mana negara mendominasi dan menghegemoni ruang kesadaran masyarakat. Di sini konsep negaranya sama dengan Marx, sebagai alat penindasan. Hanya saja, negara, sebagai suprastruktur kelembagaan mengusung ideologi yang sangat berpengaruh dan menaklukkan melalui hegemoni. Di sinilah masyarakat berada. Masyarakat dengan demikian, menurutnya, adalah ruang bagi transisi keterpaksaan ke kebebasan di mana negosiasi berlangsung secara terus menerus dalam ruang hegemoni. Lembaga Pemikiran ini digeser oleh neomarxis Italia. Jika Marx meletakkan masyarakat dalam domian ekonomi, maka Gramsci (1891-1937), meletakkannya dalam domain politik dan kultural, di mana negara mendominasi dan menghegemoni ruang kesadaran masyarakat. Di sini konsep negaranya sama dengan Marx, sebagai alat penindasan. Hanya saja, negara, sebagai suprastruktur kelembagaan mengusung ideologi yang sangat berpengaruh dan menaklukkan melalui hegemoni. Di sinilah masyarakat berada. Masyarakat dengan demikian, menurutnya, adalah ruang bagi transisi keterpaksaan ke kebebasan di mana negosiasi berlangsung secara terus menerus dalam ruang hegemoni. Lembaga

Pemikir berikutnya adalah Tocqouville, pemikir Perancis, yang melalui bukunya, Demokrasi di Amerika, menunjukkan bagaimana demokrasi didorong melalui civil society. Negara modern, menurutnya, telah membawa peluang despotik yang mengancam dan membatasi kebebasan individu. Maka, dibutuhkan kontrol terhadap negara, dan di sinilah konsep asosiasi independen itu muncul. Melalui ini masing-masing melakukan komunikasi sosial untuk melindungi kebebasan sipil dan kekuasaan negara yang berlebihan. Demokrasi, dengan demikian, dikawal dan ditentukan keberhasilannya oleh keterlibatan aktif masyarakat dalam ranah publik

Dari penelusuran historis terhadap konsep tentang masyarakat dapat disimpulkan:

1. Keberadaan masyarakat dan negara dipahami sebagai perkembangan perubahan masyarakat yang mengalami transformasi dari masyarakat feodal ke masyarakat modern. Kompleksitas yang mengiringinya mendorong pembedaan antara masyarakat dan negara. Ini diawali pembedaan sayup-sayup oleh kaum naturalis hingga dipisahkan secara tegas. Di sini masyarakat dapat berarti society, negara, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik.

2. Konsep masyarakat disuntik gagasan penciptaan masyarakat beradab (civilized society) sebagai respons atas menguatnya despotisme negara (politik), respons terhadap industrialisasi (ekonomi), dan respons atas tumbuhnya individualisme yang cenderung ekstrem (sosial).

3. Masyarakat dimaknai sebagai entitas sosial yang antinegara sebagai respons berlebihan terhadap despotisme negara yang tidak ketulungan. Pemikiran Marx berada di garis ini.

Formulasi di atas belum usai. Dialektika ketiganya di tengah dunia yang tunggang langgang (runway world) selalu membuka kemungkinan teorisas- teorisai baru dalam konsep tentang individu, masyarakat, negara dan pasar.

Tapi tentu saja, skema Civil Society diatas adalah bentuk idealnya. Bentuk ideal bagi hubungan sebab-akibat dan peran-manfaat ketiga domain utama tersebut. Dalam aplikasinya, benturan kepentingan yang beragam seringkali mereduksi (bahkan merepresi) domain people (masyarakat). Perdebatan domain negara, masyarakat, pasar, ini sudah hadir sedari lampau. Semenjak era politike

koinonia 42 Aristoteles, lalu Thomas Aquinas yang memasukkan domain agama (civilis res publika) yakni melihat benturan otoritas negara dan agama dalam

mengatur masyarakat. Thomas Hobbes dalam Leviathan dan Nicollo Machiavelli dalam diktatoral (state of nature), dua orang simpatisan penyembah kekuasaan negara absolut yang notabene sangat subyektif. Berikutnya perjanjian Westphalia

42 Adalah Aristoteles (abad ke-4 SM) yang merujukkan konsep masyarakat sipil pada polis dan menyebutnya sebagai politike koinonia. Istilah ini menggambarkan masyarakat politik dan etis

yang memiliki kesetaraan di hadapan hukum yang berlaku. Aristoteles menyamakan negara dan masyarakat, kumpulan kampung, individu, dan famili. Apa yang sekarang dipahami sebagai masyarakat, olehnya disebut sebaga negara. Oikos dan Polis (society dan state) tidak dibedakan.

tahun 1648, tentang tonggak berdirinya konsep negara berdaulat modern, dan bagaimana gagasan subyektivitas modern memanifestasikan dirinya dalam perjanjian tersebut. Perjanjian Westphalia benar-benar merupakan manifestasi dari subyektivitas modern Eropa saat itu, dan bukan semata-mata analogi

Antropomorfistik. 43

Konsep masyarakat sebagai kekuatan mandiri untuk pengembangan demokrasi. Konsep masyarakat di sini dimaknai sebagai kekuatan yang harus terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik tanpa berpikir untuk melenyapkan negara, dan atau berpretensi menguasai negara secara langsung dalam kekuasaan, yang termanifestasikan dalam organisasi sosial keagamaan, LSM, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Di sinilah perkembangan konsep masyarakat sipil mutakhir berujung.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan aktor civil society dalam Peraturan Daerah tersebut ialah keterliban LSM/NGO dan organisasi lainya. Dimana LSM/NGO tersebut yang secara langsung maupun tidak langsung ada dalam keterlibatan pembahasan mengenai peraturan daerah tersebut atau bahkan menjadi tim konsultan perusahaan dalam melaksanakan implementasi program CSR yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

43 Antropomorfisme merupakan penggunaan karakteristik manusia kepada entitas-entitas lain non-manusia. Gambar sampul depan Leviathan Thomas Hobbes dengan jelas menyiratkan

antropomorfisme ini. Gambar seorang raja yang memegang tongkat dan pedang dalam buku itu melambangkan seorang raja (dianalogikan sebagai ular besar Leviathan) yang tubuhnya merupakan kumpulan rakyat- rakyatnya yang membentuk ―tubuh politik‖ bagi raja tersebut. Thomas Hobbes, Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Common-wealth Ecclesiastical and Civil, (McMaster University Archive of the History of Economic Thought, 1651).

Dimana karena sebelum peraturan daerah tersebut disahkan, di Jawa Timur sendiri terdapat Sekertariat Tetap (Sektap) yang di dalamnya terdapat kumpulan dari perusahaan yang ada di Jawa Timur, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan LSM/NGO yang di dalamnya juga mengatur mengenai sinergitas untuk pelaksanaan program CSR yang ada di Jawa Timur. Sehingga dalam hal ini posisi dari civil society itu sangat begitu penting terkait relasi yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut.