RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N

TESIS RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011

JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam

Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

Disusun Oleh :

ABDUL KODIR 071214753012

MAGISTER SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Ganjil Tahun 2013/2014

RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011

JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam

Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

TESIS Untuk memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Sosiologi pada Program Magister Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

ABDUL KODIR 071214753012

MAGISTER SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Ganjil Tahun 2013/2014

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN PENULISAN TESIS RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011

JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam

Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur) PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL16 JANUARI 2014

Oleh :

Dosen Pembimbing

Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi NIP 196609061989031002

KPS

Prof. Dr. Mustain Mashud, M.Si

NIP 1960012019860410001

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011

JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam

Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

Telah diuji pada Tanggal 16 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Mustain Mashud, M.Si Anggota

: 1. Prof. Dr. I.B Wirawan, M.Si : 2. Dr. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si : 3. Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi

PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Bagian atau keseluruhan isi Penulisan Tesis ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun

kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi Tesis.

Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas

Airlangga.

Surabaya, 16 Januari 2014

Abdul Kodir 071214753012

HALAMAN MOTTO

“kini tak ada waktu untuk berpikir tentang apa yang tak kau miliki, berpikirlah tentang apa yang bisa kau lakukan dengan apa yang ada”

— Ernest Hemingway

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

“Someone who i love & Loves

me”

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya sampaikan kepada Allah SWT atas segala karunia dan ramatNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan usaha yang tidak sedikit. tesis berjudul ‘RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011 JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)’ ini penulis angkat berdasarkan fenomena wacana CSR yang muncul karena banyak menjadi perhatian khusus di kalangan bisnis maupun para pengamat sosial. Hingga pada akhirnya di lingkup Jawa Timur fenomena mengenai CSR tersebut di respon melalui Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai implemetasi program CSR dunia usaha yang ada di Jawa Timur.

Berkat usaha peneliti, serta bantuan yang tidak bisa dikatakan sedikit dari banyak pihak, maka thesis ini dapat diselesaikan. Diharapkan, selain sebagai syarat kelulusan program Magister Sosiologi, tesis ini juga dapat membuka ruang diskusi bagi studi-studi dengan tema serupa, serta memberikan pijakan bagi terbukanya alat analisis baru, di luar alat analisis mainstream dalam melihat persoalan. Kritik dan masukan peneliti terima, dalam rangka membuka ruang diskusi sebagaimana peneliti inginkan. Semoga tesis ini dapat membuka imajinasi sosiologis pembaca sampai titik yang paling jauh.

Penulis sampai pada titik akhir penulisan thesis ini tentu dengan dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Pada gilirannya, pada tesis inilah terekam jejak-jejak memori penulis. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin sampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang Tua penulis, (alm) abah dan mamak, untuk segenap kasih sayang yang diberikan sepanjang masa dan tetesan air matanya dalam do’a yang tak akan pernah bisa terbayarkan dengan apapun. Untuk kakak- kakak ku yang tak pernah lelah untuk memberikan semangat dalam bentuk moril maupun materiil yang menghendaki penulis untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan untuk adik-adikku tercinta agar senantiasa selalu berusaha membuat mamak kalian bangga.

2. Ibu Anna, Egny beserta keluarga yang telah banyak memberikan perhatian, kepercayaan dan dukungan dalam bentuk apapun kepada penulis. Terima Kasih. GBU.

3. Keluarga Besar Departemen Sosiologi Fisip Unair ; Prof. Musta’in Mashud selaku Kepala Program Studi Magister Sosiologi yang senantiasa memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang. Dr. Bagong Suyanto atas bimbingannya hingga tesis ini bisa diselesaikan dengan baik. Novri Susan, Phd & Dr. Tuti Budirahayu yang telah memberikan kesempatan bekerja bersama untuk mengembangkan Sociology Center. Herwanto, MA, Prof. I.B Wirawan, Dr. Emy Susanti yang selalu memberikan dukungan setiap arus baru pemikiran Sosiologi. Serta semua 3. Keluarga Besar Departemen Sosiologi Fisip Unair ; Prof. Musta’in Mashud selaku Kepala Program Studi Magister Sosiologi yang senantiasa memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang. Dr. Bagong Suyanto atas bimbingannya hingga tesis ini bisa diselesaikan dengan baik. Novri Susan, Phd & Dr. Tuti Budirahayu yang telah memberikan kesempatan bekerja bersama untuk mengembangkan Sociology Center. Herwanto, MA, Prof. I.B Wirawan, Dr. Emy Susanti yang selalu memberikan dukungan setiap arus baru pemikiran Sosiologi. Serta semua

4. Segenap kawan-kawan Mahasiswa Magister Sosiologi, Bill Halan, Katon, Ghaffar, Aziz, Mushawi, Ishak, Nika, Ratih, Dewi, Indah, Mukhlisin, Lyla serta ibu Wid, pemikiran kalian telah membuka perspektif baru kepada penulis untuk memahami kajian Sosiologi. Untuk Lajang yang tersisa, Sos’07 Bobby, Jaya, Nora, Yunita, Rima, Nindy, Sarah, Dida, Tresye, Adit atas waktu kalian untuk menyambung celoteh dan canda gurau. Untuk Adit’Kak Fu’ yang terima kasih karena telah banyak meluagkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan tesis, Mbak Titis atas kesempatan untuk penulis menjadi partner dalam setiap pekerjaan, Yogi, Cak Kirun, Cak War, Proy dalam setiap ruang diskusi kalian yang membuka cakrawala pengetahuan penulis. Yudho, Adit, Deddy, Ganyong, Gundul, Nelly, Henih, Monic, Winny dan semuanya yang tak mungkin penulis sebutkan nama kalian terima kasih banyak telah mengisi waktu luang di kampus. Segenap Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Sosiologi. Proud Become Sociologist !

5. Keluarga Besar GMNI Komisariat FISIP UNAIR, Untuk para terdahulu Mas Ambon, Cak Ek, Mas Reno, Mas Deni, Mas Ximen, Mas Mujib, Mas Hari, Bung Koala, Mas Agus (Bogang), Mas Joko, Mas Rambak, Mbak Nila Mbak Riska, Skie, Mbak Nimas, Yosevin, Bowo, Mas Affan, Rangga, Piere, Ken, Teddy’Ateng’, Amanu, Mbak Sundari, Gabriel’Botak’, terima kasih untuk segenap pelajaran yang telah diberikan.

Kawan2 Kader GMNI 2007, Nizen, Ayu Irene’Emon’, Ijal, Didit, Nora, Iis’Nduty’, Fitrah’Petruk’, Aditya’embek’ Femy’Amoy’, Dika, Intan, thanks untuk berbagi cinta, cita dan harapan kalian. Adik-adikku Karim, Yuni, Ardi, Jatayu, Jessica, Meteor, Rafif, Lifa, Dhewi, Andre, Rendy, Azam, Gomes dan semuanya. Jadilah Kayu Bakar dalam setiap Api Perjuangan. Sungguh teramat bangga sekali menjadi bagian Keluarga Besar GMNI FISIP Unair, sebuah ruang yang tak akan pernah terlupakan dalam setiap detik yang telah terlewati. Pemikir-Pejuang, Pejuang- Pemikir. MERDEKA!! GMNI DJAYA! MARHAEN MENANG!

6. Kelurga Besar FISIP Unair, Pak I Basis Soesilo (Dekan Fisip), Pak Djodi yang telah banyak Mas Yunus, Mas Joko, Pak Bambang atas waktu yang diberikan untuk ruang-ruang diskusi dan selalu memberikan pengetahuan baru. Mas Tino Akademik Program Pasca Sarjana FISIP. Dan segenap jajaran Dekanat, Dosen & Karyawan FISIP UNAIR yang telah banyak mendukung dan berkontribusi untuk aktifitas kemahasiswaan. Dan tetap menjadikan Kampus FISIP UNAIR sebagai miniatur Indonesia dengan segala dinamikanya.

7. Keluarga Jamaah Kelompok Gubeng, dan teman-teman muda/i Rohmat Mubaligh, Erick Mubaligh, Akief Mubaligh, Hariyanto Mubaligh, Bimbi, Saipul, Aries, Rudy, Citra Dewi, Dilla, Rizky, Icha atas kebersamaan kalian membimbing penulis untuk menetapi jamaah. Ibu Nur Rofiah & Erika Sabrina yang telah banyak memberikan perhatian dan nasehatnya.

Atas Karunia & Hidayah Allah kita dipertemukan. Alhamdulillah Jazakumullahkhoiroh.

8. Kepada para informan Pak Sugiri, Pak Kodrat DPRD JATIM, Pak Agus & Ibu Karimah BAPPEDA JATIM, Pak Ibnu PERTAMINA Jatim, Pak Erawan PTPN X Jatim, Pak Darmawan SPEKTRA, Ibu Herlina Sekdaprov Jatim, Pak Andri Habitat for Hummanity, dan Mas Rere WALHI Jatim terima kasih atas waktu yang diberikan kepada penulis untuk menggali data sehingga tesis ini bisa terselesaikan dengan baik.

9. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebut, rasa terima kasih takkan cukup untuk ditumpahkan di atas kertas kosong ini.

Penulis

SUMMARY

Respon mengenai CSR (Corporate Social Responsibility) tidak hanya di pemerintahan tingkat nasional, akan tetapi sangat direspon dengan baik oleh pemerintahan daerah dengan membuat Perda TSP (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) dan salah satunya ialah provinsi Jawa Timur. Perda TSP ini dianggap sangat akomodatif karena akan membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam rangka melaksanakan pembangunan di masyarakat Jawa Timur dengan program- program CSR di mana di Jawa Timur sendiri terdapat 95 badan usaha baik BUMN, BUMD maupun BUMS. Sehingga hal ini mendorong munculnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 tahun 2011 tentang tanggung jawab sosial perusahaan.

Perda yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan ini merupakan perda modifikasi dari 3 Undang-Undang, yakni UU No 19 tentang BUMN, UU No 25 tentang penanaman modal, dan UU No 40 tentang perseroan terbatas. Dalam hal ini, perusahaan termasuk bagian dari masyarakat, sehingga sewajarnya apabila perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat. Perda No 4/2011 itu diharapkan dapat menciptakan jejaring yang terkoordinasi dalam pelaksanaan CSR guna mencegah terjadinya pungutan liar atau pemaksaan yang dilakukan oleh oknum tertentu atas nama instansi tertentu dengan meminta sumbangan pada perusahaan. Perda ini berada di ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta sebagai kompensasi pemulihan dan peningkatan fungsi lingkungan hidup, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas yang berbasis kerakyatan.

Akan tetapi kemunculan Perda No 4/2011 sebagai respon terhadap UU PT yang mengatur untuk mewajibkan pelaksanaan CSR tersebut disikapi berbeda oleh peneliti. Dimana peneliti melihat bahwasanya kemunculan Perda tersebut merupakan hal yang sangat dipaksakan dan sarat akan adanya kepentingan. Hal tersebut ditunjukan dengan PP (Peraturan Pemerintah) sebagai hal yang seharusnya mengatur mengenai implikasi teknis CSR belum terbentuk di tingkat nasional, akan tetapi di tingkat daerah sudah diberlakukan meskipun Perda tersebut tidak mengatur secara mengikat dan sangat kompromis.

Hal ini yang mendorong peneliti untuk mencari apakah ada relasi kepentingan antara masing-masing agen dalam struktur sehingga terbentuk Perda tersebut. Terkait dengan CSR, analisis mengenai teori strukturasi sangatlah relevan untuk menganalisa permasalahan tersebut. CSR kerap kali dianggap sesuatu yang mewajibkan dan memberatkan bagi para pengusaha karena terlalu banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan diluar pajak pajak yang telah ditentukan. Diwajibkannya CSR dalam ruang lingkup dunia usaha yang ada di

Jawa Timur melalui Perda TSP, dapat diamati mengenai relasi antara masing- masing agen yang telah membentuk struktur yang ada. Struktur jika diartikan oleh Giddens ialah sebuah aturan atau sumberdaya, jadi yang dimaksud struktur itu sendiri ialah Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di Jawa Timur.

Jika berbicara struktur tak lepas juga menganalisa agensi, karena Giddens pun menjelaskan antara struktur dan agensi adalah dualitas. Dalam hal ini agensi yang dimaksud ialah ialah para aktor yang terkait dalam keterlibatan struktur tersebut yakni antara pihak negara, perusahaan dan civil society. Dengan demikian penelitian ini akan mencoba menjelaskan pertautan atau dualitas dalam Perda tersebut. Peneliti menggunakan metode kualitatif karena sangat sesuai untuk mengamati objek penelitian yakni mengenai relasi-relasi sosial yang terbangun dalam implikasi Perda No 4 Tahun 2011 antara agen-agen yang mempunyai andil dalam terbentuknya struktur tersebut.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa relasi agen – struktur dalam implikasi Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan teknis implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) atau yang lazim disebut Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan relasi yang bersifat kompromi politik meskipun secara hukum Peraturan Daerah tersebut mempunyai payung hukum yang kuat yakni yang pada Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) No 40 Tahun 2007 pada pasal 74 yang membebankan perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan melakukan program tanggung jawab sosial itu sendiri.

Peraturan Daerah tersebut dikatakan sebagai sebuah produk hukum yang sangat kompromis, dikarenakan dalam Peraturan Daerah tersebut ingin mengakomodasi semua stakeholders maupen shareholders yang ada di provinsi Jawa Timur. Kompromi kepentingan tersebut bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Daerah tersebut tidak diatur mengenai prosentase laba bersih yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan program CSRnya, semuanya diberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeluarkan jumlah dana untuk program CSR.

Tidak hanya itu juga, kompromi kepentingan yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut ialah tidak diberlakukannya sanksi yang sangat tegas kepada perusahaan yang tidak menjalankan program CSR sehingga bisa dikatakan kekuatan hukum pada Peraturan Daerah tersebut tidak mengikat. Hal ini dikarenakan bahwa nantinya Peraturan Daerah tersebut tidak menjadi beban kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Dan ketika Peraturan Daerah ini menjadi beban tersendiri bagi perusahaan maka akan ditakutkan perusahaan- perusahaan tersebut tidak mau menginvestasikan dan lari dari Jawa Timur dikarenakan perusahaan sendiri sudah terbebankan dengan pajak yang berlaku.

Relasi Tripartid (Negara, Pasar, Masyarakat) yang terbentuk dalam Peraturan Daerah tersebut terjadi relasi yang timpang karena hanya melibatkan pihak agen (aktor pelaku) antar pihak pemerintah dengan perusahaan dan sama Relasi Tripartid (Negara, Pasar, Masyarakat) yang terbentuk dalam Peraturan Daerah tersebut terjadi relasi yang timpang karena hanya melibatkan pihak agen (aktor pelaku) antar pihak pemerintah dengan perusahaan dan sama

ABSTRAK

Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Hal tersebut muncul karena saat ini masyarakat dunia telah sadar bahwasanya adanya proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC hingga hari ini masih banyak menimbulkan permasalahan, seperti : perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik dan permasalahan sosial lainya yang segera harus ditangani. Oleh sebab itu masyarakat dunia mendorong korporasi untuk berkontribusi aktif dalam melaksanakan program pembangunan dimana mereka tinggal. Akhirnya negara lah yang memfasilitasi mereka melalui undang-undang yang mengatur tentang CSR itu sendiri. Di Indonesia regulasi mengenai CSR itu sendiri dijelaskan dalam UU PT No 40 tahun 2007, dan bahkan hal tersebut di respon hingga pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Khusus di provinsi Jawa Timur, regulasi mengenai CSR tersebut dijelaskan dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011. Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi yang terjadi antara agen dan struktur yang ada dalam peraturan daerah tersebut.

Fokus penelitian tersebut dianalisa dengan menggunakan teori strukturasi giddens mengenai dualitas agen – struktur dan juga menggunakan relasi tripartid antara negara, masyarakat dan pasar yang terkait dalam peraturan daerah mengenai CSR sebagai strategi alternatif dalam upaya pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat relasi sosial sebagai objek penelitian.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa peraturan daerah tersebut merupakan merupakan kompromi politik dalam upaya mengakomodasi kelompok kepentingan yang ada. Dan juga ditemukan bahwasanya aturan tersebut hanya mengatur hubungan antara pihak pemerintah dengan perusahaan, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan dari pihak civil society. Adanya peraturan tersebut juga ingin mensinergiskan antara program CSR yang dilakukan perusahaan dengan program pemerintah provinsi daerah sebagai upaya percepatan pembangunan di wilayah Jawa Timur.

Kata kunci: CSR, Korporasi, Agen-Struktur, Relasi Tripartid, Pembangunan

ABSTRACT

Forum of the UN Global Compact in Geneva , Switzerland , Thursday, July 7, 2007 the UN Secretary-General opened the media attention from around the world . The meeting aims to ask the company to show responsibility and sound business behavior known as corporate social responsibility ( CSR ) . It arises because the current world community has realized that the process of industrialization undertaken by the corporation MNC / TNC to this day still causes a lot of problems such as environmental degradation , human rights , conflict and other social issues that must be addressed immediately . Therefore, the world community to encourage corporations to contribute actively in the implementation of development programs in which they live . And finally state that facilitated them through legislation regulating CSR itself. In Indonesia regulation regarding CSR itself is described in the Company Law No. 40 of 2007 , and even that in response to local government through local legislation . Especially in East Java province on CSR regulation are explained in the Regional Regulation No. 4 of 2011. The problem in this research is how to look at the relationships and structures existing agents in the local regulation.

The formulation of this problem is analyzed using structuration theory of Giddens about the duality of agency - structure and also by using the triangular relationship between state , society and market related to local regulations regarding CSR as an alternative strategy in the development effort.

In this study it was found that the local regulation is a political compromise in an effort to accommodate the existing interest groups . And also found that the rule only governs the relationship between the government and the company , so in this case raises suspicion . The regulation would also like to synergize between CSR program by the company with the provincial local government programs as efforts to accelerate development in East Java.

Keywords : CSR , Corporate , Agent - Structure , Relation triangle , Development

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Lester Thurow, tahun 1966 dalam bukunya “The Future of Capitalism”, sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Thurow ini menjelaskan bahwa kapitalisme tak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat, atau yang kemudian disebut sustainable society. Pada jamannya, pemikiran Thurow tersebut sulit

diaplikasikan, hal ini ia tuliskan seperti there is no social ‘must’ in capitalism. 1 Namun beberapa tahun sebelum pemikiran Lester Thurow tersebut, pada tahun

1962, Rachel Calson lewat bukunya “The Silent Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan dan kehidupan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan. Paparan yang disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama. Dari sini CSR (Corporate Social Responsibility) pun mulai digaungkan, tepatnya di era 1970-an. Banyak professor menulis buku tentang pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, di samping kegiatan mengeruk untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the

1 AB Susanto, A Strategic Management Approach, CSR, The Jakarta Consulting Group, Jakarta, 2007, hal 21

Bottom Line” karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama penerima gelar Professor of Public Policy and Business Responsibility dari Universitas Columbia.

Pemikiran para ilmuwan sosial di era itu masih banyak mendapatkan tentangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkan dunia hasil pemikiran para intelektual dari Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growth”. Buku ini mengingatkan bahwa, di satu sisi bumi memiliki keterbatasan daya dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasi manusia bertumbuh secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber daya alam mesti dilakukan secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan. Pada Era 1980 – 1990, pemikiran dan perbincangan tentang issu ini terus berkembang, yakni mengenai kesadaran dalam berbagi keuntungan untuk tanggung jawab sosial, dan dikenal sebagai community development. Hasil menggembirakan datang dari KTT Bumi di Rio de Jenerio Tahun 1992 yang menegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi bakal melesatkan kapitalisme di masa mendatang. Dari sini konsep CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam berbagai bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam bukunya Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (1994), menyampaikan bukti bahwa perusahaan yang terus hidup adalah yang tidak semata mencetak limpahan uang saja, tetapi perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan sosial dan turut andil dalam menjaga keberlangsungan

lingkungan hidup. 2

2 Ibid., hal 35

Konsep dan pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat bukunya yang berjudul “Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business. Dalam bukunya ini, Elkington menawarkan solusi bagi peusahaan untuk berkembang di masa mendatang, di mana mereka harus memperhatikan 3P, bukan sekedar keuntungan (Profit), juga harus terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat (People) dan berperan aktif dalam menjaga

kelestarian lingkungan (Planet). 3 Sejumlah faktor munculnya CSR di arena internasional salah satunya

adalah dengan kekuatan dan pengaruh perusahaan multinasional, khususnya dampaknya di negara-negara berkembang tentang pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, dan pekerjaan. Keprihatinan ini telah datang di tahun 1970-an, tetapi mereda pada tahun 1980. Sampai saat ini LSM, NGO atau masyarakat Internasional mengakui bahwa operasi produksi perusahaan multinasional besar memiliki dampak kritis pada tekanan lingkungan, praktek pasar tenaga kerja, pembangunan ekonomi regional, dan budaya yang lebih luas. Perusahaan multinasional sering terlihat sebagai kendaraan dari proses globalisasi yang, di satu sisi, ditandai dengan integrasi ekonomi dan konvergensi, dan di lain pihak dengan ketegangan sosial, pembangunan yang tidak merata, dan kesenjangan sosial. Ketika jaringan produksi global tersebut membuta sebuah jembatan ekonomi dengan politik hal ini memberikan sebuah dampak dengan memperburuk perbedaan spasial dalam hidup dan standar perburuhan, kesehatan, dan hak-hak individu. Bersamaan dengan itu, mereka menginduksi proses

3 diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 september 2011 pukul 20.50 3 diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 september 2011 pukul 20.50

zaman baru eksploitasi, imperialisme, dan kolonialisme. 4 Di pasar modal globalpun, CSR juga menjadi faktor yang diperhitungkan.

Misalnya New York Stock Exchange (NYSE) saat ini menerapkan program Dow Jones Sustainable Index (DJSI) untuk saham perusahaan yang dikategorikan memiliki Social Responsible Investment (SRI). Kemudian Index and Financial Times Stock Exchange (FTSE) menerapkan FTSE4 Good sejak 2001. Konsekuensi dari adanya index-index tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam index tersebut.

Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan- perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma

4 Levy, D. L., & Newell, P, Multinationals in global governance. In S. Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for multinationals and other stakeholders,

Edward Elgar: London, 2006, hal 56.

pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai

keuntungan/manfaat. 5 Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia

memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal

dengan corporate social responsibility. 6 Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada dasarnya mengharuskan

perusahaan untuk melakukan bisnis di luar kepatuhan hukum dan kepada pemegang saham untuk tidak maksimalisasi kekayaan melalui keuntungan yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan harus melakukan lebih dari

5 Mas Achmad Dhaniri. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal 3. 6 Ibid.,hal 3 5 Mas Achmad Dhaniri. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal 3. 6 Ibid.,hal 3

CSR mengharuskan perusahaan untuk memberikan tidak hanya jumlah barang, jasa, dan pekerjaan tetapi juga kualitas hidup orang-orang yang kepentingannya terkena dampak kegiatan perusahaan. Konsep abstrak CSR telah berubah menjadi daftar panjang praktek-praktek perusahaan , namun tidak terbatas pada, sistem manajemen lingkungan, ramah lingkungan dan aman produk, tindakan perlindungan tenaga kerja dan rencana kesejahteraan, filantropi perusahaan dan masyarakat proyek-proyek pembangunan, dan perusahaan sosial

dan lingkungan pengungkapan kinerja . 7

I.1.1 CSR di Indonesia

Perkembangan dunia bisnis mungkin jauh lebih dinamis daripada dunia politik dan sosial ataupun budaya. Sejalan dengan hal tersebut, dunia bisnis memiliki tantangan yang lebih kompleks serta kecepatan perubahan yang sangat tinggi, namun hasil dan akibatnya dapat dirasakan secara lebih nyata dan segera pula. Perubahan dalam dunia bisnis dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh

7 Carroll Archie B, A History Corporate Social Responsibility, dalam A. Crane, A. McWilliams, D. Matten, J.Moon and D. Siegeleds, The Oxford Handbook Of Corporate Social Responsibility, 2008,

hal.2.

perubahan dalam dunia politik, seperti proses demokratisasi dan perkembangan kesadaran hak asasi manusia, dan dunia sosial budaya, dalam bentuk gaya hidup dan perubahan pola konsumsi (Aspinal, 2003). Dinamika dan kompleksitas yang tinggi ini dapat pula dilihat pada sektor produksi industri pertambangan dan migas serta mineral lainnya. Permasalahan dalam sistem produksi tambang bukan sekedar masalah kemampuan modal, teknologi, kebercukupan cadangan mineral serta pasar, melainkan juga oleh legitimasi sosial, yakni diterima-tidaknya kehadiran dan kegiatan sebuah industri dan korporasi di tengah-tengah masyarakat sekitarnya. Konsekuensinnya masalah etika sosial menjadi salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh industri dan korporasi tambang dan migas. Banyak opini menggarisbawahi bahwa, pertumbuhan jumlah dan aset korporasi – khususnya multinational corporation (MNC) tambang dan migas – menunjukkan angka yang spektakuler tingginya, namun pertumbuhan ini tidak diikuti dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Dengan kata lain, tidak terlihat korelasi positif bahwa pertumbuhan produksi pertambangan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya secara

umum. 8 Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah

perkembangan PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil

8 Dody Prayogo, SOCIALLY RESPONSIBLE CORPORATION: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas, UI Press, Jakarta, 2011, hal 2

dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop. Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Keciln dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara.

Memperhatikan perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/ 1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per- 05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

Di Indonesia, telah banyak perbincangan yang terus berlanjut seputar konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih pihak pemerintah secara khusus membuatkan UU tentang tanggung jawab sosial

ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal 74. Terlepas dari itu, isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat. Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan korporasi. Seiring dengan berkembangnya waktu, CSR tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi. Dalam sebuah ulasan di Majalah Marketing (edisi 11/2007) menegaskan tentang mengapa pula perusahaan harus berinvestasi pada kegiatan CSR? Apakah lantaran moralitas semata atau dia sudah menjadi marketing tools yang efisien? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan strategi CSR. Akan tetapi, perdebatan paling baru tentang CSR adalah soal imbas program tersebut pada profit perusahaan. Para pelaku dituntut untuk ikut memikirkan program yang mampu mendukung sustainability perusahaan dan aktivitas CSR itu sendiri.

Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap kondisi- kondisi yang mempengaruhi bisnis, seperti perubahan global, tren baru di pasar,

dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi. 9 Berkaitan dengan masalah imbas tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa

pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survey di 10 negara tersebut, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta merekomendasikan kepada yang lainnya sebagai respon terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah

9 Majalah Marketing, Edisi 11/2007.

memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial. CSR kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for profit). Karena itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business

perusahaan. 10 Philip Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company

and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat

di mata investor. 11 Menurut Godo Tjahjono, Chief Consulting Officer Prentis, CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat

aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand

differentiation. 12 Sampai saat ini banyak perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar

angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia. 13

10 Ibid., 11 Philip Kotler. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New York,

Thomas Dunne Books., 2007, hal. 33. 12 Majalah Marketing, Edisi 11/2007

13 Di sarikan dari berbagai sumber – Cikeas Magazine ”CSR dari mana datangnya”, Vol 1 No4/07, Majalah Marketing, ”CSR for Profit”, edisi 11/2007, dan Societa, “Sejarah Panjang Konsep CSR”,

12/2006.

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi social perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak (for better or worse), bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. 14 Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan,

lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan. Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.

14 A.B.Susanto, Budaya Perusahaan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997, hal 55

Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan social dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR. Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya. Mengikuti Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR. Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya. Mengikuti

Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional (The World Bank, ISO 26000 dan sebagainya) serta praktek yang telah berjalan di tanah air maupun yang berlaku secara internasional. Lalu sebenarnya seperti apa best practice mengenai CSR ini? Saat ini ISO (International Organization for Standardization), tengah menggodok konsep standar CSR yang diperkirakan rampung pada akhir 2009. Standar itu dikenal dengan nama ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Dengan standar ini, pada akhir 2009 hanya akan dikenal satu konsep CSR. Selama ini dikenal banyak konsep mengenai CSR yang digunakan oleh berbagai lembaga internasional dan para pakar. Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu, didalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha,

pemerintah dan masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR. Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif). Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai contoh, UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek keuangan, tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.

Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan masyarakat. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu pilihan-pilihan harus memberi manfaat kedua belah pihak . Lebih menarik lagi ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74 serta penjelasan pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk berperan serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat. Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban TJSL pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan masyarakat. Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi manfaat (shared value), yaitu pilihan-pilihan harus memberi manfaat kedua belah pihak . Lebih menarik lagi ternyata terdapat inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74 serta penjelasan pasal 74 itu sendiri. Pada pasal 1 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memuat “… komitmen Perseroan Terbatas untuk berperan serta”, sedangkan pasal 74 ayat 1 “… wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Pada pasal 1 mengandung makna pelaksanaan CSR bersifat sukarela sebagai kesadaran masing-masing perusahaan atau tuntutan masyarakat. Sedangkan pasal 74 ayat 1 bermakna suatu kewajiban. Lebih jauh lagi kewajiban TJSL pada pasal 74 ayat 1 tidak memiliki keterkaitan langsung

Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung jawab sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui bahwa semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat dilihat pada bunyi pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegitan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikutnya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi sumber daya alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas yang tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.

Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan

Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana. Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah

menyatakan sikapnya, CSR bukan sesuatu yang akan diatur. 15

15 Meuthia Ganie Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas 10 Agustus 2007.

Permasalahan antara masing-masing agen yang terlibat dalam relasi dalam struktur yang terwujud dalam undang-undang tersebut tidak hanya berhenti pada hal pembahasan ketika pada proses undang-undang tersebut disahkan. Akan tetapi agen yang dalam hal ini ialah yang mewakili pihak pengusaha yang tergabung dalam KADIN mengajukan gugatan kepada MK (Mahkamah Konstitusi) mengenai uji material terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam meskipun pada akhirnya gugatan tersebut di tolak.

Adapaun yang menjadi problematika utama ialah mengenai relasi antara masing-masing agen dalam menyikapi sebuah struktur yang mengatur proses implikasi terhadap pengaturan CSR itu sendiri. Dalam penelitian sebelumnya yang salah satunya menjadi referensi dari peneliti yakni yang dilakukan oleh Mukti Fajar ND. Dalam Disertasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2009 dengan judul “ Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia” (Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional & BUMN di Indonesia) dengan temuan data yakni bahwa CSR adalah suatu aktifitas korporasi yang dapat diwajibkan oleh hukum, ruang lingkup yang mengatur tanggung jawab sosial perusahaan sebaiknya tidak dibatasi secara kaku. Sedangkan Suparnyo, dalam Disertasi di Universitas Diponogoro pada tahun 2008 dengan judul “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Implementasi” dengan temuan data yakni mengenai tanggung jawab sosial yang diimplementasikan pada tahap sosial aware dan juga pengaturan tanggung jawab sosial tidak perlu diatur Adapaun yang menjadi problematika utama ialah mengenai relasi antara masing-masing agen dalam menyikapi sebuah struktur yang mengatur proses implikasi terhadap pengaturan CSR itu sendiri. Dalam penelitian sebelumnya yang salah satunya menjadi referensi dari peneliti yakni yang dilakukan oleh Mukti Fajar ND. Dalam Disertasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2009 dengan judul “ Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia” (Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional & BUMN di Indonesia) dengan temuan data yakni bahwa CSR adalah suatu aktifitas korporasi yang dapat diwajibkan oleh hukum, ruang lingkup yang mengatur tanggung jawab sosial perusahaan sebaiknya tidak dibatasi secara kaku. Sedangkan Suparnyo, dalam Disertasi di Universitas Diponogoro pada tahun 2008 dengan judul “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Implementasi” dengan temuan data yakni mengenai tanggung jawab sosial yang diimplementasikan pada tahap sosial aware dan juga pengaturan tanggung jawab sosial tidak perlu diatur

Berdasarkan temuan data penelitian sebelumnya dapat mengenai implikasi proses pelaksanaan CSR tidak perlu diatur secara khusus melalui undang-undang, karena hal ini juga akan memberikan respon dari masing-masing agen yang berkepentingan terhadap regulasi mengenai CSR itu sendiri. Hal tersebut ditunjukan bahwa setelah UU PT yang mengatur wajibnya CSR itu sendiri tidak ditindaklanjuti dengan PP (Peraturan Pemerintah) sebagai hal yang mengatur secara teknis tentang pelaksanaan CSR.

I.1.2 CSR di Jawa Timur