Latar Belakang Penelitian STRATEGI TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA(Kajian Pragmatik dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Bandar Lampung).

Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu memengaruhi perilakunya Zhang, 2007. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan strategi bertutur karena jika strategi yang digunakan tidak tepat akan berdampak kepada emosi siswa yang berpengaruh pada perilakunya sehingga mengganggu proses pembelajaran yang sedang berlangs ung. Setiap peserta didik memiliki kebutuhan defisiensi Maslow dalam Slavin, 2011, yakni kebutuhan fisiologi, keselamatan, cinta, dan harga diri sebagai kebutuhan dasar yang harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan pertumbuhan peserta didik meliputi mengetahui dan memahami, estetika, serta aktualisasi diri. Para pendidik harus mengakui bahwa pembelajaran akan terganggu jika kebutuhan dasar siswa tidak terpenuhi dan kebutuhan defisiensi terpenting adalah cinta dan harga diri Slavin, 2011. Peserta didik yang merasa tidak dicintai dan tidak dihargai, padahal mereka mampu, tidak akan mungkin memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dalam kebutuhan pertumbuhan Stipek, 2001. Pendidik yang dapat menenangkan peserta didiknya dan membuat mereka merasa diterima dan dihargai sebagai individu akan membantu peserta didik untuk gemar belajar dan bersedia bersikap kreatif dalam rangka mengaktualisasikan dirinya. Kebutuhan defisiensi peserta didik dapat dipenuhi dengan upaya guru melalui bertutur yang baik sehingga memotivasi mereka untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Oleh karena itu, guru harus mampu mengendalikan perilaku peserta didik dengan bertutur yang dapat meningkatkan kepercayaan dirinya Ormrod, 2009. Hal senada pun diungkapkan Fried 2011 dalam penelitiannya bahwa dalam pembelajaran, emosi banyak memengaruhi proses belajar kognitif, motivasi, dan interaksi kelas. Emosi dapat meningkatkan proses kognitif sehingga ia dipandang sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Selain itu, emosi berfungsi sebagai sarana yang penting untuk meningkatkan atau menghambat proses belajar. Temuan Fried 2011 ini mendukung pandangan bahwa emosi secara berkala perlu diatur. Dalam tulisannya, Fried 2011 menekankan pentingnya guru melakukan regulasi emosi di dalam kelas, yakni kemampuan untuk mengontrol pengalaman dan ekspresi Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu emosi. Guru harus memahami situasi yang dapat membuat peserta didik merasa marah, frustrasi, takut dan sedih. Melalui tuturan yang baik dan efektif guru harus menjaga emosi siswa agar selalu positif, yakni senang, gembira, dan semangat dalam belajar. Besarnya peran profesi guru dalam mendidik dan membentuk generasi bangsa yang berkualitas, tentunya tidak bisa dilakukan secara “sembarangan” atau oleh “sembarang” orang Susilowati, 2013. Guru harus menjadi pribadi yang berkualitas, baik dari segi intelektual maupun kepribadian. Berkaitan dengan makna “guru yang berkualitas”, pada umumnya guru yang berkualitas diartikan sebagai guru yang mengajarnya dimengerti, wawasan keilmuannya luas, memiliki suri tauladan bagi pendidikan moral muridnya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, serta punya semangat untuk melakukan perbaikan dan perkembangan secara progresif bagi dunia pendidikan. Figur guru seperti ini terasa semakin sulit ditemui.Sulitnya menemukan sosok guru ideal yang berkualitas ditunjukkan dengan banyaknya fakta mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya di negeri ini. Kekerasan yang berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh Charters Susilowati, 2013 diartikan sebagai tindakan keras baik fisik maupun nonfisik guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau pendidikan yang menimbulkan luka fisik maupun psikis. Berdasarkan definisi kekerasan tersebut, jenis kekerasan dibagi menjadi dua macam, yaitu kekerasan fisik dan nonfisik Susilowati, 2013. Contoh kekerasan fisik, seperti penghukuman, penganiayaan, pemukulan, pemerkosaan, sedangkan kekerasan nonfisik meliputi verbal dan psikis. Contoh kekerasan nonfisik verbal ialah memaki, membentak, menghina. Contoh kekerasan nonfisik psikis, seperti memandang sinis, merendahkan, mengucilkan, mengabaikan, dan mempermalukan. Dampak kekerasan secara verbal dan psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit. Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah peserta didik Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu menjadi pendiam atau penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, seperti yang terjadi pada 06 November 2013 Tribun —Lampung seorang wali murid melaporkan ada wali kelas yang selalu berkata kasar kepada anaknya sehingga anaknya menjadi takut dan malas ke sekolah. Selanjutnya, kasus bullying yang lebih parah dapat mengakibatkan peserta didik bunuh diri. Kasus ini telah terjadi di Lampung, pada 10 November 2013 Radar TV, seorang anak laki-laki kelas VI sekolah dasar bunuh diri karena malu terhadap teman- temannya, karena gurunya berkata “Kalau kamu nakal terus, nanti diturunkan ke kelas V”, ia pulang ke rumah sebelum jam pelajaran berakhir karena malu dan mengadu kepada orang tuanya. Pada sore harinya, orang tua tersebut telah mendapatkan putranya gantung diri di pohon belakang rumah. Sungguh sebuah tragedi yang memilukan. Dengan demikian, guru diharapkan menggunakan strategi bertutur yang efektif agar tidak berdampak negatif pada peserta didik. Apalagi tuturan yang dianggap bullying harus dihindari karena akan menghancurkan masa depan peserta didik. Untuk itu, penting dilakukan kajian tentang bagaimana strategi tuturan direktif guru dalam pembelajaran yang dapat berdampak pada emosi peserta didik. Sesungguhnya, kajian tuturan direktif guru sudah banyak dilakukan, seperti Tindak Tutur Direktif Guru Taman Kanak-Kanak dalam Proses Belajar Mengajar di TK Aisyiah Kabupaten Banyumas Widyaningrum, 2011, Tindak Tutur Direktif Guru SMA Dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas Mulyani, 2011, dan Analisis Tindak Tutur Direktif Guru pada Pembelajaran Biologi Kelas VIII B MTs. 1 Muhammadiyah Malang Budiarti, 2013. Ketiga kajian dalam penelitian tersebut secara deskriptif memerikan bentuk tuturan direktif guru sebagai penutur. Dari ketiga kajian tersebut tidak diketahui bagaimana reaksi atau respons peserta didik sebagai mitra tutur. Hal ini tentu saja membutuhkan sebuah kajian yang empiris. Apalagi aspek konteks tuturan salah satunya adalah penutur dan mitra tutur Leech, 1983; Yule, 1996; Cummings, 2007. Sejauh pengamatan Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu peneliti, kajian salah satu fungsi komunikatif tuturan direktif, yakni meminta yang melibatkan penutur dan mitra tutur baru dilakukan oleh Zhang 2007 dalam jurnalnya yang berjudul ” Teacher Request Politeness: Effects on Student Positive Emotions and Compliance Intention”. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa tuturan permintaan guru yang santun berdampak pada emosi positif dan kepatuhan siswa. Dengan demikian, strategi kesantunan dalam bertutur permintaan hendaknya diketahui guru agar siswa dapat berperilaku patuh dan mempunyai emosi positif seperti berbahagia melakukan permintaan guru tersebut. Para cendekiawan telah banyak meneliti aktivitas tindak tutur direktif dari perspektif kesopanan Brown Levinson, 1978, 1987; Holtgrave Yang, 1990, 1992. Teori implisit mengenai tindak tutur direktif, seperti meminta Kim Wilson, 1994 beserta strategi dan pengaruhnya secara kontekstual Holtgraves Yang, 1990, 1992; Meyer, 2001, 2002. Akan tetapi, penelitian yang mendominasi mengenai tindak tutur direktif beserta realisasinya memfokuskan pada pilihan- pilihan pesan, strategi-strategi, dan pengaruh-pengaruh kontekstual misalnya kekuatan, ketertutupan hubungan, dan pemaksaan terhadap pemilihan-pemilihan pesan dalam hubungan-hubungan interpersonal Brown Levinson, 1987; Holtgraves Yang, 1992. Perhatian yang relatif kurang adalah pada efek-efek pesan terhadap penerima, terutama reaksi dan respons mereka Grant, King Behnke, 1994, Zhang, 2007. Penelitian ini dirancang untuk memerikan efek-efek pesan terhadap pendengar dalam konteks-konteks instruksional, khususnya efek-efek dari strategi tuturan direktif guru terhadap emosi siswa. Dengan demikian, masih sangat diperlukan kajian empiris tuturan direktif guru dalam pembelajaran untuk berbagai fungsi komunikasi yang lain, seperti memerintah, menyarankan, dan menanya. Berdasarkan pandangan Searle 1979:14, jenis tindak tutur direktif meliputi fungsi komunikasi ask ’menanya’, order ’memesan’, command ’menyuruh’, request ’meminta’, plead ’memohon’, pray ’berdoa’, invite ’mengundang’, permit ’mengizinkan’, dan advise ’menyarankan’. Untuk memperoleh data penelitian yang Oleh karena itu, dalam usulan penelitian ini peneliti tidak membatasi fungsi Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu komunikasi tuturan direktif tertentu, tetapi membuka peluang seluruh fungsi komunikasi tuturan direktif yang muncul secara empiris di lapangan. Adapun kajian yang berfokus pada strategi yang digunakan telah dilakukan Flor dan Usqun 2005:175 dalam tindak tutur memberi saran. Dia mengidentifikasi strategi tuturan memberi saran, yang meliputi tipe langsung, tidak langsung, dan bentuk konvensional. Setiap tipe tersebut terdiri atas beberapa strategi tuturan, misalnya untuk tipe langsung, bisa menggunakan strategi verba performatif, imperatif, dan imperatif negatif. Semua strategi tersebut tentu saja sangat bergantung pada konteks berbahasa. Demikian halnya, dalam konteks pembelajaran, peneliti berupaya memerikan setiap strategi tindak tutur direktif yang digunakan guru serta dampaknya terhadap emosi peserta didik. Dalam tuturan yang berbeda, yakni menolak, Aziz 2000 mengidentifikasi strategi menolak dari berbagai etnis penutur di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Batak dengan judul “Ralisasi Tindak Tutur Menolak dalam Masyarakat Indonesia: Kajian dari Perspekstif Kesantunan Bahasa, Hasil penelitian menunjukkan beragam strategi penolakan berdasarkan etnis tersebut. Kajian pragmatik tentang tindak tutur direktif telah banyak dilakukan para pakar dari perspektif kesantunan Brown Levinson, 1978, 1987; Holtgrave Yang, 1990, 1992 dan menyelidiki strategi-strategi tindak tutur direktif dan pengaruh-pengaruh kontekstual Holtgraves Yang, 1990, 1992; Meyer, 2001, 2002. Menurut teori kesantunan Brown dan Levinson 1987, tindak tutur direktif bersifat memaksa karena mengganggu kebebasan bertindak dari mitra tutur Holtgraves Yang, 1990; Kim Wilson, 1994. Perhatian yang relatif kurang pada efek-efek tuturan terhadap mitra tutur, terutama reaksi dan respons mereka Grant, King Behnke, 1994. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memerikan efek-efek tuturan direktif guru berupa respons warna afektif siswa dalam konteks pembelajaran. Pembelajaran di sekolah menengah pertama sebagai peristiwa tutur yang dipilih karena menurut psikologi perkembangan, siswa SMP sedang mengalami fase pencarian jati diri sehingga mudah berperilaku negatif dan positif, sangat Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu bergantung pada lingkungan. Santrock 2012 dan Muhibbin Syah 2011 menyebut fase usia anak SMP ini sebagai masa remaja adolescence Masa remaja ini bermula pada usia 12 tahun sampai 21 tahun yang awalnya ditandai dengan perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis. Oleh karena itu, fase perkembangan peserta didik usia SMP 12 —15 tahun diasumsikan telah mampu mengekspresikan perasaannya terutama ketika mendengar tuturan direktif guru. . Respons warna afektif terhadap strategi tuturan guru akan sangat kentara pada perilaku peserta didik di usia ini karena mereka cenderung bersikap terbuka dan tidak bersandiwara. Berdasarkan pengamatan, guru banyak menggunakan tindak tutur direktif dalam pembelajaran, seperti memerintah, meminta, melarang, menyarankan, atau mengajak. Hakikat tindak tutur direktif ini adalah penutur menghendaki mitra tutur melakukan tindakan tertentu. Tentu saja tindak tutur ini berisiko dipatuhi atau tidak oleh mitra tutur. Oleh karena itu, diperlukan strategi bertutur yang efektif dan komunikatif. Keefektifan dan kekomunikatifan tindak tutur direktif guru selanjutnya disingkat TTDG dapat dicapai jika siswa sebagai mitra tutur merasa dihargai dan dicintai Maslow dalam Slavin, 2011. Artinya, guru harus memiliki kompetensi pragmatik dalam bertutur yang dapat menimbulkan respons warna afektif positif siswa, seperti senang dan bangga. Jika tidak menimbulkan respons warna afektif positif siswa selanjutnya disingkat RWAPS dan menimbulkan respons warna afektif negatif siswa selanjutnya disingkat RWANS, strategi tindak tutur direktif guru selanjutnya disingkat STTDG akan menyebabkan siswa menjadi rendah diri karena malu, malas karena kesal, atau menghindar tidak mematuhi karena takut. Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Respons warna afektif positif siswa terbukti dapat memicu kepatuhan siswa terhadap tuturan meminta guru Zhang, 2007 dan sebaliknya respons warna afektif negatif siswa membuat mereka tidak patuh. Apalagi jika tuturan guru menimbulkan efek emosi negatif pada siswa, seperti malu atau takut yang dapat memicu perilaku buruk, seperti tidak mau berangkat sekolah, benci kepada guru, atau bahkan ada yang sampai bunuh diri Tribun, 2013. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang mendalam bagaimana STTDG yang berdampak pada RWAPS sehingga siswa merasa dihargai dan dicintai. Penghargaan dan cinta yang dirasakan siswa dari guru yang mengajarnya dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan mereka, yakni kompetensi pengetahuan, pemahaman, dan aktualisasi diri sehingga berkembang secara optimal. Selanjutnya, temuan penelitian yang mengkaji STTDG be-RWAPS ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP dengan menggunakan sebuah model yang berorientasi pada tuturan guru untuk dapat mengondisikan siswa belajar aktif dan kreatif. Dengan demikian, kajian pragmatik terhadap STTDG dalam penelitian ini dapat bermakna bagi pendidikan secara langsung. Adapun sumber data yang dipilih ialah tuturan direktif guru karena dalam pembelajaran, guru banyak bertutur yang menghendaki siswa sebagai mitra tutur untuk melakukan sesuatu, seperti tuturan menyuruh, menyarankan, dan meminta. Melalui penelitian ini akan diperoleh strategi tindak tutur direktif guru selanjutnya disingkat STTDG beserta respons warna afektif siswa selanjutnya disingkat RWAS yang berdampak pada perilaku mereka. Temuan ini akan menegaskan apa yang diungkapkan McDonald 2011 bahwa saat guru bertutur atau berbicara dalam pembelajaran, tanpa disadari siswa merespons secara afektif. Hal ini pun menegaskan apa yang dikemukakan Jansen 2010 bahwa setiap pembelajaran akan meninggalkan parut emosional pada siswa dan emosi tersebut akan memengaruhi keyakinan, keputusan, serta tindakanperilaku mereka. Dengan demikian, strategi tindak tutur direktif guru yang memicu munculnya respons warna afektif positif akan berpengaruh pada pembelajaran secara efektif. Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Selanjutnya, orientasi strategi bertutur guru yang efektif akan memunculkan kreativitas dan produktivitas gagasan siswa Joyce, 2011. Inilah yang menjadi hakikat model pembelajaran sinektik yang digagas William Gordon Joyce, 1978. Untuk itulah, kajian empiris tentang STTDG yang be-RWAPS diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP dengan menggunakan model pembelajaran yang berbasis temuan, yakni STTDG be-RWAPS sehingga hasil penelitian ini menjadi lebih bermakna.

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang masalah penelitian di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Bagaimanakah stategi tuturan direktif guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan respons warna afektif siswa terhadapnya serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP? Pertanyaan utama ini dapat diuraikan ke dalam subpertanyaan sebagai berikut. 1 Apa sajakah fungsi komunikasi dalam tuturan direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP? 2 Bagaimanakah realisasi atau strategi tindak tutur direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP? 3 Bagaimanakah strategi kesantunan bertutur direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP? 4 Bagaimanakah respons warna afektif siswa terhadap strategi tindak tutur direktif guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP? 5 Bagaimanakah implikasi strategi tindak tutur direktif guru dan respons warna afektif siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP?

C. Tujuan Penelitian

Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan STTDG dan RWAS serta mengimplikasikannya dalam sebuah model pembelajaran berbasis STTDG be-RWAPS. Tujuan umum ini merupakan inti dari keseluruhan tujuan khusus berikut ini. 1 Mengidentifikasi fungsi komunikasi dalam tuturan direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. 2 Memerikan strategi tuturan direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. 3 Memerikan strategi kesantunan berbahasa dalam tindak tutur direktif guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. 4 Memerikan respons warna afektif siswa terhadap strategi tindak tutur direktif guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP. 5 Mendeskripsikan implikasi strategi tindak tutur direktif guru dan respons warna afektif positif siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut. 1 Sumber data penelitian ini adalah guru Bahasa Indonesia di SMP yang berasal dari berbagai suku, bahasa, dan sekolah yang berbeda. Hal ini diasumsikan menghasilkan variasi tuturan yang kompleks dan menarik untuk diperikan. 2 Data penelitian berupa tindak tutur guru yang teridentifikasi sebagai tindak tutur direktif. Setiap fungsi komunikasi tindak tutur direktif guru selanjutnya disingkat TTDG diamanati dan dikaji, seperti fungsi tuturan memerintah, menyarankan, melarang, meminta, dan sebagainya Searle, 1979:14. 3 Reaksi atau respons yang diamati berupa warna afektif dan perilaku siswa terhadap tuturan guru terhadapnya. Respons warna afektif yang diamati