Latar belakang masalah PENDAHULUAN

Kemiskinan memiliki arti yang lebih luas dari sekedar rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari standar kesejahteraan terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau garis kemiskinan, akan tetapi kemiskinan mempunyai arti yang lebih dalam karena berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mencapai aspek diluar pendapatan non-income factors seperti aspek kebutuhan minimum; kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi. Kompleksitas kemiskinan tidak hanya berhubungan dengan pengertian dan dimensi saja namun berkaitan dengan metode yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan. 6 Masalah kemiskinan ini merupakan masalah sosial yang pasti terjadi di setiap Negara, terutama di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Banyak faktor yang saling berkaitan yang menyebabkan kemiskinan ini terus terjadi, antara lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa serta lokasi geografis seseorang. Namun, masalah utama kemiskinan sebetulnya berpangkal pada buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat, hal ini terbukti pada fakta tersebut. Yaitu Negara dengan kekayaan cukup besar namun tidak mampu mensejahterakan masyarakatnya. Bagi Afzalur Rahman jika terdapat masyarakat modern dan melimpahnya sumber daya alam namun pembagian kekayaan belum merata sehingga masih banyak warga Negara yang menderita kemiskinan maka hal itu disebabkan karena 6 Ibid., h.2 distribusi kekayaan yang tidak tepat, yaitu ada sekelompok masyarakat yang kehilangan hak bagiannya. 7 Senada dengannya, Geoffery E. Schneider menyatakan bahwa persoalan utama dalam ekonomi adalah pada distribusi bukan pada produksi. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan, adanya perbedaan ras dan warna kulit apartheid masih berpengaruh terhadap sistem perekonomian. Dimana sistem ekonomi neoliberal lebih berperan di Afrika Selatan. 8 Pemasalahan tentang pentingnya distribusi pun disoroti oleh Mannan, menurutnya dalam suatu perekonomian Islam, inti masalah tidak terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan pada ketidakmerataan distribusi pendapatan, hal inilah yang paling penting dalam ekonomi Islam. 9 Menurut Monzer Khaf minimalisasi kesenjangan distributif adalah tujuan utama kebijakan ekonomi di Negara Islam. Tujuan ini tidak hanya diambil dari ajaran-ajaran AlQuran dan As-Sunnah yang berkaitan dengan prilaku konsumtif, seperti larangan bermewah-mewah tetapi diambil juga dari dua prinsip Islam yaitu prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan dan prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu. 10 Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan di Indonesia juga terkonfirmasi dari laporan mengenai distribusi kekayaan penduduk Indonesia yang dirilis oleh Credit Suisse belum lama ini. Laporan tersebut menyebutkan 7 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II, alih bahasa Suroyo dan Nastangin, Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 2002, cet. II h. 92 8 Geoffrey E. Schneider, “Neoliberalism and Eonomic Justice in South Africa: Revisiting the Debate on Economic Apartheide”, Journal Riview of Social Economic, Vol. 61 New York: Taylor and Franis Group, March 2003, h. 23 9 M. Abdul Mannan, The Making of An Islamic Economic Society, Cairo: International Association Of Islamic Banks, 1984, h. 205 10 Monzer Khaf, Ekonomi Islam Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995, h. 137 bahwa sekitar 88 penduduk Indonesia memiliki kekayaan kurang dari 10.000 dolar AS. Sementara itu, sekitar 77,2 persen dari total kekayaan nasional pada 2014 ternyata hanya dikuasai oleh 10 penduduk terkaya. 11 Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat selain meningkatkan kemiskinan juga mengakibatkan masyarakat terkena bencana kelaparan. Menurut Badan Pangan dan Pertanian PBB atau Food Agriculture Organization FAO menyatakan sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia tidur dengan perut lapar setiap hari. 12 Ketimpangan distribusi kekayaan tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di belahan dunia lain, seperti yang dilansir lembaga anti kemiskinan OXAM yang berbasis di London, menerbitkan laporannya pada senin 2012014 dengan judul “working for the few” menyatakan bahwa total nilai harta 85 orang ultrakaya dunia sama dengan jumlah kekayaan setengah penduduk dunia. Itu berarti kekayaan 85 orang itu setara kekayaan 3,5 miliar penduduk dunia lainnya. Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa kekayaan 1 orang terkaya di dunia bernilai sekitar 110 triliun dollar AS, atau 65 kali total nilai kekayaan separuh penduduk dunia lainnya. 13 Oleh sebab itu masalah ketimpangan distribusi ini harus dapat diselesaikan dengan tuntas, sebab jika masalah ini terus berlanjut maka akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan sosial yang lain seperti gizi buruk, 11 “Separuh Kekayaan Dunia dikuasai 1 Populasi” Artikel diakses pada Sabtu, 17 oktober 2015 dari http:nasional.sindonews.comread971385149separuh-kekayaan-dunia- dikuasai-1-populasi-1425358580 12 Nat alia Santi, ”19,4 juta penduduk Indonesia Kelaparan” Artikel diakses pada Sabtu 17 Oktober 2015 dari http:nasional.tempo.coreadnews20150530173670847fao-19-4-juta- penduduk-indonesia-kelaparan 13 “Harta 85 Orang Terkaya Setara Separuh Kekayaan Penduduk Bumi” Artikel diakses pada Sabtu, 17 Oktober 2015 dari http : internasional . kompas . com read 2014 01 21 105 3407Harta.85.Orang.Terkaya.Setara.Kekayaan.Separuh.Penduduk.Bumi pengangguran, kriminalitas bahkan dapat membahayakan keimanan seorang muslim. Pada satu sisi kelebihan kekayaan dapat membahayakan keimanan dan moral umat Islam. Pada posisi lain, kemiskinan dapat menyeret mereka dalam kekufuran. 14 Sehingga dengan cara menciptakan pola distribusi yang adil, dimana setiap warga Negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan yang luas untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, maka permasalahan distribusi tersebut dapat diatasi. Namun, pola distribusi yang adil tersebut ternyata tidak dapat digunakan. Karena sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini diterapkan menggunakan upaya penghapusan kemiskinan dengan memfokuskan hanya pada peningkatan produksi total dan pendapatan per kapita bukan pada permasalahan distribusi. Keyataannya sistem ekonomi kapitalisme telah gagal merealisasikan keadilan distribusi yang berdampak pada penderitaan masyarakat yang menjadikan kapitalisme sebagai pedoman dalam kehidupan ekonominya. 15 Dalam sistem ekonomi kapitalisme-sekuler ini terjadi dikotomi antara agama dan kehidupan duniawi termasuk didalamnya aktivitas ekonomi. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan dark ages yang terjadi di Eropa, namun hal tersebut tidak berlaku pada Islam, sebab Islam tidak mengenal pembedaan antara 14 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995, h. 35 15 Jaribah bin Ahmad Al haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatathab, Jakarta : Khalifa, 2006, Cet ke III h. 213 ilmu agama dan duniawi. 16 Namun saat ini masyarakat muslim tidak lagi mencerminkan cahaya spiritual Islam, bahkan pada kenyataannya di kalangan mayoritas masyarakat tidak terlihat adanya kesadaran dan karakteristik yang dituntut sebagai seorang muslim atau mayarakat Islam. Karena ideologi yang dominan di dunia ini bukanlah Islam namun kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak berlaku dimanapun di dunia muslim. Negeri-negeri muslim telah mencoba memecahkan problem-problem lewat kebijakan-kebijakan yang dikembangkan dalam perspektif sekularis dari sistem-sistem yang sedang berjalan. Kondisi mereka menjadi tambah buruk dan mereka makin bergerak menjauhi realisasi maqashid. 17 Dalam pandangan sistem kapitalisme, menurut Heilbroner cara utama dalam pendistribusian adalah melalui persaingan pasar. 18 Hargalah yang memegang peranan penting dalam persaingan pasar ini, maka untuk mendapatkan kekayaan Negara disesuaikan dengan jasa-jasa yang telah diinvestasikan. Karena sistem kapitalisme yang diterapkan inilah mengakibatkan pemerintahan yang datang silih berganti, termasuk di Indonesia, selalu mengarahkan pandangan mereka pada pertumbuhan produksi serta peningkatan pendapatan rata-rata penduduk, namun tidak pernah memberi perhatian pada persoalan bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan dengan adil di tengah masyarakat. Padahal dari waktu ke waktu, seiring dengan meningkatnya produksi, 16 M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi : Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta : Kencana, 2010, h. 1 17 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, , terj Ikhwan Abidin dari judul asli Islam and Economic Challenge, Jakarta : Gema Insanni Press, 2000, h. 9 18 Robert Heilbroner, Runtuhnya Peradaban Kapitalisme, Jakarta : Bumi Angkasa, 1984, h. 17 telah terjadi penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Pihak yang kuat meraih kekayaan lebih banyak melalui kekuatan yang mereka miliki. Sedangkan yang lemah semakin kekurangan, karena kelemahan yang ada pada diri mereka. Hal ini tak ayal semakin menambah angka kemiskinan. Menurut Umer Chapra, bahwa salah satu masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena hal itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan bekerja. 19 Sedangkan menurut Taqiyuddin An-Nabhani konsep distribusi kekayaan dalam Islam dapat direalisasikan dengan menentukan tata cara kepemilikan, tata cara pengelolaan kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam suatu masyarakat dalam rangka mewujudkan keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 20 19 M. Sholahudin, Asas-asas Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 198 20 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Bogor : Al Azhar Press 2009, h. 272 Oleh sebab itu, mengentaskan masalah kemiskinan yang kompleks ini tidak cukup hanya dengan memperbanyak produksi, tetapi juga harus membenahi sistem distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli dan individualisme, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, umum dan Negara. Pada saat itulah akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan kepada pribadi. Oleh karena itu keseimbangan ditengah anggota masyarakat tersebut harus dijaga. Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem ekonomi lainnya. Ia memiliki akar dalam syariat yang membentuk pandangan dunia sekaligus sasaran-sasaran dan strategi maqashid asy- syari’ah, yang berbeda dari sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini. Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukan materiil, mereka didasarkan pada konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagiaan manusia falah dan kehidupan yang baik hayatan thayyibah yang sangat menekankan aspek persaudaraan ukhuwah, keadilan sosio-ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia. 21 Tujuan keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan serta kesejahteraan sudah jelas dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam dan didasarkan pada komitmennya pada persaudaraaan manusia. Sesungguhnya ada penekanan yang besar terhadap keadilan dan persaudaraan dalam AlQuran dan As-Sunah. Dua tujan ini terintegrasi kuat dalam ajaran-ajaran 21 M. Umer Chapra, Islam dan tantangan ekonomi, terj Ikhwan Abidin dari judul asli Islam and Economic Challenge, h. 7 Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spiritual dalam masyarakat Islam. 22 Dalam sejarah Islam aspek ekonomi politik yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat, kemudian dilihat dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan masalah ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi yang adil. Allah SWT mengingatkan tentang betapa urgennya masalah distribusi kekayaan ini dalam Firmannya: ْمكْنم ءاينْغ ْْا نْيب ًةلود نوكي َ ْيك “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang kaya saja di antara kamu” Qs Al Hasyr :7 Juga dalam hadits nabi SAW : “Jika pada suatu pagi di suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka” dalam kesempatan lain “tidak beriman kepada- Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara itu ia tahu tetangganya kelaparan” 23 Dengan kesempurnaan Islam yang memiliki konsep kehidupan, baik pemerintahan, sosial, pendidikan dan ekonomi, maka penulis ingin memaparkan 22 M. Umer Chapra, Al-Qur,an menuju Sistem Moneter Yang Adil, Yogyakarta : Dhana Bhakti Prima Yasa, 1997, h. 5 23 Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta : Kencana, 2007, h. 155 konsep distribusi kekayaan dalam ekonomi Islam sehingga dapat digunakan untuk mengentaskan berbagai permasalahan sosial yang terjadi terutama kemiskinan dan pengangguran yang disebabkan ketidakmerataan distribusi kekayan sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan tatanan perekonomian ideal. Beberapa pemikir ekonomi Islam telah merumuskan hal tersebut diantara intelektual muslim yang menggagas distribusi kekayaan dalam konsep ekonomi Islam adalah seorang pemikir muslim yang cerdas Taqiyuddin An-Nabhani serta pemikir dan pakar ekonomi kekinian dengan pengalamannya yang luas dan kecemerlangan akademisnya, M. Umer Chapra. Dalam skripsi ini, penulis ingin membandingkan konsep distribusi kekayaan yang telah dirancang dua cendikiawan tersebut, sehingga dapat ditemukan konsep ideal yang nantinya dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan ketidakmerataan distribusi kekayaan di Indonesia khususnya. Pembahasan ini penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul : “KONSEP DISTRIBUSI KEKAYAAN MENURUT TAQIYUDDIN AN-NABHANI DAN M. UMER CHAPRA”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah menguraikan lebih jelas lagi tetang masalah yang telah di tetapkan didalam latar belakang masalah, didalamnya berisi perumusan eksplisit dari masalah-masalah yang terkandung dalam suatu fenomena. 24 Identifikasi masalah diperlukan untuk menerangkan masalah-masalah yang ada pada objek yang akan diteliti sebelum dibuat pembatasan dan perumusannya, antara lain: 1. Apa yang dimaksud dengan distribusi kekayaan? 2. Bagaimana konsep distribusi kekayaan dalam Islam? 3. Melimpahnya jumlah alat pemuas kebutuhan dalam sebuah Negara tidak serta-merta bisa membuat semua orang tercukupi. Kemiskinan akan tetap terjadi jika sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir orang. Padahal kebutuhan primer manusia harus dipenuhi tiap-tiap orang. Oleh karena itu, Distribusi kekayaan merupakan hal yang penting dalam sistem ekonomi, karena dengan adanya konsep distribusi maka sistem pengaloksian harta kekayaan oleh Negara menjadi jelas sehingga dibutuhkan mekanisme distribusi yang komperhensif. 4. Selain terdapat mekanisme yang mendorong distribusi kekayaan Islam juga memberikan sejumlah larangan yang dianggap dapat menghambat distribusi. 5. Lantas faktor apa saja yang dapat menghambat distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat? 6. Bagaimanakah implementasi konsep distribusi kekayaan dalam Islam? 24 Arief Subyantoro dan FX. Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial, Yogyakarta : Andi Yogyakarta, 2007, h 119.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Mengingat banyaknya para cendikiawan muslim yang menelurkan konsep ekonomi Islam, maka dibutuhkan pembatasan masalah untuk mencapai karya ilmiah yang sistematis dan terarah. Dalam skripsi ini pembahasan hanya dibatasi pada konsep distribusi kekayaan menurut Taqiyuddin An-Nabhani dan M. Umer Chapra. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka yang dikaji penulis dalam skripsi ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsep distribusi kekayaan menurut Taqiyuddin An- Nabhani dan M. Umer Chapra? 2. Apa saja persamaan dan perbedaan konsep distribusi kekayaan antara keduanya?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui konsep distribusi kekayaan menurut Taqiyuddin An-Nabhani dan M. Umer Chapra 2. Menganalisis persamaan dan perbedaan konsep distribusi kekayaan menurut Taqiyuddin An-Nabhani dan M. Umer Chapra Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan antara lain : 1. Menambah khazanah kepustakaan tentang konsep distribusi dalam Islam. 2. Dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya dan sumber litelatur ekonomi Islam. 3. Dapat memberikan gambaran yang komperhensif tentang konsep distribusi kekayaan yang ideal. Sedangkan manfaat dari penelitian ini, penulis berharap dapat menjadi alternatif solusi atas persoalan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Serta dapat menjadi sarana mensosialisasikan konsep ekonomi Islam ke tengah-tengah masyarakat.

E. Riview Studi Terdahulu

Penelitian ini menggunakan metode dengan menganalisa penelitian sebelumnya yang berasal dari beberapa sumber, adapun penelitian terdahulu yaitu sebagai berikut : No Nama penulis Judul Tahun Substansi Perbedaan dengan penulis 1 Tajuddin PogoDistribusi Kekayaan Individu dalam Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Disertasi ini menawarkan redistribusi kekayaan individu berdasarkan prinsip ihsan, iffah, dan ithar untuk mengatasi masalah aleansi dan eksploitasi sekaligus menambal kekurangan dan Penulis meneliti tentang konsep distribusi kekayaan yang lebih khusus yaitu konsep distribusi kekayaan yang merupakan hasil pemikiran