Perkebunan dengan Pola Pengelolaan Berkelanjutan.

organisme tersebut dan laju keberlangsungan hidup dari suatu organisme ketika melintasi matriks atau wilarah yang bukan habitatnya. Semakin besar demografi potensialnya dan matriks habitat yang lebih bersahabat, maka akan semakin sedikit luasan habitat yang dibutuhkan oleh organisme untuk dapat bertahan hidup Bascompte Sole 1996. 2.3. Dampak Fragmentasi Habitat Bagi Amphibia 2.3.1 Amphibia pada Wilayah Terfragment. Amphibia secara dramatis telah mengalami penurunan populasi di banyak tempat di seluruh dunia. Penurunan ini semakin memburuk dalam 25 tahun terakhir dan amphibia saat ini memiliki tingkat keterancaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan satwa lainnya seperti mamalia atau burung. Perbandingan lebih lanjut dengan taksa lainnya terkendala akan kurangnya data Trevor et al. 2005. Bender et al. 1998 menyatakan bahwa kepadatan populasi memiliki hubungan yang positif dengan ukuran potongan hutan untuk spesies interior dan berhubungan negatif dengan spesies yang memanfaatkan daerah tepi: Pada spesies generalist yang bisa menggunakan daerah tepi dan bagian interior potongan habitat. Penurunan pada ukuran populasi yang berasosiasi dengan rusaknya habitat dihitung sebagai kehilangan habitat saja; Pada spesies interior, penurunan ukuran populasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh habitat fragmentasi dibandingkan dengan yang murni hanya disebabkan oleh hilangnya habitat; dan pada spesies tepi, penurunan populasi tidak akan terlalu berpengaruh bila hanya disebabkan oleh hilangnya habitat saja. Amphibia memiliki kerentanan terhadap fragmentasi habitat dikarenakan adanya dinamika spasial dalam populasinya. Sub populasi dari banyak spesies filopatrik dengan areal potongan-potongan yang basah dan daerah hutan Wind 1999. Habitat fragmentasi menyebabkan pengurangan ukuran potongan, input dari genetika dari aktifitas imigrasi, meningkatkan isolasi, resiko demografi serta mengurangi kesempatan rekolonisasai setelah terjadi kepunahan dalan skala lokal Cushman 2006. Keterisolasian habitat dapat menyebabkan perbedaan komposisi yang signifikan pada amphibia. Komposisi amphibia dipengaruhi oleh habitatnya, dan habitat amphibia bervariasi berdasarkan tingkatan keterisolasiannya Wattling Donnely 2008. Respon amphibia terhadap fragmentasi habitat dapat berbeda pada lokasi yang berbeda, hal ini dikarenakan adanya variasi frekuensi gangguan pada habitat dan keanekaragaman habitat yang terbatas Silva et al. 2003.

2.3.2 Dispersal Amphibia dan Elemen Lanskap

Konektivitas merupakan kata kunci paling utama bagi fungsi koridor. Untuk itu, untuk membangun konektivitas yang baik sebuah koridor harus memenuhi kriteria-kriteria kebutuhan pokok dari spesies objek Beier Noss 1998. Burbrink et al. 1998 melakukan penelitian mengenai zona riparia potensial sebagai koridor bagi amphibia dan reptil. Hasil penelitian tersebut menemukan hanya 37 spesies dari jumlah total spesies yang ditemui di area inti, dapat ditemukan pada koridor riparian, dan lebar dari riparian tidak berpangaruh kepada kekayaan jenis spesies yang lebih besar. Jarak dengan area inti serta heterogenitas habitat menunjukan penjelasan terbaik mengenai kekayaan spesies. Tidak adanya habitat yang sesuai menyebabkan terhalangnya spesies lain untuk dapat berdispersal pada koridor riparian. Faktor yang menyebabkan keterbatasan banyak spesies pada koridor dikarenakan kurangnya akses dari hutan ke koridor yang telah diubah menjadi kawasan pertanian. Untuk merancang koridor yang baik, setidaknya untuk spesies riparian, heterogenitas habitat harus dikelola untuk dapat memenuhi kebutuhan spesies target. Perbedaan jenis matriks yang mengisolasi potongan hutan juga dapat mempengaruhi struktur komposisi amphibia pada potongan hutan yang terfragmen. Perbedaan ini menyebabkan adalanya ragam dalam laju pergerakan pada amphibia Lehtinen Rahmanmanjato 2006.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia KSI, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat sebagai lokasi pengamatan dan pengambilan data. Pengolahan dan analisis data penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data di lapangan dilakukan dari tanggal 13 April - 19 September 2011. Kegiatan pengamatan dan pengambilan data dilaksanakan pada 6 bulan pertama, selanjutnya digunakan untuk pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Lokasi Penelitian di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan kegunaan seperti yang tertera pada Tabel 1.