Kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan cara produksi yang baik (CPB) dan standar prosedur operasi sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan di Jawa

(1)

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK

(CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS)

PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA

BUDI YUWONO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul:

“Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi Yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan

FilletIkan di Jawa”

merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2011

Budi Yuwono F352074115


(3)

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK

(CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS)

PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA

BUDI YUWONO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

ABSTRACT

Budi Yuwono. Study of the Factors that Influence the Continuity of Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) Application in Processing of Fish Fillet in Java. Supervised by FRANSISKA R. ZAKARIA as a chief and NURMALA K. PANDJAITAN as a member.

In order to increase quality and safety of fish fillet products, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, introduced Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) of fish fillet to the industry in Indonesia, including in Java. Recently, some processor who already applied GMP and SSOP do not continue the application of GMP and SSOP.

Due this situation, this report is to find all factors that influence continuity application of GMP and SSOP processes of fish fillet and to see the recent condition of application of GMP and SSOP in fillet processing plants which do not continue (BM). Processing and analyzing the data using description method and pre-requisite analysis. The respondents of this research are 26 fish fillet processing plants in Java which are divided into 15 fish fillet processing plants that do not continue the application of GMP and SSOP (BM) and 11 fish fillet processing plants that are still continuing the application (LM).

The factors that influence continuity application of GMP and SSOP in fish fillet processing plants that do not continue the application (BM) can be divided into internal factors which are lack of education (73%), and lack of experience (100%), external factors which are lack of government policies in socialization (66,66%), lack of portable water (87%) and ice supply (67%), lack of cold chain system facility (74%), lack of government policies in training (60%), monitoring (80%), lack of low enforcement (86%), no market requirement (100%), and characteristic of innovation factors which are no relative advantages in implementing GMP and SSOP (86,67%), no compatibility (80%), and the complexity of GMP and SSOP (73,33%). Base on pre requisite analysis, the status of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue (BM) the application is very bad as shown in high minor and mayor failure, and also serious and critical failure more than tolerance level.

In order to support the application of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue the application (BM), it is suggested to increase the frequency of socialization, training, monitoring and technical counseling in special locus, facilitating water and ice supply, enforce the GMP and SSOP label in fisheries products in domestic market, and increasing education regarding the importance of GMP and SSOP application in fish fillet industry to the public.

Key word : characteristic of innovation factors, external factors, fish fillet, internal factors, GMP and SSOP.


(5)

RINGKASAN

BUDI YUWONO. Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa. Di bawah Bimbingan Fransiska R. Zakaria sebagai ketua dan Nurmala K. Pandjaitan sebagai anggota.

Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada di Jawa. Saat ini, beberapa pengolah yang sebelumnya menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan berhenti menerapkannya.

Tugas akhir ini memiliki tujuan: (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet di unit pengolahan fillet yang berhenti menerapkannya, (2) mengetahui kondisi terakhir penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan yang saat ini berhenti menerapkannya.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 26 unit pengolahan fillet ikan yang terdiri atas 15 unit pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS (Kelompok BM) dan 11 unit pengolahan fillet ikan yang melanjutkan penerapan CPB dan SPOS (Kelompok LM). Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara dan observasi yang mendalam tentang penerapan CPB dan SPOS. Proses pengolahan dan analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan analisis kelayakan pengolahan fillet ikan untuk melihat penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Hasil penelitian menunjukan faktor-faktor yang mempengaruhi responden kelompok BM dalam melanjutkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terdiri atas faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan (73%) dan minimnya pengalaman (100%). Faktor eksternal yaitu kurangnya sosialisasi (66,66%), kurangnya sumber air bersih (87%), kurangnya es (67%) dan sarana rantai dingin (74%), kurangnya pembinaan (60%), lemahnya pengawasan (80%) dan penegakan hukum (86%), serta tidak adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif (86,67%), tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (80%) dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (73,33%).

Pada responden kelompok LM, faktor-faktor yang mempengaruhi kelanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terdiri atas faktor internal, yaitu tingginya tingkat pengetahuan (100%) dan lamanya pengalaman (90,91%). Faktor eksternal, yaitu seringnya sosialisasi (81,8%), baiknya pembinaan (54,55%),


(6)

tingginya pengawasan (100%) dan penegakan hukum (81,82%) dan adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu dirasakannya keuntungan relatif (90,91%), sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (72,73%) dan tidak rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (100%).

Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan tersebut, yaitu 10,28 penyimpangan minor, 27,00 penyimpangan mayor, 28,33 penyimpangan serius dan 3,06 penyimpangan kritis. Sedangkan 11 responden pengolah fillet ikan kelompok LM memiliki penerapan CPB dan SPOS yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet kelompok LM, yaitu 1,27 penyimpangan minor, 3,45 penyimpangan mayor, 0,63 penyimpangan serius dan tidak ada penyimpangan kritis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM adalah faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pengalaman. Faktor eksternal, yaitu kurangnya sosialisasi, kurangnya fasilitas sumber air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak adanya permintaan pasar, dan faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penyimpangan minor dan mayor yang terjadi serta masih adanya penyimpangan serius dan kritis melebihi dari batas yang ditentukan.

Dalam upaya mendorong penerapan CPB dan SPOS oleh responden kelompok BM, penulis menyarankan untuk meningkatkan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara berkelanjutan dalam bentuk lokus binaan khusus, meningkatkan pengawasan terhadap industri pengolahan ikan lanjutan, seperti otak-otak, baso ikan, nugget yang selama ini menjadi pasar kelompok BM agar menerapkan CPB dan SPOS, membuat regulasi tentang pencantuman label yang berisi keterangan penerapan CPB dan SPOS pada produk fillet di pasar dalam negeri, meningkatkan upaya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya aspek penerapan CPB dan SPOS pada proses pengolahan fillet ikan dan melengkapi fasilitas fisik terutama sumber air bersih dan es yang sangat diperlukan dalam mengolah ikan.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

Judul Penelitian : Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitai (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa

Nama Mahasiswa : Budi Yuwono Nomor Pokok : F352074115

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing Prof.Dr.Ir.H. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc Tanggal Ujian : 12 Agustus 2010 Tanggal Lulus :


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1978 di Jakarta sebagai anak pertama dari pasangan Drs. H.S. Haryono dan Hj. Sriyati, S.Pd. Saat ini, penulis bertempat tinggal di Griya Cempaka No 18 Poris Plawad Tangerang.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak Mardi Siswi, Jelambar Jakarta Barat, Sekolah Dasar Negeri 09 Petang Jelambar Jakarta Barat, Sekolah Menengah Pertama Negeri 82 Jakarta Barat, Sekolah Menengah Atas 65 Jakarta Barat dan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

Pengalaman kerja penulis dimulai sejak tahun 2000 dengan menjadi staf Bagian Value Added Product PT. Bonecom Jakarta, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan ekspor hasil perikanan. Pada tahun 2001 hingga 2002, penulis berkesempatan menjadi Staf Bagian Trucking PT. Bonecom Servistama Compindo (BOSCO), sebuah perusahaan pergudangan dan distribusi hasil perikanan. Sejak tahun 2003 hingga 2005, penulis berkerja di Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tahun 2005 hingga saat ini penulis berkerja di Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini dapat tersusun atas bantuan moril dan materil, baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc dan Dr. Nurmala K. Pandjaitan, DEA, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan, saran, bimbingan dan arahan yang berguna dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

2. Ir. Darwin Kadarisman, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.

3. Seluruh dosen pada Program Megister Profesional Industri Kecil Menengah, atas seluruh ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

4. Staf sekretariat MPI dan rekan-rekan MPI angkatan X atas dukungannya selama penulis menempuh pendidikan hingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. 5. Ibu dan bapak tercinta, Hj. Sriyati, S.Pd dan Drs.H.S Haryono serta istri dan

putriku tercinta, Nur Hidayati, SKM dan Rania Nur Faizah atas doa dan dukungannya.

Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna akibat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, namun penulis berharap agar tugas akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Maret 2011


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

RINGKASAN ... iii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR GAMBAR... .. xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... .... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Kegunaan Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Fillet Ikan ... 4

2.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ... 4

2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan ... 7

2.4 Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) 9 2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) ... 16

2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan ... 17

2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan ... 18

2.8 Teori Komunikasi Inovasi ... 19

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.3 Kerangka Pemikiran Operasional ... 25 Halaman


(12)

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 29

3.5 Teknik Pegolahan dan Analisis Data ... 30

3.6 Analisis Kelayakan Pengolahan Fillet Ikan ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan ... 32

4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet ... 32

4.1.2 Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi ... 33

4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan ... 34

4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan ... 35

4.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ... 37

4.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan ... 42

4.3.1 Faktor Internal ... 43

4.3.1.1 Tingkat Pengetahuan ... 43

4.3.1.2 Pengalaman ... 44

4.3.2 Faktor Eksternal ... 46

4.3.2.1 Kebijakan Pemerintah di Bidang Sosial ... 46

4.3.2.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Fisik ... 49

4.3.2.3 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah ... 51

4.3.2.4 Permintaan Pasar ... 54

4.3.3 Faktor Karateristik Inovasi ... 57

4.4 Kondisi Penerapan CPB dan SPOS ... 60

V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Alur proses pengolahan fillet ikan beku ... 5

2. Tahapan proses adopsi inovasi ... 22

3. Kerangka pemikiran penelitian ... 26

4. Pola 1 pemasaran fillet ikan ... 35

5. Pola 2 pemasaran fillet ikan ... 36

6. Pola 3 pemasaran fillet ikan ... 36 Halaman


(14)

DAFTAR TABEL

1. Kriteria tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis penerapan CPB

dan SPOS pengolahan fillet ikan ... 28 2. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan ... 28 3. Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan ... 31 4. Sebaran lokasi unit pengolahan fillet berdasarkan provinsi dan status

penerapan CPB dan SPOS ... 32 5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan

pengolahan fillet sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS ... 37 6. Perbandingan tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM ... 43 7. Perbandingan lama pengalaman penerapan CPB dan SPOS pengolahan

fillet ikan antara responden kelompok BM dan LM ... 44 Halaman


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah

di bidang sosial ... 72

2. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial ... 73

3. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik ... 74

4. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik ... 75

5. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah ... 76

6. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah ... 77

7. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor karateristik inovasi ... 78

8. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor karateristik inovasi ... 79

9. Tingkat Utilitas Unit Pengolahan Fillet ... 80

10. Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan ... 81

11. Tingkat Pengetahuan Responden ... 82

12. Status Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan ... 83 Halaman


(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah mutu dan keamanan pangan tidak dapat dipisahkan ketika berbicara tentang produk perikanan. Hal ini didasari oleh fakta bahwa ikan termasuk produk pangan yang sangat mudah rusak (perishable food), sehingga upaya-upaya untuk mempertahankan mutu dan keamanannya menjadi hal yang harus diperhatikan. Poernomo (2007) menyatakan, seperti bahan pangan lainnya, ikan dan produknya disyaratkan untuk memenuhi berbagai ketentuan-ketentuan sebelum dikonsumsi. Persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi itu dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu kualitas dan keamanan konsumen.

Selain karena sifat teknis ikan yang mudah rusak (perishable food), perlunya perhatian yang serius terhadap masalah mutu dan keamanan pangan produk perikanan disebabkan oleh adanya tuntutan konsumen di dalam maupun luar negeri yang semakin meningkat. Rokhman (2008) menyatakan justifikasi mengenai jaminan mutu dan keamanan produk perikanan adalah dalam rangka merespon tuntutan konsumen yang semakin meningkat dewasa ini sebagai konsekuensi meningkatnya peradaban masyarakat dunia.

Dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, terwujudnya jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan akan meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global. Rokhman (2008) menyatakan daya saing produk perikanan yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan dan mempertahankan akses pasar domestik dan internasional yang semakin kompetitif sehubungan dengan munculnya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan seperti Vietnam dan RRC serta terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas, seperti AFTA, NAFTA, Uni Eropa dan adanya beberapa perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement).

Dari berbagai macam produk perikanan, fillet ikan merupakan salah satu yang populer. Tidak hanya dikonsumsi langsung, fillet ikan juga banyak digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan produk perikanan, seperti


(17)

2 baso ikan, otak-otak ikan, kerupuk ikan, tempura ikan, keong mas ikan, kaki naga ikan, nuget ikan dan lain sebagainya.

Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan produk fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkenalkan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada di Jawa. Upaya memperkenalkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di Jawa dilakukan antara lain melalui pengembangan sistem sentra pengolahan fillet, pembangunan Unit Pengolahan Ikan (UPI) sesuai dengan persyaratan CPB, melakukan bimbingan teknis pengolahan fillet ikan dengan materi tentang CPB dan SPOS, Sistem Manajemen Mutu Berdasarkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Sanitasi dan Higiene, teknik pengolahan fillet ikan serta uji coba dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Pada awal diperkenalkan, para pengolah fillet ikan di Jawa sudah menerapkan CPB dan SPOS saat melakukan proses pengolahan, seperti menggunakan es selama proses penanganan dan pengolahan, mengolah fillet secara saniter dan higienis, memisahkan fillet dengan isi perut sesegara mungkin, melakukan proses pembersihan dan sanitasi alat dan ruangan, menggunakan air dan es yang sesuai standar, melakukan pencegahan kontaminasi, mencegah masuknya binatang penggangu, melakukan penyimpanan secara terpisah bahan yang dinilai membahayakan kesehatan, menggunakan perlengkapan kerja sesuai ketentuan, melaksanakan pengawasan kesehatan para pengolah fillet, membuat pencacatan penerapan prinsip-prinsip sanitasi dan lain-lain.

Namun saat ini, beberapa pengolah fillet ikan yang telah menerapkan CPB dan SPOS tersebut tidak melanjutkan atau berhenti menerapkan CPB dan SPOS dalam proses pengolahan fillet ikan. Masengi dan Damayanti (2008) menyatakan penyebab tidak dilanjutkannya penerapan CPB dan SPOS oleh para pengolah fillet yaitu karena kurangnya sumber air bersih dan kesadaran pengolah yang rendah untuk menerapkan sanitasi dan higiene.


(18)

3 Berdasarkan hal di atas, maka pada penulisan tugas akhir, akan mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di Jawa.

1.2 Tujuan

Tujuan kajian ini adalah :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan fillet yang saat ini berhenti menerapkannya.

2. Mengetahui kondisi terkini penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolah fillet yang berhenti menerapkannya.

1.3 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi berbagai pihak, antara lain :

1. Para pengolah fillet ikan dalam meningkatkan jaminan mutu dan kemanan pangan produk perikanan.

2. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam mengembangkan program peningkatan mutu dan kemanan hasil perikanan.


(19)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Fillet Ikan

Ditjen P2HP (2006) meyatakan, fillet ikan sebagai suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau beku.

Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less). Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut (belly-off).

Berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi seperti fillet kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), fillet kerapu (Serranidae), fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dan fillet ikan patin (Pangasius pangasius) serta fillet yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi seperti fillet ikan kurisi (Nemiptterus nemathoporus), fillet ikan swangi (Priyacanthus tayenus), fillet ikan kuniran (Upenus sulphereus), fillet ikan paperek (Leiognathus sp) dan fillet ikan gerot-gerot (Pomadasys sp) (Ditjen P2HP 2007).

2.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan

Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik. Bahan mentah yang tidak segar memberikan pengaruh negatif terhadap rendemen, kualitas produk, produktivitas tenaga kerja dan biaya pengolahannya. Poernomo (2009) menyatakan, bahwa kesegaran ikan berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya.


(20)

5 Badan Standardisasi Nasional (2006) menyatakan proses pengolahan fillet beku dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1, pemfilletan, perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam pan, pembekuan, penggelasan dan pengepakan. Secara detail, alur proses pengolahan fillet ikan beku baik tanpa kulit maupun dengan kulit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur proses pengolahan fillet ikan beku Penerimaan

Sortasi 1

Penyiangan

Pencucian 1

Pengepakan Penggelasan Pembekuan Penyusunan dalam pan

Penimbangan Sortasi Pencucian 2

Perapihan Pemfiletan


(21)

6 Lebih lanjut, Badan Standardisasi Nasional (2006) menjelaskan masing-masing tahapan proses pengolahan fillet ikan beku sebagai berikut:

1. Penerimaan

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan fillet ikan diuji secara organoleptik dan harus ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C dan selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat totalnya.

2. Sortasi 1

Ikan dipisahkan berdasarkan jenis, mutu dan ukuran. Sortasi harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C.

3. Penyiangan

Ikan disiangi untuk dibuang sisik dan isi perut. Penyiangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C. Blow (2001) menyatakan pembuangan sisik sangat penting untuk minimalkan bakteri dan mengurangi resiko terdapatnya sisik pada fillet yang telah dipaking.

4. Pencucian 1

Ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

5. Pemfilletan

Ikan difillet secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

6. Perapihan

Fillet ikan dirapihkan dengan memotong daging perut dan membuang tulang yang masih tersisa secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

7. Pencucian 2

Fillet ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.


(22)

7 8. Sortasi 2

Fillet ikan dipisahkan berdasarkan ukuran. Sortasi harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

9. Penimbangan

Fillet ikan ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

10. Penyusunan dalam Pan

Fillet ikan disusun dalam pan yang telah dilapisi plastik satu per satu. Proses penyusunan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

11. Pembekuan

Fillet ikan dibekukan dengan metode pembekuan cepat hingga suhu pusat ikan maksimal -18°C.

12. Penggelasan

Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin pada suhu 0-1°C. Proses penggelasan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter.

13. Pengepakan

Fillet ikan beku dibungkus plastik secara individual dan dimasukan dalam master karton sesuai dengan label. Pengepakan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter.

2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa


(23)

8 proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Kemanan Produk Perikanan menyatakan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dianggap sesuai untuk ditetapkan sebagai sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan.

Dalam implementasinya, agar sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan kelayakan pengolahan yang terdiri atas Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) dan Cara Produksi yang Baik (CPB).

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan menyatakan bahwa setiap unit usaha yang berdasarkan hasil pengendalian dinyatakan telah memenuhi sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dapat diberikan sertifikat, antara lain Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).

Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan


(24)

9 Keamanan Hasil Perikanan menyatakan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI yang telah memiliki dan menerapkan program persyaratan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) atau Prosedur Standar Operasi Sanitasi (SPOS) dan atau sistem HACCP secara konsisten.

2.4 Good Manufaturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB)

Pada awalnya, Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan kriteria yang mampu memenuhi the Code of Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu.

Dalam industri pangan, CPB berperan dalam menentukan apakah fasilitas, metode, pelaksanaan dan pengontrolan yang diterapkan pada proses pengolahan pangan adalah aman, dan apakah pangan diolah dalam kondisi sanitasi yang memadai.

Berdasarkan definisinya, CPB adalah minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al 2002). Lebih lanjut Luning et al (2002) menjelaskan tentang unsur-unsur CPB yang terkandung antara lain dokumentasi dan pencatatan (recordkeeping), kualifikasi personal/SDM (personnel qualification), sanitasi dan higiene (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment verification), validasi proses (process validation) dan penanganan bahan (complaint handling).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan menyatakan 13 aspek terkait dengan cara produksi makanan yang benar sebagai berikut:


(25)

10 1. Lokasi

Bangunan harus berada ditempat yang bebas dari pencemaran seperti daerah persawahan atau rawa, daerah pembuangan kotoran dan sampah, daerah kering dan berdebu, daerah kotor, daerah berpenduduk padat, daerah penumpukan barang bekas, dan daerah lain yang diduga dapat mengakibatkan pencemaran. 2. Bangunan

Secara umum bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi sehingga mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi dan mudah dipelihara. Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan pokok dan ruangan pelengkap yang harus terpisah sehingga tidak menyebabkan pencemaran terhadap makanan yang diproduksi. Ruang pokok yang digunakan untuk memproduksi makanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan kapasitas produksi, ukuran alat produksi serta jumlah karyawan yang berkerja. Susunan ruangan diatur berdasarkan urutan proses produksi sehingga tidak menimbulkan lalu lintas pekerja yang simpang siur dan tidak mengakibatkan pencemaran makanan yang diproduksi. Ruang pelengkap harus memenuhi syarat luasnya sesuai dengan jumlah karyawan yang berkerja dan susunannya diatur berdasarkan urutan kegiatan yang dilakukan.

Lantai ruangan pokok harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, garam, basa, asam dan atau bahan kimia lainnya, permukaannya rata, tidak licin dan mudah dibersihkan, memiliki kelandaian cukup ke arah saluran pembuangan air dan mempunyai saluran tempat air mengalir atau lubang pengeluaran serta pertemuan antara lantai dan dinding tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air. Lantai ruang pelengkap harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, permukaanya datar, rata serta halus, tidak licin dan mudah dibersihkan. Ruang untuk mandi, cuci dan sarana toilet harus mempunyai kelandaian secukupnya ke arah saluran pembuangan.

Dinding ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan sekurang-kuranya 20 cm di bawah dan 20 cm di atas permukaan lantai harus rapat air. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, mudah dibersihkan dan sekurang-kurangnya


(26)

11 setinggi 2 meter dari lantai harus rapat air, tahan terhadap air, basa asam dan bahan kimia lainnya. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air.

Atap ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan terbuat dari bahan tahan lama, tahan terhadap air dan tidak bocor. Langit-langit ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan dibuat dari bahan yang tidak mudah melepaskan bagiannya, tidak terdapat lubang dan tidak retak, tahan lama dan mudah dibersihkan, tinggi dari lantai sekurang-kuranya 3 meter, permukaan rata, berwarna terang. Khusus ruangan pokok ditambahkan syarat tidak mudah mengelupas, rapat air bagi tempat pengolahan yang menimbulkan atau menggunakan uap air.

Pintu ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan, dapat ditutup dengan baik dan membuka ke luar.

Jendela harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, mudah dibersihkan dan berwarna terang, sekurang-kurangnya setinggi 1 meter dari lantai, luasnya sesuai dengan besarnya bangunan. Penerangan di ruangan pokok dan pelengkap harus terang sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan.

Ventilasi dan pengatur suhu pada ruang pokok maupun pelengkap baik secara alami maupun buatan harus memenuhi persyaratan cukup menjamin peredaran udara dengan baik dan dapat menghilangkan uap, gas, debu, asap dan panas yang dapat merugikan kesehatan, dapat mengatur suhu yang diperlukan, tidak boleh mencemari hasil produksi melalui udara yang dialirkan serta lubang ventilasi harus dilengkapi dengan alat yang dapat mencegah masuknya serangga dan mengurangi masuknya kotoran ke dalam ruangan serta mudah dibersihkan. 3. Fasilitas Sanitasi

Bangunan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana penyediaan air yang pada pokoknya terbagi atas sumber air, perpipaan pembawa, tempat persediaan air dan perpipaan pembagi. Sarana penyediaan air harus dapat menyediakan air yang cukup bersih


(27)

12 sesuai dengan kebutuhan produksi pada khususnya dan kebutuhan perusahaan pada umumnya.

Bangunan harus dilengkapi dengan sarana pembuangan yang pada pokoknya terdiri atas saluran dan tempat pembuangan buangan akhir, tempat buangan padat, sarana pengolahan buangan dan saluran pembuangan buangan terolah. Sarana pembuangan harus dapat mengolah dan membuang buangan padat, cair dan atau gas yang dapat mencemari lingkungan.

Sarana toilet letaknya tidak langsung ke ruang proses pengolahan, dilengkapi dengan bak cuci tangan, diberi tanda pemberitahuan bahwa setiap karyawan harus mencuci tangan dengan sabun dan atau ditergen sesudah menggunakan toilet dan disediakan dalam jumlah cukup sesuai dengan jumlah karyawan.

Sarana cuci tangan harus diletakan di tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air mengalir yang tidak boleh dipakai berulang kali, dilengkapi dengan sabun atau ditergen, handuk atau alat lain untuk mengeringkan tangan dan tempat sampah berpenutup serta disediakan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah karyawan.

4. Alat Produksi

Alat dan perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Alat dan perlengkapan harus memenuhi syarat sesuai dengan jenis produksi, permukaan yang berhubungan dengan makanan harus halus, tidak berlubang atau bercelah, tidak mengelupas dan tidak berkarat, tidak mencemari hasil produksi dengan jasad renik, unsur atau fragmen logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar dan lain-lain serta mudah dibersihkan.

5. Bahan

Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi makanan tidak boleh merugikan atau membahayakan kesehatan manusia dan harus memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan. Terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebelum digunakan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.


(28)

13 6. Proses Pengolahan

Untuk setiap jenis produk harus ada formula dasar yang menyebutkan jenis bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta persyaratan mutunya, jumlah bahan untuk satu kali pengolahan, tahap-tahap proses pengolahan, langkah yang diperlukan dalam proses pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya sehingga tidak menyebabkan peruraian, pembusukan, kerusakan dan pencemaran produk akhir, jumlah hasil yang diperoleh untuk satu kali pengolahan, uraian mengenai wadah, label, serta cara perwadahan dan pembungkusan, cara pemeriksaan bahan, produk antara dan produk akhir.

Untuk setiap satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam bentuk protokol pembuatan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan dan nomor kode, tahapan pengolahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan, jumlah hasil pengolahan dan hal lain yang dianggap perlu. 7. Produk Akhir

Produk akhir harus memenui standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dan tidak boleh merugikan dan membahayakan kesehatan. Sebelum produk akhir diedarkan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.

8. Laboratorium

Perusahaan yang memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan menteri harus mempunyai laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta produk akhir. Untuk setiap pemeriksaan harus ada protokol perusahaan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan, tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan pemeriksaan, nama pemeriksa dan hal lain yang diperlukan.

9. Karyawan

Karyawan yang berhubungan dengan produksi makanan harus dalam keadaan sehat, bebas dari luka, penyakit kulit, dan atau hal lain yang diduga dapat mencemari hasil produksi, diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala, mengenakan pakaian kerja, termasuk sarung tangan, tutup kepala dan sepatu yang


(29)

14 sesuai, mencuci tangan dibak cuci sebelum melakukan pekerjaan, menahan diri untuk tidak makan, minum, merokok, meludah atau melakukan tidakan lain selama pekerjaan yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap produk makanan dan tidak merugikan karyawan lain.

Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan menetapkan penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu yang memiliki kualifikasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

10. Wadah dan Pembungkus

Wadah dan pembungkus makanan harus memenuhi syarat dapat melindungi dan mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh luar, tidak berpengaruh terhadap isi, dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat menggangu kesehatan atau mempengaruhi mutu makanan, menjamin keutuhan dan keaslian isinya, tahan terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran dan tidak boleh merugikan atau membahayakan konsumen. Sebelum digunakan wadah harus dibersihkan dikenakan tindakan sanitasi, steril bagi jenis produk yang akan diisi secara aseptik.

11. Label

Label makanan harus memenuhi ketentuan, dibuat dengan ukuran, kombinasi warna dan atau bentuk yang berbeda untuk tiap jenis makanan agar mudah dibedakan.

12. Penyimpanan

Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus disimpan terpisah dalam masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat dan atau binatang lain, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan baku, bahan pembantu, bahan penolong serta produk akhir harus ditandai dan ditempatkan sedemikian rupa hingga jelas dapat dibedakan antara yang belum dan sudah diperiksa, memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, bahan yang terdahulu diterima diproses lebih dahulu dan produk akhir yang terdahulu dibuat diedarkan lebih dahulu.

Bahan berbahaya seperti insektisida, rodentisida, desinfektan dan lain-lain harus disimpan dalam ruangan tersendiri dan diawasi sedemikian rupa hingga


(30)

15 tidak membahayakan atau mencemari bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan produk akhir.

Wadah dan pembungkus harus disimpan secara rapi ditempat bersih dan terlindung dari pencemaran. Label harus disimpan secara baik dan diatur sedemikian rupa hingga tidak terjadi kesalahan penggunaan. Alat dan perlengkapan produksi yang telah dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi yang belum digunakan harus disimpan sedemikian rupa hingga terlindung dari debu dan pencemaran lain.

13. Pemeliharaan

Bangunan dan bagian-bagiannya harus dipelihara dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur dan berkala, hingga selalu dalam keadaan bersih dan berfungsi baik.

Harus dilakukan usaha pencegahan masuknya serangga, binatang pengerat, unggas dan binatang lain ke dalam bangunan. Pembasmian jasad renik, serangga dan binatang pengerat dengan menggunakan desinfektan, insektisida, atau rodentisida harus dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga serta dibatasi sedemikian rupa hingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong serta produk akhir.

Buangan padat harus dikumpulkan untuk dikubur, dibakar atau diolah sehingga aman. Buangan air harus diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke luar. Buangan gas harus diatur atau diolah sedemikian rupa hingga tidak mengganggu kesehatan karyawan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Alat dan perlengkapan yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk akhir. Alat dan perlengkapan yang tidak berhubungan dengan makanan harus selalu dalam keadaan bersih.

Alat pengangkutan dan alat pemindahan barang dalam bangunan unit pengolahan harus bersih dan tidak boleh merusak barang yang diangkut atau dipindahkan, baik bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong maupun produk


(31)

16 akhir. Alat pengangkutan untuk mengedarkan produk akhir harus bersih, dapat melindungi produk baik fisik maupun mutunya sampai ke tempat tujuan.

Dalam implementasinya, CPB dapat berperan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bermutu dan aman bagi kesehatan. Sebelumnya, baik-buruknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Cara Produksi yang Baik). Dengan menerapkan CPB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).

Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan penerapan CPB dimaksudkan untuk lebih meningkatkan jaminan dan konsistensi mutu dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam menyusun CPB maka perlu dirinci hal-hal yang menyangkut fungsi atau tujuan dari suatu tahapan proses pengolahan dan perlakuan/kondisi yang dipersyaratkan dalam proses pengolahan ikan, yang pada umumnya terkait dengan waktu dan temperatur, pemakaian klor atau bahan untuk mencapai tujuan dari proses pengolahan yang dilakukan.

2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS)

Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) merupakan salah satu persyaratan kelayakan yang dimaksudkan untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi lingkungan agar tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk yang dihasilkan. Lingkungan yang dimaksud meliputi ruangan, peralatan, pekerja, air dan sebagainya.

Surono (2007), menyatakan bahwa SPOS adalah prosedur untuk memelihara kondisi sanitasi yang biasanya berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi/bisnis pangan atau area dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau Critical Control Point (CCP). Departemen Kelautan dan Perikanan (2008)


(32)

17 menyatakan SPOS menjelaskan setiap prosedur atau cara pembersihan dan sanitasi yang digunakan di unit pengolahan ikan secara lengkap.

SPOS diperlukan untuk menjelaskan prosedur sanitasi di unit pengolahan ikan, memberikan jadwal sanitasi, memberikan landasan monitoring secara rutin, mendorong perencanaan untuk menjamin pelaksanaan tindakan koreksi, mengidentifikasi trend dan mencegah terulang kembali, menjamin setiap orang dari level manajemen hingga pekerja memahami sanitasi, memberikan materi yang konsisten untuk pelatihan karyawan, menunjukan komitmen kepada pembeli dan inspektor dan membawa perbaikan berkelanjutan pada industri.

Lebih lanjut Surono (2007) menyatakan 8 kunci persyaratan sanitasi yaitu keamanan air, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang, menjaga fasilitas pencucian tangan, sanitasi dan toilet, proteksi dari bahan-bahan kontaminan, pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, pengawasan kondisi kesehatan personil dan menghilangkan pest dari unit pengolahan.

Swarasangi (2000) menyatakan SPOS dilaksanakan untuk mengawasi tahapan kritis dalam proses sanitasi unit pengolahan ikan yang meliputi perawatan konstruksi, peralatan dan fasilitas higiene, kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan produk, pengawasan kontaminasi terhadap makanan, permukaan yang kontak dengan makanan dan pengemas, kualitas air dan es, pencegahan kontaminasi silang kepada produk, bahan pengemas produk, dan permukaan yang kontak dengan makanan, pengawasan bahan kimia, bahan tambahan makanan, pembersih dan bahan beracun, pengawasan terhadap pest dan pengawasan terhadap tindakan dan kondisi kesehatan karyawan.

2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan

undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan bahwa pembinaan


(33)

18 penerapan sistem manajemen mutu hasil perikanan dimaksudkan untuk menjamin mutu dan keamanan hasil perikanan, mendorong pengembangan usaha di bidang perikanan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hasil perikanan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan hasil perikanan, mewujudkan kepatuhan setiap orang yang memproduksi, mengedarkan dan atau memperdagangkan hasil perikanan, meningkatkan pemahaman dan kesadaran konsumen terhadap pentingnya mutu dan keamanan hasil perikanan.

Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan sistem manajemen mutu hasil perikanan meliputi kegiatan pengembangan sumber daya manusia dan kegiatan yang menangani usaha perikanan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, peningkatan peran serta masyarakat dan kegiatan penyuluhan tentang mutu hasil perikanan, peningkatan peran serta asosiasi dan organisasi profesi dalam peningkatan mutu hasil perikanan, peningkatan penganekaragaman hasil perikanan, peningkatan kegiatan penelitian dan atau pengembangan ilmu dan teknologi dalam peningkatan mutu hasil perikanan, penyebarluasan peraturan perundang-undangan dan pengetahuan tentang mutu hasil perikanan dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan di bidang mutu hasil perikanan.

2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa pengawasan sistem manajemen mutu hasil perikanan dilakukan oleh pengawas mutu hasil perikanan. Pengawas mutu hasil perikanan dalam melakukan pengawasan berwenang untuk:

a. Memasuki setiap tempat yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan untuk memeriksa, meneliti dan mengambil contoh dan segala sesuatu yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan.


(34)

19 b. Meminta informasi dalam bentuk apapun yang diperlukan baik berbentuk tulisan, gambar, foto, film, video, rekaman suara atau bentuk lainnya yang berkaitan dengan pemeriksaan.

c. Menghentikan, memeriksa dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan hasil perikanan serta memeriksa contoh hasil perikanan.

d. Membuka dan meneliti setiap kemasan hasil perikanan.

e. Memeriksa setiap buku, dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat keterangan mengenai kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut.

f. Menahan segala sesuatu, termasuk buku, dokumen, catatan, bahan pengemas, label atau bahan pembuat label, bahan untuk iklan, yang diduga atau patut diduga berkaitan dengan pelanggaran.

g. Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan atau dokumen lain yang dipandang perlu.

h. Menandai, mengamankan, menimbang, menghitung atau mengukur hasil perikanan atau peralatan yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan hasil perikanan yang tidak memenuhi atau diduga tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

i. Mengirim contoh yang diambil pada waktu pemeriksaan untuk dilakukan pengujian di laboratorium.

j. Melakukan pengujian contoh dan monitoring sanitasi unit pengolahan.

2.8 Teori Komunikasi Inovasi

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan sebuah inovasi cara pengolahan fillet ikan yang baru bagi para pengolah. Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk fillet yang dihasilkan oleh para pengolah.


(35)

20 Adams (1988) mendefinisikan inovasi sebagai ide atau objek yang dipersepsikan baru oleh individu. Simamora (2003) menyatakan, inovasi sebagai ide, praktek atau produk yang dianggap baru oleh individu atau group yang relevan. Van Den Ban dan Hawkins (1996) menyatakan, inovasi adalah ide, metode, atau objek yang dianggap baru oleh sesorang tetapi tidak selalu hasil riset terbaru.

Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Rogers (1983) menyatakan, bahwa difusi inovasi adalah proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu diantara anggota kelompok sosial. Lebih lanjut Rogers (1983) menyatakan, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:

a. Inovasi; gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi untuk orang itu. Konsep “baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.

b. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.

c. Jangka waktu; proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)


(36)

21 keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

d. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama

Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi yaitu: 1) keunggulan relatif (relative advantage), 2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability).

Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi seperti segi ekonomi, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.

Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).

Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.

Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji coba dalam batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam kondisi sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan keunggulannya.

Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut


(37)

22 mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi

Selain hal di atas, Subagyo (2005) menyatakan, adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media masa. Faktor eksternal yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah kebijakan pemerintah, peran tokoh, sistem sosial dan nilai-nilai atau norma-norma.

Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi ada kemungkinan untuk meneruskan ataupun untuk menghentikan penggunaannya. Menghentikan penggunaan diartikan sebagai tidak meneruskan untuk menerima atau mengadopsi, hal ini dapat terjadi karena seseorang telah menemukan ide-ide lain ataupun kecewa terhadap hasil yang diperolehnya.

Rogers (1983) menyatakan tahapan proses adopsi suatu inovasi seperti Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan proses adopsi inovasi Inovasi

Kesadaran (awareness)

Perhatian (Interest)

Penaksiran (Evaluation)

Percobaan (Trial)

Adopsi (Adoption)

Konfirmasi (Confirmation)

Penolakan (Rejection)


(38)

23 Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa setelah dilakukan percobaan terhadap sebuah inovasi (trial) terdapat tiga kemungkinan yang akan dilakukan yaitu memutuskan untuk mengadopsi inovasi (adoption), menolak inovasi (rejection) atau mengadopsi inovasi kemudian menolaknya karena telah menemukan ide-ide baru atau inovasi tersebut dinilai mengecewakan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan terjadi proses adopsi inovasi kembali setelah terjadi penolakan.


(39)

24 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 15 unit pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS dan 11 unit pengolahan fillet ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS. Penelitian dilakukan mulai Bulan Desember 2009 sampai dengan Maret 2010. Alasan dipilihnya 15 unit pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan serta 11 unit pengolahan fillet ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah karena penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terkait dengan mutu dan keamanan pangan yang perlu mendapatkan perhatian serius mengingat fillet ikan tersebut akan dikonsumsi oleh manusia. Perhatian yang serius terhadap masalah mutu dan keamanan pangan akan meminimalkan terjadinya keracunan pangan pada manusia.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data yang diperlukan diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara dengan responden serta pengamatan terhadap kondisi unit pengolahan fillet ikan. Data dikumpulkan melalui:

1. Survey dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

2. Wawancara dengan responden

3. Observasi dengan cara mengamati langsung proses pengolahan fillet ikan dan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Paket kuesioner yang dibagikan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dari kuesioner berkaitan dengan data umum responden. Bagian kedua paket kuesioner berisi daftar pertanyaan yang terkait dengan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Bagian ketiga kuesioner terkait dengan status penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.


(40)

25 Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha fillet yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan jumlah total 26 responden.

Jenis pertanyaan yang dibuat dalam kuesioner adalah pertanyaan tertutup berupa pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah tersedia, sehingga responden hanya memilih satu dari alternatif jawaban yang sudah ada. Pada faktor eksternal, jawaban terdiri atas Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K) dan Sangat Kurang (SK) dan pada faktor karateristik inovasi, jawaban terdiri atas Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

3.3 Kerangka Pemikiran Operasional

CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan merupakan inovasi yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada para pengolah fillet ikan dalam rangka meningkatkan kualitas produk fillet. Melalui pengenalan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan diharapkan produk fillet yang dihasilkan mampu memenuhi harapan konsumen sekaligus meningkat daya saingnya.

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor internal, eksternal dan karateristik inovasi. Dalam penelitian ini, faktor internal yaitu tingkat pengetahuan dan pengalaman pengolah dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Faktor eksternal yaitu kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, kebijakan pemerintah dalam bidang fisik, pembinaan dan pengawasan pemerintah, serta permintaan pasar. Faktor karateristik inovasi yaitu keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability) dan kemampuan diamati (observability).

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan ditandai dengan pemenuhan persyaratan 30 aspek CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, yaitu lingkungan/konstruksi dan layout, ventilasi, fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia, lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu masuk, permukaan yang kontak dengan produk, pembersihan


(41)

26 peralatan kerja, fasilitas pencucian produk, konstruksi dan pemeliharaan peralatan, proses penerimaan, bahan pembungkus atau pengemas, air, es, penanganan limbah, penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi, pengendalian binatang pengganggu, kebersihan karyawan, kesehatan karyawan, sanitasi, pemeliharaan suhu dan rantai dingin, prosedur penarikan kembali, prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses hingga distribusi, penanganan bahan baku dan produk segar, serta proses pengolahan fillet.

Untuk memperjelas kerangka pemikiran penelitian, dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian Faktor Internal

1. Tingkat Pengetahuan 2. Pengalaman

Faktor Eksternal

1. Kebijakan pemerintah dalam bidang sosial 2. Kebijakan pemerintah

dalam bidang fisik 3. Pembinaan pemerintah 4. Permintaan pasar

Karateristik Inovasi

1. Keuntungan relatif 2. Kompatabilitas 3. Kerumitan 4. Kemampuan untuk

diujicobakan 5. Kemampuan untuk

diamati

Penerapan

CPB dan SPOS pengolahan fillet

pemenuhan persyaratan

1. lingkungan/konstruksi dan layout 2. ventilasi

3. fasilitas karyawan, 4. penerangan 5. saluran pembuangan

6. tempat penyimpanan bahan kimia 7. lantai

8. dinding 9. langit-langit 10. jendela 11. pintu masuk

12. permukaan yang kontak dengan produk 13. pembersihan peralatan kerja

14.fasilitas pencucian produk

15. konstruksi dan pemeliharaan peralatan 16. proses penerimaan

17. bahan pembungkus/pengemas 18. air

19. es

20. penanganan limbah

21. penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi

22. pengendalian binatang pengganggu 23. kebersihan karyawan

24. kesehatan karyawan 25. sanitasi

26. pemeliharaan suhu dan rantai dingin selama penyimpanan

27. prosedur penarikan kembali

28. prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses dan distribusi 29. penanganan produk segar atau bahan baku 30. proses pengolahan fillet


(42)

27 Berdasarkan Gambar 3, maka definisi operasional penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah implementasi atas keseluruhan prinsip-prinsip CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan fillet yang diukur dengan menggunakan kuisioner penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan.

2. Kuisioner penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan adalah alat yang digunakan untuk menilai penerapan keseluruhan prinsip-prinsip CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang terdiri atas 30 aspek, yaitu persyaratan lingkungan/konstruksi dan layout, ventilasi, fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia, lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu masuk, permukaan yang kontak dengan produk, pembersihan peralatan kerja, fasilitas pencucian produk, konstruksi dan pemeliharaan peralatan, proses penerimaan, bahan pembungkus/pengemas, air, es, penanganan limbah, penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi, pengendalian binatang pengganggu, kebersihan karyawan, kesehatan karyawan, sanitasi, pemeliharaan suhu dan rantai dingin, prosedur penarikan kembali, prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses, penanganan bahan baku dan produk, serta proses pengolahan fillet. Operasionalisasi kuisioner untuk menilai kelayakan pengolahan fillet ikan adalah sebagai berikut:

a. Lihat kondisi yang ada di lapangan. Apabila sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan sehingga menjawab penjelasan pada kolom “aspek yang dinilai” maka beri tanda (v) pada kolom OK.

b. Apabila kenyataan yang ada dilapangan tidak sesuai dengan persyaratan sehinga tidak menjawab penjelasan pada kolom “aspek yang dinilai”, maka beri tanda (v) pada kolom Mn (minor), My (mayor), Sr (serius) atau Kr (Kritis).

c. Apabila terdapat tanda ( ) lebih dari 1 (satu), beri tanda yang lebih dominan.

3. Tingkat pengetahuan adalah derajat pengetahuan responden akan aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Tingkat pengetahuan diukur


(43)

28 dengan kemampuan menjawab pertanyaan atas aspek-aspek CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang ada dikuisioner. Tingkat pengetahuan diukur dengan cara menentukan range, jumlah kelas dan interval. Tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan

Kriteria Nilai

Tinggi 80 – 99

Sedang 60 – 79

Rendah 40 – 59

4. Pengalaman adalah kurun waktu yang ditempuh oleh responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan

Kriteria Waktu (bulan)

Singkat 1-12

Sedang 13-24

Lama >24

5. Kebijakan pemerintah dalam bidang sosial adalah upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan melalui kegiatan sosialisasi, fasilitasi informasi pasar dan permodalan. 6. Kebijakan pemerintah dalam bidang fisik adalah upaya yang ditempuh oleh

pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan melalui fasilitasi sarana dan prasarana fisik yang terdiri atas suplai air


(44)

29 bersih, es, sarana parasarana rantai dingin (cold chain system) dan sarana prasarana penanganan dan pengolahan fillet ikan.

7. Pembinaan dan pengawasan pemerintah adalah upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang terdiri atas pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum atas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

8. Permintaan pasar adalah persyaratan pembeli dalam hal penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

9. Keunggulan realatif adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. 10. Kompatabilitas adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan

dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi.

11. Kerumitan adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dianggap sebagai sesuatu yang sulit dipahami atau digunakan.

12. Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat diujicoba sampai batas tertentu.

13. Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat terlihat oleh orang lain.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan beberapa jenis data yang berasal dari berbagai sumber mencakup data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapang dan kuesioner. Kuesioner dibuat dengan acuan berdasarkan studi kepustakaan dan peraturan perundangan tentang mutu hasil perikanan khususnya yang terkait dengan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, seperti laporan penelitian terdahulu, buku-buku, majalah, jurnal, internet, dan sebagainya.


(45)

30 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang diperoleh di lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan distribusi frekuensi dari setiap jawaban.

3.6 Analisis Kelayakan Pengolahan Fillet Ikan

Analisis kelayakan pengolahan fillet ikan digunakan untuk menilai penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan. Analisis kelayakan pengolahan fillet ikan dilakukan menggunakan alat bantu kuisioner. Analisis kelayakan pengolahan ikan dilakukan dengan cara menghitung jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan atas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan membandingkan dengan tabel kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan.

Ditjen P2HP (2010) membagi kategori penyimpangan yang terdapat di dalam kuisioner penilaian kelayakan pengolahan menjadi 4 jenis, yaitu:

- Penyimpangan Minor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi atau dibiarkan terus menerus akan berpotensi mempengaruhi mutu pangan.

- Penyimpangan Mayor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi mempunyai potensi dapat mempengaruhi keamanan pangan. - Penyimpangan Serius adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan

tindakan koreksi dapat mempengaruhi keamanan pangan.

- Penyimpangan Kritis adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi segera mempengaruhi keamanan pangan.

Penilaian penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan di unit pengolahan fillet ikan dengan kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan yang terdapat pada Tabel 3.


(46)

31 Tabel 3. Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan

Tingkat (Rating) Jumlah Penyimpangan

Minor Mayor Serius Kritis

A (Baik Sekali) 0 – 6 0 – 5 0 0

B (Baik) ≥7 6 – 10 1 – 2 0

C (Cukup) NA ≥11 3 – 4 0

D (Tidak Lulus) NA NA ≥5 1

Catatan : jumlah penyimpangan Mayor dan Serius tidak lebih dari 10 NA : Not Aplicable

Untuk mempermudah penyajian hasil penelitian, maka pada penulisan hasil dan pembahasan penelitian ini, unit pengolahan yang berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan akan diberi kode BM, dan unit pengolah yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan diberi kode LM.


(1)

78

Lampiran 7. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor karateristik inovasi

PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK BM TERHADAP FAKTOR KARATERISTIK INOVASI YANG MEMPENGARUHI

PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN

FILLET

IKAN

Karateristik Inovasi

SS

S

TS

STS

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Keuntungan relatif

0

0

2

13,33

13

86,67

0

0

Kompitabilitas

0

0

3

20,00

12

80,00

0

0

Kerumitan

1

6,67

11

73,33

3

30,00

0

0

Kemampuan untuk diujicobakan

0

0

10

66,67

5

33,33

0

0


(2)

79

Lampiran 8. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor karateristik inovasi

PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK LM TERHADAP FAKTOR KARATERISTIK INOVASI YANG MEMPENGARUHI

PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN

FILLET

IKAN

Karateristik Inovasi

SS

S

TS

STS

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Jumlah

responden

%

Keuntungan relatif

1

9,09

10

90,91

0

0

0

0

Kompitabilitas

4

27,27

8

72,73

0

0

0

0

Kerumitan

0

0

0

0

11

100

0

0

Kemampuan untuk diujicobakan

1

9,09

10

90,91

0

0

0

0


(3)

80

Lampiran 9. Tingkat Utilitas Unit Pengolahan

Fillet

TINGKAT UTILITAS UNIT PENGOLAHAN

FILLET

Nama Unit Pengolahan

Fillet

Ikan

KAPASITAS PRODUKSI (ton)

TINGKAT UTILITAS (%)

TERPASANG

REALISASI

UPI 1 15 6 40

UPI 2 7 3,5 50

UPI 3 4,5 3,5 77,8

UPI 4 4,5 3,5 77,8

UPI 5 2,5 1,7 68

UPI 6 7 2 28,6

UPI7 2 1,8 90

UPI 8 8 6 75

UPI 9 3 1,5 50

UPI 10 3 1,5 50

UPI 11 4,7 3,5 74,5

UPI 12 2 1,2 60

UPI 13 4 3,5 88

UPI 14 4 2 50

UPI 15 12 12 100

UPI Kelompok BM 83,2 53,2 63,9

UPI 16 7 3,5 50

UPI 17 10 8 80

UPI 18 5 2 40

UPI 19 10 6 60

UPI 20 6 6 100

UPI 21 15 6 40

UPI 22 20 2 10

UPI 23 7 6 85,7

UPI 24 4 4 100

UPI 25 7 5 71,4

UPI 26 2 1,8 90

UPI Kelompok LM 93,0 50,3 54,1


(4)

81

Lampiran 10. Tenaga Kerja Pengolahan

Fillet

Ikan

TENAGA KERJA PENGOLAHAN

FILLET

IKAN

Nama Unit Pengolahan

Fillet

Ikan

TENAGA KERJA

TOTAL TENAGA KERJA

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

UPI 1 10 60 70

UPI 2 5 40 45

UPI 3 5 50 55

UPI 4 6 45 51

UPI 5 5 35 40

UPI 6 5 35 40

UPI7 5 35 40

UPI 8 8 40 48

UPI 9 4 56 60

UPI 10 10 40 50

UPI 11 9 40 49

UPI 12 3 35 38

UPI 13 90 10 100

UPI 14 8 40 48

UPI 15 8 150 158

UPI Kelompok BM 181 711 892

UPI 16 5 30 35

UPI 17 15 70 85

UPI 18 10 30 40

UPI 19 10 65 75

UPI 20 85 88 173

UPI 21 100 205 305

UPI 22 85 125 210

UPI 23 45 74 119

UPI 24 39 45 84

UPI25 74 62 136

UPI26 41 237 278

UPI Kelompok LM 509 1031 1540


(5)

82

Lampiran 11. Tingkat Pengetahuan Responden

TINGKAT PENGETAHUAN RESPONDEN TERHADAP CPB dan SPOS

Nama Unit Pengolahan

Fillet

Ikan

Jumlah

Soal

Benar

Salah

Nilai

Keterangan

UPI 1

30

17

13

56,67

R

UPI 2

30

17

13

56,67

R

UPI 3

30

17

13

56,67

R

UPI 4

30

16

14

53,33

R

UPI 5

30

22

8

73,33

SD

UPI 6

30

19

11

53,33

R

UPI7

30

16

14

53,33

R

UPI 8

30

14

16

46,67

R

UPI 9

30

20

10

56,67

R

UPI 10

30

19

11

53,33

R

UPI 11

30

19

11

63,33

SD

UPI 12

30

17

13

56,67

R

UPI 13

30

18

12

60,00

SD

UPI 14

30

22

8

73,33

SD

UPI 15

30

12

18

40,00

R

UPI 16

30

27

3

90,00

T

UPI 17

30

27

3

90,00

T

UPI 18

30

28

2

93,33

T

UPI 19

30

27

3

90,00

T

UPI 20

30

28

2

93.33

T

UPI 21

30

27

3

90,00

T

UPI 22

30

27

3

90,00

T

UPI 23

30

26

4

86,00

T

UPI 24

30

28

2

93,33

T

UPI25

30

28

2

93,33

T


(6)

83

Lampiran 12. Status Penerapan CPB dan SPOS

STATUS PENERAPAN CPB dan SPOS PENGOLAHAN

FILLET

IKAN

Nama Unit Pengolahan Fillet Ikan

JUMLAH PENYIMPANGAN

STATUS

MINOR

MAYOR

SERIUS

KRITIS

UPI 1 8 23 31 3 Tidak Lulus

UPI 2 12 34 33 6 Tidak Lulus

UPI 3 12 31 33 5 Tidak Lulus

UPI 4 8 18 27 4 Tidak Lulus

UPI 5 12 30 40 5 Tidak Lulus

UPI 6 13 34 28 3 Tidak Lulus

UPI7 11 33 27 4 Tidak Lulus

UPI 8 10 21 29 2 Tidak Lulus

UPI 9 11 28 32 4 Tidak Lulus

UPI 10 13 24 29 1 Tidak Lulus

UPI 11 11 33 28 1 Tidak Lulus

UPI 12 13 35 28 4 Tidak Lulus

UPI 13 7 14 14 1 Tidak Lulus

UPI 14 9 17 16 1 Tidak Lulus

UPI 15 12 30 30 2 Tidak Lulus

UPI 16 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI 17 6 14 4 0 Lulus (C)

UPI 18 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI 19 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI 20 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI 21 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI 22 3 8 1 0 Lulus (B)

UPI 23 2 7 1 0 Lulus (B)

UPI 24 0 0 0 0 Lulus (A)

UPI25 3 9 1 0 Lulus (B)