Evaluasi perkembangan pemukiman dengan pendekatan pengindraan juah (Inderaja)

(1)

EVALUASI PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

DENGAN PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA)

(Studi Kasus : Kota Depok)

EVA NOVIANA BUDIYANTI 203091002026

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

FAKULTAS SAINS dan TEKNOLOGI


(2)

EVALUASI PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

DENGAN PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komputer Pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

Eva Noviana Budiyanti 2030.9100.2026

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

A’ang Subiyakto, M.Kom Nur Aeni Hidayah, SE., MMSI

Mengetahui


(3)

Nur Aeni Hidayah, SE., MMSI

EVALUASI PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

DENGAN PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komputer Pada Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

Eva Noviana Budiyanti 2030.9100.2026


(4)

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

FAKULTAS SAINS dan TEKNOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan Karunia-Nya. Sholawat serta salam tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan untuk kita semua.

Tiada henti-hentinya penulis ucapkan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Perkembangan Permukiman dengan Penginderaan Jauh (Inderaja) di Kota Depok Jawa Barat”.

Penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini diantaranya :

1. Syopiansyah Jaya Putra H., Dr., M.Sis. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. M. Qomarul Huda, S.Kom, M.Kom. Ketua Jurusan Sistem Informasi Non-Reguler. 3. Alm. Muji Haryadi, M.Hut, Nur Aeni Hidayah, SE., MMSI. Pembimbing II dan


(5)

4. Seluruh Staf Sekretariat Non-Reguler, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan segala administrasi selama kuliah.

5. Keluarga dan teman-teman seperjuangan.

Penulis yakin tanpa bantuan mereka semua, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan selesainya tugas akhir ini, penulis ingin memohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Semoga dengan adanya skripsi ini dapat berguna bagi semuanya.

Jakarta, 22 Juni 2008


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…….………..ii

DAFTAR ISI ……….………...iii

DAFTAR TABEL ……….…………v

DAFTAR GAMBAR ………...vi

DAFTAR LAMPIRAN...viii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ………...1

1.2 Perumusan Masalah ………...3

1.3 Batasan Masalah ………3

1.4 Tujuan Penelitian ………...3

1.5 Manfaat Penelitian ……….4

1.6 Sistematika Penulisan ………4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………..6

2.1 Lahan dan Penutupan/Penggunaan Lahan ……….6

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan ………...7

2.3 Permukiman ………...8

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Permukiman ..…...9

2.5 Penginderaan Jauh ………...10

2.5.1 Masukan Data Penginderaan Jauh ………….………..10

2.5.2 Alat Penginderaan Jauh.………...11

2.6 Citra Landsat...14


(7)

2.7 Kondisi Umum Daerah Penelitian ………...…18

2.7.1 Sejarah Kota Depok ………..……….………..18

2.7.2 Lokasi Penelitian ...19

2.7.3 Iklim ...22

2.7.4 Penduduk ...22

2.7.5 Penggunaan lahan ...24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………..26

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….26

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ………...26

3.3 Metode Penelitian ………27

3.3.1 Tahap Pengumpulan Data ………27

3.3.2 Tahap Analisis Citra Digital ………27

3.3.2.1Koreksi Geometrik ………..28

3.3.2.2Interpretasi Visual Citra Landsat ………..…...32

3.3.2.3Klasifikasi ………36

3.3.3 Tahap Pengolahan Data ………...44

3.3.3.1Operasi Buffering ………44

3.3.3.2Operasi tumpang susun………... ………48

3.3.4 Tahap Analisis Data ………48

3.3.4.1Penyebaran dan Arah Perkembangan Permukiman.…48 3.4 Pengecekan Lapang ……….…………49

BAB IV HASIL PEMBAHASAN ...50


(8)

4.1.3 Penentuan Daerah Contoh ………...55

4.1.4 Klasifikasi dan Penilaian Klasifikasi………57

4.2 Analisis Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1997 dan 2006 ……..62

4.3 Perubahan Luas Permukiman ………..…………..…..66

4.4 Arah Perkembangan Permukiman ……….….……..……...67

4.5 Hubungan Aksesibilitas Terhadap Permukiman ……….….………...70

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ………72

6.1 Kesimpulan ………..72

6.2 Saran ………73


(9)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Karakteristik Satelit Landsat 5 TM………...………...15

2. Karakteristik sensor Landsat 7...16

3. Nilai RMS-error hasil koreksi geometrik Citra Landsat-7-ETM+2006 dengan peta Rupa Bumi………51

4. Nilai RMS-error hasil koreksi geometrik Citra Landsat-5-TM 2006 dengan Citra Landsat-7-ETM+2006……….51

5. Karakteristik Nilai Spektral Daerah Contoh (Training Area)………...56

6. Matrik Konfusi dan Nilai Kappa Citra Landsat-7-ETM+ tahun 2006...58

7. Matrik Konfusi dan Nilai Kappa Citra Landsat-5-TM+ tahun 1997...59

8. Proporsi Luas Permukiman (LP) di Kota Depok tahun 1997 dan 2006 ...………..67


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Wahana Penginderaan Jauh ……….12

2. Polynomial Model Properties ………...26

3. Projection Chooser………...27

4. Geo Corrections………....28

5. Resample Image………...29

6. Proses Isodata………...29

7. Classifier………..34

8. Signature Editor I……….35

9. Klasifikasi Citra………35

10. Signature Editor II………36

11. Supervised Classification……….36

12. Recode...37

13. Thematic Recode...38

14. Raster Attribute Editor...38

15. AOI Tool...39

16. Area Fill...39

17. Contoh View Fill...40

18. View Create Buffer I...42

19. View Create Buffer II...42

20. View Create Buffer III...44

21. View Create Buffer IV...44


(11)

23 Citra Landsat-5- TM Tahun 1997 Kota Depok Kombinasi Band 542

(RGB)………...…53

24 Citra Landsat-7- ETM Tahun 2006 Kota Depok Kombinasi Band 542 (RGB)..……….………54

25. Klasifikasi Citra Landsat-5- TM Tahun 1997 Kota Depok Kombinasi Band 542 (RGB)………...……….……60

26. Klasifikasi Citra Landsat-7-ETM Tahun 2006 Kota Depok Kombinasi Band 542 (RGB)………...………….………61

27. Peta Penggunaan Lahan Kota Depok Tahun 1997…………...………..……..63

28. Peta Penggunaan Lahan Kota Depok Tahun 2006………..………...………..64

29. Diagram Batang Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1997…...……..65

30. Diagram Batang Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2006 ………...65

31. Penyebaran Sentroid Tahun 1997 ………...………..68

32. Penyebaran Sentroid Tahun 2006………...69

33. Sebaran Permukiman Berdasarkan Sentroid………...………69


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Nilai OIF Tahun 1997...75

2. Nilai OIF Tahun 2006 ... 77

3. Tabel Penduduk...79


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dengan berkembangnya suatu kota, menjadikan daya tarik khusus bagi masyarakat desa untuk berurbanisasi, Tidak adanya lahan yang digunakan untuk usaha pertanian ataupun perkebunan akibat dari pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, hal ini menjadi sebab semakin sempitnya lahan yang tersedia untuk pemukiman. (Detik.Com, 2006)

Kebijaksanaan dalam pengembangan pemukiman di suatu wilayah, memerlukan pemantauan berkala agar sejalan dengan program Pemda yang ada. Informasi yang biasanya digunakan dalam memantau perubahan yang terjadi adalah melalui peta berskala 1:5000 dan Foto Udara. Setiap adanya perubahan yang terjadi, dilakukan pengukuran yang diperoleh untuk keperluan revisi peta dan didukung oleh data potensi desa.

Sedangkan pemantauan dalam perubahan suatu kawasan dengan menggunakan foto udara, tidaklah mungkin dilaksanakan setiap tahun, mengingat besarnya biaya serta terbatasnya instansi yang aktif dalam melakukan pemotretan. Sebagai contoh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) melakukan pemotretan ulang daerah yang sama berselang kurang lebih 10 tahun atau bila ada hal yang sangat mendesak,


(14)

Pada metode yang dipergunakan beberapa Pemda di Indonesia dalam memantau perkembangan wilayahnya biasanya memerlukan waktu yang cukup lama serta biaya yang cukup tinggi.

Adanya kondisi demikian, studi kali ini mencoba untuk memberikan alternatif sejalan dengan telah berkembangnya pemanfaatan peta digital. Integrasi peta digital dan Sistem Informasi Geografi (SIG) akan menjawab problem yang dihadapi beberapa Pemda dalam memantau setiap perubahan spasial yang terjadi di wilayahnya.

1.2 Perumusan Masalah

Pada perumusan masalah studi kali ini, penulis merumuskan masalah pada proses menganalisa perkembangan pemukiman pada suatu daerah dengan mengunakan aplikasi GIS (Geography information system).

1.3 Pembatasan Masalah

Studi ini lebih diarahkan untuk melakukan prediksi atas pertumbuhan pemukiman dengan cara menganalisa spasial yang terjadi pada periode 1982-1992 dan 1992-2002. analisa dilakukan berdasarkan perubahan pusat pemukiman pada setiap periode yang ditunjukan dengan vektor arah.


(15)

Daerah Penelitian yang digunakan untuk proses analisa perkembangan pemukiman adalah wilayah Kotamadya Depok. Secara astronomi, Depok terletak pada koordinat 6,19° - 6,28° Lintang Selatan dan 106,43°- 106,55° Bujur Timur, dengan luas wilayah 20,029 Ha. Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang

2. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Cibinong Kab. Bogor

3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sindur dan Parung Kabupaten Bogor

4. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Gunung Putri Kab. Bogor dan Kec. Pondok Gede Bekasi

Kondisi wilayah bagian utara umumnya berupa dataran rendah, sedangkan di wilayah bagian Selatan umumnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 40-140 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 2-15 %.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999, Wilayah Kota Depok terdiri dari 3 (tiga) kecamatan ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor (Depok.go.id, 2007) Yaitu :


(16)

Mekarsari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Jatijajar, Desa Tapos, Desa Cimpaeun, Desa Luwinanggung. 2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa yaitu Desa

Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojongsari, Desa Bojongsari Baru, Desa Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan, Desa Bedahan, Desa Pasir Putih. 3. Kecamatan Limo yang terdiri dari 8 (delapan) Desa yaitu Desa Limo, Desa

Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangklan Jati Baru, Desa Krukut, Desa Grogol.

4. Dan ditambah 5 (lima) Desa dari Kecamatan Bojong Gede yaitu Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya. Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintah yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata dan sebagai kota resapan air.

1.5 Tujuan Penelitian


(17)

1. Mendeteksi perkembangan pemukiman yang terjadi, berdasarkan peta rupa bumi yang berbeda skala dan priode waktu pembuatannya yang dijadikan sebagai informasi untuk keperluan analisis.

2. Melakukan prediksi arah pertumbuhan pemukiman pada daerah studi.

3. Teknik pengimplementasian dari kedua tujuan di atas mempergunakan aplikasi GIS.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan pemilihan studi kasus ini adalah :

1. Bagi penulis, studi ini diharapkan akan mampu memahami konsep Sistem Informasi Geografi untuk keperluan analisa wilayah pemukiman.

2. Bagi pemerintah daerah dengan adanya penulisan studi ini diharapkan bisa menjadi satu alternatif dalam memantau perkembangan pemukiman atau kawasan lainnya.

1.7 Metodologi Penelitian

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data pada studi kali ini adalah :

1. Observasi

Untuk memperoleh data yang lebih akurat, maka penulis melakukan observasi yaitu dengan cara mengunjungi tempat-tempat yang terkait dengan penelitian seperti


(18)

Bakosurtanal. Hal ini dilakukan untuk melihat proses analisis peta yang dilakukan oleh pihak terkait.

2. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung, wawancara ini digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Penulis melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait untuk mencapai tujuan penelitian.

3. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah pengumpulan data dari beberapa referensi yang terkait dengan penelitian. Hal ini dilakukan untuk menunjang proses penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.

1.8 Data Material dan Perangkat Lunak yang Dipergunakan

Data yang dipergunakan adalah data statistik kependudukan yang diperoleh dari kantor Biro Pusat Statistik (BPS).

Sedangkan peta yang akan digunakan adalah peta topografi 1982, peta rupa bumi Bakosurtanal 1999 dan peta rupabumi digital tahun 2002 menjadi material dasar pembentukan data digital untuk keperluan studi ini.

Adapun perangkat lunak yang digunakan untuk proses digitasi ,editing, proses Overlay dan pembentukan basis data untuk keperluan analisa dan estimasi perubahan pemukiman menggunakan perangkat lunak ArcView.


(19)

1.9 Estimasi Waktu

Waktu yang dibutuhkan oleh penulis dalam menganalisa pertumbuhan pemukiman, sebagai mana terlampir di bawah ini :

No Task Name Duration Start Finish

1 Pengumpulan Data 12 Fri 01/06/07 Mon 18/06/07 2 Analisis Data 7 Tue 19/06/07 Wed 27/06/07 3 Pengolahan Data 10 Thu 28/06/07 Wed 11/07/07

4 Overlay 15 Thu 12/07/07 Wed 01/08/07

5 Basis Data Spasial 5 Thu 02/08/07 Wed 08/08/07


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan dan Penutupan/Penggunaan Lahan

Lahan dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad, 2000). Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang, seperti hasil reklamasi daerah pantai dan hasil penebangan liar (Illegal Logging).

Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, di samping dapat menimbulkan kerusakan tanah juga dapat meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Untuk itu perlu dipikirkan jenis penggunaan sumberdaya lahan yang tidak menghabiskan potensi produksi di masa yang akan datang serta dapat mempertahankannya untuk jangka waktu yang lebih lama, namun tetap dapat memaksimumkan besarnya penerimaan (Lillesand dan kiefer, 1994).


(21)

Penelitian ini mengelompokkan penggunaan lahan menjadi dua kategori, yakni permukiman dan non-permukiman. Kelompok non-permukiman terdiri atas semak/belukar, kebun campuran, sawah dan lahan kosong.

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan

Pada hakikatnya, perubahan penggunaan lahan memiliki makna yang sama dengan konversi lahan. Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri (Kazaz, 2001).

Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutupan/penggunaan lahan. Di perkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi permukiman, industri atau infrastruktur kota. Pola demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya (Sitorus, 2004). Di wilayah pedesaan polanya berbeda karena tutuntan lahan urban untuk kebutuhan perumahan jauh lebih kecil dari perkotaan. Hal itu terjadi karena pertumbuhan penduduk di pedesaan sifatnya alami dan relatif kecil, bahkan banyak pedesaan yang mengalami pertumbuhan minus karena angkatan kerja diserap angkatan kerja di perkotaan.


(22)

Perubahan struktur penggunaan lahan terkait dengan tingkat efisiensi yang dimiliki dari penggunaan lahannya, dimana penggunaan lahan untuk aktivitas penggunaan lahan yang mampu memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi akan menggantikan penggunaan lahan yang mempunyai tingkat efisiensi yang lebih rendah. Misalnya, petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lahan lain apabila pembudidayaan sawah tersebut tidak mampu memenuhi perkembangan standar tuntutan hidupnya (Saefulhakim,1996).

Perubahan penggunaan lahan dapat diamati dari data-data yang berbasis spasial, seperti peta penggunaan lahan pada beberapa titik tahun yang berbeda menggunakan bantuan Penginderaan Jauh (Inderaja).

2.3 Permukiman

Setiap individu memerlukan tempat untuk berlindung dan bermukim. Tidak sedikit lahan/tanah yang digunakan untuk permukiman dan perumahan di pedesaan dan perkotaan. Pada konteksnya, perumahan merupakan bagian dari permukiman.

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Misalnya pendidikan, pasar, transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan keuangan, dan administrasi. Sedangkan, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat


(23)

tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Sedangkan menurut definisi lain, permukiman adalah pemukiman proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia seperti pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang bersifat fisik dan non fisik (sosial budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya (Ardian, 2007).

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Permukiman

Perkembangan suatu wilayah dapat di prediksi pertumbuhan penduduk atau perkembangan permukiman. faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman, antara lain jarak terhadap jalan utama, jarak dari pusat aktivitas, kenaikan harga lahan dan jumlah penduduk (Suhandak, 1995). Sedangkan, faktor-faktor seperti sarana dan prasarana, aksesbilitas dan jarak terhadap jalan dapat mempengaruhi perkembangan dan perluasan kawasan permukiman (Saefulhakim, 1996).

2.5 Penginderaan Jauh (Inderaja)

Penginderaan jauh (inderaja) adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk memperoleh, mengolah dan menganalisa data untuk mengetahui karakteristik objek tanpa menyentuh objek itu sendiri (Lillesand dan Kiefer, 1994). Dengan pengertian ini bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan termasuk peralatan yang dipakai untuk mengamati suatu objek dengan metode penginderaan jauh. Saat ini metode penginderaan jauh sudah


(24)

bagian utama yang tidak terpisahkan yaitu ruas antariksa, ruas bumi dan pemanfaatan data produk ruas bumi. Data yang diperoleh dari sensor penginderaan jauh menyajikan informasi penting untuk membuat keputusan yang mantap dan perumusan kebijakan bagi berbagai penerapan pengembangan sumberdaya dan penggunaan lahan.

Data penginderaan jauh digital mempunyai sifat khas yang dihasilkan oleh setiap sensor. Sifat khas data tersebut dipengaruhi leh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (obyek) dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran piksel datanya (Geomatika07, 2007).

2.5.1 Masukan Data Penginderaan Jauh

Dalam penginderaan jauh didapat masukan data atau hasil observasi yang disebut citra.Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau. Sebagai contoh, memotret bunga di taman. Foto bunga yang berhasil kita buat itu merupakan citra bunga tersebut.

Citra sebagai gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa suatu gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Di dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah yang berarti citra dalam bahasa Indonesia, yaitu “image” dan “imagery”, akan tetapi istilah imagery dirasa lebih tepat penggunaannya (Susanto, 1986).


(25)

Agar dapat dimanfaatkan maka citra tersebut harus diinterpretasikan atau diterjemahkan/ ditafsirkan terlebih dahulu. Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975).

Singkatnya interpretasi citra merupakan suatu proses pengenalan objek yang berupa gambar (citra) untuk digunakan dalam disiplin ilmu tertentu seperti Geologi, Geografi, Ekologi, Geodesi dan disiplin ilmu lainnya.

Dalam menginterpretasikan citra dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:

1. Deteksi ialah pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh sensor. 2. Identifikasi ialah mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan.

3. Analisis ialah mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terinci. 2.5.2 Alat Penginderaan Jauh

Untuk melakukan penginderaan jarak jauh diperlukan alat sensor, alat pengolah data dan alat-alat lainnya sebagai pendukung.

Oleh karena sensor tidak ditempatkan pada objek, maka perlu adanya wahana atau alat sebagai tempat untuk meletakkan sensor. Wahana tersebut dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit atau wahana lainnya (lihat gambar 2.1). Antara sensor, wahana, dan citra diharapkan selalu berkaitan, karena hal itu akan menentukan skala citra yang dihasilkan.


(26)

Gambar 2.1 Wahana Penginderaan Jauh (Lindgren, 1985)

Alat sensor dalam penginderaan jauh dapat menerima informasi dalam berbagai bentuk antara lain sinar atau cahaya, gelombang bunyi dan daya elektromagnetik. Alat sensor digunakan untuk melacak, mendeteksi, dan merekam suatu objek dalam daerah jangkauan tertentu. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk merekam gambar terkecil disebut resolusi spasial. Semakin kecil objek yang dapat direkam oleh sensor semakin baik sensor dan semakin baik resolusi spasial pada citra.


(27)

Berdasarkan proses perekamannya sensor dapat dibedakan atas: 1. Sensor Fotografi

Proses perekamannya berlangsung seperti pada kamera foto biasa, atau yang kita kenal yaitu melalui proses kimiawi. Tenaga elektromagnetik yang diterima kemudian direkam pada emulsi film dan setelah diproses akan menghasilkan foto. Ini berarti, di samping sebagai tenaga, film juga berfungsi sebagai perekam, yang hasil akhirnya berupa foto udara, jika perekamannya dilakukan dari udara, baik melalui pesawat udara atau wahana lainnya. Tapi jika perekamannya dilakukan dari antariksa maka hasil akhirnya disebut foto satelit atau foto orbital.

Menurut Lillesand dan Kiefer, ada beberapa keuntungan menggunakan sensor fotografi, yaitu:

a. Caranya sederhana seperti proses pemotretan biasa. b. Biayanya tidak terlalu mahal.

c. Resolusi spasialnya baik. 2. Sensor Elektronik


(28)

Sensor elekronik berupa alat yang bekerja secara elektrik dengan pemrosesan menggunakan komputer. Hasil akhirnya berupa data visual atau data digital/numerik.

Proses perekamannya untuk menghasilkan citra dilakukan dengan memotret data visual dari layar atau dengan menggunakan film perekam khusus. Hasil akhirnya berupa foto dengan film sebagai alat perekamannya dan tidak disebut foto udara tetapi citra.

Agar informasi-informasi dalam berbagai bentuk tadi dapat diterima oleh sensor, maka harus ada tenaga yang membawanya antara lain matahari.

Informasi yang diterima oleh sensor dapat berupa: 1. Distribusi daya (forse).

2. Distribusi gelombang bunyi. 3. Distribusi tenaga elektromagnetik. 2.6 Citra Landsat

Satelit Landsat 5 Merupakan Serial Satelit LANDSAT yang diluncurkan 5 Maret 1984 oleh NASA USA. Memiliki kemampuan mendeteksi permukaan seluruh permukaan bumi dengan mengirimkan data ke stasiun bumi yang ada di seluruh dunia. Satelit akan kembali medeteksi tempat yang sama dalam 16 hari berikut, dengan lebar sapuan sekitar185 Km dari kutub utara ke kutub selatan, mengitari bumi dengan orbit sunsyncronous, penempatan saat lintas khatulistiwa (equator) dengan descending node


(29)

sekitar jam 9.30 waktu setempat. Landsat -5 merupakan pengembangan dari satelit Landsat sebelumnya (1, 2 dan 3) dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrik, laju pengiriman data yang lebih cepat, dan fokus penginderaan yang berkaitan dengan vegetasi. Pengembangan sensor Thematik Mapper (TM) dengan penambahan saluran Thermal pada panjang Gelombang ( 10.40 -12.50 mikron) . Kanal

ini tidak ada pada Landsat 1,2, dan 3 dengan Sensorl MSS nya. Satelit Landsat 5 merupakan replika dari kemampuan yang tinggi dari perangkat Thematic Mapper .

memasukkan keistimewaan baru yang lebih serbaguna dan komponen yang lebih efisien untuk data studi global, monitoring penutup lahan dan luas area pemetaan lebih akurat dibanding desain terdahulu, dan menunjukkan koreksi radiometric yang stabil dengan gangguan yang rendah. Karaktersitik spektral Landsat-5 TM (Sitorus, 2007). Seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Satelit Landsat 5 TM

No.Band Jarak Spektral (Mikron) Resolusi Spasial (Meter)

1 0.45 sampai 0.52 30

2 0.52sampai 0.60 30

3 0.63 sampai 0.69 30

4 0.76 sampai 0.90 30

5 1.55 sampai 1.75 30

6 10.40 sampai 12.50 120


(30)

Landsat 7 adalah satelit remote sensing yang dioperasikan oleh USGS (United States Geological Survei), diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 berorbit polar pada ketinggian orbit 705 Km, dengan membawa sensor ETM+ yang dapat menghasilkan citra multispektral dan pankhromatik yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m dan 15 m. Misi Landsat 7 adalah untuk menyajikan data inderaja berkualitas tinggi dan tepat waktu dari kanal tampak (visible) dan infra merah yang meliput seluruh daratan dan kawasan di sekitar pantai di permukaan bumi dan secara berkesinambungan memperbaharui data base yang ada (Hamzah, 2004).

Tabel 2 Karakteristik sensor Landsat 7 Landsat 7

Instrument (Sensor)

Enhanced Thematics Mapper (ETM+) Lebar Cakupan

(swath width)

185 Km Pengamatan Balik

(revisit time)

16 hari Orbit

Ketinggian Orbit

Hampir Polar, Sinkron Dengan Matahari 705 Km

Melintasi Ekuator (local time) 10,00 ±15 min

Band Kisaran Spektral (μ)

Resolusi spasial ( m )

1 Biru (Blue) 0,450 - 0,515 30

2 Hijau (Green) 0,525 - 0,605 30


(31)

4 Infra merah dekat (NIR)

0,750 - 0,900 30

5 Gelombang infra merah pendek (SWIR)

1,550 - 1,750 30

6 Gelombang infra merah Thermal (TIR)

10,40 - 12,50 60

Short Wave IR 2.090 - 2,350 30

Modus Mono 0,520 - 0,900 15

2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. (Wikipedia, 2007).


(32)

Sedangkan, (Barus dan Wiradisastra, 2000) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja Secara komponen SIG terdiri atas : komponen perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi, dan manajemen data, sedangkan sebagai sistem SIG terdiri atas subsistem : data input, data output, data management dan data manipulation serta analysis, sehingga pada dasarnya dapat dikatakan bahwa peranan data sangat vital dalam menjalankan proyek-proyek SIG. Dalam rangka pengorganisasian data perlu dibentuk sistem basis data/data base.

Perkembangan perangkat lunak SIG saat ini sudah sangat pesat, saat ini sudah ada berbagai jenis software antara lain : Arc/info, Arcview , Mapinfo, Ermapper, Erdas, SpansGIS, MGE, Ilwis dan lain-lain, yang pada umumnya dapat kompatibel satu dengan lainya termasuk dengan penggunaan basis data yang ada (langsung dapat diaplikasikan atau melalui proses konversi terlebih dahulu).

2.7 Kondisi Umum Daerah Penelitian 2.7.1 Sejarah Kota Depok

Kota Depok dahulu merupakan sebuah dusun terpencil ditengah hutan belantara, yang kemudian pada tanggal 18 Mei 1696 seorang pejabat tingi VOC Cornelis Cahstelein membeli tanah yang meliputi daerah Depok dan sedikit wilayah Jakarta Selatan serta


(33)

Ratujaya Bojong Gede. Selanjutnya tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri. Keputusan tersebut berlaku sampai 1942.

Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) Wilayah Parung Kabupaten Bogor, kemudian pada Tahun 1976 Perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun Pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa, yang semakin pesat, sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.

Pada Tahun 1981 pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981 yang peresmiannya di selenggarakan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud) yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan dan 17 (tujuh belas) desa.

Selama kurun waktu 17 Tahun Kota Administratif Depok berkembang dengan pesat baik di bidang pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan, Khususnya bidang pemerintah semua desa berubah menjadi kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (tiga) kecamatan dan 23 (dua puluh tiga) kelurahan. Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Kota Administratif Depok ditingkatkan menjadi Kotamadya


(34)

bersama-sama Pemerintah Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tersebut dan mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok, yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok yang dipercayakan kepada Drs. H. Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok.

2.7.2 Lokasi Penelitian

Kota Depok terletak disebelah Barat/Utara wilayah Kabupaten Dati II Bogor dan berbatasan langsung dengan Wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi. Secara administratif Kota Depok mempunyai batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang.

b. Sebelah Selatan berebatasan dengan Kecamatan Bojong Gede dan Cibinong Kabupaten Bogor.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sindur dan Parung Kabupaten Bogor.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten bogor dan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi.


(35)

Sesuai dengan undang-undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya daerah tingkat II Depok, disebutkan pada pasal 3 bahwa wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Depok dengan luas wilayah 20.504,54 Ha meliputi

1. Kecamatan Beji, dengan Pusat Pemerintahan berkedudukan dikelurahan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 80.377 jiwa dan luas wilayah 1614 Ha.

2. Kecamatan Sukmajaya, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Mekar Jaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 216.396 Jiwa dan luas wilayah 3.398 Ha.

3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.

4. Kecamatan Limo, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Des Limo Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan jumlah penduduk 66.891 jiwa dan luas wilayah 2.595,3 Ha.

5. Kecamatan Cimanggis, dengan pusat pemerintahan yang berkedudukan di desa Cisalak pasar kecamatan Cimanggis. Terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan jumlah penduduk 221.330 jiwa dan luas wilayah 5.077,3 Ha.


(36)

6. Kecamatan Sawangan, dengan pusat pemerintahan yang berkedududkan di desa Sawangan. Terdiri dari 14 desa dengan jumlah penduduk 87.758 jiwa dan luas wilayah 4.673,8 Ha.

Visi Kota Depok

Menuju Kota Depok yang Melayani Dan Mensejahterakan. Misi Kota Depok

1. Mewujudkan Pelayanan yang Ramah, Cepat dan Transparan.

2. Membangun dan Mengelola Sarana dan Prasarana Infrastruktur yang Cukup, Baik dan Merata

3. Mengembangkan Perekonomian Masyarakat, Dunia Usaha, dan Keuangan Daerah 4. Meningkatkan Kualitas Keluarga, Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan

Masyarakat yang Berlandaskan Nilai-nilai Agama.

2.7.3 Iklim

Wilayah Depok termasuk dalam daerah beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim musim, secara umum musim kemarau antara bulan April-September dan musim hujan antara Oktober-Maret.


(37)

a. Temperatur : 24,3-33 derajat Celsius b. Kelembaban rata-rata : 82 %

c. Penguapan rata-rata : 3,9 mm/th d. Kecepatan angin rata-rata : 3,3 knot e. Penyinaran matahari rata-rata : 49,8 % f. Jumlah curah hujan : 2684 m/th g. Jumlah hari hujan : 222 hari/tahun

Iklim Depok yang tropis mendukung untuk pemanfaatan lahan pertanian ditambah lagi dengan kadar curah hujan yang kontinu di sepanjang tahun. Permasalahan mendasar walaupun di satu sisi di dukung oleh iklim tropis yang baik yaitu alokasi tata guna lahan yang harus mempertimbangkan sektor lain terutama lahan hijau dan permukiman.

2.7.4 Penduduk

Jumlah Penduduk di Kota Depok pada Tahun 2001 berdasarkan data dari BPS adalah 1.204.687 jiwa, sehingga dengan luas wilayah yang ada yaitu 207,06 km2 maka kepadatan penduduk rata-rata adalah 5.818 jiwa/km2. Jumlah penduduknya berkisar antara 115.575 jiwa (Kecamatan Beji) dan 331.778 jiwa (Kecamatan Cimanggis), sedangkan kepadatan penduduknya berkisar antara 2.918 jiwa/km2 (Kecamatan Sawangan) sampai dengan 8.777 jiwa/km2 (Kecamatan Sukmajaya).


(38)

Perkembangan jumlah penduduk Kota Depok berlangsung cepat, pada tahun 2000 Kota Administratif Depok penduduknya berjumlah 1.145.091 jiwa dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 1.204.687 jiwa setelah ditata menjadi 6 (enam) Kecamatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,70 %/tahun.

Sesuai dengan karakteristik perkotaannya yang masih mencirikan kombinasi perkotaan, wilayah Kota Depok belum seluruhnya terbangun. Kawasan yang masih kosong berupa kebun campuran/tegalan dan pesawahan masih cukup luas, yaitu sekitar 51 % dari luas wilayahnya, sedangkan kawasan perumahan dan kampung luasnya sekitar 5.900 ha atau 29 %, dan kawasan yang digunakan untuk kegiatan industri, jasa dan perusahaan meliputi areal seluas 1.100 ha (± 6 %).

Ditinjau dari penyebaran lokasi kegiatannya, kegiatan industri sebagian besar berkembang di Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya (wilayah kota bagian timur), Yaitu sepanjang Jalan Raya Bogor, sedangkan kawasan pertanian masih banyak terdapat di Kecamatan Sawangan, Kecamatan Pancoran Mas bagian selatan dan sedikit di Kecamatan Limo (wilayah kota bagian barat), dan untuk kegiatan perkantoran, jasa, perdagangan dan kegiatan pendidikan berkembang di wilayah kota bagian tengah, terutama di sepanjang Jalan Margonda, dan kawasan perumahan banyak berkembang di wilayah kota bagian utara yang berdekatan dengan Jakarta, yaitu Kecamatan Limo, Beji, Sukmajaya, dan Pancoran Mas bagian utara.


(39)

Untuk sarana dan prasarana dasar perkotaan, direncanakan untuk terus dikembangkan sistem transportasi (jaringan jalan dan angkutan intra kota yang efisien dan terintegrasi dengan inter kota. Selain itu kapasitas produksi dan distribusi air bersih perpipaan perlu ditingkatkan, selain itu juga masalah permukiman karena sesuai dengan arahan kegiatan fungsional Kota Depok.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk berada pada sektor :

a) Perdagangan dan Jasa : 126.616 orang (35,42 %)

b) Pemerintahan - Pegawai Negeri ( PNS/TNI) : 82.237 orang (23,02%) c) Petani : 224.468 orang (6,85%) d) Pengrajin : 2.267 orang (0,63%) e) Pengusaha : 657 orang (0,18%) f) Lain-lain : 121.207 orang (33,9%)

2.7.5 Penggunaan Lahan

Kondisi wilayah Kota Depok merupakan tanah darat dan tanah sawah. Sebagian besar tanah darat merupakan areal permukiman sesuai dengan fungsi kota Depok yang dikembangkan sebagai pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa.

Secara rinci penggunaan lahan adalah sebagai berikut : a) Permukiman : 10.968Ha


(40)

d) Rawa / Setu : 91Ha e) Lain-lain : 3.973Ha


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2007 hingga Desember 2007, mengambil lokasi penelitian di kota Depok Jawa Barat, Pengolahan dan analisis data di lakukan di Cibinong Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari Citra Landsat dan survei lapangan. Pada penelitian ini menggunakan Citra landsat dalam bentuk digital dengan dua periode yaitu Citra Landsat-5-TM path 122 row 065 dengan 7 band dan Citra Landsat -7- ETM+ tahun 2006 path 122 row 065 dengan 7 band. Dengan spesifikasi Landsat-7-ETM+ Tahun 2006 : Resolusi Spatial Pankromatik 15m, Resolusi Spatial Multispektral 30m, Resolusi fusi 15m, Skala peta yang dianjurkan 1:50.000, Minimal Order 1 Scene, Cakupan 180 x 180 km2.

Data sekunder meliputi Peta Rupabumi lembar Cibinong, Cileungsi, Pasar Minggu, Pondok Gede, Parung dan Serpong dengan skala peta 1: 25.000 produksi Bakosurtanal.

Alat yang digunakan terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (Software) Arc View GIS versi 3.3 dan ERDAS IMAGINE 8.6.


(42)

3.3 Metode Penelitian

Kelebihan dari metode ini adalah penulis dapat memperhitungkan konsteks spasial wilayah pada saat penafsiran dengan melibatkan lebih dari satu elemen (unit lahan, bentuk lahan, local knowledge dll) yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan metode klasifikasi digital secara langsung. Keuntungan kedua adalah metode ini cocok untuk daerah pada ekuator yang banyak tertutup awan.

Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu : (1) Tahap pengumpulan data, (2) Tahap analisis digital, (3) Tahap Pengolahan data, dan (4) Tahap analisis data. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.21.

3.3.1 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk penelitian, terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari Citra Landsat yang diperoleh dari SEAMEO BIOTROP Bogor dan survei lapang yang dilakukan di seluruh kecamatan guna validasi data hasil klasifikasi.

Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Daerah. Sedangkan pembuatan peta bumi digital kota Depok sebagai referensi dalam analisis citra digital dilakukan di Cibinong Bogor mencakup unsur-unsur jalan, sungai, garis kontur, penggunaan lahan dan batas administrasi kota Depok.


(43)

Untuk analisis citra digital dilakukan melalui tiga tahapan yaitu koreksi geometrik, pengamatan visual Citra Landsat dan Klasifikasi. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan evaluasi hasil dari analisis citra digital dengan pengecekan lapang, reinterpretasi, konversi format citra dan analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).

3.3.2.1 Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik adalah perujukan titik-titik tertentu pada citra ke titik-titik yang sama di lapang atau di peta topografi. Pasangan titik-titik ini digunakan untuk membangun fungsi matematis yang menyatakan hubungan antar posisi sembarang titik pada citra dengan objek yang sama pada peta maupun lapangan (Jensen, 1986). Proses koreksi geometrik diawali dengan merektifikasi citra ke peta Rupabumi (image to image rectification) berdasarkan GCP (Ground Control Point) yang mudah diidentifikasi pada peta maupun citra yang dikoreksi dan bentuk relief yang tidak berubah dalam jangka waktu yang lama.

Citra Landsat -7-ETM+ tahun 2006 direktifikasi dengan peta rupabumi daerah depok. Proses ini dilakukan terlebih dahulu agar mudah memperoleh obyek yang sama pada peta topografis dan citra yang akan dikoreksi. Citra landsat-5- TM tahun 1997 yang telah dikoreksi digunakan sebagai referensi untuk meregistrasi Citra Landsat-7-ETM tahun 2006.


(44)

1. Buka program ERDAS Imagine sehingga muncul tampilan menu bar, kemudian klik

ikon menu Viewer untuk menampilkan image.

2. Buka image pada viewer #1 sebagai image yang belum terkoreksi dan viewer #2 sebagai image atau vector yang telah terkoreksi digunakan untuk acuan.

3. Pada viewer #1 klik menu Raster→Geometric Correction→Pilih Polynomial→ klik OK.

4. Kemudian muncul dialog seperti berikut :

Gambar 3.1 Polynomial Model Properties 5. Klik menu Projection


(45)

7. Klik Menu Add/Change Projection sehingga keluar tampilan (Edited) Projection Chooser.

8. Klik Custom lalu isi pilihan sesuai perintah berikut :

Gambar 3.2 Projection Chooser a. Projection Type : UTM

b. Spheroid Name : WGS 84 c. Datum Name : WGS 84

d. UTM Zone : 48 (wilayah image berada di garis bujur 102 – 108 E), e. Pilih : South (untuk wilayah yang berada di area Lintang Selatan) 9. Klik iconClose

10. Pilih option Exiting Viewer → Klik OK, kemudian muncul dialog Viewer Selection Intructions. Dialog ini mengkonfirmasikan viewer mana yang akan digunakan sebagai acuan. Karena yang dijadikan acuan adalah viewer #2 maka klik pointer/kursor pada image


(46)

Gambar 3.3 Geo Corrections

11. Dengan menggunakan icon tentukan posisi dari suatu piksel yang bisa dikenali pada piksel dari image acuan. Cocokkan antara GCP pada image yang akan dikoreksi dengan Image acuan sampai benar-benar terletak pada satu piksel yang sama.

12. Buatlah GCP paling minimal 4 buah pada tempat yang diketahui nilai atau posisinya 13. Setelah titik GCP yang dibuat lebih dari 4 (empat ) maka nilai RMS Error akan muncul pada tabel. Nilai RMS error akan semakin kecil apabila posisi GCP koreksi benar-benar sama dengan GCP acuan. Usahakan nilai RMS Error nilainya di bawah 0.5 yaitu dengan cara menggeser titik GCP pada kedua image sehingga posisinya benar-benar sama.


(47)

14. Untuk hasil yang lebih baik, buatlah titik GCP sebanyak mungkin dan menyebar di semua area.

15. Jika telah selesai save hasilnya dengan mengklik ikon Resample Image dalam Geo Correction Tools. Sehingga akan muncul kotak dialog seperti berikut :

Gambar 3.4 Resample Image

16. Tunggu proses komputer, kemudian klik OK setelah proses selesai.

Gambar 3.5 Proses Isodata 3.3.2.2 Interpretasi Visual Citra Landsat

Pada tahap interpretasi visual dilakukan perbandingan kenampakan karakteristik obyek-obyek pada Citra Landsat tahun 1997 dan 2006. untuk membantu pengamatan visual


(48)

kunci interpretasi. Pemilihan kombinasi band yang tepat dilakukan dengan pendekatan nilai OIF (Optium Index Factor), kunci interpretasi yang digunakan yaitu rona, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola dan situs. Beberapa obyek yang dapat diamati pada citra antara lain permukiman, sawah, semak belukar dan sungai/danau kemudian ditentukan daerah contoh (training area).

Kunci interpretasi yang digunakan berdasarkan rona, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola dan situs (Lillesand dan kiefer, 1994).

1. Hutan lahan kering, komposisi warna = Chartause

2. Hutan tanaman, komposisi warna = Green

3. Kebun campuran

Komposisi warna = R 0.600 G : 0.900 B : 0.500

4. Kebun karet, komposisi warna = R : 0.400, G : 0.800, B : 0.700


(49)

6. Pertanian lahan kering, komposisi warna = Gold

7. (Band 542) (Band 432)

Permukiman, komposisi warna = Red

8. Kawah, komposisi warna = purple

9. Kebun kelapa sawit

Komposisi warna = R : 0.600, G : 0.900, B :0.400

10. Hutan rawa, komposisi warna = R : 0.500, G : 0.750, B : 0.400

11. (Band 542) (Band 432)

Hutan mangrove R0.200 G0.800 B:0.050


(50)

13. Rawa, komposisi warna = aquamarine

14. Semak/belukar, komposisi warna = Tan

15. Tubuh air, komposisi warna = Blue

16. Tambak, komposisi warna = cyan

17. Awan, komposisi warna = White

18. Tanah terbuka, komposisi warna = Pink

19. Sawah, komposisi warna = Yellow


(51)

21. Danau, komposisi warna = blue

22. Bayangan awan, komposisi warna = light gray

23. Perkebunan lain

Komposisi warna = R : 0.600, G : 0.900, B : 0.500 3.3.2.3 Klasifikasi

Untuk menetapkan kelas-kelas penggunaan lahan dilakukan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) pada kedua Citra Landsat. Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan area contoh (training area) yang telah ditentukan sebelumnya yaitu dengan menggambarkan poligon-poligon pada citra dengan karakteristik spektral tertentu.

Metode klasifikasi terbimbing yang digunakan adalah algoritma kemiripan maksimum banyak digunakan pada citra beresolusi rendah sampai menengah yang lebih memfokuskan pada nilai spektral. Asumsi dari algoritma ini adalah obyek yang homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal. Pada algoritma ini piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu tidak karena jarak euklidiannya melainkan oleh bentuk,


(52)

Untuk memutuskan klasifikasi dibutuhkan informasi statistik berupa nilai rataan (mean), simpangan baku tiap sampel, varian (ragam) dan kovarians sehingga probabilitas setiap piksel suatu kelas dapat dihitung. Pada algoritma ini diasumsikan probabilitas untuk semua kelas dipandang sama tetapi pada kenyataannya, tidak semua kelas dapat dilakukan dengan probabilitas yang sama untuk dipresentasikan pada citra. Pengambilan keputusan berdasarkan pada pertimbangan kemiripan maksimum.

Hasil uji ketelitian klasifikasi disajikan dalam bentuk koefisien Confution Matrik dan nilai Kappa. Koefisien Confution matrik bukan merupakan ukuran ketelitian klasifikasi secara menyeluruh tetapi menyatakan seberapa baik mengkelaskan training site. Nilai Kappa (Lampiran 1) digunakan untuk menghitung akurasi hasil klasifikasi dengan menghitung kebenaran jumlah piksel yang diklasifikasikan termasuk nilai omsi (jumlah piksel yang diklasifikasikan menjadi kelas lain) dan nilai komisi (jumlah piksel dari kelas lain yang masuk dalam kelas ini).

Tahapan Klasifikasi yang dilakukan, sebagai berikut :

1. Sebelum melakukan kegiatan klasifikasi terbimbing, terlebih dahulu buat Training Areanya (Signature). Klik ikon panel Classifier sehingga akan muncul tampilan seperti berikut ini.


(53)

Gambar 3.5 Classifier

Kemudian pilih Signature Editor dan muncul dialog box berikut.

Gambar 3.6 Signature Editor 1

2. Buka View yang akan diklasifikasi (*.img). Kemudian deliniasi dengan menggunakan AOI tools sampel-sampel wilayah tiap kategori kelas klasifikasinya. Setiap membuat AOI


(54)

beri keterangan pada Signature Editornya yaitu dengan mengklik (create new signatur (s) from aoi).

Gambar 3.7 Klasifikasi Citra

Gambar 3.8 Signature Editor 2

3. Save file (*.sig) hasil training area setelah semua kriteria kelas klasifikasi diambil sampelnya. Sampel dari satu kelas klasifikasi bisa lebih dari satu sampel, tergantung penyebaran pada image tersebut.


(55)

4. Klik ikon panel Classifier | Supervised Classification, sehingga muncul dialog box berikut.

Gambar 3.9 Supervised Classification

5. Warna dapat diganti sesuai dengan keinginan kita yaitu dengan mengubah atributnya. Buka file hasil klasifikasi (*.img) pada window viewer, Klik Raster pada menu bar, kemudian pilih atribut Attributes.

Setelah proses klasifikasi dilakukan, tahapan selanjutnya adalah Recoding. Tahapan-tahapan Recoding sebagai berikut :

1. Dari menu bar Erdas Imagine, klik icon kemudian muncul kotak dialog lalu pilih GIS Analysis ½ Recode sehingga keluar tampilan berikut :


(56)

Gambar 3.10 Recode

4. Klik Setup Recode untuk mengelompokan baris-baris (row) atribut yang memiliki kelas klasifikasi yang sama.

Gambar 3.11 Thematic Recode 5. Klik OK, dan tunggu prosesnya.

6. Klik pada viewer untuk menampilkan data recode yang telah kita buat. Lalu klik menu bar Raster | Attribute , edit atributnya sesuai dengan nomor pengelompokannya.


(57)

Gambar 3.12 Raster Attribute Editor 6. Klik Save.

Tahapan selanjutnya adalah Filling, hal ini dilakukan untuk memperbaiki proses klasifikasi yang telah dilakukan, tahapan yang dilakukan, sebagai berikut :

1. Buka Viewer dan buka file citra yang ingin kita fill


(58)

Gambar 3.13 AOI Tool

3. Kemudian dari menu bar Viewer pilih Raster│Fill, sehingga muncul kotak Area Fill

Gambar 3.14 Area Fill

4. Pada Viewer, buatlah dengan polygon AOI pada wilayah yang kita ingin fill. Kemudian pada kotak area fill, masukkan nilai warna yang kita inginkan sebagai warna pengganti wilayah tersebut, pilih Apply dan wilayah tersebut akan berubah warna sesuai yang diinginkan.


(59)

Wilayah yang ingin di Fill

Gambar 3.15 Contoh View Fill

5. Setelah semua wilayah yang ingin kita rubah sudah selesai dilakukan proses filling-nya, pilih ikon save untuk menyimpan file hasil filling.


(60)

3.3.3 Tahap Pengolahan Data 3.3.3.1. Operasi Buffering

Ekstraksi informasi dari data spasial yang telah tersedia berupa peta penggunaan lahan tahun 1997 dan 2006 serta peta jaringan jalan. Pada tahap ini bertujuan untuk melihat sebaran permukiman pada selang waktu antara tahun 1997 dan 2006 berserta aksesibilitasnya.

Operasi ini diaplikasikan pada sarana aksesibilitas, yaitu jalan utama menggunakan bantuan ArcView 3.3 untuk mengetahui keterkaitan antara aksesibilitas dengan perkembangan permukiman. Zonasi wilayah dengan operasi buffering atau penyangga adalah suatu daerah yang mempunyai lebar tertentu yang digambarkan di sekeliling satu eleman atau lebih di bagian suatu kawasan yang mempunyai jarak tertentu (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Jarak buffer dari jalan adalah suatu fungsi pengukuran jarak (perkiraan) antara area permukiman berdasarkan jaraknya dari jalan utama. Jarak buffer dibuat berdasarkan penyebaran permukiman dan jarak yang paling menunjukan perubahan yang nyata terhadap luas permukiman dan jalan terjadi pada jarak tiap 1000 m. Jarak buffer yang digunakan adalah : 0-1000 m (Zona 1), 1000-2000 m (Zona 2), 2000-3000 m (Zona 3), 3000-4000 m (Zona 4), 4000-5000 m (Zona 5), dan jarak > 5000 m (Zona 6).


(61)

Jarak buffer ini dibuat dengan mengasumsikan bahwa pengaruh jalan utama terhadap perubahan penutupan/penggunaan lahan permukiman pada jenis aksesibilitas lainnya.

Tahapan buffer yang dilakukan, sebagai berikut :

1. Klik menu pulldown Theme | Create Buffer sehingga muncul kotak dialog berikut :

Gambar 3.16 View Create Buffer I

2. Pastikan pada option ‘The features of a theme’ yang terpilih adalah sungai, kemudian klik button Next


(62)

Gambar 3.17 View Create Buffer II How do you want to create buffer?

1. At a specified distance : digunakan untuk pembuatan buffer yang didasarkan pada jarak yang ditetapkan oleh pengguna

2. At a distance from an attribute field : Pembuatan buffer didasarkan pada jarak-jarak yang telah didefinisikan di dalam suatu field atribut yang telah ditentukan

3. As multiple rings : Pembuatan buffer akan menghasilkan/membentuk sejumlah (number of rings) lingkaran konsentris dengan jarak interval tertentu (distance between rings) antara setiap lingkaran yang berdekatan 3. Pilih ‘At a specified distance’ pada kotak dialog lanjutan. Misal kita akan membuat buffer sungai (sempadan) dengan jarak kanan-kirinya 100 meter, maka dalam kotak tersebut kita ketikan 100 dan pilih ’Meters’ sebagai satuan jaraknya (distance units are), kemudian tekan button Next.

4. Kotak dialog lanjutan akan muncul setelah menekan button Next, dilanjutkan dengan memilih radion button ’No’ (jika batas dissolve antar buffer ingin ditampilkan) dan ‘in a


(63)

new theme’. Simpan file output hasil buffer pada directory dengan cara mengklik button. Kemudian klik button Finish dan tunggu prosesnya.

Gambar 3.18 View Create Buffer III

5. Pada tahap ini, jika theme yang di proses adalah polygon maka pengguna diharuskan mendefinisikan beberapa option seperti berikut ini :


(64)

Gambar 3.19 View Create Buffer IV

1. inside and outside the polygon(s) : akan menyebabkan buffer digambarkan baik arah luar maupun ke dalam objek buffer (polygon) yang bersangkutan

2. only outside the polygon(s) : akan menyebabkan buffer hanya digambarkan ea rah luar objek buffer (polygon) yang bersangkutan

3. only inside the polygon(s) : akan menyebabkan buffer hanya digambarkan ea rah dalam objek buffer (polygon) yang bersangkutan.

Gambar 3.20 View Inside and Outside

3.3.3.2 Operasi Tumpang Susun


(65)

Operasi ini dilakukan untuk mengkaji penyebaran permukiman pada tiap Zona serta melihat buffer ditinjau dari luasnya, maka dilakukan overlay (tumpang susun) antara zona buffer dan peta sebaran permukiman. Dari operasi ini diperoleh hubungan antara aksesibilitas dengan luas permukiman.

3.3.4 Tahap Analisis Data

3.3.4.1 Penyebaran dan Arah Perkembangan Permukiman

Penyebaran permukiman digunakan untuk mengetahui gradien garis lurus yang terbentuk dari persamaan garis antara nilai koordinat X dan nilai koordinat Y sebagai sentroid poligon permukiman. Dalam sistem informasi secara spasial, sentroid merupakan satu titik yang mewakili suatu poligon dimana informasi atribut dihubungkan. Analisis ini menggunakan persamaan yang ditulis dalam bentuk; y= a+bx, dalam hal ini a menyatakan intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak dan b adalah gardiennya (Walpole, 1997).

Penyebaran permukiman dapat diidentifikasi dengan sentroid dari masing-masing poligon permukiman menggunakan median center (xm, ym). Penyebaran permukiman tersebut ditentukan oleh pusat geometrik suatu poligon (sentroid). Titik sentroid permukiman tiap periode berubah dan memiliki informasi koordinat yang dinyatakan dalam koordinat (X, Y). Pengamatan dilakukan terhadap perubahan nilai koordinat sentroid, sehingga akan diketahui arah pergeseran pemukiman dari suatu periode ke periode berikutnya.


(66)

Arah perkembangan permukiman dapat dilihat dari pergeseran pusat sebaran poligon (sentroid) yang memiliki sepasang koordinat spasial.

3. 4 Pengecekan Lapang

Pengecekan lapang dilakukan melalui pengamatan dan pengumpulan informasi mengenai kondisi di daerah penelitian, seperti penggunaan lahan, kondisi permukiman, dan sebagainya. Pengecekan lapang bertujuan untuk membandingkan antara hasil analisis data dengan kondisi sebenarnya.


(67)

HASIL PEMBAHASAN

4.1 Analisis Citra Digital

Sebelum menganalisis suatu citra, dilakukan beberapa persiapan diantaranya adalah pengumpulan data yang berkaitan dengan penelitian. Data yang paling utama dalam penelitian ini adalah Citra Landsat daerah penelitian. Citra Landsat diperoleh dari SEMEO BIOTROP yang terletak di daerah Bogor. Setelah citra diperoleh, tahapan selanjutnya adalah konversi/format data. Hal ini berguna untuk membantu peneliti dalam proses selanjutnya.

4.1.1 Koreksi Geometrik

Akurasi koreksi geometrik citra diperoleh berdasarkan nilai Root Mean Square Error (RMS-error). Nilai RMS-error rata-rata hasil koreksi geometrik Citra Landsat-5-TM+1997 dengan peta rupa bumi adalah (Tabel 1).

Akurasi yang baik adalah jika tepat objek dan nilai RMS-error kurang dari satu yang menunjukan bahwa penyimpangan pergeseran objek/titik pada citra tidak melebihi satu piksel (30x30 meter).

Penyimpangan posisi citra dapat terjadi karena perekaman citra satelit oleh sensor sering mengalami distorsi, pergeseran secara alami dari objek selama perekaman maupun ketidakakuratan proses digitasi pada Peta Rupabumi.


(68)

GCP Cell X (X) Cell Y (Y) Easting (X) Northing (Y) RMS

1 1113.15 18.79 705545.61E 9302036.29N 0.23

2 5000.53 10.1 696391.01E 9302151.92N 0.37

3 1420.78 1202.05 710201.87E 9284247.71N 0.38

4 803.76 903.59 700946.41E 9288716.53N 0.27

5 35.18 1119.01 689444.84E 9285436.12N 0.27

6 45.39 1083.13 689594.44E 9285992.12N 0.19

7 34.56 763.02 689428.27E 9292096.48N 0.22

8 28.38 679073 689339.76E 9292096.48N 0.13

9 245.24 134.43 692562.10E 9300258.94N 0.17

RMS- Error Rata-rata 0.276

Tabel 4 Nilai RMS-error hasil koreksi geometrik Citra Landsat-5-TM+1997 dengan Citra Landsat-7-ETM+2001

GCP Cell X (X) Cell Y (Y) Easting (X) Northing (Y) RMS

1 2437.85 5587 710201.43E 9302532.37N 0.15

2 2535.96 5471.96 713591.23E 9282251.92N 0.19

3 2198.48 5024 705537.29E 9183257.71N 0.17

4 1776 5148 687458.81E 9234716.73N 0.10

5 1724 544.11 713072.84E 9885490.12N 0.25

6 1799.99 5538 702873.83.E 9245552.12N 0.19

7 2488 5259.09 690345.21E 9143096.38N 0.22

8 2131.99 5157 765847.34E 9292016.40N 0.18

9 1768.04 5586 693432.32E 9100228.04N 0.16

RMS- Error Rata-rata 0.161


(69)

Setiap objek yang terdapat pada citra memiliki kenampakan yang khas, kombinasi band yang digunakan dalam membantu pengenalan objek adalah 542 (RGB) berdasarkan nilai OIF (Lampiran 1 dan 2). Kombinasi band 542 (RGB) pada citra landsat memiliki kekontrasan yang tinggi dimana objek-objek yang terdapat dalam citra dapat dengan mudah dibedakan karena kualitas citra komposit dan hasilnya lebih baik (Gambar 4.1 dan 4.2). Rumus Nilai OIF

3

OIF =

Sk k=1

3

abs(rj)

j = 1

Ket :

Sk : Standard deviasi untuk band k

abs (rj) : Nilai absolut dari koefisient korelasi diantara 3 band yang dinilai

Interpretasi objek pada citra dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur interpretasi diantaranya rona, ukuran, bentuk, tekstur, pola dan situs. Selain itu peta topografis dan informasi lapang dapat dijadikan referensi dalam interpretasi objek.


(70)

(71)

(72)

Interpretasi objek pada citra dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur interpretasi diantaranya rona, ukuran, bentuk, tekstur dan pola. Selain itu peta topografis dan informasi lapang pra-analisis dapat dijadikan referensi dalam interpretasi objek. 4.1.3 Penentuan Daerah Contoh (Training Area)

Pengambilan contoh pada masing-masing kelas penutupan/penggunaan lahan dilakukan secara visual berdasarkan kenampakan warna yang relatif homogen dengan pola tertentu dengan mempertimbangkan kemudahan penarikan batas pada setiap kelas penutup lahan. Pada citra ditentukan daerah contoh (training area) untuk permukiman, kebun campuran, danau/sungai, sawah, lahan kosong dan semak belukar.

Setiap training area memiliki nilai spektral maksimum, minimum, rataan (mean) dan standar deviasi Tabel 5. Homogenitas sampel dalam klasifikasi digital ditunjukan oleh homogenitas nilai piksel pada setiap sampel, artinya nilai standar deviasi kelompok piksel pada setiap sampel haruslah rendah pada setiap saluran.

Citra Landsat tahun 1997 dan 2006 memiliki nilai standar deviasi yang rendah sehingga antar masing-masing kelas penggunaan lahan memiliki beberapa nilai piksel yang sama. Akibatnya pada saat klasifikasi untuk masing-masing training area masih memiliki duplikasi piksel yang beragam. Masalah seperti ini yang umum dijumpai pada klasifikasi multispektral. Begitu banyak objek dengan nilai spektral yang bermacam-macam bahkan ditemukan beberapa objek dengan nilai spektral bertampalan (overlap).


(73)

Tabel 5 Karakteristik Nilai Spektral Daerah Contoh (Training Area) Citra Tahun 1997

Band 542

Citra Tahun 2006 Band 542 Training

Area Nilai

R G B R G B Min 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 Max 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 Mean 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00

Pemukima

n

Stdv 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Min 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 Max 1.00 1.00 0.00 1.00 0.84 0.00 Mean 1.00 0.50 0.00 1.00 0.42 0.00 Lahan Kosong

Stdv 0.00 0.71 0.00 0.00 0.60 0.00 Min 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Max 1.00 1.00 0.00 1.00 0.84 0.00 Mean 0.67 0.46 0.00 0.67 0.41 0.00

Kebun

Campuran Stdv 0.58 0.50 0.00 0.58 0.42 0.00 Min 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Max 1.00 1.00 1.00 1.00 0.84 1.00 Mean 0.50 0.35 0.25 0.50 0.31 0.25 Sungai/ Danau

Stdv 0.58 0.47 0.50 0.58 0.40 0.50 Min 50.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Max 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 Mean 0.50 0.48 0.20 0.50 0.45 0.20

Sawah

Stdv 0.50 0.50 0.45 0.50 0.47 0.45 Min 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Max 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 Mean 0.54 0.52 0.29 0.54 0.50 0.29 Semak Belukar


(74)

4.1.4 Klasifikasi dan Penilaian Hasil klasifikasi

Setelah memperoleh daerah contoh (training area) dilakukan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Dalam klasifikasi terbimbing, identitas dan lokasi beberapa tipe penutupan/penggunaan lahan diketahui secara apriori melalui kombinasi orientasi wilayah, analisis visual peta dan pengalaman pribadi.

Metode klasifikasi terbimbing yang digunakan adalah algoritma kemiripan maksimum (Maximum Likelihood Classification/MLC). Hasil klasifikasi dengan MLC pada Citra Landsat tahun 1997 menghasilkan 7 kelas penutupan/penggunaan lahan yaitu, permukiman, kebun campuran, danau/sungai, sawah, lahan kosong, semak belukar dan awan. Pembagian kelas awan dilakukan karena hasil foto yang dilakukan oleh Citra Landsat-5-TM terdapat awan yang menghalangi kelas penutupan/penggunaan lahan.

Sedangkan pada Citra Landsat tahun 2006 menghasilkan 6 kelas penutupan/penggunaan lahan yaitu, permukiman, kebun campuran, danau/sungai, sawah, lahan kosong, dan semak belukar. Pembagian kelas striping dilakukan karena hasil foto yang dilakukan oleh Citra Landsat-7-ETM, mengalami kerusakan sehingga citra yang dihasilkan terdapat striping.

Hasil klasifikasi dengan MLC menghasilkan efek salt dan pepper (Gambar 4.3 dan Gambar 4.4) yaitu poligon kecil yang tersebar tidak beraturan dari kelas tutupan lahan yang di identifikasi. Hal ini terjadi terutama ketika piksel berada diantara area yang penggunaan lahannya tidak terlihat atau bervariasi dan dipaksakan untuk di klasifikasi. Pendekatan dengan Maximum Likelihood classification sebenarnya memiliki


(75)

kelemahan yaitu banyaknya kesalahan klasifikasi yang muncul, walaupun hasil klasifikasi menunjukan nilai akurasi keseluruhan dan nilai kappa yang cukup tinggi.

Untuk mengurangi hasil klasifikasi dilakukan pengecekan lapangan serta melihat peta rupabumi sebagai rujukan. Sedangkan untuk menghilangkan efek salt and papper dilakukan proses Focal Majority. Focal Majority dilakukan untuk mengeneralisasikan poligon-poligon kecil yang tidak beraturan agar terkelaskan kedalam tipe penggunaan lahan tetangganya agar homogen.

Ketelitian klasifikasi dari kedua citra dinilai berdasarkan nilai akurasi keseluruhan dan nilai Kappa.

Tabel 6 Matrik Konfusi dan Nilai Kappa Citra Landsat-7-ETM+ Tahun 2006 Kelas di Lapang

Hasil

Klasifikasi Pmk Kbn Dn Swh LK SB

Jml Error

Permukiman 157 1 0 1 0 0 159 0,03

Kebun Campuran

0 97 1 3 0 0 101 0,04

Sungai/Danau 0 0 87 0 1 0 89 0,06

Sawah 0 2 0 75 0 1 78 0,04

Lahan Kosong

0 0 0 1 82 0 83 0,02

Semak Belukar

0 1 0 2 0 93 94 0,09

Jumlah 157 101 88 82 89 94 604 -


(76)

Tabel 7 Matrik Konfusi dan Nilai Kappa Citra Landsat-5-TM Tahun 1997 Kelas di Lapang

Hasil

Klasifikasi Pmk Kbn Dn Swh LK SB

Jml Error

Permukiman 107 1 0 1 0 0 109 0,01

Kebun Campuran

0 98 0 3 0 0 101 0,04

Sungai/Danau 0 0 88 0 1 0 89 0,04

Sawah 0 2 0 79 0 1 82 0,06

Lahan Kosong

2 0 0 1 80 0 83 0,02

Semak Belukar

0 1 0 0 0 94 95 0,07

Jumlah 109 102 88 84 81 95 604 -

Error 0,03 0,05 0,01 0,06 0,01 0 - -

Citra Landsat-7-ETM+ tahun 2006 memiliki nilai akurasi sebesar 95,3% dan nilai Kappa sebesar 94,2% sedangkan Citra Landsat-5-TM tahun 1997 memiliki nilai akurasi keseluruhan sebesar 90,1% dan nilai Kappa sebesar 88,9%. Ketelitian klasifikasi kedua citra cukup tinggi (>85%).


(77)

(78)

(79)

4.2 Analisis Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1997 dan 2006

Pola penggunaan lahan merupakan refleksi aktivitas manusia pada suatu lahan, sedangkan penutupan lahan merupakan kenampakan yang ada atau terlihat di permukaan bumi. Penutupan lahan mencerminkan penggunaan lahan di lapangan tetapi pada kondisi tertentu penutupan lahan tidak dapat menjelaskan penggunaan lahan yang sesungguhnya. Hal ini biasa terlihat ketika pada citra objek teridentifikasi sebagai permukiman padahal ketika dilakukan pengecekan lapang, kawasan tersebut di dominasi dengan lahan kosong. Hal ini disebabkan pantulan spektral yang tertangkap oleh citra adalah permukiman karena posisi lahan kosong banyak disekitar permukiman.

Hasil klasifikasi pada kedua Citra Landsat menghasilkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 1997 (Gambar 4.5) dan 2006 (Gambar 4.6) dengan kelas penutupan/penggunaan lahan berupa : permukiman, sawah, lahan kosong, kebun campuran, sungai/danau dan semak belukar.


(80)

(81)

(82)

Gambar 4.7 Diagram Batang Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1997

Pada gambar 4.7 menunjukan luas area penggunaan lahan di daerah penelitian pada tahun 1997 yaitu : Permukiman 11.880 ha, Lahan Kosong 20.220 ha, Kebun Campuran 34.378 ha, Sungai/Danau 15.077 ha, Sawah 110.823 ha dan Semak Belukar 8.878 ha.


(83)

Pada gambar 4.8 menunjukan luas area penggunaan lahan di daerah penelitian pada tahun 2006 yaitu : Permukiman 35.866 ha, Lahan Kosong 14.504 ha, Kebun Campuran 50.493 ha, Sungai/Danau 10.814 ha, Sawah 41.526 ha dan Semak Belukar 53.920 ha.

Di lihat dari hasil yang ada, perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1997-2006 adalah : Permukiman mengalami peningkatan sebanyak 23.986 ha. Lahan Kosong mengalami penurunan sebesar 5.716 ha. Kebun Campuran mengalami peningkatan sebesar 16.115 ha. Sawah mengalami penurunan sebesar 69.297 ha. Sedangkan Semak Belukar meningkat sebesar 45.042 ha.

Dalam penelitian (Elly, 2006), ditemukan perubahan penggunaan lahan kota Depok dari tahun 1997-2001 adalah : Permukiman mengalami peningkatan sebesar 2,233 ha. Sawah mengalami penurunan sebesar 954 ha. Semak belukar mengalami peningkatan sebesar 5 ha. Sedangkan lahan kosong mengalami penurunan sebesar 2.120 ha.

4. 3 Perubahan Luas Permukiman

Perubahan luas Permukiman dalam Periode tahun 1997 dan 2006 dapat diamati melalui proses ekstraksi informasi secara spasial pada peta sebaran permukiman menggunakan piranti lunak ArcView. Oleh karena itu, perlu diketahui luas permukiman yang diturunkan oleh peta penggunaan lahan pada periode 1997 dan 2006 dapat dilihat pada gambar 5.7 dan 5.8. selain itu, proporsi pemukiman dan perubahan luas permukiman dapat dilihat pada tabel 8.


(84)

Tabel 8 Proporsi Luas Pemukiman (LP) di Kota madya Depok tahun 1997 dan 2006 Luas Pemukiman

Tahun

Hektar Persen

1997 11.880 60,8 %

2006 35866 82,0 %

Berdasarkan tabel 8 nampak bahwa pada periode 1997 dan 2006 terjadi peningkatan luas pemukiman yang cukup pesat. Secara umum, permukiman di daerah Depok telah berkembang sedemikian pesatnya dikarenakan wilayah ini merupakan kawasan penyangga (hinterland) bagi Jakarta. Masyarakat yang mencari nafkah di ibukota memilih wilayah ini sebagai alternatif lain untuk tempat bermukim. Akibatnya, banyak pengembang (developer) dan atau masyarakat mulai berekspansi mendirikan permukiman disekitar wilayah ini.

Permukiman yang dibangun baik berupa tempat penginapan, hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi maupun gedung-gedung pertemuan (Gambar 4.8).

4.4 Arah Perkembangan Permukiman

Arah perkembangan permukiman ditentukan berdasarkan pada perubahan pusat geometrik suatu poligon (sentroid). Titik sentroid pemukiman tiap periode memiliki informasi koordinat yang dinyatakan dalam koordinat (X,Y) dan arah perkembangan permukiman masing-masing disajikan pada tabel 9.

Tabel 9 Tabel Sentroid

Sentroid Tahun

X Y 1997 700000.38423 9301704.02542 2006 699993.73613 9301713.00000


(85)

Perkembangan permukiman yang terjadi antara tahun 1997 dan 2006 cenderung mengalami pergeseran kearah utara, timur dan barat mengikuti jalan utama, yaitu dari desa Limao ke arah Beji dan ke arah Cimanggis. Hal ini diperkirakan karena banyaknya masyarakat menginginkan adanya kemudahan dalam menjangkau berbagai fasilitas umum, seperti pendidikan, komunikasi, transportasi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimiliki ke tiga desa ini, di samping itu ke tiga desa ini merupakan perbatasan antara kota depok dengan kota-kota besar di Jakarta, sehingga banyak masyarakat yang bekerja di Jakarta memilih untuk bermukim di Depok. Hal ini dapat terlihat banyaknya developer permukiman yang membangun perumahan di sekitar Depok.


(86)

Gambar 4.10 Penyebaran Sentroid Tahun 2006

Sentroid poligon menggambarkan penyebaran nilai titik tengah (mid point) dari poligon permukiman. Penyebaran permukiman juga dapat diidentifikasi dari penyebaran sentroidnya.


(87)

4.5 Hubungan Aksesibilitas Terhadap Permukiman

Hubungan antara aksesibilitas terhadap perkembangan permukiman diperoleh dari dari buffering pada jalan utama. Jumlah zona buffer tergantung pada pola dan distribusi permukiman. Sebagai contoh, apabila terbatas hingga zona 4 (jarak 3000-4000 m dari jalan utama) telah mencakup seluruh permukiman maka zona 5 dan seterusnya tidak digunakan. Luas dan penyebaran permukiman pada tiap zona buffer secara kumulatif dapat diidentifikasikan dari gambar dibawah ini.

Legenda


(88)

Dari gambar di atas dapat dilihat permukiman mulai muncul pada jarak 0-1000 m dari jalan. Hal ini menunjukan perkembangan permukiman yang semakin pesat. Umumnya, Permukiman cenderung berkembang mengikuti jalan. Permukiman terpusat pada jarak 100-1000 m dari jalan. Jarak antara permukiman ke jalan sekitar 1 km serta luas permukiman meningkat sejalan dengan waktu. Sedangkan, pengaruh aksesibilitas (jalan) terhadap perkembangan permukiman berbeda-beda. Sementara itu, area permukiman relatif menurun luasnya dengan semakin jauh jaraknya dari jalan, yaitu mulai pada jarak 1000-2000 m ke jarak yang lebih jauh. Semakin jauh jaraknya dari aksesibilitas, maka proporsi permukiman cenderung semakin menurun (Gambar 4.12).


(89)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Citra Landsat dalam penelitian digunakan untuk memantau (monitoring) perubahan penutupan penggunaan lahan. Dalam menganalisis suatu citra dibutuhkan beberapa tahapan diantaranya adalah : klasifikasi, interpretasi visual citra landsat dan training area. Tahapan yang paling penting adalah klasifikasi, dengan klasifikasi dapat diketahui tata guna lahan yang ada. 2. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1997-2006 di kota

Depok dengan menggunakan GIS ditemukan data sebagai berikut : Permukiman meningkat sebanyak 23.986 ha. Lahan Kosong mengalami penurunan sebesar 5.716 ha. Kebun Campuran mengalami peningkatan sebesar 16.115 ha. Sawah mengalami penurunan sebesar 69.297 ha. Sedangkan Semak Belukar meningkat sebesar 45.042 ha.

3. Perkembangan permukiman yang terjadi antara tahun 1997-2006 Hal ini dikarenakan wilayah depok merupakan kawasan penyangga (hinterland) bagi kota jakarta. juga disebabkan banyaknya pengembang (developer) dan banyaknya masyarakat mulai berekspansi mendirikan permukiman disekitar wilayah Depok.


(90)

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan yang sejenis dengan menggunakan citra berresolusi lebih tinggi seperti SPOT, IKONOS dan QUICKBIRD untuk membandingkan sehingga diperoleh data yang lebih baik.


(91)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konversi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Ardian, B. 2007. Tinjauan Tentang Kampung Kota. http:// www.p2kp.org/forumprint.asp?mid=29827&catid=23&bagus

Barus, B. 2005. Kamus SIG. Studio Teknologi Informasi Spasial (SOTIS). Bagian Penginderaan Jauh dan Kortografi Departeman Ilmu Tanahdan Sumber Daya Lahan. IPB. Bogor.

Bambang, S. 2000. Analisis Penggunaan/Penutupan Lahan di Bogor. Penelitian Bakosurtanal. Cibinong. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2006. Kotamadya Depok dalam Angka. BPS-Depok. Depok. Elly, S. 2006. Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Depok Jawa Barat.

Skripsi S1. Jurusan Ilmu Tanah. IPB. Bogor.

Estes J.E., Imaging with Photographic and Nonphotographic Sensor System, In : Remote Sensing Tehciques for Environtmental Analysis, California: Hamilton Publishing Compagny, 1974.

Geomatika07, ITS. 2007. Penginderaan Jauh. http : //geomatika07.wordpress.com/2007/12/03/penginderaan-jauh/.

Hamzah A., (Pusdata). 2004. Resourcesat-1 : Apakah Merupakan Generasi Penerus Landsat-7 ?. BERITA INDERAJA VOL. III, No. 5.

Jensen J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing; A Remote Sensing Perspective, 2nd Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.

Kazaz, Charles. 2001. Contaminated Lands-Presentation of Bill 72 Establising New rules For The Protection and Rehabilitation Of Contaminated Lands. http : //www.Fasken.com//Web/FMDWEBSITE.NSP/0/7A37D65E2DBO9BA185256B 360077D36/$File/ENVIROBULLETIN_Flash_ANG.PDF?Open Elemant.


(92)

Lindgren, D.T., Land use Planning and Remote Sensing, Doldrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1985.

Prahasta, E. 2007. Tutorial ArcView. Informatika. Bandung.

Suryo, D. 2007. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta (1900-1990). http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=14.

Sutanto, prof., Penginderaan jauh, Jilid I, Fakultas Geografi, Gajah Mada University Press, 1998.

Sitorus, J. 2007. Kajian Model Deteksi Perubahan Penutup Lahan Menggunakan Data Inderaja Untuk Aplikasi Perubahan Lahan Sawah. http://www.lapanrs.com/INOVS/PENLI/view_doc.php?doc_id=255.

Saefulhakim, R.S dan Lutfi I. Nasoetion 1996. Kebijakan Pengendalian Daerah Beririgrasi Teknis dalam Prosiding Penelitian Tanah No.12 Tahun 1996. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.

Suhandak. 1995. Pola Konversi Lahan Sawah dan Keterkaitannya Dengan Pola Perubahan Struktur Penguasaan Lahan dan Pola Perkembangan Wilayah Jalur Pantura, Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang dan Indramayu. Skripsi S1 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanahan, IPB. Bogor.

Syartinilin. 2001. Karakteristik Pemukiman di DAS Ciliwung Bagian Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat. Skripsi S1. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Wiradisastra, U.S., K. Gandasasmita, B. Barus, M. Ardiyansyahdan K. Munibah. 1999. Diktat Kuliah Kartografi. Lab. Penginderaan Jauh dan Kortografi. Jurusan Tanah, IPB. Bogor.


(93)

Lampiran 1 Depok 1997. Region All

No Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band

5 Band 6 Band 7

Non Nulls Cell 1 418068 Area In Hectars 2 37626,120

Area in Acres 3 92976,174 Min 4 0,0000

Max 5 235.000 170.000 152.00 164.00 195.000 151.000 182.000

Mean 6 43.526 17.006 18.317 27.694

30.259 70.223 14.317

Median 7 77.00 29.000 26.000 36.000

30.000 133.000 11.000

Std Dev 8 43.114 16.930 18.625 28.084

31.131 69.336 15.728

Std Dev (n-1) 9 69.337

Corr eigenval 10 6.743 0.170 0.061 0.009 0.006

0.003 0.001

Cov eigenval 11 9140.527 91.503 58.403 7.803 3.396

2.940 0.561

Correlation Matrik 1 2 3 4 5

6 7

1 1.000

2 0.997 1.000

3 0.983 0.990 1.000

4 0.964 0.957 0.922 1.000

5 0.966 0.970 0.967 0.953 1.000

6 0.997 0.993 0.975 0.970 0.962

1.000

7 0.920 0.932 0.956 0.857 0.962


(1)

Lampiran 1 Depok 1997. Region All

No Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band 5 Band 6 Band 7

Non Nulls Cell 1 418068 Area In Hectars 2 37626,120

Area in Acres 3 92976,174 Min 4 0,0000

Max 5 235.000 170.000 152.00 164.00 195.000 151.000 182.000

Mean 6 43.526 17.006 18.317 27.694 30.259 70.223 14.317

Median 7 77.00 29.000 26.000 36.000 30.000 133.000 11.000

Std Dev 8 43.114 16.930 18.625 28.084 31.131 69.336 15.728

Std Dev (n-1) 9 69.337

Corr eigenval 10 6.743 0.170 0.061 0.009 0.006

0.003 0.001

Cov eigenval 11 9140.527 91.503 58.403 7.803 3.396

2.940 0.561

Correlation Matrik 1 2 3 4 5

6 7

1 1.000

2 0.997 1.000

3 0.983 0.990 1.000

4 0.964 0.957 0.922 1.000

5 0.966 0.970 0.967 0.953 1.000 6 0.997 0.993 0.975 0.970 0.962

1.000

7 0.920 0.932 0.956 0.857 0.962


(2)

Covarians Matrix

1 1858.858

2 728.044 286.612

3 789.522 312.157 346.890

4 1166.969 455.138 482.396 788.806 5 1296.090 511.099 560.528 833.459 969.139

6 2981.121 1165.790 1259.359 1888.351 2076.633 247.371

7 629.721 248.169 279.933 378.415 471.239 988.439

OIF = Std 5 + Std 4 + Std 2

Cor 5-4 + Cor 4+2 +Cor 2-5 = 31.131 + 28.084 + 16.930

0.966 + 0.970 + 0.990 = 76,145

2,926 = 26,023

Lampiran 2

Depok 2006. Region All

No Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band 5 Band 6 Band 7

Non Nulls Cell 1 1673378 Area In Hectars 2 37651.005

Area in Acres 3 93037.667 Min 4 0,0000 Max 5 255.000


(3)

Mean 6 13.525 18.683 48.037 48.361 26.287 151.00 174.00

Median 7 0.000 1.000 2.000 2.000 1.000

1.000 2.000

Std Dev 8 24.666 28.819 55.255 54.164 32.885 69.343 15.759

Std Dev (n-1) 9 24.666 55.255 32.885 69.344 15.759

Corr eigenval 10 4.175 0.647 0.134 0.030 0.014

0.003 0.001

Cov eigenval 11 7387.286 800.349 267.998 39.486 12.127 2.900 0.5134

Correlation Matrik 1 2 3 4 5

6 7

1 1.000

2 0.962 1.000

3 0.568 0.582 1.000

4 0.719 0.800 0.875 1.000

5 0.803 0.802 0.911 0.898 1.000 6 0.997 0.993 0.975 0.970 0.962 1.000

7 0.916 0.931 0.954 0.856 0.961

0.905 1.000

Covarians Matrix

1 608.425 684.045

2 684.045 830.547

3 774.156 926.694 3053.156

4 960.139 1248.565 2619.070 2933.693 5 651.540 760.174 1654.795 1599.102 1081.425

OIF = Std 5 + Std 4 + Std 2

Cor 5-4 + Cor 4+2 +Cor 2-5 = 32.885 + 54.164+ 28.819

0.803+ 0.970 + 0.582 = 115,868

2,355 = 49,200


(4)

RINGKASAN

EVA NOVIANA BUDIYANTI, Evaluasi Perkembangan Permukiman dengan Penginderaan Jauh (Inderaja) Di Kota Depok. Di bawah bimbingan alm. Muji Haryadi, S.Hut., MT dan Nur Aeni Hidayah, SE., MMSI.

Kebijaksanaan dalam pengembangan permukiman di suatu wilayah, biasanya memerlukan pemantauan berkala, sesuai dengan program pemda yang ada. Informasi yang biasanya digunakan dalam memantau perubahan yang terjadi adalah melalui peta berskala 1:5000 dan Foto Udara. Setiap adanya perubahan yang terjadi, dilakukan pengukuran yang diperoleh untuk keperluan revisi peta dan didukung oleh data potensi desa. Penginderaan Jauh (Inderaja) dan SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu persoalan yang ada.

Sejak tahun 1976 Kota Depok mulai dipersiapkan untuk kawasan perumahan (dormitory town) bagi (comutter) yang bekerja di Jakarta. Kota ini terus berkembang dan mengalami perubahan dan menjadi pusat permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Pada tahun 1999, Depok diresmikan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Depok berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1999.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendeteksi perkembangan permukiman yang terjadi, berdasarkan Citra Landsat yang berbeda skala, periode dan waktu pembuatannya, hal ini dijadikan sebagai informasi untuk keperluan evaluasi. (2) Melakukan evaluasi terhadap arah pertumbuhan permukiman pada daerah studi. (3) Teknik pengimplementasian dari kedua tujuan di atas menggunakan aplikasi GIS.

Penelitian dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat, pemilihan lokasi di lakukan karena beberapa hal : (1) Letak kota Depok berdampingan dengan beberapa kota besar di Indonesia, sehingga banyak pekerja yang bekerja di kota besar memilih kota depok


(5)

untuk bermukim. (2) Banyaknya perubahan yang terjadi di kota Depok, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pusat perbelanjaan serta perumahan di kota Depok.

Penelitian ini menghasilkan beberapa informasi yang dapat digunakan untuk proses evaluasi oleh pihak terkait. Informasi berhubungan dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1997-2006. Dalam kurun waktu 10 tahun dari hasil interpretasi citra menghasilkan data perubahan penutupan/penggunaan lahan sebagai berikut : Permukiman mengalami peningkatan sebanyak 23.986 ha. Lahan Kosong mengalami penurunan sebesar 5.716 ha. Kebun Campuran mengalami peningkatan sebesar 16.115 ha. Sawah mengalami penurunan sebesar 69.297 ha. Sedangkan Semak Belukar meningkat sebesar 45.042 ha.

Kata kunci : Depok, Jawa Barat, Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan, Interpretasi


(6)