Perbedaan Konsep Diri Akademis Ditinjau Dari Gaya Kelekatan Siswa

(1)

PERBEDAAN KONSEP DIRI AKADEMIS

DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN SISWA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RENNY MACHMUD

041301094

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2008/2009


(2)

Perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa Renny Machmud dan Sri Supriyantini, M.Si., psikolog

ABSTRAK

Dalam upaya meningkatkan prestasi, siswa perlu menampilkan seluruh potensi akademik yang dimilikinya. Hal ini dapat tercapai apabila siswa memiliki konsep diri yang positif, khususnya dalam konsep diri akademis. Konsep diri akademis merupakan persepsi umum individu terhadap kemampuan akademisnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri akademis adalah lingkungan keluarga terutama orangtua. Terjalinnya interaksi yang berkualitas yang dilakukan orangtua akan menciptakan suasana yang sangat kondusif bagi anak dalam proses memahami diri dan lingkungannya. Interaksi yang berkualitas tidak hanya menuntut kedekatan secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan perasaan (afeksi) antara orangtua dan anak, yang disebut kelekatan. menurut Ainsworth, gaya kelekatan terdiri dari gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Siswa yang memiliki gaya kelekatan yang berbeda akan memiliki konsep diri yang berbeda pula. Oleh karena itu penelitian kuantitatif komparatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa.

Penelitian ini melibatkan 100 orang siswa SD Ikal Medan sebagai sampel penelitian. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SD Ikal Medan kelas 5 dan 6 serta berada dalam rentang usia 9 sampai 11 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling dengan cara undian. Alat ukur yang digunakan adalah skala konsep diri akademis dan skala gaya kelekatan yang disusun sendiri oleh peneliti. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan uji One way Analysis of Variance.

Hasil analisa data menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada konsep diri akademis siswa ditinjau dari gaya kelekatan dengan nilai F = 36.617 dan p = 0.000. Siswa dengan gaya kelekatan aman memperoleh mean yang lebih tinggi (x = 90.88) daripada gaya kelekatan menghindar (x = 74.45) dan gaya kelekatan cemas (x = 79.07). Sementara itu pada hasil tambahan menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian, yaitu 58.1 % memiliki konsep diri akademis negatif, sedangkan 41.9 % memiliki konsep diri akademis positif.

Implikasi dari hasil penelitian ini bagi pihak sekolah diharapkan dapat dijadikan masukan yang penting dalam upaya peningkatan konsep diri akademis siswa. Sedangkan bagi orangtua, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai gaya kelekatan anak dalam upaya peningkatan kualitas hubungan orangtua dan anak. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dengan melibatkan sudut pandang orangtua sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas rahmat dan karunia Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitianini. Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan. Skripsi ini berjudul “Perbedaan Konsep Diri Akademis ditinjau dari Gaya Kelekatan Siswa” yang peneliti susun untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Selama menyusun skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Dr. Irmawati, M.Si, Psikolog selaku Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi USU. 3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah

sabar dalam memberi bimbingan, masukan, dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga telah menjadi dosen pembimbing akademik saya selama beberapa semester terakhir ini.

4. Ibu Namora L. Lubis, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik saya sebenarnya. Terima kasih telah memberikan kesan tersendiri bagi saya selama perkuliahan semester-semester awal. Semoga Ibu tidak lupa dengan saya.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si. yang telah memberikan saran dan masukan pada peneliti dalam penyelesaian skripsi.

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU yang telah membekali peneliti dengan berbagai disiplin ilmu.


(4)

7. Pak Is, Pak Aswan, Kak Ari, dan Kak Defi yang telah banyak membantu saya dalam pengurusan surat izin penelitian dan juga administrasi lainnya.

8. Ibu Puji Lestari, S.Pd. selaku Wakil Kepala SD Brigjend Katamso Medan yang telah memberi izin pada saya untuk mengambil data di sekolah meskipun pada saat UAS. 9. Bapak Drs. Muhammad Isa selaku Kepala SD Ikal Medan, Pak Fahrial, Pak Irpan,

Pak Sukirno, Bu Arni, dan Bu Suminar yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk melakukan penelitian di SD Ikal.

10. Terima kasih juga buat para siswa yang bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

11. Kedua orangtua saya, Bapak Rusly Machmud dan Ibu Kusrini Dwi Lisyanti, yang selalu memberikan doa, semangat, dukungan serta dorongan kepada saya, baik moril maupun materil.

12. Mama Dijah, Om Udin, Tante Is, Tante Aty, Tante Nunu, semua keluarga ”Gorontalo”, Mbah, Bude Dewi, Pakde Yanto, Pakde Epi, Mbak ii, Papap, Mas Wiwit, semua keluarga ”Jawa” yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih juga buat Om Irwandi dan Tante Ida.

13. Spesial buat Mbak Ririn, yang bersedia jadi dosen privat di rumah, ”you are the best sister for me”. Buat Kak Ronny, abangku satu-satunya, dan kakak iparku, Kak Ika, juga adikku Reyza dan Rendy yang sudah memberikan semangat yang luar biasa dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Tika, Ami, Dwi, dan Ophie, yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat kepada saya. Terima kasih buat kebersamaannya selama kuliah di Psikologi.

15. Teman-teman seperjuangan selama seminar dan skripsi, Dona, Fefni, Destia Lani, Maya YS, Eqi, Nofri, Uci, Hanifa, Kak Tio, Ikun, dan Ela. Terima kasih atas saran-saran yang diberikan. Buat Zu, ”Jangan pernah menyerah sebelum mencoba! dan TETAP SEMANGAT!!!!”


(5)

16. Mutia dan Onya P., Dara, Shifa, dan teman-teman 2004 lainnya yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.

17. Buat Kak Ade di Psycholib yang banyak membantu dalam peminjaman buku dan referensi lainnya untuk penyusunan skripsi ini.

18. Buat Kakak-kakak angkatan 2003, Kak Sari, Kak Dwi, dkk. Adik-adik angkatan 2005, Diny, Lena, Dinda, Emma, Tika, dkk serta buat Sasha (06).

19. Buat Alumni SMAN 12 Medan tahun 2004, terutama buat ”Umi” Ayu, ”Adek” Trisda, Ratna, Dian, juga Jefri dan Epi. Buat Maya Sari dan keluarga besar Yayasan Panti Sosial Sai Prema. Juga buat Finda, Heru, Ulfa, dan Rezi, yang tidak sabar menantikan kelulusan saya. Terima kasih atas doanya.

Semoga pengorbanan dan jasa yang baik yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Akhir kata penulis ingin mengatakan bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala saran dan kritik akan menjadi masukan yang berarti bagi saya. Semoga penelitian ini akan memberikan manfaat bagi yang memerlukannya dan bagi peneliti sendiri.

Medan, Januari 2009 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ... .viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 5

C. Manfaat Penelitian ... 5

D. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Konsep Diri Akademis ... 8

1. Pengertian konsep diri ... 8

2. Pengertian konsep diri akademis ... 9

3. Perkembangan konsep diri akademis ...11

4. Aspek-aspek dalam konsep diri akademis ...12

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri akademis ...13

6. Jenis-jenis konsep diri akademis ...14

7. Pentingnya konsep diri akademis ...15

B. Gaya Kelekatan ...16

1. Pengertian gaya kelekatan ...16


(7)

4. Pembentukan kelekatan ...19

5. Ciri-ciri gaya kelekatan ...20

6. Figur lekat ...21

7. Macam-macam gaya kelekatan ...21

C. Siswa SD ...22

D. Hubungan Konsep Diri Akademis dengan Gaya Kelekatan ...25

E. Hipotesa Penelitian ...28

BAB III METODE PENELITIAN ...29

A. Identifikasi Variabel ...29

B. Definisi Operasional ... 29

1. Konsep diri akademis ...29

2. Gaya kelekatan ...29

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 31

1. Populasi dan sampel ...31

2. Prosedur pengambilan sampel ...31

3. Jumlah sampel penelitian ...32

D. Instrumen yang Digunakan ...32

1. Skala konsep diri akademis ... 32

2. Skala gaya kelekatan ...33

3. Validitas dan reliabilitas alat ukur ...35

4. Hasil uji coba penelitian ...37

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ...39

1. Tahap persiapan Penelitian ...39

2. Pelaksanaan penelitian ...40


(8)

F. Metode Analisa Data ...41

1. Uji normalitas ...41

2. Uji homogenitas ...42

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ...43

A. Analisa Data ...43

1. Gambaran data penelitian ...43

2. Hasil penelitianutama ...48

3. Hasil tambahan ...50

B. Pembahasan ...52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...54

A. Kesimpulan ...54

B. Saran ...55

1. Saran bagi pihak sekolah dan orangtua ...55

2. Saran bagi peneliti selanjutnya ...56

DAFTAR PUSTAKA ...57 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis ... 35

Tabel 2

Distribusi aitem-aitem gaya kelekatan ... 36

Tabel 3

Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis setelah uji coba ... 39

Tabel 4

Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis untuk penelitian ... 40

Tabel 5

Distribusi aitem-aitem gaya kelekatan untuk

penelitian ... 41

Tabel 6 Penyebaran sampel penelitianberdasarkan usia ... 45

Tabel 7 Penyebaran sampel penelitianberdasarkan jenis kelamin ... 46

Tabel 8 Penyebaran sampel penelitianberdasarkan kelas ... 46

Tabel 9 Kategorisasi gaya kelekatan ... 49

Tabel 10 Penyebaran sampel berdasarkan gaya kelekatan ... 49

Tabel 11 Analisis varians skor konsep diri akademis gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas ... 52

Tabel 12 Deskripsi skor konsep diri akademis ... 52

Tabel 13 Perbandingan mean hipotetik dengan mean empirik ... 53


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data hasil uji coba

Lampiran 2 Reliabilitas dan daya beda aitem

Lampiran 3 Skala

Lampiran 4 Gambaran sampel penelitian

Lampiran 5 Gambaran konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan

Lampiran 6 Uji normalitas dan hasil Anova perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan


(11)

Perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa Renny Machmud dan Sri Supriyantini, M.Si., psikolog

ABSTRAK

Dalam upaya meningkatkan prestasi, siswa perlu menampilkan seluruh potensi akademik yang dimilikinya. Hal ini dapat tercapai apabila siswa memiliki konsep diri yang positif, khususnya dalam konsep diri akademis. Konsep diri akademis merupakan persepsi umum individu terhadap kemampuan akademisnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri akademis adalah lingkungan keluarga terutama orangtua. Terjalinnya interaksi yang berkualitas yang dilakukan orangtua akan menciptakan suasana yang sangat kondusif bagi anak dalam proses memahami diri dan lingkungannya. Interaksi yang berkualitas tidak hanya menuntut kedekatan secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan perasaan (afeksi) antara orangtua dan anak, yang disebut kelekatan. menurut Ainsworth, gaya kelekatan terdiri dari gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Siswa yang memiliki gaya kelekatan yang berbeda akan memiliki konsep diri yang berbeda pula. Oleh karena itu penelitian kuantitatif komparatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa.

Penelitian ini melibatkan 100 orang siswa SD Ikal Medan sebagai sampel penelitian. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SD Ikal Medan kelas 5 dan 6 serta berada dalam rentang usia 9 sampai 11 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling dengan cara undian. Alat ukur yang digunakan adalah skala konsep diri akademis dan skala gaya kelekatan yang disusun sendiri oleh peneliti. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan uji One way Analysis of Variance.

Hasil analisa data menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada konsep diri akademis siswa ditinjau dari gaya kelekatan dengan nilai F = 36.617 dan p = 0.000. Siswa dengan gaya kelekatan aman memperoleh mean yang lebih tinggi (x = 90.88) daripada gaya kelekatan menghindar (x = 74.45) dan gaya kelekatan cemas (x = 79.07). Sementara itu pada hasil tambahan menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian, yaitu 58.1 % memiliki konsep diri akademis negatif, sedangkan 41.9 % memiliki konsep diri akademis positif.

Implikasi dari hasil penelitian ini bagi pihak sekolah diharapkan dapat dijadikan masukan yang penting dalam upaya peningkatan konsep diri akademis siswa. Sedangkan bagi orangtua, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai gaya kelekatan anak dalam upaya peningkatan kualitas hubungan orangtua dan anak. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dengan melibatkan sudut pandang orangtua sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses menumbuhkembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran (Syah, 1995). Pembangunan pendidikan Indonesia dapat dibentangkan dengan melihat tujuan pendidikan nasional yang mencakup mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan konsep manusia seutuhnya, konsep manusia yang bermoral religius, berbudi pekerti luhur, berpengetahuan, cakap, sehat dan sadar sebagai warga bangsa (Supriyadi, dalam Suprapto, 2007). Menghadapi keadaan yang semakin kompleks, pendidikan dengan sendirinya diharapkan turut mempersiapkan individu menghadapi masa depan. Agar mampu membangun sebuah bangsa dan negara, individu tersebut harus mampu membangun dirinya sendiri sebagai seorang yang mempunyai kepribadian yang baik dan mempunyai kemampuan yang tinggi. Hal ini merupakan hakekat sebuah pendidikan (Syah, 1995).

Untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi seseorang harus belajar, karena belajar adalah syarat mutlak untuk menjadi pandai dalam segala hal, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam keterampilan atau kecakapan (Durkin, 1995). Belajar ditandai dengan adanya perubahan dalam diri seseorang ke arah yang lebih maju dan perubahan-perubahan itu didapat dari latihan-latihan yang disengaja (Nashori, 2004).

Tirtonegoro (dalam Cahyani, 1999) menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan penilaian aktivitas belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta didik dalam periode tertentu. Dalam peningkatan prestasinya, siswa perlu untuk menampilkan seluruh potensi akademik yang dimiliki. Hal ini dapat tercapai apabila siswa memiliki konsep diri yang positif, khususnya dalam konsep diri akademis (Gage & Berliner, 1990). Konsep diri akademis dapat dikatakan sebagai konsep diri yang khusus berhubungan dengan akademis siswa. Konsep diri akademis dapat membuat individu menjadi lebih percaya diri dan merasa yakin akan kemampuan mereka karena sebenarnya konsep diri akademis itu sendiri mencakup bagaimana individu bersikap, merasa, dan mengevaluasi kemampuannya (Marsh, 2003). Persepsi siswa terhadap kemampuan akademisnya akan mempengaruhi performa mereka di sekolah, motivasi terhadap tugas akademis, orientasi karir, dan perkiraan keberhasilan di masa depan. Siswa yang mempunyai konsep diri yang positif akan mengguinakan segala potensi dan kemampuannya seoptimal mungkin dengan jalan mengikuti proses belajar mengajar dengan baik, mengadakan hubungan baik dengan teman sekelasnya yang dapat mempengaruhi kegiatan belajarnya. Siswa yang mempunyai konsep diri yang negatif tidak akan menggunakan potensi dan kemampuannya dengan optimal karena mereka tidak memahami segala potensinya. Akibatnya timbul sifat mengganggu teman, memperolok-olok guru dan sengaja mencari perhatian yang dapat


(13)

Perkembangan konsep diri akademis salah satunya dipengaruhi oleh kognitif, emosi, maupun sosial (Dalyono, 1997). Orangtua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orangtua kepada anaknya lebih menancap daripada informasi yang diberikan orang lain dan berlangsung terus sampai dewasa (Calhoun & Acocella, 1990).

Terjalinnya interaksi yang berkualitas yang dilakukan orangtua akan menciptakan suasana yang sangat kondusif bagi anak dalam proses memahami diri dan lingkungannya (Malik, 2003). Apabila dalam interaksi ibu memperlakukan anak dengan cara yang responsif, konsisten dan penuh perhatian, maka kelekatannya akan terbentuk dan berkembang dengan baik (Cahyani, 1999).

Kelekatan merupakan satu gejala dari adanya saling keterikatan pada manusia. Gejala ini merupakan sesuatu yang umum terjadi karena menurut Bowlby (dalam Cahyani, 1999) pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk membuat ikatan afeksional yang kuat terhadap orang-orang tertentu. Kelekatan itu sendiri diartikan oleh Ainsworth (dalam Collins & Read, 1991) sebagai suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu atau disebut figur lekat dan berlangsung terus menerus.

Ada tiga jenis gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Hasil penelitian Ainsworth (Collins & Read, 1991; Simpson dalam Helmi, 1992) membuktikan bahwa setiap gaya kelekatan yang dimiliki individu dapat mempengaruhi kemampuan berhubungan dengan orang lain. Individu yang memiliki kecenderungan gaya kelekatan aman mempunyai ciri dapat berhubungan dengan orang lain dengan mudah, karena pada dasarnya mereka mempunyai model mental yang positif mengenai dirinya sendiri dan orang lain. Orang dengan gaya kelekatan menghindar mempunyai ciri kurang dapat berhubungan dengan orang lain, karena individu tersebut mengembangkan model mental mengenai diri sebagai orang yang harus curiga terhadap orang lain. Individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai ciri negatif dalam berhubungan dengan orang lain, karena pada dasarnya individu dengan gaya kelekatan cemas mengembangkan penilaian dan harapan terhadap diri sebagai orang yang kurang percaya diri dan kurang berharga serta akan merasa tidak mampu untuk bersahabat dengan orang lain dan tidak dapat mempercayainya.


(14)

Hubungan ini menjadi relevan bagi anak dalam meningkatkan motivasi dan prestasi akademik. Anak yang memiliki hubungan gaya kelekatan aman dengan orangtua membuat mereka merasa yakin akan kompetensi akademik mereka. Mereka juga lebih positif dalam menerima kompetensinya, sebagai wujud dari kekuatan dan keamanan hubungan kelekatan (Eccles & Midgley, 1990). Hal ini setara dengan Jacobsen & Hoffman (1997) yang mengatakan bahwa hubungan kelekatan yang kuat dengan orangtua berhubungan dengan penerimaan yang baik terhadap kompetensi yang dimiliki. Anak yang mampu menerima kemampuan yang dimiliki, menurut Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998), merupakan anak yang memiliki ciri konsep diri akademis yang positif. Mereka menyadari dengan baik kekuatan dan kelemahannya, dan yakin akan kemampuannya untuk berkembang dan memperbaiki diri.

Jadi diasumsikan bahwa siswa dengan gaya kelekatan aman akan memiliki konsep diri akademis yang positif. Sedangkan siswa dengan gaya kelekatan menghindar dan cemas cenderung memiliki konsep diri akademis yang negatif. Hal inilah yang membuat peneliti ingin melihat bagaimana konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya

kelekatan siswa.

C.Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan kajian ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Pendidikan terutama yang berhubungan


(15)

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini ditujukan pada dunia pendidikan, manfaatnya antara lain sebagai berikut:

a. Untuk pihak sekolah, diharapkan dapat menjadi masukan mengenai pentingnya konsep diri akademis pada siswa.

b. Untuk orangtua, terutama yang memiliki anak-anak, diharapkan dapat dijadikan informasi mengenai gaya kelekatan dan konsep diri akademis yang dimiliki anak. c. Untuk para siswa, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai konsep diri akademis yang dimiliki dalam pencapaian prestasi belajarnya.

D. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disajikan dalam beberapa bab, sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas:

Latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di sini digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur mengenai konsep diri akademis dan juga gaya kelekatan siswa.

Bab II merupakan landasan teori, yang terdiri atas:

Teori mengenai teori konsep diri akademis dan gaya kelekatan. Adapun teori yang dimaksud meliputi pengertian, perkembangan, aspek-aspek, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta jenis-jenisnya. Di sini juga dijelaskan hubungan konsep diri dengan gaya kelekatan siswa. Juga terdapat hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini.


(16)

Identifikasi variabel penelitian, sampel penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan peneliti dalam penelitian. Adapun variabel tergantung dalam penelitian ini adalah konsep diri akademis, sedangkan variabel bebasnya adalah gaya kelekatan. Sampel penelitian adalah siswa SD IKAL Medan. Alat ukur yang digunakan adalah skala, yaitu skala konsep diri akademis dan skala gaya kelekatan. Teknik analisa yang digunakan adalah Anova.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang gambaran sampel penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan, serta pembahasan hasil penelitian sesuai dengan teori yang berkaitan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini, peneliti akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang kemudian akan dikemukakan saran-saran bagi pihak sekolah, orangtua, dan juga bagi penelitian di masa mendatang dengan tema yang serupa.


(17)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Diri Akademis 1. Pengertian konsep diri

Cara pandang individu tentang dirinya akan membentuk suatu konsep tentang diri sendiri. Konsep tentang diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi (Calhoun & Acocella, 1990). Konsep diri dianggap sebagai pemegang peranan kunci dalam pengintegrasian kepribadian individu di dalam memotivasi tingkah laku serta di dalam kesehatan mental (Burns,1993). Konsep diri merupakan suatu asumsi-asumsi mengenai skema diri mengenai kualitas personal yang meliputi penampilan fisik, trait/ kondisi psikis, dan kadang-kadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama (Baron & Byrne, 1994).

Pengharapan mengenai diri menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa dia cenderung akan sukses. Sebaliknya jika individu berpikir dirinya tidak bisa maka cenderung akan gagal. Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman baik pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu (Calhoun & Acocella, 1990). Lebih lanjut Calhoun & Acocella (1990) menyatakan bahwa konsep diri sebagai gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri.

Centi (1993) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana diharapkan. Perasaan atas diri merupakan penilaian terhadap diri (self evaluation) dan harapan terhadap diri merupakan cita-cita diri (self ideal).


(18)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman yang meliputi pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku individu. Dapat juga dikatakan bahwa konsep diri mencakup self evaluation dan self ideal seseorang.

2. Pengertian Konsep diri akademis

Untuk membantu siswa dalam menampilkan seluruh potensi yang dimiliki, maka siswa perlu memiliki konsep diri yang positif, khususnya dalam konsep diri akademis (Gage & Berliner, 1990). Konsep diri akademis dapat dikatakan sebagai konsep diri yang khusus berhubungan dengan kemampuan akademis siswa. Skaalvik (1990) merumuskan konsep diri akademis sebagai perasaan umum individu dalam melakukan yang terbaik di sekolah dan kepuasan terhadap prestasi yang diperoleh.

Hattie (dalam Kavale & Mostert, 2004) mendefinisikan konsep diri akademis sebagai penilaian individu dalam bidang akademis. Penilaian tersebut meliputi kemampuan dalam mengikuti pelajaran dan berprestasi dalam bidang akademis, prestasi yang dicapai individu, dan aktivitas individu di sekolah atau di dalam kelas. Huit (2004) juga menjelaskan bahwa konsep diri akademis menunjukkan seberapa baik performa individu di sekolah atau seberapa baik dirinya belajar. Menurut Byrne (dalam Marsh, 2000), konsep diri akademis merupakan salah satu komponen dalam peningkatan prestasi akademis.

Marsh (2003) mengungkapkan bahwa konsep diri akademis dapat membuat individu menjadi lebih percaya diri dan merasa yakin akan kemampuan mereka karena sebenarnya konsep diri akademis itu sendiri mencakup bagaimana individu bersikap, merasa, dan mengevaluasi kemampuannya. Calsyn & Kenny (dalam Marsh, 2003) juga menambahkan bahwa peningkatan konsep diri akademis dapat dilakukan dengan peningkatan kemampuan akademis. Jadi konsep diri akademis memiliki hubungan timbal balik dengan kemampuan


(19)

Dari uraian beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri akademis merupakan persepsi umum individu yang mencakup sikap, perasaan, dan penilain individu terhadap kemampuan akademis yang dimiliki. Penilaian akademis yang dimaksud merupakan kemampuan dalam mengikuti pelajaran dan berprestasi dalam bidang akademis, prestasi yang dicapai individu, aktivitas individu di sekolah atau di dalam kelas. Konsep diri akademis juga turut mempengaruhi prestasi akademis.

3. Perkembangan konsep diri akademis

Konsep diri akademis adalah salah satu komponen konsep diri yang secara khusus berkaitan dengan masalah akademis. Jadi, seperti halnya konsep diri secara umum, konsep diri akademis bukan merupakan sesuatu yang dibawa individu pada saat kelahirannya. Namun, bersamaan dengan kematangan yang dicapai, baik dalam kognisi, emosi, maupun sosial, konsep diri akademis akan mulai terbentuk (Deaux, 1992).

Menurut Willey (dalam Calhoun & Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang menjadi sumber pokok perkembangan konsep diri akademis adalah interaksi individu dengan orang lain. Baldwin &. Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungan dengan orang lain. Yang dimaksud dengan ”orang lain” menurut Calhoun & Acocella (1990) adalah:

a. Orang tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada anaknya lebih menancap daripada informasi yang doberikan orang lain dan berlangsung terus sampai dewasa. Coopersmith (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengutarakan bahwa anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau anak yang disia-siakan, akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sendiri sehingga menjadi penyebab utama anak menjadi berkonsep diri negatif.


(20)

b. Kawan sebaya

Peran yang diukir dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri.

c. Masyarakat.

Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang didapat seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras, agama, dan lain-lain.

4. Aspek-aspek konsep diri akademis

Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) mengungkapkan bahwa aspek-aspek konsep diri tidak berbeda dengan konsep diri, yaitu adanya pengetahuan, harapan, dan penilaian individu mengenai kemampuan akademis yang dimiliki. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut.

a. Pengetahuan

Pengetahuan meliputi apa yang dipikirkan individu tentang diri sendiri. Dalam hal kemampuan akademis, individu dapat saja memiliki pikiran-pikiran mengenai kemampuannya tersebut, seperti pelajaran yang dikuasai, nilai, dan sebagainya (Frey & Carlock dalam Malhi, 1998). Individu juga mengidentifikasi kemampuan dirinya dalam satu kelompok. Kelompok tersebut memberinya sejumlah informasi lain yang dimasukkannya ke dalam potret diri mentalnya. Akhirnya dalam membandingkan dirinya dengan anggota kelompok, individu menjuluki dirinya dengan orang lain.

b. Harapan

Ketika individu mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang siapa dirinya, ia juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan ia akan menjadi apa di masa depan. Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) menyatakan bahwa individu memiliki harapan mengenai kemampuan akademis yang dimiliki seperti halnya harapan terhadap


(21)

dirinya secara keseluruhan. Harapan atau tujuan individu, tentunya akan membangkitkan kekuatan yang mendorong dirinya untuk mengembanngkan kemampuannya tersebut.

c. Penilaian individu

Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya setiap hari. Menurut Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) bersamaan dengan penilaian ini, misalnya saya lamban, tidak menarik, kikuk, cerdas, dan sebagainya, akan timbul perasaan-perasaan dalam diri individu terhadap dirinya sendiri. Hasil pengukuran ini disebut dengan harga diri. Jika dihubungkan dengan bidang akademisnya, menurut Marsh (2003), hal ini berarti seberapa besar individu menyukai kemampuan akademisnya.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri akademis

Menurut Marsh (1993), ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri akademis, yaitu:

a. Faktor eksternal, yang meliputi:

1) Lingkungan keluarga; Marsh (1993) menyatakan bahwa ada kaitan yang positif antara keyakinan orangtua dan keyakinan anak terhadap kemampuannya. Hubungan ini meningkat selama masa sekolah dasar.

2) Iklim kelas; menurut Hoge (dalam Graham, 2002), konsep diri akademis yang positif lebih ditemukan pada siswa-siswa yang menekankan kerjasama dan saling tergantung di antara mereka dibandingkan dengan siswa-siswa dalam kelas yang menekankan kompetisi.

3) Guru; Dorongan dari guru dan pemberian otonomi yang lebih besar terhadap siswa berhubungan dengan konsep diri akademis yang lebih positif (Graham, 2002).

4) Teman sebaya; Pandangan individu mengenai kemampuannya juga didapat dari pengaruh teman sebaya (Huitt, 2004).


(22)

b. Faktor internal, yang meliputi keyakinan, kompetensi personal, dan keberhasilan personal. Dalam penelitian Burnett, dkk (1998) ditemukan bahwa prestasi yang baik akan menumbuhkan keyakinan pada individu akan kemampuan yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan konsep diri akademis.

6. Jenis-jenis konsep diri akademis

Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) menyatakan konsep diri akademis terbagi atas konsep diri akademis positif dan konsep diri akademis negatif. Siswa yang memiliki konsep diri akademis yang positif akan membawa perasaan nyaman bagi siswa dalam menjalankan tugas belajarnya. Untuk siswa dengan konsep diri akademis negatif memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam berbuat kecurangan dalam tes daripada siswa dengan konsep diri akademis positif. Ini dikarenakan siswa yang memiliki konsep diri akademis positif umumnya cukup mampu menerima dirinya apa adanya. Mereka menyadari dengan baik kekuatan dan kelemahannya untuk berkembang dan memperbaiki diri.

7. Pentingnya konsep diri akademis

Marsh (2003) menyatakan bahwa konsep diri akademis dapat membuat individu menjadi lebih percaya diri dan merasa yakin akan kemampuan mereka karena sebenarnya konsep diri akademis itu sendiri mencakup bagai mana, individu bersikap, merasa, dan mengevaluasi kemampuannya. Berdasarkan competence motivation theory yang dikemukakan oleh Harter (dalam Wong, 2002), dukungan yang diperoleh siswa dan penerimaan terhadap kompetensi siswa berkontribusi secara signifikan dalam setiap performansi. Lebih lanjut dikatakan bahwa pentingnya untuk mempersiapkan siswa dengan lingkungan di mana kompetensi mereka dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Jadi, siswa yang percaya bahwa mereka ”bisa” akan berusaha keras menjadi lebih baik dan memungkinkan untuk mencapai nilai yang tinggi.


(23)

Naurah (2008) juga menjelaskan bahwa konsep diri yang positif akan membuat siswa mampu untuk menggunakan segala potensi dan kemampuannya seoptimal mungkin dengan jalan mengikuti proses belajar mengajar dengan baik, mengadakan hubungan baik dengan teman sekelasnya yang dapat mempengaruhi kegiatan belajarnya. Sebaliknya, konsep diri yang negatif tidak akan membuat siswa menggunakan potensi dan kemampuannya dengan optimal karena mereka tidak memahami segala potensinya sehingga menimbulkan sifat mengganggu teman, memperolok-olokkan guru dan sengaja mencari perhatian yang dapat menyebabkan proses belajar mengajar terganggu.

B. Gaya Kelekatan

1. Pengertian gaya kelekatan

Dalam bahasa sehari-hari, kelekatan mengacu pada sebuah hubungan antara dua individu yang menpunyai perasaan yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan sejumlah hal untuk mempertahankan hubungan. Kelekatan merupakan satu gejala dari adanya saling keterikatan pada manusia. Gejala ini merupakan suatu yang umum terjadi karena menurut Bowlby (dalam Santrock, 1999) pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk membuat ikatan afeksional yang kuat terhadap orang-orang tertentu.

Menurut Berk (2000) kelekatan adalah ikatan afeksional yang kuat dan dirasakan terhadap orang-orang tertentu dalam kehidupan yang membuat seseorang merasa gembira dan senang saat berinteraksi dengan orang lain tersebut dan individu merasa nyaman jika berada dekat dengan orang tersebut saat masa-masa sulit. Ini sejalan dengan istilah kelekatan yang diartikan oleh Ainsworth (dallam Ervika, 2005) sebagai suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu atau disebut figur lekat dan berlangsung terus-menerus.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kelekatan merupakan suatu hubungan yang bersifat afeksional antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Biasanya hubungan ini ditujukan pada ibu atau pengasuhnya serta


(24)

bersifat timbal balik, bertahan cukup lama, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak berada dekat individu tersebut.

2. Teori kelekatan

Adapun teori kelekatan yang berkaitan dalam penelitian ini adalah teori yang berdasarkan pendekatan etologi. Menurut teori etologi (Bernt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak tetapi juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (dalam Hetherington & Parke, 1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogram secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya, bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara, dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutually attachment). Dalam hal ini hubungan kelekatan yang baik dapat membuat anak memahami dirinya. Learner & Kruger (1997) mengungkapkan bahwa kelekatan terhadap orangtua berhubungan positif dengan motivasi anak untuk meraih kesuksesan dalam bidang akademis. Penelitian Tiedemann (2000) juga menunjukkan bahwa kepercayaan orangtua terhadap kemampuan anak turut membangun konsep anak terhadap kemampuannya sendiri.

3. Pengertian tingkah laku lekat

Tingkah laku lekat adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, dan terancam. Adapun tujuan tingkah laku lekat adalah mendapatkan kenyamanan dari


(25)

selalu ada dan memberinya dukungan, maka seseorang akan merasa lebih kuat dan nyaman, dan selanjutnya mendorongnya untuk melanjutkan hubungan tersebut. Meskipun tingkah laku lekat terlihat lebih jelas pada masa kanak-kanak, tetapi dapat diamati sepanjang masa kehidupan, terutama pada saat-saat genting.

Menurut Ainsworth (dalam Ervika, 2005) tingkah laku lekat adalah berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah, dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi dengan figur lekatnya. Capitano (dalam Ervika, 2005) berpendapat bahwa tingkah laku lekat merupakan sesuatu yang dapat dilihat, namun kadang perilaku ini dapat muncul dan kadang tidak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkah laku lekat merupakan usaha seseorang dalam bentuk perilaku untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap dapat memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan. Tingkah laku ini dapat berupa berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah, dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi denga figur lekatnya.

4. Pembentukan kelekatan

Menurut Bowlby (dalam Ervika, 2005), perkembangan kelekatan dibagi menjadi empat fase, yaitu:

a. Indiscriminate sociability

Terjadi pada anak yang berusia dua bulan. Bayi menggunakan tangisan untuk menarik perhatian orang dewasa, menghisap dan menggenggam, tersenyum dan berceloteh digunakan untuk mencari perhatian orang dewasa agar mendekat padanya.

b. Discriminate sociability

Terjadi pada anak berusia dua hingga tujuh bulan. Pada fase ini bayi mulai dapat membedakan objek lekatnya, mengingat orang yang memberikan perhatian dan menunjukkan pilihannya pada orang tersebut.


(26)

Terjadi pada anak yang berusia tujuh bulan hinga dua tahun. Bayi mulai menunjukkan kelekatannya dengan figur tertentu. Fase ini merupakan fase munculnya

intentional behavior dan independent locomosy yang bersifat permanen. Anak untuk pertama kalinya menyatakan protes ketika figur lekatnya pergi. Anak sudah tahu orang-orang yang diinginkan dan memilih orang–orang yang sudah dikenal. Mereka mulai mendekatkan diri pada objek lekat. Anak mulai menggunakan kemampuan motorik untuk mempengaruhi orang lain.

d. Partnership

Terjadi pada usia dua sampai empat tahun. Fase ini sama dengan fase egosentris yang dikemukakan Piaget. memasuki usia dua tahun anak mulai mengerti bahwa orang lain memiliki perbedaan keinginan dan kebutuhan yang mulai diperhitungkannya. Kemampuan berbahasa membentuk anak bernegosiasi dengan ibu atau figur lekatnya. Hal ini membuat anak lebih mampu berhubungan dengan peer dan orang yang tidak dikenal.

5. Ciri-ciri gaya kelekatan

Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth, dalam Ervika, 2005).

Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2005) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:

a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali


(27)

d. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya.

6. Figur lekat

Figur lekat adalah individu-individu yang dapat memenuhi kebutuhan anak, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologisnya berupa terpenuhinya rasa aman dan nyaman serta kepastian. Figur lekat biasanya adalah orang yang mengasuh anak, namun pengasuh yang hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi tidak responsif terhadap keinginan dan tingkah laku lekat anak, tidak akan dipilih menjadi figur lekat (Ainsworth, dalam Ervika, 2005).

Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Ibu biasanya menempati peringkat pertama figur lekat utama anak. Namun, anak juga mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga untuk menjadi figur lekatnya. Hal ini menyangkut kualitas antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas, dalam Ervika, 2005).

7. Macam-macam gaya kelekatan

Ada tiga jenis gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Hasil penelitian Ainsworth (Collins & Read, 1990; Simpson, dalam Helmi, 1999) membuktikan bahwa setiap gaya kelekatan yang dimiliki individu dapat mempengaruhi kemampuan berhubungan dengan orang lain.

a. Gaya kelekatan aman

Anak dengan gaya kelekatan aman menunjukkan adanya kepercayaan dalam hubungan kelekatannya. Mereka menggunakan figur lekat sebagi dasar untuk mengeksplorasi


(28)

lingkungan baru. Mereka yang dapat menunjukkan rasa tertekan sebagai respon dari perpisahan dengan figur lekatnya. Ketika ibunya kembali, mereka menyambutnya secara positif dan hangat, gembira serta mendekati ibunya. Jika merasa tertekan, mereka dengan mudah ditenangkan kembali oleh ibunya (Ainsworth, dalam Jolley & Mitchell, 1996).

Individu yang memiliki kecenderungan gaya kelekatan aman mempunyai ciri dapat berhubungan dengan orang lain dengan mudah, karena pada dasarnya mereka mempunyai model mental yang positif mengenai dirinya sendiri dan orang lain. Orang dengan gaya kelekatan aman memandang dirinya dan orang lain sebagai orang yang percaya diri dan bersahabat, karena itu orang dengan gaya kelekatan aman dapat dengan mudah dan merasa nyaman menyandarkan diri pada orang lain dan juga tidak merasa terganggu bila orang lain menyandarkan diri padanya (Ainsworth, dalam Cahyani, 1999). Berkembangnya model mental ini memberikan pengaruh yang positif terhadap kompetensi sosial (Kobal & Hasan, 1991), hubungan romantis yang saling mempercayai (Levy & Davis, dalam Helmi, 1999).

b. Gaya kelekatan menghindar

Anak yang termasuk dalam gaya kelekatan menghindar menunjukkan kelekatan yang rendah terhadap ibu bahkan menunjukkan perilaku yang lebih ramah terhadap orang asing. Mereka bermain secara mandiri dan tidak menunjukkan penolakan atau tidak mempedulikan ibunya kembali, menunjukkan afeksi yang kosong dan datar, lebih memperhatikan mainannya dan terus menerus menolak ketika ibu mencoba menarik perhatiannya (Ainsworth dalam Jolley & Mitchell, 1996).

Orang dengan gaya kelekatan menghindar mempunyai ciri kurang dapat berhubungan dengan orang lain, karena individu tersebut mengembangkan model mental mengenai diri sebagai orang yang harus curiga dan sukar untuk mempercayai orang lain dan memandang orang lain sebagai orang yang tidak dapat berpendirian tetap (Ainsworth dalam Cahyani, 1999). Selain itu juga memiliki model mental sosial sebagai orang yang tidak percaya pada kesediaan orang lain, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal


(29)

(Collins & Read, 1991), hubungan romantis selalu diwarnai kekurangpercayaan (Levy & Davis dalam Helmi, 1999).

c. Gaya kelekatan cemas

Anak yang digolongkan sebagai resistant (anxious/ambivalent) menunjukkan keinginan yang kuat untuk dekat dengan figur lekatnya. Mereka merasa tertekan jika dipisahkan dari ibu, tidak ingin berpisah dari ibunya dan sangat marah menghadapi perpisahan. Ketika ibunya kembali, mereka menunjukkan keinginan mencari kedekatan, tetapi sekaligus menolak kontak dengan ibunya. Hubungan dengan ibunya menunjukkan ambivalensi, yaitu antara keinginan untuk dekat (affectionate attachment) dan rasa marah karena ibunya tidak konsisten memperhatikannya (Ainsworth, dalam Jolley & Mitchell, 1996).

Individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai ciri negatif dalam berhubungan dengan orang lain, karena pada dasarnya individu dengan gaya kelekatan cemas mengembangkan penilaian dan harapan terhadap diri sebagai orang yang kurang percaya diri dan kurang berharga (Ainsworth dalam Cahyani, 1999) serta memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal (Simpson, 1990), kurang asertif dan merasa tidak dicintai orang lain dan kurang bersedia untuk menolong (Collins & Read, 1991), ragu-ragu terhadap pasangan dalam hubungan romantis (Levy & Davis, dalam Helmi, 1999). Individu dengan gaya kelekatan cemas akan merasa tidak mampu untuk bersahabat dengan orang lain dan tidak dapat mempercayainya.

C. Siswa SD

Menurut Nasution (dalam Djamarah, 2002), masa usia SD sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 atau 7 tahun sampai kira-kira 11 atau 12 tahun. Usia ini ditandai dengan dimulainya anak masuk SD, serta dimulainya sejarah batu kehidupannya yang kelak akan mengubah sikap dan tingkah lakunya. Suryobroto (dalam Djamarah, 2002) membagi masa ini menjadi dua fase, yaitu: masa-masa kelas rendah SD yang berusia


(30)

kira-kira 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun, serta masa-masa kelas tinggi SD yang berusia 9 atau 10 tahun sampai 11 atau 12 tahun.

Dalam tahap ini perkembangan intelektual anak dimulai ketika anak sudah dapat berpikir atau mencapai hubungan antar kesan secara logis, serta membuat keputusan tentang apa yang dihubung-hubungkannya secara logis (Djamarah, 2002). Menurut Kroch (dalam Kartono,1995), tahap ini lebih menonjol pada usia 10 sampai 12 tahun, atau disebut periode Realisme-Kritis, di mana pengamatan anak sudah bersifat realistis dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintesa logis karena muncul pengertian, wawasan (insight), dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan. Kini anak juga dapat menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, atau menjadi satu struktur. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Djiwandono, 2002) tentang tahapan perkembangan kognitif; di mana usia kelas-kelas tinggi SD ini termasuk dalam tahap operasional konkrit. Pada tahap ini anak mampu berpikir logis dan mampu secara konkrit memperhatikan lebih dari dua dimensi sekaligus, serta juga dapat menghubungkan dimensi yang satu dengan yang lain. Hal ini juga berarti bahwa anak sudah memiliki kemampuan mengkoordinasi pandangan-pandangannya sendiri dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanya salah satu dari sekian banyak pandangan orang lain. Jadi, pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan orang dewasa (Syah, 2003).

Konsep diri anak juga berkembang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Calhoun & Acocella (1990) mengungkapkan bahwa ketika anak belajar berpikir menggunakan kata-kata, anak mulai melihat adanya hubungan antara benda-benda dan kemudian membuat generalisasi yang pada awalnya dilakukan terhadap diri sendiri seperti ”Aku baik”, ”Aku kecil”. Oleh karenanya yang terjadi adalah anak akan secara serius menerima dan memasukkannya ke dalam konsep dirinya, informasi yang konsisten dengan gagasan yang telah berkembang tentang dirinya (Anderson, dalam Calhoun & Acocella,


(31)

1990). Konsep diri ini terus berkembang sepanjang hidup, tetapi cenderung berkembang sepanjang garis yang dibentuk pada awal masa kanak-kanak (Calhoun & Acocella, 1990).

Ini juga ditekankan oleh Shaffer (2002) yang menjelaskan bahwa pada awal masa kanak-kanak, individu mulai membangun konsep dirinya yakni satu set keyakinan mengenai karakteristik mereka. Pada usia 8 – 11 tahun anak mulai menggambarkan dirinya berdasarkan karakternya. Mereka mulai mengurangi penekanan terhadap perilakunya dan mulai menonjolkan kemampuannya. Misalnya ”saya dapat mengerjakan dengan baik”. Mereka juga mulai menggambarkan dirinya berdasarkan sifat-sifat psikologis. Hal tersebut dimulai dari penggambaran kualitas secara umum seperti ”pintar” dan “bodoh”. Selanjutnya pada usia remaja, penggambaran diri mereka berubah. Contoh “saya tidak terlalu pintar dalam matematika”, “saya senang dengan pelajaran sejarah”.

D. Hubungan Konsep Diri Akademis dengan Gaya Kelekatan

Keluarga sangat mempengaruhi perkembangan awal untuk anak selama masa SD. Pengaruh keluarga tersebut terutama didapat dari ibu karena memiliki frekuensi yang besar dalam berinteraksi dengan anak mereka meliputi merawat dan melakukan tugas rumah tangga. Apabila dalam interaksi ibu memperlakukan anak dengan cara yang responsif, konsisten, dan penuh perhatian, maka kelekatannya akan terbentuk dan berkembang dengan baik (Cahyani, 1999).

Kelekatan yang berkembang dengan baik menurut Helmi (1999) dapat memunculkan model mental yang positif. Piaget (dalam Kaplan, 2000) menyatakan bahwa dalam belajar anak juga harus dapat melakukan representasi mental dengan sebaik-baiknya. Penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan yang terorganisasi dengan baik akan mempengaruhi kekuatan ingatan. Kesalahan penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan-kesan yang didapat dari hasil belajar akan menyebabkan kerusakan representasi mental. Oleh karena itu terjadi kerancuan skema sehingga memunculkan konsep diri yang negatif (Kaplan, 2000).


(32)

Telah dijelaskan bahwa konsep diri akademis merupakan pandangan pandangan individu mengenai kemampuan akademis. Pandangan anak terhadap kemampuannya berhubungan dengan kepercayaan orang dewasa terhadap anak. Eccles (1993) menyatakan bahwa keyakinan siswa akan kemampuannya dipengaruhi oleh penilaian dari guru dan orangtua. Informasi yang diberikan orangtua terhadap anaknya lebih menancap daripada informasi yang diberikan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Oleh karena itu perlu adanya interaksi yang baik antara orangtua dan anak. Interaksi yang berkualitas tidak hanya menuntut kedekatan secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan perasaan (afeksi) antara orangtua dan anak (Malik, 2003) yang disebut oleh Ainsworth (dalam Ervika, 2005) dengan istilah kelekatan.

Anak yang memiliki hubungan gaya kelekatan aman dengan orang tua membuat mereka merasa yakin akan kompetensi akademik mereka. Jacobsen & Hoffman (1997) mengatakan bahwa hubungan kelekatan yang kuat dengan orang tua berhubungan dengan penerimaan yang baik terhadap kompetensi yang dimiliki. Perasaan anak tentang dirinya selama di sekolah bisa mempengaruhi perkembangan konsep dirinya terutama konsep diri akademisnya (Swann, dalam Elabum & Vaughan, 2001). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa anak yang memiliki gaya kelekatan aman mempunyai konsep diri akademis yang positif. Lebih lanjut dikatakan oleh Jacobsen & Hoffman (1997) bahwa anak yang memiliki hubungan kelekatan cemas dan menghindar pada dasarnya mengembangkan penilaian dan harapan terhadap diri sebagai orang yang kurang percaya diri dan kurang mengetahui kompetensi yang dimilikinya sehingga dikatakan memiliki konsep diri akademis yang negatif.

E. Hipotesa Penelitian

Dari uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa. Siswa yang memiliki


(33)

dengan siswa yang memiliki gaya kelekatan menghindar dan cemas yang akan memiliki konsep diri akademis yang lebih negatif.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel tergantung : Konsep diri akademis Variabel bebas : Gaya kelekatan

B. Definisi Operasional 1. Konsep diri akademis

Konsep diri akademis adalah persepsi umum individu terhadap prestasi akademisnya yang meliputi bagaimana pengetahuan, pengharapan, dan penilaian siswa terhadap kemampuan akademisnya.

Konsep diri akademis diukur dengan menggunakan skala konsep diri akademis. Skor yang tinggi menunjukkan konsep diri akademis yang positif, sedangkan skor yang rendah menunjukkan konsep diri akademis yang negatif.

2. Gaya kelekatan

Gaya kelekatan ialah suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu atau disebut figur lekat dan berlangsung terus menerus. Gaya kelekatan terbagi atas tiga jenis, yaitu:

a. Gaya kelekatan aman

Karakteristik gaya kelekatan aman antara lain

adalah anak merasa nyaman bersama figur lekat, tidak


(35)

figur lekat sebagai figur yang hangat dan penuh kasih

sayang, hubungan dengan figur lekat menyenangkan,

percaya pada diri sendiri dan orang lain, serta merasa

nyaman menjadikan figur lekat sebagai sumber

dukungan.

b. Gaya kelekatan menghindar

Karakteristik gaya kelekatan menghindar adalah

anak yang memiliki anggapan bahwa figur lekat tidak

perhatian, mengalami penolakan, hubungan dengan figur

lekat relatif dingin, merasa tidak nyaman bersama figur

lekat, tidak ingin menjalin hubungan dekat dengan figur

lekat, dan sukar mempercayai figur lekat.

c. Gaya kelekatan cemas

Karakteristik gaya kelekatan cemas adalah anak

yang memiliki pandangan bahwa figur lekat tidak sensitif,

kurang responsif akan kebutuhan, tidak adil dan tidak

dapat diprediksi, menjalin hubungan sangat dekat dengan


(36)

keluarga karena takut mengambil keputusan, merasa

cemas diabaikan, dan tidak nyaman dengan figur lekat.

Gaya kelekatan siswa diukur dengan menggunakan penskalaan subjek yang disusun berdasarkan karakteristik dari masing-masing gaya kelekatan yang dikemukakan oleh Ainsworth (dalam Collins & Read, 1990).

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan unit atau individu

dalam ruang lingkup yang ingin diteliti. Sedangkan

sampel adalah sebagian orang dari populasi yang dipilih

dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga

diharapkan dapat mewakili populasinya (Soegiarto dkk,

2003). Dalam penelitian ini, populasinya adalah siswa SD

Ikal Medan, sedangkan karakteristik sampel penelitian

yang digunakan adalah siswa SD Ikal Medan yang berusia

9 – 11 tahun. Pada usia 9 sampai 11 tahun, pengamatan

anak sudah bersifat realistis dan kritis, anak sudah bisa


(37)

wawasan (insight), dan akal yang sudah mencapai taraf

kematangan (Kroch dalam Kartono, 1995), serta mulai

mengembangkan konsep dirinya dengan menggambarkan

dirinya berdasarkan karakternya (Shaffer, 2002).

2. Prosedur pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, populasi dan sampel yang

digunakan merupakan salah satu faktor penting yang

harus diperhatikan. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah teknik simple random sampling dengan

cara undian. Dalam teknik ini semua individu dalam

populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih

sebagai sampel (Hadi, 2000)

3. Jumlah sampel penelitian

Menurut Azwar (2004), secara tradisional statistika

menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 sampel

sudah cukup banyak. Namun mengenai jumlah sampel


(38)

tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel

penelitian, seperti yang dikatakan Siegel (1997) bahwa

kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah sampel. Berdasarkan

pertimbangan di atas, maka peneliti menggunakan 100

orang untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.

D. Instrumen yang Digunakan

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen alat ukur self report. Untuk pengukuran konsep diri akademis digunakan alat ukur berupa skala sikap model Likert. Cronbach (dalam Azwar, 2003) menyatakan bahwa skala merupakan suatu bentuk pengukuran terhadap performansi tipikal individu cenderung dimunculkan secara sadar dalam bentuk respon terhadap situasi-situasi tertentu yang dihadapi. Untuk pengukuran gaya kelekatan digunakan skala subjek.

1. Skala konsep diri akademis

Aitem-aitem dalam skala konsep diri akademis

disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek konsep


(39)

pengetahuan, pengharapan, dan penilaian siswa terhadap

kemampuan akademisnya.

Skala tersebut terdiri dari aitem yang favourable dan

unfovourable, dengan skala model Likert dengan empat

pilihan jawaban yakni Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak

Sesuai, Sangat Tidak Sesuai. Penilaian skala untuk aitem

favourable adalah nilai 4 untuk jawaban Sangat Sesuai,

nilai 3 untuk jawaban Sesuai, nilai 2 untuk jawaban

Tidak Sesuai, dan nilai 1 untuk jawaban Sangat Tidak

Sesuai. Penilaian skala untuk aitem unfavourable adalah

nilai 1 untuk jawaban Sangat Sesuai, nilai 2 untuk

jawaban Sesuai, nilai 3 untuk jawaban Tidak Sesuai, dan

nilai 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai.

Berikut

ini

blue print yang menyajikan distribusi

aitem-aitem skala konsep diri akademis:

Tabel 1. Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis


(40)

No. Aspek

konsep

diri akademis

Aitem

Favourable

Aitem

Unfavourable

Total

1.

Pengetahuan

1, 2, 15, 16,

34, 35

7, 8, 20, 21, 26,

27, 28

13

2.

Harapan

3, 4, 17, 18,

19, 32, 33

9, 10, 24, 25

11

3.

Penilaian

5, 6, 29, 30,

31

11, 12, 13, 14,

22, 23

11

Jumlah 18 17

35

2. Skala gaya kelekatan

Aitem-aitem dalam skala gaya kelekatan disusun oleh

peneliti berdasarkan karakteristik dari masing-masing

gaya kelekatan yang dikemukakan oleh Ainsworth (dalam

Collins & Read, 1990), yaitu gaya kelekatan aman, gaya

kelekatan menghindar, dan gaya kelekatan cemas. Skala

yang digunakan adalah model penskalaan subjek yang

berisi 30 aitem dengan tiga alternatif jawaban yang

langsung mengarah pada salah satu gaya kelekatan yang

dimiliki siswa. Pilihan pertama (a) adalah indikator

kelekatan aman; yang kedua (b) adalah indikator gaya

kelekatan menghindar; dan pilihan ketiga (c) merupakan


(41)

indikator gaya kelekatan cemas. Cara pemberian skor

adalah nilai 1 untuk gaya kelekatan yang dipilih, dan nilai

0 untuk gaya kelekatan yang tidak dipilih.

Berikut

ini

blue print yang menyajikan

indikator-indikator yang digunakan dalam menyusun skala gaya

kelekatan:

Tabel 2. Indikator gaya kelekatan

No. Jawaban

Gaya

Kelekatan

Indikator

1. A

Aman

Merasa nyaman bersama

figur lekat,

Tidak sepenuhnya

bergantung pada figur

lekat,

Memandang figur lekat

sebagai figur yang hangat

dan penuh kasih sayang,

Hubungan dengan figur

lekat menyenangkan,

percaya pada diri sendiri

dan orang lain, serta

Merasa nyaman

menjadikan figur lekat

sebagai sumber dukungan.

2. B Menghindar

Memiliki anggapan bahwa


(42)

figur lekat tidak perhatian,

Mengalami penolakan,

Hubungan dengan figur

lekat relatif dingin,

Merasa tidak nyaman

bersama figur lekat,

Tidak ingin menjalin

hubungan dekat dengan

figur lekat, dan

Sukar mempercayai figur

lekat.

3. C Cemas

Memiliki pandangan bahwa

figur lekat tidak sensitif,

kurang responsif akan

kebutuhan, tidak adil dan

tidak dapat diprediksi,

Menjalin hubungan sangat

dekat dengan keluarga

karena takut mengambil

keputusan,

Merasa cemas diabaikan,

dan

Tidak nyaman dengan figur

lekat

3. Validitas dan reliabilitas alat ukur

Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat validitas

(seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat

apa yang hendak diukur) dan reliabilitas (seberapa jauh


(43)

alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran) alat

ukur (Azwar, 1997). Uji coba skala dilakukan dengan

menyebarkan skala kepada responden uji coba yang

memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik

sampel penelitian.

a. Validitas alat ukur

Menurut Sukadji (2000), validitas merupakan derajat

yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang

seharusnya diukur. Validitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah content validity (validitas isi).

Validitas isi merupakan derajat tes yang menggambarkan

esensi topik-topik dan ruang lingkup tes yang dirancang

untuk pengukuran (Sevilla, dkk, 1993). Validitas isi

merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian

terhadap isi tes dengan analisis rasional dan melalui

professional judgement (Azwar, 1996). Dalam penelitian

ini, peneliti meminta professional judgement dari dosen

pembimbing.


(44)

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh

mana aitem mampu membedakan antara individu atau

kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang

tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja

yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan

memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau

sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain,

memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan

yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 1997).

Pengujian daya beda item pada alat ukur ini dilakukan

dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi

skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan

yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan

koefisien korelasi Pearson Product Moment yang dikenal

dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2000). Prosedur

pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5 %

(p<0.05).


(45)

Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil

pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya

(Azwar, 2003). Dari sejumlah aitem yang terpilih memiliki

daya beda aitem yang tinggi dilakukan komputasi untuk

memperoleh koefisien reliabilitas. Reliabilitas alat ukur

yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan

indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan

fungsi ukurnya secara bersama-sama.

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan

pendekatan konsistensi internal yang mana prosedurnya

hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada

sekelompok individu sebagai sampel. Pendekatan ini

dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi

(Azwar, 2003). Teknik yang digunakan adalah teknik

koefisien reliabilitas alpha cronbach.

Penghitungan indeks daya beda aitem dan koefisien

reliabilitas dalam uji coba ini dilakukan dengan

menggunakan program SPSS version 15.0 for Windows.


(46)

4. Hasil uji coba penelitian

Uji coba skala konsep diri akademis dan skala gaya

kelekatan dilakukan terhadap 146 orang siswa SD Brigjen

Katamso Medan.

a. Hasil uji coba skala konsep diri akademis

Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan

analisa uji coba dengan menggunakan aplikasi program

SPSS versi 15.0 for Windows, kemudian nilai corrected item

total correlation yang diperoleh dibandingkan dengan

Pearson Product moment dengan interval kepercayaan 95

% yang memiliki harga kritik 0.300, karena menurut

Azwar (2003) semua item yang mencapai koefisien

korelasi minimal 0.300, daya pembedanya dianggap

memuaskan. Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 35

aitem dan dari 35 aitem diperoleh 26 aitem yang sahih

dan 9 aitem yang gugur. 26 aitem yang sahih ini akan


(47)

korelasi r

xx

= 0.334 sampai dengan r

xx

= 0.586 dan

reliabilitas sebesar 0.886. Distribusi aitem yang sahih dari

skala konsep diri akademis dapat dilihat pada tabel 3:

Tabel 3. Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis setelah uji coba

No. Aspek

konsep

diri akademis

Aitem

Favourable

Aitem

Unfavourable

Total

1.

Pengetahuan

15

8, 20, 21, 26,

27, 28

7

2.

Harapan

4, 17, 18, 19,

32, 33

9, 10, 24, 25

10

3.

Penilaian

6, 30, 31

11, 12, 13, 14,

22, 23

9

Jumlah 10 16

27

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, terlebih

dahulu aitem disusun kembali.

Tabel 4. Distribusi aitem-aitem skala konsep diri

akademis untuk penelitian

No. Aspek

konsep

diri akademis

Aitem

Favourable

Aitem

Unfavourable

Total

1.

Pengetahuan

1

6, 7, 8, 11, 22,

23


(48)

2.

Harapan

2, 3, 16, 17,

25, 26

12, 15, 20, 21

10

3.

Penilaian

4, 5, 24,

9, 10, 13, 14,

18, 19

9

Jumlah 10 16

26

b.

Hasil uji coba skala gaya kelekatan

1)

Untuk gaya kelekatan aman, diperoleh 26 aitem

sahih dengan kisaran r

xx

= 0.306 sampai dengan r

xx

=

0.597 dengan reliabilitas 0.874. yaitu aitem 1, 2, 4, 6,

8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,

26, 27, 28, 29, 30.

2)

Untuk gaya kelekatan menghindar, diperoleh 16

aitem sahih dengan kisaran r

xx

= 0.303 sampai dengan

r

xx

= 0.592 dengan reliabilitas 0.752. yaitu aitem1, 4, 6,

7, 9, 10, 12, 13, 14, 17, 18, 19, 23, 27, 29, 30.

3)

Untuk gaya kelekatan cemas, diperoleh 15 aitem

sahih dengan kisaran r

xx

= 0.313 sampai dengan r

xx

=


(49)

0.503 dengan reliabilitas 0.798. yaitu aitem 2, 3, 4, 6,

8, 12, 16, 17, 20, 22, 23, 24, 26, 28, 30.

Akhirnya dari 30 aitem yang diujicobakan,

digunakan 25 aitem yang memiliki daya diskriminasi

aitem yang paling tinggi yang mewakili ketiga gaya

kelekatan. Sebelum skala gaya kelekatan digunakan

dalam pengambilan data untuk penelitian, terlebih dahulu

aitem yang telah memenuhi validitas dan reliabilitas

disusun kembali.

Diskriminasi aitem yang sahih dan penyebaran aitem

setelah disusun kembali dari skala gaya kelekatan dapat

dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem gaya kelekatan untuk

penelitian

Nomor aitem yang sahih

Nomor aitem untuk penelitian

1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 13,

14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 24, 26, 27, 28, 29, 30

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 22, 23, 24, 25


(50)

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

1. Tahap persiapan penelitian

Dalam tahap persiapan ini, yang dilakukan oleh

peneliti adalah:

a. Pembuatan alat ukur

Pada tahap ini, alat ukur yang terdiri dari skala

konsep diri akademis dan skala gaya kelekatan dibuat

sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang telah

diuraikan. Peneliti membuat 35 aitem untuk skala konsep

diri akademis dan 30 aitem untuk skala gaya kelekatan.

Skala konsep diri akademis dibuat dalam bentuk booklet

yang terdiri dari 4 pilihan jawaban, dimana di samping

pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab

sehingga memudahkan sampel dalam memberikan

jawaban. Sedangkan skala gaya kelekatan dibuat dalam


(51)

jawaban, yaitu a, b, c, dan sampel dapat langsung

memberikan jawaban dengan cara menyilangnya.

b.

Mencari informasi

Sebelum peneliti melakukan pengambilan data,

terlebih dahulu diawali dengan pengurusan surat izin dari

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang

dibuat atas nama Dekan Fakultas Psikologi untuk

diberikan langsung kepada Wakil Kepala Sekolah SD

Brigjend Katamso dan Kepala Sekolah SD Ikal.

Selanjutnya peneliti mencari informasi tentang siswa

untuk mendapatkan gambaran mengenai siswa SD

tersebut.

c. Uji coba alat ukur

Uji coba skala konsep diri akademis dan skala gaya

kelekatan dilakukan pada tanggal 13 Desember 2008. Uji

coba dilakukan dengan cara memberikan skala langsung

kepada siswa SD Brigjend Katamso kelas 5 dan 6. Setelah


(52)

disebar. Dari 150 siswa yang direncanakan untuk mengisi

skala hanya 146 siswa yang hadir pada uji coba skala.

d.

Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang

dilakukan pada 146 orang siswa SD, peneliti menguji daya

beda aitem dan reliabilitas skala konsep diri akademis

dan skala gaya kelekatan dengan bantuan apllikasi SPSS

versi 15.0 for windows. Setelah diketahui aitem-aitem

mana saja yang memenuhi reliabilitas dan daya beda yang

memuaskan, peneliti mengambil aitem-aitem tersebut

untuk disajikan dalam skala konsep diri akademis dan

skala gaya kelekatan yang disusun dalam bentuk booklet.

Skala inilah yang digunakan peneliti dalam mengambil

data untuk penelitian.

2. Pelaksanaan penelitian


(53)

2008. Sebelum menyebarkan skala, peneliti menanyakan

kepada kepala sekolah SD Ikal untuk menyediakan

sampel sesuai karakteristik yang telah ditentukan. Setelah

memenuhi kriteria, kemudian skala tersebut dibagikan

kepada sampel dengan terlebih dahulu memberikan

penjelasan mengenai petunjuk pengisian skala yang

benar. Dengan kriteria yang ada diperoleh 100 orang

siswa kelas 5 dan 6 SD Ikal.

3. Pengolahan data penelitian

Setelah diperoleh hasil skor konsep diri akademis

dan gaya kelekatan pada masing-masing sampel, maka

untuk pengolahan data selanjutnya, peneliti

menggunakan aplikasi komputer SPSS 15.00 for windows.


(54)

Data dalam penelitian ini akan dianalisa dengan

analisa statistik dengan alasan analisa statistik bekerja

dengan angka-angka, bersifat objektif dan universal

(Hadi, 2002). Analisa data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan Anova untuk

melihat perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari

gaya kelekatan siswa.

Sebelum dilakukan analisa data, terlebih dahulu

dilakukan uji asumsi penelitian, yaitu uji asumsi terhadap

variabel-variabel penelitian yang meliputi:

1. Uji normalitas

Adapun maksud dari uji normalitas ini adalah untuk

mengetahui apakah distribusi pada penelitian variabel

tergantung (konsep diri akademis) telah menyebar secara

normal. Uji normalitas sebaran dianalisis dengan

menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test.

2.Uji Homogenitas


(55)

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam penelitian ini homogen atau tidak. Uji homogenitas pada penelitian ini, dianalisa dengan menggunakan Anova Levene’s Test.


(56)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Analisa data akan dimulai dengan memberikan gambaran umum sampel penelitian dilanjutkan dengan analisa dan interpretasi data penelitian. Pada akhir bab terdapat pembahasan mengenai hasil penelitian dikaitkan dengan teori yang berkaitan.

A. Analisa Data

1. Gambaran data penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SD Ikal Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang berusia berkisar antara 9 sampai dengan 11 tahun, duduk di kelas 5 dan 6 SD. Berdasarkan hal tersebut didapatkan gambaran sampel menurut usia, jenis kelamin, status tempat tinggal, dan kelas sampel.

a. Gambaran sampel penelitian berdasarkan usia

Berdasarkan usia, penyebaran sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Penyebaran sampel penelitian berdasarkan usia

Usia Jumlah Persentase

9 tahun 4 orang 5 %

10 tahun 54 orang 53 %

11 tahun 42 orang 42 %

Total 100 orang 100 %

Berdasarkan data pada tabel 6, jumlah sampel yang berusia 9 tahun sebanyak 4 orang (4 %), sampel yang berusia 10 tahun sebanyak 54 orang (54 %), dan sampel yang berusia 11 tahun sebanyak 42 orang (42 %).


(57)

Berdasarkan jenis kelamin sampel penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran sampel seperti yang tertera pada tabel 7.

Tabel 7. Penyebaran sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Laki-laki 46 orang 47 %

Perempuan 54 orang 53 %

Total 100 orang 100 %

Berdasarkan data pada tabel 12, jumlah sampel penelitian berjenis kelamin perempuan sebanyak 54 orang (54 %), sedangkan sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (46 %).

c. Gambaran sampel penelitian berdasarkan kelas

Berdasarkan kelas sampel penelitian maka dapat digambarkan penyebaran sampel penelitian seperti yang tertera pada tabel 8.

Tabel 8. Penyebaran sampel penelitian berdasarkan kelas

Kelas Jumlah (N) Persentase (%)

Kelas 5 47 Orang 47 %

Kelas 6 53 Orang 53 %

Total 100 orang 100 %

Berdasarkan data pada tabel 8, jumlah sampel yang duduk di kelas 5 sebanyak 47 orang (47 %), dan sampel yang duduk di kelas 6 sebanyak 53 orang (53 %).

d. Penggolongan sampel penelitian berdasarkan gaya kelekatan

Penelitian ini menggolongkan kelekatan siswa atas 3 gaya, yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan menghindar, dan gaya kelekatan cemas. Untuk menggolongkan sampel ke dalam masing-masing gaya kelekatan digunakan kategorisasi standar eror pengukuran (standard error of measurement) dengan rumusan sebagai berikut:


(58)

Se = Sx (1 – rxx)

Keterangan:

Se : standar eror dalam pengukuran Sx : deviasi standar skor

Rxx : koefisien reliabilitas

Besarnya Se akan memperlihatkan kisaran estimasi skor sebenarnya pada taraf kepercayaan tertentu. Selanjutnya nilai Se akan digunakan untuk melihat nilai Z pada tabel deviasi normal.

X ± Z/2 (Se)

Untuk gaya kelekatan aman dengan mean = 11.98, SD = 3.143 dan rxx = 0.874 dengan

taraf kepercayaan 95 % maka nilai Z Tabel adalah 1.96. Standar eror pengukuran gaya kelekatan aman adalah:

Se = 3.143 (1 – 0.874)

Gambaran kecermatan skor gaya kelekatan aman adalah: (1.96) 1.12 = 2.195. Angka tersebut dibulatkan menjadi 2 sehingga diperoleh fluktuasi skor menjadi X ± 2 = 12 ± 2= 14. Karena yang diinginkan dalam penelitian ini adalah menggolongkan sampel ke dalam salah satu gaya kelekatan, maka yang digunakan adalah skor tertinggi yaitu X ≥ 14. Hal ini bertujuan agar sampel tersebut benar-benar tergolong dalam gaya kelekatan aman.

Untuk gaya kelekatan menghindar dengan mean = 3.70, SD = 2.236 dan rxx = 0.752

dengan taraf kepercayaan 95 % maka nilai Z Tabel adalah 1.96. Standar eror pengukuran gaya kelekatan menghindar adalah:

Se = 2.236 (1 – 0.752)

Gambaran kecermatan skor gaya kelekatan menghindar adalah: (1.96) 1.11 = 2.18. Angka tersebut dibulatkan menjadi 2 sehingga diperoleh fluktuasi skor menjadi X ± 2 = 4 ± 2 = 6. Karena yang diinginkan dalam penelitian ini adalah menggolongkan sampel ke dalam salah


(59)

satu gaya kelekatan, maka yang digunakan adalah skor tertinggi yaitu X ≥ 6. Hal ini bertujuan agar sampel tersebut benar-benar tergolong dalam gaya kelekatan menghindar.

Untuk gaya kelekatan cemas dengan mean = 9.32, SD = 3.798 dan rxx = 0.798 dengan

taraf kepercayaan 95 % maka nilai Z Tabel adalah 1.96. Standar eror pengukuran gaya kelekatan cemas adalah:

Se = 3.798 (1 – 0.798)

Gambaran kecermatan skor gaya kelekatan cemas adalah: (1.96) 1.71 = 3.35 Angka tersebut dibulatkan menjadi 3 sehingga diperoleh fluktuasi skor menjadi X ± 3 = 9 ± 3 = 12. Karena yang diinginkan dalam penelitian ini adalah menggolongkan sampel ke dalam salah satu gaya kelekatan, maka yang digunakan adalah skor tertinggi yaitu X ≥ 12. Hal ini bertujuan agar sampel tersebut benar-benar tergolong dalam gaya kelekatan cemas.

Tabel 9. Kategorisasi gaya kelekatan

Gaya kelekatan aman X ≥ 14

Gaya kelekatan menghindar X ≥ 6

Gaya kelekatan cemas X ≥ 12

Berdasarkan standard error measurement yang telah dijelaskan di atas, maka didapat penggolongan sampel seperti dalam Tabel 10.

Tabel 10. Penyebaran sampel berdasarkan gaya kelekatan

Gaya kelekatan N – laki-laki N – perempuan Jumlah Persentase

Aman 15 19 34 34 %

Menghindar 4 7 11 11 %

Cemas 17 12 29 29 %

Tak tergolongkan 10 16 26 26 %

Total 46 54 100 100 %

Sampel yang termasuk dalam gaya kelekatan yang tidak tergolongkan tidak diperhitungkan dalam penelitian, karena peneliti hanya mengacu pada ketiga gaya kelekatan


(1)

LAMPIRAN 5

GAMBARAN KONSEP DIRI AKADEMIS

DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN


(2)

119

GAMBARAN KONSEP DIRI AKADEMIS DITINJAU DARI GAYA

KELEKATAN

No. Subjek Skor Konsep Diri Akademis Gaya Kelekatan

1. 1 96 AMAN

2. 2 79 CEMAS

3. 3 76 CEMAS

4. 4 81 AMAN

5. 5 88 CEMAS

6. 7 80 MENGHINDAR

7. 8 86 CEMAS

8. 9 91 AMAN

9. 10 89 AMAN

10. 11 90 MENGHINDAR

11. 12 82 CEMAS

12. 13 86 AMAN

13. 14 91 AMAN

14. 15 74 CEMAS

15. 17 91 AMAN

16. 20 90 AMAN

17. 21 79 MENGHINDAR

18. 24 69 MENGHINDAR

19. 26 77 MENGHINDAR

20. 27 59 MENGHINDAR

21. 28 76 CEMAS

22. 29 92 AMAN

23. 30 89 AMAN

24. 31 80 CEMAS

25. 32 94 AMAN

26. 33 81 CEMAS

27. 35 100 AMAN

28. 36 78 CEMAS

29. 37 82 CEMAS

30. 38 87 AMAN

31. 40 90 AMAN

32. 41 93 AMAN

33. 42 81 CEMAS

34. 43 81 MENGHINDAR

35. 45 88 AMAN

36. 46 81 CEMAS

37. 47 102 AMAN

38. 48 71 MENGHINDAR

39. 49 84 CEMAS

40. 51 75 CEMAS

41. 53 77 CEMAS

42. 54 78 CEMAS

43. 56 78 CEMAS

44. 60 78 CEMAS

45. 61 89 AMAN

46. 62 79 CEMAS

47. 63 78 CEMAS

48. 64 89 AMAN

49. 65 90 AMAN

50. 67 78 CEMAS

51. 68 66 MENGHINDAR

52. 69 100 AMAN

53. 70 79 CEMAS


(3)

54. 71 79 CEMAS

55. 72 87 AMAN

56. 73 90 AMAN

No. Subjek Skor Konsep Diri Akademis Gaya Kelekatan

57. 74 90 AMAN

58. 78 89 AMAN

59. 79 80 AMAN

60. 80 85 AMAN

61. 82 77 MENGHINDAR

62. 83 76 CEMAS

63. 84 75 CEMAS

64. 86 90 AMAN

65. 87 81 CEMAS

66. 88 91 AMAN

67. 90 94 AMAN

68. 91 101 AMAN

69. 94 70 MENGHINDAR

70. 95 99 AMAN

71. 97 79 CEMAS

72. 98 85 AMAN

73. 99 91 AMAN


(4)

121

LAMPIRAN 6

UJI NORMALITAS DAN HASIL ANOVA

PERBEDAAN KONSEP DIRI AKADEMIS

DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN


(5)

UJI NORMALITAS

SKALA KONSEP DIRI AKADEMIS DAN SKALA GAYA KELEKATAN

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KDA aman menghindar cemas

N 100 34 11 29

Normal Parametersa Mean 84.42 15.74 7.27 13.90

Std. Deviation 8.047 1.943 1.272 2.193

Most Extreme Differences Absolute .095 .206 .221 .210

Positive .095 .206 .221 .210

Negative -.065 -.186 -.185 -.194

Kolmogorov-Smirnov Z .946 1.203 .734 1.133

Asymp. Sig. (2-tailed) .333 .111 .655 .153


(6)

123

HASIL ANOVA

PERBEDAAN KONSEP DIRI AKADEMIS DITINJAU DARI GAYA

KELEKATAN

Descriptives

KDA

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

AMAN 34 90.88 5.163 .885 89.08 92.68 80 102

MENGHINDAR 11 74.45 8.490 2.560 68.75 80.16 59 90

CEMAS 29 79.07 3.273 .608 77.82 80.31 74 88

Total 74 83.81 8.452 .983 81.85 85.77 59 102

Test of Homogeneity of Variances

KDA

Levene Statistic df1 df2 Sig.

7.030 2 71 .002

ANOVA

KDA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 3315.233 2 1657.616 61.939 .000

Within Groups 1900.119 71 26.762

Total 5215.351 73