Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (Case Study In Pt Perkebunan Nusantara Vii, Muara Enim District, South Sumatra)

(1)

MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT

KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,

Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)

RUSLAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN

MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan: Studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013 Ruslan NRP P062090061


(4)

ABSTRACT

RUSLAN. Management model of nucleus estate smallholder for sustainable palm oil (case study in PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra). Under direction of SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, and MANUWOTO.

A primary issue in the management of oil palm plantations own by both nucleus smallholder and independent farmers currently is still sectoral and not based on the consideration of multi-sectoral and multi-dimensional. This causes multiple losses such as the loss of income’s farmers, environmental deterioration, and social problem. The objective of this research is to design a management model for sustainable nucleus smallholder of oil palm which meet aspects of biophysical (planet), economic (profit), and social (people). This research was conducted at PT. Perkebunan Nusantara VII, Muara Enim District, South Sumatra Province, where located between 4°-6° south longitude and 104°-106° east latitude, in July 2011 to September 2012. The result of this analysis indicate that soil of land use of oil palm plantations contain C-org less than the forest soils, especially in the surface layer (0-20 cm). This indicates the occurrence of land degradation at the sites caused by erosion mostly at the surface layer of soil. Sustainability analysis of oil palm plantation showed that the economic dimension has the highest sustainability index of 88.97, followed by social index of 81.02, technological index of 69.17, ecological index of 68.21, and the the lowest is 30.71 for institutions index. Result of this analysis was also revealed that sustainability of plantation and motivation of employees are determined by the company support i.e. PT. Nusantara Plantation VII. Based on the multi-dimensional index of sustainable nucleus-plasma oil palm plantation was 67.67 meaning that is quite continuous. Model development shows that the implementation of soil conservation brings a consequences of increasing outcome every year. In the year 2010 was allocated IDR 1,801,271,159.73 and predicted to remain increase to IDR 4,384,575,338.50 in year 2040. If farmers follow the fertilization protocols used by nucleus smallholder, it will increase profits to IDR 7,446,289, - per hectare.


(5)

RINGKASAN

RUSLAN. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, dan MANUWOTO.

Di Indonesia ada tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara dan perkebunan besar milik swasta dengan total luas areal tahun 2005 luas kebun kelapa sawit 5.445 ribu hektar, Pulau Sumatera mendominasi ke tiga jenis pengusahaan, sedangkan Pulau Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Meskipun memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional, pembangunan agribisnis kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga menjamin kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial masyarakat sekitar, serta mampu menghindarkan tindakan marjinalisasi. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat di pertahankan atau bahkan ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi (Sabiham 2005).

Permasalahan pokok dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti dan plasma hingga saat ini adalah masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda berupa hilangnya pendapatan petani, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek biofisik (planet), ekonomi (profit), dan sosial (people). Sedangkan tujuan spesifik adalah: 1) Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 2) Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit, 3) Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit, dan 4). Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di PT Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis terletak antara 4°- 6 ° Lintang Selatan dan antara 104° - 106° Bujur Timur.Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 – September 2012. Analisis degradasi lahan di kebun kelapa sawit dilakukan berdasarkan perubahan kandungan C-org terhadap hutan. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm dan 40-60 cm pada lereng bagian atas, tengah dan bawah, selanjutnya dianalisis kandungan C-org di laboratorium.

Analisis keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma dilakukan dengan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan teknik Rap-Insus palm oil (Rapid Appraisal-Index Sustainability of plam oil Management) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH. Skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi adalah sebagai berikut: 0-25


(6)

(buruk/tidak berkelanjutan), 25,01-50,00 (kurang/kurang berkelanjutan), 50,01-75,00 (cukup/cukup berkelanjutan), dan 75,01-100,00 (baik/sangat berkelanjutan).

Kinerja masyarakat (Yi) merupakan variabel yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor dinamis (Xij). Analisis data yang dapat digunakan dalam menduga pengaruh faktor-faktor alami dan manusia terhadap model pengeleloaan kebun kelapa sawit pola inti-plasma dengan pendekatan SEM (Structural Equation Model) yaitu LISREL (Linear Structural Relationship). Pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan ini menggunakan metode pendekatan sistem, baik pendekatan Hard System Methodology (HSM), maupun Soft Systems Methodology (SSM). HSM akan terdiri dari berbagai metode pengukuran, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang berkaitan dengan aspek geofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, serta simulasi sistem dinamik. Sementara SSM difokuskan pada legal review, serta analisis pendapat pakar (expert survey) dan stakeholders yang berkaitan dengan restriksi, peluang, serta strategi, dan pemilihan alternatif dalam pengelolaan kelapa sawit pola inti-plasma.

Hasil analisa degradasi lahan menunjukkan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit baik inti maupun plasma memiliki kandungan C-org yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah hutan terutama pada lapisan permukaan (0-20 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi lahan di lokasi penelitian yang disebabkan oleh erosi pada lapisan permukaan tanah. Pada tanah lapisan bawah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas. Hasil analisa keberlanjutan perkebunan kelapa sawit menunjukkan dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi yaitu 88,97, kemudian disusul sosial dengan nilai indeks 81,02, dimensi teknologi dengan nilai indeks 69,17, dimensi ekologi dengan nilai indeks 68,21, dan indeks yang paling rendah adalah kelembagaan sebesar 30,71. Ada sepuluh atribut utama atau faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma, yaitu: 1). pekerja, 2). pupuk rekomendasi, 3). waktu dan cara pemupukan, 4). produksi kelapa sawit, 5). aksesibilitas perbankan, 6). pengolahan tanah, 7). jarak tanam, 8). pemanfaatan skim pelayanan pembiayaan, 9). jumlah mata air, dan 10). kelompok tani. Indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma adalah 67,67 artinya status keberlanjutannya adalah cukup berlanjut. Hasil analisa penentu kinerja masyarakat menunjukkan bahwa motivasi karyawan sangat ditentukan oleh dukungan PT. Perkebunan Nusantara VII (koefisien 0,68 dengan t-hitung 14,48). PT.Perkebunan Nusantara VII juga sangat menentukan keberlanjutan (koefisien 0,08 dengan nilai t-hitung 3,42). Dari hasil pembangunan model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pola berkelanjutan ini menunjukkan bahwa dengan penerapan upaya konservasi menimbulkan konsekuensi biaya yang selalu meningkat setiap tahun. Pada tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp 1.801.271.159,73 dan terus meningkat menjadi Rp 4.384.575.338,50 pada tahun 2040. Jika petani plasma mengikuti pola pemupukan inti akan meningkatkan keuntungan hingga Rp 7.446.289,- setiap hektarnya.


(7)

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT

KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII,

Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

RUSLAN


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Sc Dr.H.Marzuki Alie, SE.MM


(11)

3

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan rahmat dan nikmatnya dalam penyelesaian disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan pola Inti-Plasma (Studi kasus di PT.Perkebunan Nusantara VII Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dengan bimbingan, peran serta dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai ketua komisi pembimbing, Bpk. Prof .Dr.Ir.Sumardjo, MS dan Bpk.Dr.Ir.Manuwoto,MS sebagai anggota komisi pembimbing. Dan juga diucapkan terimakasih kepada Bpk.Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS selaku ketua program studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dan Bpk.Dr.Ir.Widiatmaka, M.Sc selaku sekretaris program studi, serta diucapkan terimakasih juga disampaikan kepada Bpk/Ibu Dosen pengajar mata kuliah selama penulis mengikuti kuliah di PS PSL IPB dan Istri saya tercinta Dr.Ir.Reny Herawati, MP dan anak-anak Rully Restiana, SS, Reza Rustandi, Rifqi Padlurahman serta RiqqahSalsabila yang telah memberikan suport dan do’anya serta teman-teman angkatan 2009 yang telah membantu terselesaikannya disertasi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013 Ruslan


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu pada tanggal 12 November 1963, dan merupakan anak pertana dari empat bersaudara dari ayah Japri (Alm.) dan ibu Abaniah Suri. Penulis menikah dengan Reny Herawati pada tahun 1989 dan dikaruniai empat orang putra putri bernama Rully Restiana, Reza Rustandi, Rifqi Fadhlurahman, dan Riqqah Salsabila.

Penulis menyelesaikan SD pada tahun 1976, SMP pada tahun 1980, dan SMA pada tahun 1983 di Curup. Pada tahun 1988 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan S1 jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas terbuka pada tahun 1996. Tahun 2005 Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Administrasi Publik pada bidang ilmu Kebijakan Publik jurusan Pemerintah Daerah dan pada tahun yang sama Program Pascasarjana STIA LAN RI di Jakarta. Sejak tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor Program Studi PSL dan Sumber Daya Alam Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1989 hingga 2009 penulis pernah bekerja sebagai staf PT. Perkebunan Nusantara VII. Penulis juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) mewakili Sumatera Selatan dan Tenaga Ahli DPD-RI pada tahun 2010-2012. Hingga kini penulis aktif sebagai Dosen Universitas Dehasen Bengkulu dan STIE Rahmaniyah Sekayu Sumatera Selatan.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

I. PENDAHULUAN 1

1.1.LatarBelakang 1

1.2.Perumusan Masalah . 6

1.3.TujuanPenelitian 7

1.4.KerangkaPemikiran 8

1.5.ManfaatPenelitian 10

1.6.Kebaruan (Novelty) 12

II.TINJAUAN PUSTAKA 15

2.1.ModelPengelolaan Perkebunan Inti Rakyat 15

2.1.1. Model 15

2.1.2. System 15

2.1.3. Tahapan pendekatan system 17

2.1.4. Analisis Kebutuhan 18

2.1.5. Formulasi masalah 18

2.1.6. Identifikasi System 19

2.1.7. System Dinamik 20

2.1.8. Konsep system Dinamik 23

2.1.9. Pola-poladasar system dinamik 24

2.1.10.AnalisisKebijakan 24

2.2.Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat KelapaSawitBerkelanjutan.. 2.2.1. AspekEkonomi

2.2.2. AspekLingkunganHidup

24 27 28

2.3.Karakteristik Pola PIRBUN 31

2.4.PT.Perkebunan Nusantara VII 34

2.5.Kelembagaan Petani 39

2.6.DegradasiLahan 40

2.6,1,Degradasi Kimia 2.6.2.Degradasi Fisika

41 41

2.6.3.Faktor-faktor Penyebab Degradasi 42

2.7. Peranan C02 dalam bidang pertanian 43

III.METODE PENELITIAN 45

3.1.LokasidanPenelitian 3.2.RancanganPenelitian

3.2.1.Menganalisis Degradasi lahan 3.2.2.Menganalisis status keberlanjutan

3.2.3.Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat 3.2.4. Membangun Model pengelolaan perkebunan inti rakyat

45 45 47 49 54 54


(14)

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. KondisiGeografis

4.2. Iklim.

4.3. Kondisisosial, Ekonomi dan Budaya 4.3.1. Kependudukan

4.3.2. Jumlah angkatan kerja

4.3.3. Tingkat pendidikan penduduk 4.4. Kondisi Tanah dan topograpi

V.DEGRDASI LAHAN TERKAIT PENGELOLAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN

VI.EVALUASI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

6.1. Status keberlanjutandimensi Ekologi 6.2. Status keberlanjutandimensi Ekonomi 6.3. Status keberlanjutandimensi Sosial 6.4. Status keberlanjutandimensi teknologi 6.5. Status keberlanjutandimensi kelembagaan 6.6. Status keberlanjutan Multidimensi 6.7. Nilai Stress dan koefisien diterminasi 6.8. Pengaruh galat

6.9. Faktor-faktor penentu (fakto dominan) terhadap keberlanjutan Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

59 59 59 60 60 61 62 63 65 79 79 81 83 86 87 91 92 93 94

VII.ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU KINERJA

MASYARAKAT DAN INSTITUSI LOKAL DALAM MENDUKUNG PERKEBUNAN INTI RAKYAT

97

VIII.MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI RAKYAT KELAPA SAWIT

105 8.1. Model Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit 108

8.1.1. Sub model social kependudukan 108

8.1.2. Sub model ekonomi 8.1.3. Sub model lingkungan 8.1.4. Sub model kelembagaan 8.2. Analisis Produktifitas petani plasma

8.2.1. Hubungan pemupukan dengan produktifitas antara inti dan Plasma

8.2.2. Produktifitas kebun suli dan kebun suni plasma pada tahun Tanam 1987,1988dan 1989

8.2.3. Analisis dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Petani IX. PEMBAHASAN UMUM

9.1. Sistem Kelembagaan 9.2. Sistem Pengelolaan

110 111 114 117 117 118 119 121 123 125


(15)

X. PENUTUP 10.1. Kesimpulan 10.2. S a r a n DAFTAR PUSTAKA

131 131 132


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penelitian dan metode hasil penelitian terkait Novelty 12

2. Karakteristik pengelolaan perkebunan kelapa sawit sistim PIR 33

3. Unit-unit usaha yang ada di PT.Perkebunan Nusantara VII 34

4. Tahun Tanam, luas areal dan jumlah petani kebun unit Sungai Niru PT.Perkebunan Nusantara VII

36 5. TahunTanam, luas areal danjumlahpetanikebun unit Sungai

Lengi

Plasma PT.Perkebunan Nusantara VII

36

6. Jenisdan model analisis tanah di laboratorium dan metode penerapannya

48 7

8

Kategori status keberlanjutan pengelolaan perkebunan intirakyat kelapa sawit berkelanjutan

Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian

52 60

9 Jumlah penduduk per kecamatan di lokasipenelitian 61

10 Jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja selama 1 minggu di kabupaten Muara Enim tahun 2009

62 11 Kandungan C-Organik, N-Total, P dan K pada tahun tanam

1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengankedalaman 0-20 cm

66 12 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun

plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 0-20 cm

68

13 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 20-40 cm

70

14 Selisih Kandungan C-Organik antara kebun inti dan kebun plasma terhadap hutan pada tahun tanam 1987, 1988, 1989 pada bagian atas dengan kedalaman 40-60 cm

71 15 Perbandingan hasil analisa tanah pada kedalaman 40-60 Cm

pada bagian bawah, tengah dan atas Tahun tanam 1987

74 16 Atribut sensitive keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti

rakyat kelapa sawit berkelanjutan

89 17 Nilai stress dan koefisien diterminasi rap insus kelapa sawit

pengelolaan perkebunan inti rakyat 90

18 Hasil analisis monte carlo untuk nilai rap-insus kelapa sawit pada selang kepercayaan 95 %

91 19 Indeks kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 2010-2040 107 20 Hasil Simulasi perkembangan hasil penjualan, biaya

produksidan benefit 2010-2040

109 21 Simulasi biaya konservasi lahan kebun dan pemeliharaan

kebun 2010-2040

111 22 Simulasi perkembangan Kelompok tani dan Gapoktan

2010-2040

113 23 Simulasi indeks produktifitas Kelompok tani dan Gapoktan 114


(17)

2010-2040

24 Hasil analisis kebutuhan actor/stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian 11

2. Pendekatan Sistem 18

3. Diagram input-output Model pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

20

4. Garis-besar pengembangan model dinamis 22

5. Diagram input-output system 22

6. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim

24 7 Lokasi penelitian kebun sungai Lengi plasma dan kebun sungai

Niru Kabupaten MuaraEnim Propinsi Sumatera Selatan

46

8 . Ilustasi indeks keberlanjutan setiap dimensi 52

9 Eleman Proses Aplikasi Rapfish 53

10 Tahapan Analisis penelitian dengan pendekatan system 58

11 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit dimensi ekologi

79 12 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam

perubahan Root Mean Square (RMS) skalaberkelanjutan 0-100

80 13 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit

dimensi ekonomi

81 14 Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam

perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

82 15 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit

dimensi sosial

83 16 Nilai sensitivitas atribut dimensi social yang dinyatakan dalam

perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

84 17 Nilai indekdan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pola

inti-plasma dimensi teknologi

86 18 Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam

perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-100

87 19 Nilai indek dan status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit

pola inti-plasma dimensi kelembagaan

88 20 Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan

dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala berkelanjutan 0-10

90

21 22

Diagram layang-layang indeks dan status kerberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan Koefisien pengaruh petani terhadap kinerja perkebunan inti rakyat kelapa sawit

94 99 23 T-Hitung pengaruh Pendukung keberhasilan Petani terhadap

Kinerja

102 24 Causa loopmodel pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa

Sawit

106 25 Stock flow diagram model pengelolaan perkebunan inti rakyat 107


(19)

kelapa sawit

26 Skenario perkembangan penduduk dan tenaga kerja 108

27 Hasil simulasi kesejahteraan dan kesempatan tenaga kerja 109 28 Hasil simulasi perkembangan kelompok tani dan Gapoktan tahun

2010-2040

110 29 Hasil simulasi hasil penjualan TBS, Biaya produksi dan benefit 111

30 Hasil simulasi biaya konservasi 112

31 Indeks pemeliharaankebun 2010-2040 113

32 Perkembangan lahan kebun 2010-2040 113

33 Perkembangan Kelompok Tani dan Gapoktan 2010-2040 115

34 Indeks Produktifitas Kelompok Tani dan gapoktan dari kebun plasma

116 35 Pemupukan antara kebun inti dan kebun plasma tahun tanam

1987,1988dan 1989 117

36 Produktifitas kebun suli inti dan kebun suni plasma 118

37 Keuntungan petani plasma menggunakan pupuk sama dengan inti 120 38 Model Konseptual pengelolaan perkebunan inti rakyat Kelapa

sawit


(20)

Pengembangan perkebunan besar dikembangkan dalam bentuk pola ke-mitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero) dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan). Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang menganggap bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Alih guna lahan (land

convention) dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit banyak dilaporkan telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada jenis penggunaan lahan berupa lahan Di Indonesia terdapat tiga pilar perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan rakyat, perkebunan milik negara dan perkebunan milik swasta. Seluruh perkebunan sawit di Indonesia tersebut memiliki luas 7,32 juta hektar dengan komposisi 43,8% merupakan areal perkebunan rakyat, 8,4%, perkebunan milik negara, dan 47,9% perkebunan milik swasta (Dirjenbun 2010). Sebesar 44,5% dari seluruh produksi CPO dunia berasal dari Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, disusul Malaysia 41,3%, Nigeria 3,0%, Thailand 2,7%, Columbia 1,9% dan selebihnya 7.4% diproduksi oleh negara Pantai Gading, Ekuador, dan Papua Nugini (Dirjenbun 2010). Devisa yang dihasilkan dari CPO sebesar USD 12,3 milyar yang sangat signifikan untuk mendongkrak perekonomian nasional (Gapki 2010). Pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat pada akhir 1970an yang mendorong pembukaan areal perkebunan di luar Pulau Jawa. Pembangunan industri kelapa sawit semakin berkembang dengan diterapkannya pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sebagai sarana untuk menggerakan keikutsertaan rakyat.


(21)

kritis dan semak belukar yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit justru akan meningkatkan kualitas lingkungan terutama dari serapan karbon.

Secara umum, fenomena perubahan iklim ini dipicu oleh peristiwa pemanasan global yang ditandai dengan kenaikan suhu baik di daratan, lautan, dan di atmosfer. Studi mengenai perubahan suhu ini dilaksanakan dengan membandingkan rata-rata suhu saat ini dengan suhu pada zaman dulu. Hasil studi ini melaporkan bahwa telah terjadi kenaikan suhu rata-rata (udara di daratan dan permukaan laut) sejak tahun 1861 hingga sekarang sebesar 0,6 ± 0,2 oC (IPCC, 2001). Pada kondisi normal, energi radiasi matahari yang diterima ke bumi melalui atmosfer adalah seimbang dengan energi yang dipancarkan kembali ke atmosfer. Energi radiasi ini sangat dibutuhkan oleh bumi untuk melangsungkan siklus hidrologi, menghangatkan tanah dan udara. Energi radiasi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya untuk melangsungkan proses metabolisme seperti proses fotosintesis tumbuhan berklorofil, proses enzymatic dan beberapa proses metabolisme lain secara tidak langsung. Bagian atmosfer yang memegang peranan sangat penting adalah keberadaan gas-gas seperti gas karbon dioksida (CO2),

metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC-23),

klorofluorokarbon (CFC-11), dan perfluorokarbon (CF4). Gas-gas ini mampu menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari dan meneruskannya sebagai gelombang pendek yang sangat dibutuhkan oleh bumi. Proses ini mirip dengan proses hangatnya suhu di dalam rumah kaca sehingga disebut sebagai efek rumah kaca (green house effect), sedangkan gas-gas tersebut disebut sebagai gas rumah kaca (GRK/green house gases). Apabila di atmosfer tidak terdapat GRK yang memiliki waktu eksis (life time) yang panjang tersebut, maka suhu bumi diperkirakan lebih dingin 34o

Perusakan dan penebangan hutan akan berpengaruh negatif terhadap siklus hidrologi wilayah. Dengan hilangnya tutupan lahan hutan menyebabkan tanah dengan mudah tererosi sehingga kualitas tanah menurun yang ditandai dengan peningkatan laju dekomposisi, hilangnya humus tanah, berkurangnya kandungan

C dari suhu yang sekarang kita rasakan (Hairiah dan Murdiyarso, 2007). Keadaan ini mulai berubah ketika konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sehingga akumulasi radiasi gelombang pendek juga meningkat, diikuti dengan kenaikan suhu di atas ambang batas sehingga menimbulkan peristiwa pemanasan global (global warming).


(22)

bahan organik tanah, menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi tanah, dan menurunnya kapasitas tanah memegang air (water holding capacity). Peningkatan sedimen dan aliran permukaan (run off) akan menyebabkan penurunan kualitas air permukaan lainnya seperti danau dan sungai. Lahan pada saat dan setelah konversi hutan akan meningkat sensitifitasnya sehingga setiap aktivitas yang dilakukan di atasnya akan berpengaruh terhadap lingkungan dan aliran sungai (Connoly dan Pearson 2005).

Menurut Elias (1998), alih guna lahan hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm yang terus berlangsung hingga tanaman tersebut dewasa dan berkembang kanopinya. Dalam kaitannya dengan siklus karbon, perkebunan kelapa sawit di daerah tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon melebihi hutan. Dilaporkan Lamade dan Setyo (2002), bahwa perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa (kisaran umur 8-18 tahun) mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara 1198-2014 C/m2/th, lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di kepulauan hawai sebesar 519 C/m2/th atau hutan pegunungan merapi di Indonesia sebesar 844 C/m2

1. Tanah yang tererosi memiliki NPP (Net Primary Productivity) yang rendah dibandingkan tanah yang tidak tererosi karena penggunaan input pupuk dan irigasi yang lebih tinggi (Dick and Gregorich, 2003). Kualitas tanah yang menurun disebabkan oleh penurunan efektifitas perakaran,

/th. Perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Untuk menjamin tingkat produktivitas lahan, kelestarian lingkungan, dan tanggung jawab sosial masyarakat, maka pembangunan industri kelapa sawit harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.

Degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan kualitas tanah selanjutnya akan menurunkan tingkat keberlanjutan pertanian. Degradasi lahan terutama di Indonesia secara teknis lebih disebabkan oleh erosi tanah (Subagyono

et al. 2003; Firman 2003). Hipotesis bahwa kehilangan C yang dominan bersumber dari C-org tanah dapat menyebabkan degradasi lahan adalah sebagai berikut (Editorial 2005):


(23)

penurunan ketersediaan air dan kapasitas retensi hara, ketidakseimbangan air dan hara, dan kerusakan siklus hidrologi.

2. Erosi menyebabkan hancurnya agregat tanah dan dispersi tanah, dan menyingkap bahan organik terhadap akses mineralisasi akibat proses yang melibatkan mikrob dan enzim. Bahan organik pada sedimen hasil erosi mudah temineralisasi dan sekitar 20-30% teremisi ke atmosfer (Jacinthe and Lal, 2001).

Pembalikan tanah akibat pengaruh iklim dan pengelolaan tanah pada lapis olah (climatic perturbation) akan menyingkap bahan organik pada kedalaman 20 cm sehingga mudah termineralisasi. Degradasi tanah adalah suatu proses yang menurunkan kemampuan aktual dan atau potensial tanah memproduksi benda atau jasa (kuantitatif dan atau kualitatif). Degradasi tanah tidak terjadi terus menerus, proses tersebut dapat terjadi dalam jangka waktu relatif singkat antara dua keadaan keseimbangan ekologi (Riquier 1977).

Penerapan konservasi tanah dan air yang baik dapat memperkecil kehilangan tanah akibat erosi, pengendalian secara vegetatif dan sipil teknis seperti waterways, strip penyangga, strip cropping dan pembangunan dam dapat dilakukan untuk mengurangi erosi tanah dan laju aliran permukaan (United State Society of Agronomy 2005).

Pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani/rakyat dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: petani plasma dan petani mandiri. Petani plasma bergabung dalam sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan perusahaan inti sehingga lebih terorganisir; sedangkan petani mandiri mengelola lahan dan memasarkan hasil panen secara mandiri sesuai dengan kemampuannya. Secara umum, pengelolaan kebun kelapa sawit milik petani plasma akan lebih baik dibandingkan petani mandiri karena adanya kerjasama dengan perusahaan inti. Dalam sistim PIR perusahaan perkebunan besar sebagai inti memiliki tugas untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Petani plasma harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui perusahaan inti. Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pada pasal 11 menyebutkan bahwa setiap perusahaan perkebunan yang memiliki IUP (Izin Usaha Perkebunan) wajib membangun kebun untuk masyarakat paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun


(24)

yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun untuk masyarakat dapat dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil dan pelaksanan pembangunannya dilakukan secara bersamaan dengan lahan milik perusahaan. Menurut Ahmad (1998), latar belakang dan motivasi berkembangnya proyek PIR di Indonesia, karena beberapa faktor, antara lain: (1).Kondisi petani pada perkebunan rakyat yang miskin. (2). Adanya “ Enclave” pada perkebunan besar milik negara dan (3). Pertimbangan untuk kepentingan makro.

PIR-Trans merupakan pengembangan dari pola PIR sebelumnya. Program ini dibuat untuk menyelaraskan antara program pengembangan perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Skema PIR merupakan bagian penting dari program transmigrasi untuk memukimkan kembali rakyat miskin dan tanpa lahan dari Jawa, Bali dan Sumatera ke pulau-pulau yang kurang padat penduduknya, khususnya Kalimantan. Berdasarkan skema ini, maka sebuah perusahaan terkait bekerjasama dengan pemerintah mengembangkan plasma di atas lahan seluas 2 hektar bagi masing-masing pemukim di sekitar perkebunan inti rakyat (Vermeulen dan Goad 2006).

Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkan pendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami berbagai penyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin 2005). Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem adalah dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh. Pemecahan masalah malalui pendekatan sistem dilakukan antara lain melalui tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.model tersebut dapat diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis, perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time constant). Sebaliknya model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et al. 2001).


(25)

1.2. Perumusan Masalah

Pada umumnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha budidaya tanaman dapat berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama penyakit dan gulma serta perubahan kesuburan tanah akibat berkurangnya bahan organik tanah dan penggunaan pestisida. Rona lingkungan yang turut terpengaruh dapat berupa perubahan kondisi ekosistem, hidrologi, bentang alam, dan karakter penduduk yang tinggal diwilayah perkebunan.

Hasil Evaluasi dan penelitian Balitbang Pertanian (2010), pada pola PIR kerjasama antara inti dengan plasma tidak berjalan dengan baik. Hubungan kerja perusahaan inti dan koperasi bukan merupakan kesepakatan bersama atas pondasi kebersamaan ekonomi. Produktivitas kebun plasma jauh dibawah kebun inti, waktu konversi yang selalu ditunda, dan penetapan harga dan pembayaran hasil TBS (Tandan Buah Segar) tidak transparan. Pekebun umumnya dalam posisi tawar yang lemah, sehingga harga, rendemen dan mutu TBS ditentukan oleh perusahaan inti.

Kendala yang ditimbulkan dari perkembangan pola PIR ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, baik menyangkut masalah sosial ekonomi, teknis, kelembagaan, dan aspek lingkungan (Hasibuan 2005). Adapun beberapa isu pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah:

1. Degradasi lahan yang terjadi akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang belum tepat.

2. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi menjadi rendah.

3. Posisi tawar-menawar (bargaining position) petani dalam penentuan harga TBS masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani masih dibawah tingkat harga wajar.

4. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) non inti yang memicu ketidakharmonisan mekanisme kinerja dan hubungan petani plasma dengan perusahaan inti.

5. Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD, dan petani plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga pemeliharaan kebun petani plasma dibawah standar.


(26)

6. Lemahnya kerjasama antar institusi yang terkait baik pada tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

Berdasarkan pertimbangan permasalahan di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan (studi kasus di PT. Perkebunan Nusantara VII, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan).

Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah:

1. Sejauh mana pembangunan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berpotensi menyebabkan terjadinya degradasi lahan?

2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit?

3. Faktor-faktor apa saja penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit?

4. Bagaimana model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merancang model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, dan sosial.

Sedangkan tujuan spesifik adalah :

1. Menganalisis degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit.

2. Mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit.

3. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit.

4. Membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit ber-kelanjutan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Menurut Wigena (2009), bahwa model pengelolaan kebun kelapa sawit berkelanjutan yang diterapkan pada interval waktu tahun 2010-2035 mampu


(27)

memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial dengan indikator produksi TBS rata-rata 25,83 ton/ha/th, diiringi dengan rendahnya degradasi lahan dan rendahnya penurunan daya dukung lingkungan, masing-masing sebesar 0,03-0,08% dan 0,02-0,01%. Pendapatan petani rata-rata sebesar Rp 22.859.950,- /ha/th dan pendapatan masyarakat sekitar kebun rata-rata sebesar Rp 16.845,025,-/ha/th yang melebihi tingkat upah minimum regional provinsi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia tercermin dari tingkat pendidikan yang disetarakan dengan pendapatan yang diperoleh sebagai tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit mencapai Rp 55.000.000,-/th.

Menurut Iswati (2004), pola PIR-Trans kelapa sawit merupakan pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menjadi tanggung jawab petani. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut diperlukan upaya untuk merubah perilaku dan memotivasi petani melalui suatu organisasi petani yaitu kelompok tani dan KUD. Tetapi kemampuan kelompok tani masih relatif rendah dan peranan KUD belum efektif, sehingga menyebabkan petani plasma tidak mampu mengelola kebunnya secara berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan produksi rendah, tanah mengalami degradasi sifat kimia, fisika, biologi tanah, dan pada akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan petani. Oleh sebab itu pengelolaan kebun yang kurang memperhatikan masalah lingkungan terutama sumber daya tanah dan air berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan.

Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal ini antara lain dapat ditelusuri dari beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola perusahaan inti rakyat (PIR), seperti: PIR-perkebunan, PIR-perunggasan, tambak inti rakyat, tebu inti rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan untuk dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian ditindaklanjuti melalui SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang


(28)

Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala usaha, serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Dalam sistem agribisnis di Indonesia, terdapat enam bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar (Sumardjo et al. 2004) yaitu: (1) Pola Kemitraan Inti Plasma, (2) Pola Kemitraan Subkontrak, (3) Pola Kemitraan Dagang Umum, (4) Pola Kemitraan Keagenan, (5) Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis, dan (6) Pola Kemitraan Usaha Pertanian.

Wigena (2009), interaksi yang sinergis dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial mampu menciptakan kondisi pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan yang ciri-cirinya dapat dilihat dari tiga aspek.yaitu: (1) ekologis berupa terpeliharanya kualitas lingkungan atau terkendalinya tingkat pencemaran lingkungan sehingga kualitas hidup petani semakin membaik, (2) ekonomi berupa meningkatnya pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup petani yang mengarah pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, (3) sosial yang meliputi (a) manusiawi dimana gejolak sosial seperti tingkat kriminalitas dan konflik menurun, kinerja lembaga sosial desa membaik, produktivitas tenaga kerja meningkat dan lain-lain, (b) berkeadilan dimana semua stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan merasakan manfaat dari keberadaan kebun sawit tersebut, dan (c) bersifat fleksibel atau kondisi luwes yang menggambarkan bahwa apa yang sudah dicapai tersebut tidak mudah goyah melainkan punya toleransi tinggi dan mampu bertahan terhadap perubahan kondisi, baik kondisi eksternal maupun internal yang dinamis. Penerapan pendekatan sistem dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit pada hakekatnya untuk harmonisasi dari tiga aspek, yakni aspek ekonomi, aspek biofisik ekologi dan aspek sosial budaya, sehingga indikator pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dilihat dari kelayakan ekonomi dan tidak merusak lingkungan, tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat sekitar (economically feasible, ecologically sustainable dan sosiologically acceptable). Hal ini sejalan dengan konsep triple bottom line yakni pembangunan tidak hanya dilihat dari nilai tambah ekonomi saja tetapi harus memperhatikan nilai tambah sosial dan


(29)

lingkungan agar pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit menjadi berkelanjutan.

Kerangka pemikiran penelitian disajikan dalam ilustrasi pada Gambar 1.

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain, sebagai berikut:

1. Masyarakat memahami degradasi lahan terkait pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit dan berupaya memperbaikinya.

2. Memberikan keuntungan bagi bagi masyarakat karena status pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit akan berlanjut.

3. Memberikan kemudahan bagi PT.Perkebunan Nusantara VII karena faktor-faktor penentu kinerja masyarakat lokal dalam mendukung program perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat di ketahui.

4. Memberikan dukungan bagi stakeholders dalam membangun model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan.


(30)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Pola pembukaan areal kebun

Pemeliharaan tanaman belum

menghasilkan

Pemeliharaan tanaman menghasilkan

Lembaga Petani pengelolaan Petani Plasma

Kebun Inti

Degradasi Lahan

Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

Manfaat: -Ekonomi -Ekologi

-Sosial/Kelembagaan -Tehnologi

Strategi Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit

Rusaknya Fungsi Ekologis Lemahnya Regulasi Lemahnya Sumber Daya Manusia

Pendekatan Sistem:

Integrasi kondisi ekologi, ekonomi, sosial

Sub Sistem Ekologi: -Tehnik pengolahan lahan -Konservasi

-Kualitas Produksi

Sub Sistem Ekonomi:

-Kelembagaan ekonomi Petani -Peningkatan Produksi TBS -Daya saing terhadap TBS

Sub sistem sosial: -Peraturan

-Institusi/kelembagaan -Kearifan lokal

Kelembagaan yang tangguh Pendapatan meningkat Kebijakan yang berkeadilan

Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan


(31)

1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penelitian dan Metode serta Hasil Penelitian Terkait Novelty

No. Peneliti Metode Hasil Penelitian

1. Erningpraja dan

Poelongan (2000)

Melakukan kajian tentang pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan fisik yakni pemupukan 2. Hasibuan

(2003)

Pengembangan PIR Kelapa Sawit dan Peranan Koperasi dalam Ekonomi Kerakyatan Di Masa Mendatang

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berbasis dinamika ekonomi kerakyatan yakni koperasi

3. Hasbi (2001) dan Wahyono (2003)

Melakukan kajian tentang pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berfokus pada kelembagaan dan pengelolaan konflik

4. Iswati (2004) Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem.

Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan merupakan fungsi dari jenis tanah (T), kemiringan lereng (L), kemampuan petani (M), pendapatan petani (E) dan budaya (B).

Fungsi tersebut dirumuskan sebagai Pl = f (T,L,M,E,B)

5. Dja'far, N.

Ratnawati

dan M. Aklmal.

(2005)

Pedoman Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Tentang Prinsip dan Kriteria Sustainable Palm Oil pada Industri Kelapa Sawit.

Untuk membangun perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang memenuhi aspek fisik, sosial dan ekonomi, diperlukan model perkebunan berkelanjutan dengan konsep dan kriteria sesuai dengan isu-isu yang berkembang saat ini yang tertuang dalam The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

6. Ardiansyah (2006)

Realising Sustainable Palm Oil Development

in Indonesia -

Challenges and Opportunities.

Untuk masa mendatang, konsep dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu

pada RSPO karena sudah

mengakumulasikan aspek fisik, sosial dan ekonomi secara holistik.

7. Wigena (2009)

Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem

Model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma yang dibangun menunjukkan bahwa faktor penduduk, lahan dan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit merupakan faktor utama yang menjadi kunci untuk mencapai kebun sawit plasma berkelanjutan.


(32)

Pengelolaan lingkungan perkebunan inti rakyat kelapa sawit sebagai suatu sumberdaya lahan untuk kepentingan produksi hasil perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan holistik semakin penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: (1) pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan, sangat perlu untuk dilanjutkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat; (2) pengelolaan lingkungan perkebunan kelapa sawit akan melibatkan banyak pemangku kepentingan; dan (3) setiap wilayah mempunyai karakteristik berbeda-beda yang memerlukan pendekatan holistik dan terpadu sesuai dengan kondisi sumberdaya pada setiap daerah (Mitchell et al. 2003).

Adapun kebaruan dari penelitian saya yang berjudul “Model Pengelolaan

Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan”, adalah adanya analisis degradasi lahan dengan menggunakan sampel berdasarkan tahun tanam pada berbagai topografi dan berbagai kedalaman serta menganalisis kelembagaan petani menjadi faktor penting untuk keberlanjutan program Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Model Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat.

2.1.1. Model

Definisi model adalah sebuahrepresentasidarisebuahsistem yang me-mungkinkanuntukinvestigasisifatdarisistemdan, dalambeberapakasus, predik-sihasil di masadepan. SelanjutnyaDe Wit (1982) mendefinisikan model simulasi sebagai seni dalam membangun model matematik untuk mengkaji sifat-sifat di dalam sistem. Pada dasarnya tujuan utama penyusunan atau pembuatan model yang bersifat mekanistik bukan pada ketepatan model, melainkan bagaimana model tersebut dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem yang dimodelkan.

Pemecahan masalah yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan carasederhana dengan menggunakan penyebab tunggal, tetapi dengan menerapkanpendekatan sistem yang dapat memberikan dasar untuk memahami berbagaipenyebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin 2005).SelanjutnyaEriyatno (1999) menyatakan bahwa keunggulan pendekatan sistem adalah dapatmengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dandapat mengarahkan pemecahannya secara menyeluruh.Pemecahan masalah melalui pendekatan sistem dilakukan antara lainmelalui tahap pembuatan model (pemodelan) dan simulasi.Model tersebut dapat

2.1.2. Sistem

diklasifikasikan sebagai model statik dan model dinamik. Dalam model statis,perubahan input memiliki pengaruh langsung terhadap output, karena tidak melibatkan waktu tunda (delays) atau konstanta waktu (time constant ).Model dinamis melibatkan umpan balik dan waktu tunda informasi untuk memahami perilaku dinamis suatu sistem yang kompleks (Laurikkala et al.2001).

Marimin (2005) menyatakan bahwa sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Ditinjau dari komponen


(34)

input, proses, output suatu sistem dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sistem analisis, sistem desain, dan sistem kontrol. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu,setiap pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Metodologi sistem pada dasarnya melalui enam tahap analisis sebelum sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasimasalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik,sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial).

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 1999). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono 1983). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih ditekankan pada ” apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas

maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat Sistem dinamis adalah suatu metode analisis masalah yang melibatkanaspek waktu sebagai faktor penting.


(35)

dioperasikan.Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.

2.1.3. Tahapan Pendekatan Sistem

Masalah pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus melibatkan banyak pihak yaitu masyarakat, petani plasma, PT.Perkebunan Nusantara VII, pemerintah, dinas perkebunan, badan pertanahan, dinas koperasi, dinas pekerjaan umum, dan LSM. Karena perkebunan kelapa sawit merupakan suatu sistem yang terdiri dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan dan keberlanjutan.

Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi. Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno 1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu pendekatan sistem yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : (1) dapat menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan (2) adanya umpan balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2001 dan Kholil 2005). Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft ware tool)komputer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak Powersim dapat dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat tren (pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : (a) perbaikan struktural, yakni dengan melakukan penyempurnaan model (menambah/mengurangi), dan (b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan penyempurnaan unsur – unsur sistem. Ada dua pertimbangan dasar yang harus dipikirkan dalam melakukan perbaikan (baik perbaikan struktural maupun


(36)

fungsional), yaitu: (a) feasibility dan (b) desirability. Feasibility menekankan bahwa perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata

(real world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar dapat didukung oleh semua unsur dan sumber daya.

2.1.4. Analisis Kebutuhan

Analiss kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses pengembangan sistem model. Analisis kebutuhan masuk dalam rangkaian pendekatan sistem disajikan pada Gambar 2.

Gambar2. Pendekatan Sistem (Hartisari 2007)

Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (aktor) yang terlibat dalam perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat.. Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan yang terkait dengan pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit : (a) kebutuhan masing – masing individu (individual needs) yang dapat mengarah pada conflict of interest, dan (b) kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common problem)

Pemodelan Sistem Analisis Kebutuhan

Mulai

Formulasi Masalah

Identifikasi Sistem

A Selesai

Verifikasi dan Validasi

Implementasi A


(37)

2.1.5. Formulasi Masalah

Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan system (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut, maka dalam upaya pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, ada permasalahan yang mengancam kelangsungan perkebunan kelapa sawit pola inti-plasma adalah:

1. Rusaknya fungsi ekologis:

Rusaknya fungsi ekologis perkebunan inti rakyat kelapa sawit dapat disebabkan oleh meningkatnya pengelolaan kesuburan tanah, kesesuaian lahan, pembakaran sisa tanaman, pengendalian hama penyakit menggunakan racun, belum adanya daur ulang bahan organik, pola tanam monocropping. Hal ini menyebabkan rusaknya fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit sebagai: (a) Sumber plasma nuftah; (b) Tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna; (c)Tempat hidup biota air dan darat; (d) Pengendali banjir; (e) Rekreasi/wisata; (f) Tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; (g)memelihara iklim mikro, dimana keberadaan ekosistem kelapa sawit dapat mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; (h) sarana tranportasi

2. Lemahnya regulasi:

Lemahnya regulasi dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit disebabkan oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas kerusakan lingkungan dan perambahan hutan di sekitar perkebunan terus berlangsung.

3. Lemahnya sumberdaya manusia

Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap pengrusakan hutan dan pencemaran di sekitar perkebunan kelapa sawit disebabkan oleh: sumber daya manusia yang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya pelestarian lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial (kesadaran masyarakat).


(38)

2.1.6. Identifikasi sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Menurut Marimin (2004), identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input output (black box), seperti terlihat pada gambar 3. Diagram sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting yang diturunkan dari identifikasi kebutuhan dan masalah yang telah diformulasikan pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat interaksi antar komponen sistem terkait.

Gambar 3. Diagram input output model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan

INPUT LINGKUNGAN UU No.32 Tahun 2009 UU No.18 Tahun 2004 PP No. 40 Tahun 1989

INPUT TAK TERKENDALI Degradasi lahan

Penggunaan pupuk kimia Penanggulang

hama/penyakit

i i i k

OUTPUT YG DIKEHENDAKI Perkebunan inti rakyat kelapa

sawit berkelanjutan

Pembukaan areal memenuhi standar

b

INPUT TERKENDALI

Potensi SDM (Petani,Tenaga kerja)

Pengelolaan penanaman kelapa sawit

Sistem dan kapasitas kelembagaan

Jumlah Kelompok tani

Komitmen dukungan PEMDA

OUTPUT YG TAK DIKEHENDAKI Terjadinya degradasi lahan Penanaman replanting terhambat Penggunaan bahan kimia

meningkat

Penurunan hasil kelapa sawit

MANAJEMEN PENGELOLAAN MODEL PENGELOLAAN PERKEBUNAN INTI


(39)

2.1.7.Sistem Dinamik

Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat merepresentasikan suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai berikut:

(1) Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. (2) Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model

dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model; (3) Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model

terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.

Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu :

1. Tahap seleksi konsep dan variabel

Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.

2. Konstruksi model (tahap pengembangan model)

Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi


(40)

Konsep sistem Permasalahan

Diagram sebab akibat

Konstruksi model

Validasi

Simulasi Analisis kebijakan

OK ?

Tidak

Selesai

windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi.

a. Tahap analisis sensivitas

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci.

b. Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Dari tahapan pengembangan model dinamik, dapat digambarkan garis besarnya seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Garis besar pengembangan model dinamik

Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan


(41)

terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain sistem pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan (Gambar 5).

Gambar 5. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007) 2.1.8. Konsep Sistem Dinamik

Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengilustrasikan sistim dinamika yang kompleks serta menganalisis implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Model sistem dinamik dapat memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem dinamik dikenal variabel level, variabel rate, dan variabel auxiliary.

Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level

adalah:

Init LEV = kondisi awal; flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM) dengan: LEV = level (unit); RM = rate (laju) masukan;

RK = rate (laju) keluaran; dt = interval waktu simulasi (satuan waktu) Init = initial, nilai awal; flow = aliran untuk variabel level.

Proses

UMPAN BALIK Input Lingkungan Input Tak Terkontrol

Input Terkontrol

Output Yang Diinginkan

Output Yang Tak Diinginkan


(42)

Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level.Rate terdiri dari dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar.Rate

masuk akan menambah akumulasi di dalam suatulevel dan dilambangkan dengan katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katub yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbul awan menunjukkan

sourcedan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level. Aliran dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas.Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem.Jika aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level.

Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh. Simbul belah ketupat dalam powersim

menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi (Gambar 6).

Gambar 6. Diagram alir model sistem dinamikmenggunakan program powersim

2.1.9. Pola – Pola Dasar Sistem Dinamik

Kim dan Anderson (1998), mengemukakan bahwa secara empiris ada 8 pola dasar sistem dinamis : (1) Perbaikan yang gagal (Fixes that Fail), (2)Pemindahan Beban (Shifting the Burden),(3) Batas Keberhasilan (Limit to Succes), (4) Sasaran


(43)

yang berubah (Drifting Goals),(5) Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and underinvestment),(6) Sukses Bagi yang berhasil (Sucess to the Succesful),(7)Eskalasi (Escalation), dan (8)Kesulitan Bersama (Tragedy of the Commons). Pola – pola dasar sistem dinamik atau pola lingkaran dinamika sistem adalah terdiri atas lingkaran umpan balik. Selanjutnya, gabungan lingkaran umpan balik membuat kerumitan yang tidak dapat dimengerti, penyederhanaan terhadap kerumitan tersebut dapat dikenali melalui pola lingkaran umpan balik. Sejauh ini telah dapat dikenali tiga kelompok pola, yaitu pengelolaan sistem, pemecahan masalah, dan kecenderungan pelaku.

Kelompok pertama adalah pola – pola pengelolaan sistem terdiri dari : 1. Tindakan perbaikan yang tertunda,

2. Penyesuaian tujuan, 3. Batas pertumbuhan,

4. Pertumbuan dan kekurangan modal.

Kelompok pola kedua adalah pola – pola pemecahan masalah yang terdiri dari: 1. Perbaikan yang gagal

2. Pergeseran beban.

Kelompok pola ketiga adalah pola – pola kecenderungan pelaku terdiri dari : 1. Sukses bagi yang berhasil,

2. Percepatan, dan 3. Kesulitan bersama. 2.1.10. Analisis Kebijakan

Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi model (Muhamadi 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru, serta perubahan lingkungan ke depan.


(44)

Kebijakan yang dilakukan PT.Perkebunan Nusantara VII dalam pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit masih bersifat parsial berdasarkan kondisi kebun setempat, sehingga menyebabkan managemen kebun tidak berani melakukan terobosan, karena takut disalahkan suatu saat kelak. Sebaiknya ditetapkan kebijakan di tingkat Direksi terhadap model pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit terhadap suatu kebun berdasarkan kondisi dimana kebun tersebut berada.

2.2.Pengelolaan Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pengelolaan perkebunan inti rakyat kelapa sawit berkelanjutan adalah suatu pendekatan pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan. Keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration), dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit

hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan antar disiplin ilmu

(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan ilmu lainnya yang relevan. Hal ini diperlukan karena pembangunan kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis serta pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (hutan, kelapa sawit, tanah dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri.

Menurut Manuwoto (2007), kebijakan yang terkait pembangunan berkelanjutan harus memenuhi kriteria dan pokok-pokok pembangunan berkelanjutan. Kriteria pembangunan berkelanjutan tersebut adalah kesetaraan (equity),masa mendatang (futurity),dan valuasi lingkungan (environmental


(45)

valuation) (Comhar 2007).Sementara pokok-pokok pembangunan berkelanjutan terdiri dari tujuh pokok yang dijabarkan ke dalam 12 prinsip, yaitu :

1. Pemenuhan kebutuhan manusia melalui penggunaan sumber daya yang efisien; a. Minimalisasi penggunaan sumber daya tak terbarukan;

b. Minimalisasi penggunaan bahan pencemar/berbahaya dan minimalisasi limbah, serta penanganannya secara ramah lingkungan;

2. Kesetaraan antar generasi;

a. Penggunaan sumber daya yang sesuai dengan kapasitas untuk regenerasi; b. Perbaikan dan perawatan kualitas sumber daya tanah dan air;

3. Penghormatan terhadap integritas lingkungan dan keanekaragaman hayati; a. Perbaikan dan perawatan kehidupan liar, habitat, dan spesies;

4. Kesetaraan antar negara dan wilayah;

a. Perlindungan terhadap udara dan atmosfir, serta minimalisasi dampak aktifitas manusia terhadap iklim;

b. Pembangunan potensi sumber daya di satu wilayah tidak mengganggu kemampuan potensi sumber daya wilayah lain;

5. Kesetaraan sosial;

a.Upaya memajukan kekhasan sosial guna meningkatkan kualitas kehidupan secara keseluruhan;

b.Pembangunan berkelanjutan yang bergantung pada kerjasama dan persetujuan antar daerah;

6. Penghormatan terhadap keragaman/warisan budaya;

a.Perbaikan dan perawatan kualitas lanskap, warisan lingkungan buatan manusiayangbersejarah, serta budaya;

7. Pengambilan keputusan yang baik;

a.Penyampaian pengambilan keputusan hingga ke tingkat yang tepat; b.Peran serta semua pihak pada semua tingkat pengambilan keputusan.

Syarat untuk dapat tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya fisik dan pengendalian kerusakan ekosistem saja, melainkan juga dengan adanya pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar-negara dan antara kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kesepakatan negara-negara di dunia untuk


(1)

d. Keput usan Gubernur Kalim ant an Tengah N0. 77 Tahun 2005 t ent ang Pet unj uk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hut an dan/ at au Lahan Provinsi Kalim ant an Tengah;

e. Keput usan Gubernur Kalim ant an Tengah No. 78 Tahun 2005 t ent ang Pet unj uk Tek nis Pengendalian Kebakaran Hut an dan Lahan Provinsi Kalim ant an Tengah.

At uran lainnya : 1. Prinsip & Krit eria RSPO ( Roundt able on Sust ainable Palm Oil) Nat ional I nt erpret at ion, Republik I ndonesia; 2. HCVF Toolkit Versi 2 Tahun 2008; 3. Pet unj uk Teknis Prakt ek Pengelolaan Terbaik/ Bet t er Managem ent Pract ices ( BMP) Mit igasi Konflik Manusia – Orangut an di Dalam dan Sekit ar Perkebunan Kelapa Sawit ;

4. Pust aka lain yang t erkait .

Perat uran perundang- undangan di at as, m engat ur hal- hal sebagai berikut : 1. Undang- Undang Dasar 1945 Undang- Undang Dasar 1945 ( hasil am andem en) , pengakuan dan penghorm at an t erhadap m asyarakat adat , t erm akt ub dalam pasal 18B ayat ( 2) , yait u; “ Negara m engakui dan m enghorm at i kest uan- k esat uan m asyarakat hukum adat besert a hak- hak t radisionalnya sepanj ang m asih hidup dan sesuai dengan perkem bangan m asyarakat dan prinsip Negara Kesat uan Republik I ndonesia, yang diat ur dalam undang- undang” . Pasal ini, m em berikan posisi konst it usional kepada m asyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, sert a m enj adi landasan konst it usional bagi penyelenggara negara, bagim ana seharusnya kom unit as diperlakukan. Dengan dem ikian pasal t ersebut adalah sat u deklarasi t ent ang ; ( a) kewaj iban konst it usional negara unt uk m engak ui dan m enghorm at i m asyarakat adat , sert a ( b) hak konst it usional m asyarakat adat unt uk m em peroleh pengakuan dan penghorm at an t erhadap hak- hak t radisionalnya. Apa yang t erm akt ub dalam pasal 18B ayat ( 2) t ersebut , sekaligus m erupakan m andat konst it usi yang har us dit aat i oleh penyelenggara negara, unt uk m engat ur pengakuan dan penghorm at an at as keberadaan m aasyarakat adat dalam suat u bent uk undang- undang. Pasal lain yang berkait an dengan m asy arakat adat , adalah pasal 281 ayat ( 3) yang m enyebut kan “ I dent it as budaya dan hak m asyarakat t radisional dihorm at i selaras dengan perkem bangan zam an dan peradaban” .

2. TAP MPR No.I X/ 2001 Sebelum am andem en t erhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVI I / 1998 t ent ang Hak Azasi

27

Manusia ( HAM) t erlebih dahulu m em uat ket ent uan t ent ang pengakuan at as hak m asyarakat adat . Dalam pasal 41 Piagam HAM yang m enj adi bagian t ak t erpisahkan dari TAP MPR it u, dit egaskan ; “ I dent it as budaya m asyarak at t radisional, t erm asuk hak at as t anah ulayat dilindungi, selaras dengan perkem bangan zam an” . Dengan adanya pasal ini, m aka hak- hak dari m asyarakat adat yang ada, dit et apkan sebagai salah sat u hak asasi m anusia yang waj ib dihorm at i, dan salah sat u hak it u m enurut pasal ini adalah hak at as t anah ulayat . Bahkan dalam TAP MPR No.I X/ 2001 t ent ang Pem baharuan Agraria dan PSDA, hak- hak m asyarakat adat t ersebut t idak hanya sebat as hak at as t anah ulayat , t et api j uga m enyangkut sum berdaya agraria/ sum berdaya alam , t erm asuk keragam an buday a dalam pengelolaan dan pem anfaat annya. Hal it u t erm akt ub dalam pasal 4, bahwa ; “ Pem baruan agraria dan pengelolaan sum ber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip- prinsip ; m engakui, m enghorm at i, dan m elindungi hak am syarakat huk um adat dan keragam an budaya bangsa at as sum ber daya agraria/ sum ber daya alam ” . Secara um um , TAP MPR No.I X/ 2001 it u, lahir karena sit uasi em pirik pengelolaan sum ber


(2)

daya alam yang sent ralist ik, eksploit at if, m em iskinakan rakyat ( t erm asuk m asyarakat adat ) dan ket im pangan st rukt ur penguasaan dan kepem ilikan, sert a kerusakan lingkungan hidup yang m assif. Karena it u, TAP MPR ini, m engam anahkan agar dilakukannya pem baharuan agraria oleh pem erint ah dalam hal PSDA berdasarkan prinsip- prinsip penghargaan at as HAM, dem okrat isasi, t ransparansi, dan part isipasi rakyat , keadilan penguasaan dan kepem ilikan, sert a pengakuan, penghor m at an dan perlindungan t erhadap m asyarakat adat .

3. UUPA No. 5/ 1960 Pada t ingkat an Undang- Undang, UUPA No. 5/ 1960 adalah produk hukum yang pert am a kali m enegaskan pengakuannya at as hukum adat . Ket ent uan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang m enyebut kan bahw a: “ Hukum agraria yang berlaku at as bum i, air dan ruang angkasa ialah huk um adat , sepanj ang t idak bert ent angan dengan kepent ingan nasional dan negara yang didasarkan at as persat uan bangsa” . Pasal 5 ini m erupakan rum usan at as kesadaran dan kenyat an bahwa sebagian besar rakyat t unduk pada hukum adat , sehingga kesadaran huk um yang dim iliki bangsa I ndonesia adalah kesadara huk um berdasarkan adat .Hanya saj a Mem ang sem angat UU ini, dikem udian wakt u banyak dibelakangi, karena pergeseran polit ik ekonom i dan huk um agraria.Kendat i dem ikian, UU ini hingga sekarang m asih m enj adi huk um yang posit if yang m engat ur m engenai agraria.Karenanya m asih m enj adi alat legal dalam m em perkuat hak- hak kom unit as adat .Nam un seiring dengan arus reform asi, kesadaran t erhadap pengakuan, peng- horm at an dan perlindungan hak- hak m asyarakat hukum adat m enj adi salah sat u isu polit ik yang m engem uka. Sej um lah Undang- Undang t elah diproduk m enyert ai UUPA, sepert i yang akan diuraikan dibawah ini.

4. Undang- Undang No.39 t ahun 1999 t ent ang HAM Undang- Undang No.39 t ahun 1999 t ent ang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVI I / 1998 yang m enegaskan bahwa hak- hak m asyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/ 1999,m enyebut kan: 1. Dalam rangka penegakkan hak asasi m anusia, perbedaan dan kebut uhan dalam m asyarakat huk um adat harus diperhat ikan dan dilindungi oleh huk um , m asyar akat ,

28

dan pem erint ah; 2. I ndent it as budaya m asyarakat huk um adat , t erm asuk hak at as t anah ulayat dilindungi, selaras dengan perkem bangan j am an.

Penj elasan pasal 6 ayat ( 1) UU ini m enyat akan bahw a “ hak adat ” yang secara nyat a m asih berlaku dan dij unj ung t inggi di dalam lingkungan m asyarakat hukum adat harus dihorm at i dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam m asyarakat yang bersangkut an dengan m em perhat ikan hukum dan perundangan- undangan. Sedangkan penj elasan unt uk ayat ( 2) diny at akan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi m anusia, ident it as buday a nasional m asyar akat hukum adat , hak- hak adat yang m asih secara nyat a dipegang t eguh oleh m asyarakat hukum adat set em pat t et ap dihorm at i dan dilindungi sepanj ang t idak bert ent angan dengan asas- asas hukum negara yang berint ikan keadilan dan kesej aht eraan rakyat . Lebih j auh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya m enegaskan pula k eharusan bagi huk um , m asyarakat dan pem erint ah unt uk m enghargai kem aj em ukan ident it as dan nilai- nilai budaya yang berlaku pada kom unit as adat set em pat . Pengingkaran t erhadap k em aj em ukan t ersebut , m isalnya m elakuk an penyeragam an ( uniform it as) nilai t erhadap m erek a m erupakan suat u pelanggaran HAM, apalagi j ika pengingkaran t ersebut disert ai t indakan- t indakan pelecehan, kekerasan at au paksaan. Sudah t ent u t indakan dem ikian bias dikat egorikan kej ahat an serius dan berat , sehingga m em ungkinkan unt uk diselesaikan di pengadilan HAM.


(3)

5. UU No. 41/ 1999 t ent ang Kehut anan Undang- Undang lain yang j uga m engat ur hak- hak m asy arakat huk um adat adalah UU No. 41/ 1999 t ent ang Kehut anan. UU ini bahkan m engakui adanya wilayah m asyarakat hukum adat , sepert i dinyat akan dalam pasal 1 angka 6: “ Hut an adat adalah hut an negara yang berada dalam wilayah m asyarakat hukum adat ” . Sayangnya, pasal ini m asih belum m enunj ukkan pengakuan hak kom unit as adat at as sum ber daya alam dalam wilayahnya, karena t ernyat a hut an adat m asih diklaim sebagai hut an negara, sepert i dipert egas lagi dalam pasal 5 ayat ( 2) , bahwa: “ Hut an negara sebagaim ana dim aksud pada ayat ( 1) huruf a, dapat berupa hut an adat ” ; dan bahwa “ Hut an negara adalah hut an yang berada pada t anah yang t idak dibebani hak at as t anah ( pasal 1 angka 4) . Unt ungnya, pasal 4 ayat ( 3) m em berikan ram bu- ram bu kepada penyelenggara negara t erut am a bagi ot orit as kehut anan agar t et ap m em perhat ikan hak- hak m asyarakat hukum adat . Pasal ini m enyat akan: “ Penguasaan hut an oleh negara t et ap m em perhat ikan hak m asyarakat huk um adat , sepanj ang kenyat aannya m asih ada dan diakui keberadaannya sert a t idak bert ent angan dengan kepent ingan nasional” . Penj elasan pasal 5 ayat ( 1) j uga m enguraikan: “ Hut an negara dapat berupa hut an adat , yait u hut an negara yang diserahkan pengelolaannya kepada m asyarakat hukum adat ( recht sgem eenschap) . Hut an adat t ersebut sebelum nya disebut hut an ulay at , hut an m arga, hut an pert uanan, at au sebut an lainnya… Dengan dim asukkannya hut an adat dalam pengert ian hut an negara, t idak m eniadakan hak- hak m asyarakat huk um adat sepanj ang kenyat aannya m asih ada dan diakui keberadaannya, unt uk m elakukan kegiat an pengelolaan hut an.” Kem ungkinan pengakuan hak m asyarakat hukum adat unt uk m elakuk an pengelolaan hut an adat nya m asih sangat t erniscayakan. Hal ini dipert egas dalam pasal 67 ayat ( 1) bahwa :

29

“ Masyarakat huk um adat sepanj ang m enurut keny at aannya m asih ada dan diakui keberadaannya, berhak:

m elakukan pem ungut an hasil hut an unt uk pem enuhan kebut uhan sehari- hari m asyarakat adat yang bersangkut an; m elakukan kegiat an pengelolaan hut an berdasarkan huk um adat yang berlaku dan t idak bert ent angan dengan undang- undang; dan m endapat kan pem berdayaan dalam rangk a m eningkat kan kesej aht eraannya” . Unt uk m em bukt ikan m asyarakat hukum adat t ersebut pada kenyat aannya m asih ada ? Dan m elalui apa pengakuan k eberadaan m asyarakat hukum adat t ersebut diupayakan sehingga hak- haknya dapat dit egakkan ? Unt uk pert anyaan yang t erakhir, pasal 67 ayat ( 2) m enyebut kan: “ Penguk uhan keberadaan dan hapusnya m asyarakat hukum adat sebagaim ana dim aksud pada ayat ( 1) dit et apkan dengan Perat uran Daerah” . Sedangkan unt uk pert anyaan pert am a, penj elasan pasal 67 ayat ( 1) , m em berikan gam baran sebagai berikut : “ Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, j ika m enurut kenyat aannya m em enuhi unsur ant ara lain: a. m asyarakat nya m asih dalam bent uk paguyuban ( recht sgem eenschap) ; b. Ada kelem bagaan dalam bent uk perangkat penguasa adat ny a; c. Ada wilayah hokum adat yang j elas; d. Ada pranat a dan perangkat hukum , k hususnya peradilan adat , yang m asih dit aat i; dan e. m asih m engadakan pem ungut an hasil hut an di wilayah hut an sekit arnya unt uk pem enuhan kebut uhan hidup sehari- hari” .

6. Undang- Undang No. 18 Tahun 2004 Tent ang Perkebunan UU no 18 t ahun 2004 t ent ang Perkebunan m enyebut kan Perkebunan diselenggarakan dengan t uj uan:


(4)

a. m eningkat kan pendapat an m asyarakat ; b. m eningkat kan penerim aan negara; c. m eningkat kan penerim aan devisa negara; d. m enyediakan lapangan kerj a; e. m eningkat kan produkt ivit as, nilai t am bah, dan daya saing; f. m em enuhi kebut uhan konsum si dan bahan baku indust ri dalam negeri; dan g. m engopt im alkan pengelolaan sum berdaya alam secara berkelanj ut an.

Pengem bangan pem bangunan perkebunan m em punyai 4 ( em pat ) fungsi ut am a, yak ni : a. ekonom i, yait u peningkat an kem akm uran dan kesej aht eraan raky at sert a penguat an;

b. st rukt ur ekonom i wilayah dan nasional;

c. ekologi, yait u peninkat an konservasi t anah dan air, penyerap karbon, penyedia d. oksigen, dan penyangga kawasan lindung; e. sosial budaya, yait u sebagai perekat dan pem ersat u bangsa.

30

7. UU No. 32/ 2004 t ent ang Pem erint ahan Daerah Berbeda dengan UU sebelum nya yang m enegaskan hak- hak m asyarak at hukum adat dalam kait annya dengan pengelolaan sum ber daya alam sesuai ident it as dan kekhasan budaya, UU No. 32/ 2004 t ent ang Pem erint ahan Daerah, lebih t ert uj u pada penegasan hak- hak m asyarakat huk um adat unt uk m engelola sist em polit ik dan pem erint ahannya sesuai dengan ket ent uan- ket ent uan hukum adat set em pat . Pasal 203 ayat ( 3) , um pam anya m enyebut kan: “ Pem ilihan Kepala Desa dalam kesat uan m asyarak at hukum adat besert a hak t radisionalnya sepanj ang m asih hidup dan yang diakui k eberadaannya berlaku ket ent uan hukum adat set em pat yang dit et apkan dalam perda dengan berpedom an pada Perat uran Pem erint ah” . Pasal di at as m em beri m akna bahwa m asyarak at hukum adat sesuai perkem bangannya dapat m engem bangkan bent uk persekut uannya m enj adi pem erin- t ahan set ingkat desa sebagaim ana disebut kan dalam penj elasan Pasal 202 ayat ( 1) : “ Desa yang dim aksud dalam ket ent uan ini t erm asuk ant ara lain Nagari di Sum at era Barat , Gam pong di provinsi NAD, Lem bang di Sulawesi Selat an, Kam pung di Kalim ant an Selat an, Lewu di Kalim ant an Tengah dan Papua, Negeri di Maluku” .

8. Undang- Undang No. 26 Tahun 2007 Tent ang Tat a Ruang Dalam kerangka Negara Kesat uan Republik I ndonesia, a. penat aan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: b. ket erpaduan; c. keserasian, keselarasan, dan keseim bangan; d. keberlanj ut an; e. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; f. ket erbukaan; g. kebersam aan dan k em it raan; h. pelindungan kepent ingan um um ; i. kepast ian hukum dan keadilan; dan j akunt abilit as.

Penyelenggaraan penat aan r uang bert uj uan unt uk m ew uj udkan ruang w ilayah nasional yang am an, nyam an, produkt if, dan berkelanj ut an berlandaskan Wawasan Nusant ara dan Ket ahanan Nasional dengan: a. t erwuj udnya keharm onisan ant ara lingkungan alam dan lingkungan buat an; b. t erwuj udnya ket erpaduan dalam penggunaan sum ber daya alam dan sum ber daya buat an dengan m em perhat ikan sum ber daya m anusia; dan


(5)

c. t erwuj udnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dam pak negat if t erhadap lingkungan akibat pem anfaat an ruang.

9. Perm en Agraria No. 5 Tahun 1999 t ent ang Pedom an Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Huk um Adat

Perm en Agraria No. 5 Tahun 1999 t ent ang Pedom an Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Huk um Adat . Art inya secara langsung dan j elas, bahwa Negara t elah m engak ui

31

hak ulayat m asyarakat adat . Hal ini dapat diperkuat salah sat unya di Pasal 1, ayat 1, ” dim ana Hak Ulayat at au yang serupa it u dari m asyarak at hukum adat ( unt uk selanj ut nya disebut hak ulayat ) , adalah kewenangan yang m enurut hukum adat dipunyai oleh m asyarakat hukum adat t ert ent u at as wilayah t ert ent u yang m erupakan lingkungan hidup para warganya unt uk m engam bil m anfaat dari sum berdaya alam , t erm asuk t anah dalam wilayah t ersebut , bai kelangsungan hidup dan kehidupannya yang t im bul dari hubungan secara lahiriah dan bat hiniah t urun t em urun dan t idak t erput us ant ara m asyarakat huk um adat t ersebut dengan wilayah bersangkut an” . Hak ulayat m erupakan bahasa form al yang selam a ini dipakai, nam un pem aknaan Hak Ulayat t ergant ung pada pengist ilahan yang sering digunakan di t ingkat lokal.Misalkan : Eka Malan Manana Sat iar ( Tem pat berladang, t em pat m encari usaha- usaha non kayu : rot an , dam ar, pant ung dan berburu, sepanj ang 5 kilom et er dari kiri kanan sungai t em pat pem ukim an penduduk) .

4.2 Kelem bagaan Unt uk im plem ent asi pelaksanaan UU, Perat uran, TAP MPR, Perda dan PerGub perlu pem berdayaan Pem erint ah Daerah secara berj enj ang unt uk pem bent ukan Tim yang m em fasilit asi dan m em ant au pelaksanaan perlu dibent uk Tim Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan ( TPGUP) dengan m elibat kan unsur- unsur pem er int ah daerah, kepolisian, inst ansi/ dinas/ badan t erkait , Masyarakat Adat / Lokal dan Dam ang Kepala Adat .


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Local resource based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis Meranti, Riau Province

1 32 201

Water resource conservation model on sustainable palm oil (Case study Sub watershed Lalindu, North Konawe, South East Sulawesi province )

1 51 197

Local resource-based model of peatland management on agroecology of oil palm plantations: a case study on agroecology of smallholder oil palm plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province

0 21 387

SPATIAL PATTERN OF PALM OIL DEVELOPMENT IN NORT SUMATRA AND SOUTH KALIMANTAN A CASE STUDY OF ACTUAL UTILIZATION AND LAND HOLDING STATUS

0 3 15

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

2 20 273

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

1 6 294

Sustainable agriculture management for palm oil productivity enhancement : a case study at Felda Wilayah Mempaga.

0 2 24

Assessment of Smallholders’ Barriers to Adopt Sustainable Practices: Case Study on Oil Palm (Elaeis Guineensis) Smallholders’ Certification in North Sumatra, Indonesia

0 0 29