Perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan.

(1)

ABSTRAK

Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan.

Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan menggunakan analisis varians satu jalur (one way anova).

Dari hasil olah data, diperoleh F hitung sebesar 44,052 yang berarti lebih besar dari F tabel 3,276 dengan taraf signifikansi 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat kemandirian belajar yang signifikan pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Selain itu, hasil perhitungan Mean untuk gaya kelekatan aman sebesar 113,38. Mean kelompok gaya kelekatan menghindar sebesar M=98,7, serta mean untuk kelompok gaya kelekatan cemas M= 95, 26. Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan kemandirian belajar antara anak yang mengalami gaya kelekatan aman dengan anak yang mengalami gaya kelekatan menghindar. Begitu pula kemandirian belajar antara anak yang mengalami gaya kelekatan aman dengan gaya kelekatan cemas yang menunjukkan ada perbedaan. Akan tetapi, kemandirian belajar antara anak yang mengalami kelekatan menghindar dengan anak yang mengalami gaya kelekatan cemas tidak menunjukkan perbedaan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak yang mengalami gaya kelekatan aman mempunyai tingkat kemandirian belajar yang tertinggi.


(2)

ABSTRACT

Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find out the differences level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment. The hypothesis in this research was there is a difference level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style.

The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.

The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result showed that there was significant differences level of learning autonomy kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there was differences level of learning autonomy between secure attachment and avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also showed that children with secure attachment have the highest level of learning autonomy


(3)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR PADA ANAK TK DITINJAU DARI

GAYA KELEKATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Program Studi Psikologi

Oleh: Sri Lestari NIM : 039114085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008


(4)

(5)

(6)

MOTTO

Tidak selalu bintang bersinar di waktu malam,

Tetapi itu tidak membuktikan bahwa

bintang itu tidak ada.

Pada saat kita tidak melihat

pertolongan Tuhan dalam hidup kita,

itupun tidak membuktikan bahwa

pertolonganNya tidak ada.

Tetapi selalu tepat pada waktuNya.

Kita tidak tahu kapan,

Tetapi siapa yang terus menantiNya

Mendapat kekuatan baru.

Jadi jangan pernah berhenti berharap

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. ( Pengkotbah, 3:11)

Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengaihi Dia.


(7)

TAK PERNAH CUKUP

Kadang aku tahu harus mengucapkan apa,

Berterima kasih atas semua yang kaulakukan,

Tapi semua kata terbang entah kemana,

Secepat datangnya ke ribaan.

Bagaimana aku bisa cukup berterima kasih,

Pada orang yang membuat hidupku lengkap,

Pada orang yang memberikan anugerah,

Yang membuat jiwaku terbentuk mantap.

Orang yang menyelimutiku tiap malam,

Orang yang menghentikan tangisanku,

Orang yang sangat ahli dalam,

Menelanjangi semua kebohonganku.

Orang yang selalu berkorban

Untuk selalu mendahulukanku,

Yang membiarkanku menguji sayap patahku,

Meski menyakitkan bagimu.

Adakah kata-kata yang tepat?

Bagiku pertanyaan ini tak mudah

Apapun yang ingin kukatakan -sangat sarat,,

Terasa tak pernah sudah.

Cara apa yang ada untuk berterima kasih,

Bagi hatimu, keringatmu, air matamu,

Bagi sepuluh ribu hal kecil,,

Bagi tak terhitung banyaknya usiamu.

Bagi kerelaanmu berubah bersamaku,

Menerima semua kelemahanku,

Tidak mencintai karena terpaksa,,


(8)

Dan karena itu aku sadar,

Satu-satunya cara mengatakan,

Satu-satunya terima kasih yang bukan sekadar,

Hanya jelas dalam semua ungkapan.

Tataplah aku di depanmu

Lihat aku telah menjadi apa,

Apa kaulihat dirimu dalam diriku?

Tugas yang telah kaulakukan?

Semua harapan dan mimpimu,

Kekuatan yang tak terlihat siapapun,

Peralihan selama bertahun-tahun,

Yang terbaik darimu ada dalam diriku.

Terima kasih atas semua anugerahmu,,

Untuk semua yang kaulakukan,

Tapi TERIMA KASIH mama, papa, terutama,

Karena membuat mimpi jadi kenyataan.

Chicken soup.

KARYA SEDERHANA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK

:

MY LORD, JESUS CHRIST AND HOLY MARY

PAPA DAN MAMA KU

KEDUA ADIK KU

ORANG-ORANG YANG KUSAYANGI


(9)

ABSTRAK

Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan.

Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan menggunakan analisis varians satu jalur (one way anova).

Dari hasil olah data, diperoleh F hitung sebesar 44,052 yang berarti lebih besar dari F tabel 3,276 dengan taraf signifikansi 0,000 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat kemandirian belajar yang signifikan pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Selain itu, hasil perhitungan Mean untuk gaya kelekatan aman sebesar 113,38. Mean kelompok gaya kelekatan menghindar sebesar M=98,7, serta mean untuk kelompok gaya kelekatan cemas M= 95, 26. Hal tersebut menunjukkan ada perbedaan kemandirian belajar antara anak yang mengalami gaya kelekatan aman dengan anak yang mengalami gaya kelekatan menghindar. Begitu pula kemandirian belajar antara anak yang mengalami gaya kelekatan aman dengan gaya kelekatan cemas yang menunjukkan ada perbedaan. Akan tetapi, kemandirian belajar antara anak yang mengalami kelekatan menghindar dengan anak yang mengalami gaya kelekatan cemas tidak menunjukkan perbedaan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak yang mengalami gaya kelekatan aman mempunyai tingkat kemandirian belajar yang tertinggi.


(10)

ABSTRACT

Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find out the differences level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment. The hypothesis in this research was there is a difference level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style.

The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.

The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result showed that there was significant differences level of learning autonomy kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there was differences level of learning autonomy between secure attachment and avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also showed that children with secure attachment have the highest level of learning autonomy


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di surga atas kasih dan karunia-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyeleaikan penulisan skripsi dengan judul Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya Kelekatan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan tidak lain karena peran, bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa dari beberapa pihak, dan karenanya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Paulus Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin penelitian.

2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan perhatian, serta banyak membantu selama diskusi dan bimbingan sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. sebagai penguji 1 yang telah memberikan kritik, masukan dan saran kepada penulis.

4. Bapak YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., yang telah memberikan kritik, saran dan masukan kepada penulis.

5. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik lama.


(13)

6. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.PSi., M.Si yang dengan sabar berkenan memberikan masukan dan diskusi kepada penulis.

7. Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan pengetahuan, ilmu dan wawasan kepada penulis.

8. Ibu Rina Sutanti, selaku Kepala Sekolah TK Kanisius Demangan Baru Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan uji coba.

9. Sr. Francisia, OSU., selaku Kepala Sekolah TK Mater Dei Marsudirini Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

10.Guru-guru wali kelas TK A Kanisius Demangan baru dan Mater Dei Marsudirini yang telah berkenan meluangkan waktu dan sedikit ‘direpotkan’ untuk membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 11.Mas Gandung, Pak Gie, dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran

dan kemudahan pada penulis dalam mengurus kepentingan akademik. 12.Mas Muji selaku laboran yang udah banyak membantu selama kegiatan

praktikum dan Mas Doni yang memberi kemudahan dalam peminjaman buku. Matur nuwun sanget ☺

13.Papa dan mama tersayang, Matius Eman S dan Anselma Engkan K atas kesabaran dan kepercayaan yang mungkin sedikit terkikis, tulusnya doa dan cinta, dukungan moral dan material, serta semangat yang mengiringi langkah penulis. Makasih ya mah pa, maaf kalau ‘teteh’ tidak bisa memenuhi harapan mama dan papa.


(14)

14.Kedua adikku, Uju dan Iman, untuk kebersamaan dan keceriaan yang telah dilewati. Makasih atas doa, dukungan, dan ‘semangat’ yang diberikan pada ‘teteh’.

15.Keluarga besar Kartaatmadja dan Manggar, atas doa serta dukungan moriil dan materiil kepada penulis.

16.Kakak-kakakku, Aa Andi untuk motivasi, dukungan dan doa yang diberikan. Teh Vivi untuk semua nasihat dan saran bagi penulis agar bisa menjadi lebih dewasa. Teh Susi, Teh Yesi, Teh Lia “Enok”, Aa Indra untuk semua dukungan baik moral maupun materiil. Hatur nuhun nya aa, teteh!!!

17.Kedua Sahabatku, Susan dan Thian untuk keceriaaan, canda tawa dan kebersamaan yang udah terjalin. Makasih untuk sindirannya yang pelan tapi dalem juga. “Fuihh…..akhirnya, bosen juga aku kuliah, hehe☺. tunggu aku di Jakarta ya!!”

18.Teman, sahabat, dan saudara terbaikku Dwi Sadela Maharangitha atas seluruh moment yang terjadi dan segala pengalaman yang membuat kita lebih kaya dalam memaknai hidup. Makasih juga untuk semua support dan dukungan di saat aku merasa ‘jatuh’ dalam hidupku.

19.Sahabat-sahabat hatiku: Tina & Dek Siska, thanks ya untuk persahabatan dan persaudaraan yang dah terjalin. Sorry, kalo aku sering ngerepotin kalian☺. Mbak Dewi, yang dah jadi ‘mama’ buatku selama di jogja.. Mbak Ria, Wati, Mas Bowo, Rickie. You make me standing still with everything you do, Thanks a lot guys…


(15)

20.Teman-teman yang udah dengan setia nungguin sidang: Risa, Suci, Nice, Dek siska, Dek Esti, Mbak Dewi, Mbak Shary, Mbak Iant, Christa, Monik, Abhe, Arif, Benny’04, Mas Dedi’02, Nanang. Kehadiran kalian memberikan kekuatan buatku, matur nuwun ☺

21.Teman-temanku: Netly, Nice yang dah berbagi pengetahuan dan diskusi. Sr. Hedwig, Itha, Okky, Sadewo untuk supportnya. Mbak Dewi ‘Ndut’ yang udah pinjemin buku.

22.Every single guy in: Wisma Rosari (khususnya anak-anak atas: makasih buat bantuan kalian dalam latihan presentasi☺), Psikologi angkatan 2003, P2TKP, kelp. KKN Ceporan angkatan XXXIII, atas untaian cerita yang mengisi hari-hariku,

23.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang secara langsung ataupun tidak langsung sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan rendah hati mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, dan bersedia menerima segala kritik maupun saran yang membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada khususnya. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, Maret 2008


(16)

(17)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR ... x

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xiv

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Anak Pra Sekolah ... ... 9

1. Pengertian Anak Pra Sekolah ... 9

2. Ciri-Ciri Anak Pra Sekolah ... 12

3. Tugas-Tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah ... 13

B. Kemandirian Belajar ... 14

1. Pengertian Kemandirian ... 14


(18)

3. Aspek-aspek Kemandirian... 20

4. Kemandirian Belajar Anak Pra Sekolah ... 22

C. Kelekatan ... 25

1. Pengertian Kelekatan ... 25

2. Teori Kelekatan ... 26

3. Gaya Kelekatan ...28

a. Kelekatan Aman (Secure Attachment) ...28

b. Kelekatan Tidak Aman (Insecure Attahment) ... 31

1) Kelekatan menghindar (Avoidant attachment) ... 31

2) Kelekatan Cemas (Anxious Attachment) ...34

D. Perbedaan Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ... 39

E. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Jenis Penelitian ... 46

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46

C. Definisi Operasional ... 46

1. Kemandirian Belajar ... 46

2. Gaya Kelekatan ... 48

a. Kelekatan Aman ... 49

b. Kelekatan Manghindar ... 50

c. Kelekatan Cemas ... 51

D. Subjek Penelitian ... 52

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 53

1. Skala Tingkat Kemandirian Belajar ... 54

2. Skala Gaya Kelekatan ... 56

F. Prosedur Penelitian ... 57

G. Pertangung Jawaban Alat ... 58

1. Uji Validitas ... 59

2. Analisis Aitem ... 59

3. Uji Reliabilitas ... 59


(19)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 61

1. Tahap Persiapan ... 61

2. Tahap Penelitian ... 61

B. Orientasi Kancah ... 62

C. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 63

1. Uji Validitas ... 63

2. Analisis Aitem ... 64

3. Uji Reliabilitas ... 67

D. Hasil Penelitian ... 68

1. Deskripsi Data Penelitian ... .... 68

a. Data Subyek Penelitian berdasarkan Gaya Kelekatan.…………. 68

b. Kategorisasi Skor Kemandirian Belajar ………... 71

c. Data Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ……... 71

2. Uji Asumsi Penelitian ……….. 74

a. Uji Normalitas Sebaran ……….. 74

b. Ui Homogenitas Varians ………....… 75

3. Uji Hipotesis ………. 76

a. Pengujian Hipotesis Mayor ………... 76

b. Pengujian Hipotesis Minor ………..………... 77

E. Pembahasan ... 79

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 90

C. Kelemahan Penelitian ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel I Aspek Gaya Kelekatan ... 37 Tabel II Penjelasan Mengenai Komponen

Skala Kemandirian Belajar

(sebelum uji coba) ... 55 Tabel III Penjelasan Mengenai Komponen

Skala Gaya Kelekatan

(Sebelum uji coba) ... 57 Tabel IV Skala Kemandirian Belajar

(Setelah uji coba) ……… 64 Tabel V Skala Gaya Kelekatan

(Setelah uji coba) ……….. 65 Tabel VI Skala Kemandirian Belajar

(penelitian) ……… ... 66 Tabel VII Skala Gaya Kelekatan

(penelitian)………... 67 Tabel VIII Jumlah subyek penelitian berdasarkan

gaya kelekatan ……….………. 70 Tabel IX Data tingkat kemandirian belajar

ditinjau dari gaya kelekatan ……… 72 Tabel X Hasil Perhitungan One-Sample Kolmogorov-Smirnov ……... 74 Tabel XI Ringkasan Levene Test ……… 75 Tabel XII Hasil ANOVA ……….. 76 Tabel XIII Ringkasan Post Hoc Test ………. 78


(21)

DAFTAR GAMBAR


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Skala Try Out

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Kemandirian Belajar Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Kelekatan

Lampiran Skala Penelitian

Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kemandirian Belajar Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kelekatan

Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian Lampiran Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Penelitian Lampiran Hasil Uji Hipotesis Data Hasil Penelitian Lampiran Surat Keterangan Penelitian


(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Taman Kanak-Kanak (Child-Centered Kindergarten) atau yang lebih

dikenal dengan istilah TK, merupakan persiapan dasar bagi anak-anak

memulai pendidikan formalnya. Sebagai persiapan untuk melanjutkan

pendidikan berikutnya, tentu saja aktivitas yang dilakukan di TK harus

mampu membimbing dan mengasuh anak agar mampu belajar secara

mandiri. Di sini, TK harus berpusat pada anak maksudnya adalah

pendidikan yang dilaksanakan melibatkan seluruh anak dan mencakup

kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak. Penekanan

adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Ballenger

dalam Santrock, 2002). Setiap anak mengikuti pola perkembangan yang

unik dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama

(langsung) dengan manusia dan benda-benda. Akan tetapi, yang menjadi

permasalahan dewasa ini adalah kurikulum di kebanyakan Taman

Kanak-Kanak memberikan pengajaran secara langsung melalui kegiatan yang

bersifat abstrak dan melalui kertas-dan-pensil yang diberikan kepada

sejumlah besar anak kecil serta lebih banyak menekankan pada prestasi dan

keberhasilan yang dapat menyebabkan anak menjadi tidak mandiri


(24)

Padahal menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis

dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri

secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak

mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai

lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi

manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya

serta mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi.

Begitu pula halnya dengan anak-anak yang belajar di TK, dimana

disini juga anak diajar untuk bersikap mandiri serta kreatif dalam memasuki

lingkungan yang baru. Dengan belajar mandiri, maka anak akan mudah

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya serta meningkatkan rasa percaya

diri anak. Akan tetapi, jika anak tidak mampu untuk belajar secara mandiri

maka dia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Menurut Kristiyani (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian sangat berguna

dan perlu dimiliki oleh anak, karena sangat menentukan perkembangan

hidup anak sampai dewasa. Kemandirian perlu dibina sejak masa

kanak-kanak agar hasilnya lebih maksimal. Individu yang tidak belajar mandiri

sejak masa kanak-kanak akan mengalami kesulitan ketika menghadapi

masalah terutama dalam mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Sikap

mandiri yang diajarkan sejak masa kanak-kanak akan membuat individu

memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam memutuskan sesuatu bagi


(25)

Salah satu kemandirian yang dikembangkan oleh anak adalah

kemandirian belajar di kelas. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai

suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri,

tanpa selalu bergantung kepada orang lain (Abas, 2007). Kemandirian

belajar pada anak TK dalam penelitian ini lebih pada kemandirian anak

untuk mengikuti kegiatan belajar ketika berada di sekolah. Karena di TK

aktivitas belajar lebih banyak mengandalkan motorik kasar (Sujiono dalam

Hartono, 2005), maka kemandirian belajar yang diungkap lebih pada

kemampuan anak untuk bereksplorasi, berani mengekspresikan dirinya,

memiliki inisiatif, mau berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan.

Anak yang mandiri, biasanya akan mudah bergaul dengan

teman-teman sebayanya. Namun, tidak semua anak dapat belajar mandiri di dalam

kelas. Adapula anak yang tidak mau ikut serta secara aktif mengikuti

kegiatan di dalam kelas, dan hanya duduk diam di kursinya. Bahkan apabila

diberi tugas oleh gurunya, anak yang kurang mandiri akan cenderung

meminta pertolongan kepada orang lain, bahkan mereka tidak mau

mengerjakan apabila tidak dibantu. Keadaan tersebut, tentu saja dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan anak

tidak mampu belajar secara mandiri adalah kurang memiliki rasa aman

sehingga dia tidak memiliki kepercayaan diri dan kurang mampu

menyesuaikan diri ketika menghadapi lingkungan baru. Berbeda dengan

anak yang mandiri dimana dia memiliki rasa aman. Rasa aman pada anak


(26)

disekitarnya terutama orang tua (pengasuh). Rasa nyaman tersebut diperoleh

ketika pengasuh dapat memberikan kasih sayang yang konsisten dan tepat

dalam memberikan respon terhadap kebutuhan anak serta mampu

melindungi anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000). Keadaan tersebut erat

kaitannya dengan kelekatan.

Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak,

karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang

sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam

Hurlock, 1973). Namun kelekatan akan menjadi masalah bila menimbulkan

ketergantungan. Kelekatan terjadi sejak masa bayi, namun akan

berpengaruh terhadap perkembangan di masa depannya Adapun yang

dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat afeksional pada

seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut

figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus (Ainsworth dalam Pelawi,

2004). Menurut C. Wenar & P. Kerig, kelekatan dibagi menjadi 2 jenis yaitu

kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure

attachment).

Anak yang memiliki kelekatan yang aman pada masa bayi, maka dia

akan cenderung mudah menjalankan perannya sesuai tahap

perkembangannya, karena kelekatan yang aman memungkinkan

terpenuhinya afeksi anak. Dengan terpenuhinya afeksi anak, maka anak


(27)

Secara umum anak yang mengalami kelekatan tidak aman, biasanya

disebabkan ketika pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten

dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan

terhadap anak yang terjadi semenjak anak masih bayi (C, Wenar & P, Kerig,

2000). Anak-anak yang mengalami kelekatan tidak aman cenderung kurang

bisa bekerja sama, menarik diri dengan teman-teman sebayanya (peer-nya),

bahkan mengalami ketergantungan terhadap figur lekatnya.

Kelekatan tidak aman dibagi lagi menjadi dua yaitu, kelekatan

menghindar dan kelekatan cemas. Kelekatan menghindar terjadi karena

pengasuh cenderung menjaga jarak bahkan terkesan mengabaikan

kebutuhan anak Akibatnya, anak akan merasa tidak nyaman dan

mengembangkan model mental sebagai orang yang bebas, suka menentang,

tertutup, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Berbeda dengan gaya

kelekatan cemas, dimana pengasuh cenderung terlalu ikut campur semua

kebutuhan anak. Akibatnya anak memiliki ketergantungan, kurang asertif

dan kurang memiliki kepercayan diri (C, Wenar & P, Kerig, 2000). .

Keadaan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi kemandirian belajar

anak ketika berada di dalam kelas. Pada saat anak mengembangkan citra diri

sebagai orang yang positif dan percaya diri, maka dia akan cenderung

memiliki sikap mandiri, memiliki kompetensi sosial, memiliki sikap

empatik dan mampu diajak bekerja sama (laurent dkk, 2004). Berbeda

dengan anak yang mengalami kelekatan menghindar, karena dia


(28)

tidak mudah percaya pada orang lain. Dengan begitu, maka anak akan

cenderung kurang memiliki sikap kooperatif, tidak disiplin ketika berada di

kelas, dan.kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman sebayanya

(Shulman, Elicker, & Sroufe, 1983)..Lain halnya anak dengan kelekatan

cemas yang mengembangkan model mental sebagai orang kurang asertif,

kurang percaya diri serta terlalu lekat dengan figur lekatnya, maka anak

cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman-teman

sebayanya sehingga anak menjadi kurang kooperatif. Selain itu, dia juga

kurang memilki kemampuan untuk mengeksplorasi lingkungannya, dan

karena terlalu lekat dengan pengasuhnya maka anak cenderung mengalami

ketergantungan kepada orang lain termasuk kepada guru (Sroufe, Fox, &

Pancake, 1983). Serta tidak mau mengikuti aktivitas yang dilaksanakan di

kelas, jika tidak didampingi oleh orang-orang terdekatnya Akan tetapi,

ketika anak didampingi oleh figur lekatnya, maka dia akan cenderung

meminta pertolongan kepada figur lekatnya untuk melaksanakan tugas yang

di berikan kepadanya. Akibatnya, anak menjadi malas dan tidak mau

berusaha dengan sendirinya, dan hal ini tentu saja menghambat proses anak

dalam belajar secara mandiri.

Keadaan ini pula yang terjadi pada salah satu TK swasta. Pada saat

peneliti melakukan observasi pada anak TK, nampak terlihat bahwa ada

beberapa anak yang tidak mau belajar, karena pengasuhnya (entah ibu, baby

sitter, ataupun orang-orang terdekatnya) meninggalkannya berada dalam


(29)

luar kelas. Akibatnya anak tersebut tidak mau belajar, dan bahkan

mengganggu anak yang lainnya yang sedang belajar. Selain itu, kasus lain

yang cukup menarik adalah yang terjadi pada seorang anak laki-laki. Ketika

dia diantar ke sekolah oleh nenek atau pamannya, dia mau belajar sendiri di

dalam kelas dan mau ditinggalkan oleh neneknya. Tetapi ketika, dia diantar

oleh kakeknya, anak tersebut tidak mau ditinggal oleh kakeknya.

Maka dari kejadian tersebut, memunculkan penelitian yang bertujuan

untuk meneliti perbedaan kemandirian belajar pada anak TK yang ditnjau

dari gaya kelekatannya, yang dibedakan menjadi gaya kelekatan aman,

cemas dan menghindar. Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini

adalah: Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya

Kelekatan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalahnya adalah :

apakah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya

kelekatan yang dialami oleh anak?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya


(30)

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan baru bagi ilmu psikologi pendidikan khususnya dalam hal

perkembangan dan pendidikan masa pra sekolah anak.

2. Manfaat praktis

a. Apabila penelitian ini menghasilkan perbedaan, maka diharapkan

dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas terutama orang

tua tentang pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya

penerapan gaya kelekatan tertentu dalam rangka mengembangkan

sikap mandiri di masa awal kanak-kanak.

b. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan

kepada para pengajar atau guru agar memahami dinamika psikologis

yang berbeda-beda pada setiap anak didiknya, sehingga dalam

memberikan pendidikan memperhatikan juga perkembangan identitas


(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ANAK PRA SEKOLAH

1. Pengertian Anak Pra Sekolah

Salah satu bentuk pendidikan pra sekolah adalah taman kanak-kanak. Oleh karena itu, anak-anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak sering juga disebut dengan anak usia pra sekolah dan bukan anak sekolah. Karena pendidikan di taman kkanak merupakan persiapan bagi anak-anak untuk memasuki sekolah. Dalam Peraturan pemerintah no. 27 tahun 1990, yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah peserta didik yang berada pada jalur pendidikan pra sekolah. Pada umumnya anak yang berada dalam pendidikan pra sekolah terutama taman kanak-kanak berada pada usia 4-6 tahun, sehingga dalam tahap perkembangan berada dalam masa awal anak-anak.

Usia pra sekolah merupakan usia transisi antara masa bayi dan masa sekolah. Pada masa ini, anak sudah mulai mempunyai otonomi, tidak sepenuhnya tergantung pada otang tua, tetapi masih belum bisa dilepas untuk sepenuhnya belajar formal di sekolah.

Zaporozhets dan Elkonin (dalam Suprapti, 1999) menggolongkan anak usia pra sekolah menurut tiga kategori: usia pra sekolah awal (3-4 tahun), usia pra sekolah menengah (5 tahun) dan usia pra sekolah akhir (6-7 tahun). Sedangkan menurut Piaget, anak-anak usia 2-7 tahun dikategorikan ke


(32)

dalam tahapan pra operasional dalam perkembangan kognitif. Akan tetapi, usia dalam suatu perkembangan tidak harus dilihat sebagai suatu prediktor yang pasti, melainkan sebagai gambaran kasar atau umum yang variasinya amat ditentukan oleh karakteristik khusus dari individu anak.

Menurut Sujiono (dalam Hartono, 2005), ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam pendidikan TK. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Kesiapan Fisik

Aspek fisik meliputi motorik halus dan motorik kasar. Pada motorik kasar, dapat terlihat misalnya dengan mampu menggerakan seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari, memanjat, naik-turun tangga, mlempar bola, bahkan melakukan dua gerakan sekaligus misalnya melompat sambil melempar bola. Aktivitas belajar di TK memang banyak mengandalkan motorik kasar. Oleh karena itu, apabila anak aktif bergerak justru yang diharapkan. Semua aspek fisik yang menjadi bagian motorik anak, selanjutnya harus dikembangkan di TK. Motorik halus akan sejalan dengan pembelajaran yang diberikan di TK. Anak akan belajar menggunting, melipat, memasukkan bola, serta memilih biji-bijian. Itu semua akan berjalan bila ditunjang dengan fisik yang bagus.

b. Kesiapan Sosial

Di TK, anak berkumpul bersama teman-teman yang baru dikenalnya. Dia akan berusaha menyesuaikan diri dalam lingkungan sekolah yang


(33)

baru. Anak pun akan mengenal aturan-aturan baru hidup bersama dan menyimak “pelajaran” dari guru-guru sambil belajar bersama teman-temannya. Dengan begitu, kesiapan sosial dilihat dari kemampuan anak untuk menghadapi orang asing, berani memasuki lingkungan baru dan tidak ragu diajak berkomunikasi.

c. Kesiapan Kognitif

Salah satu bentuk kesiapan kognitif anak dapat ditunjukkan dengan kemampuan bahasa anak karena di TK anak diharapkan mampu memahami instruksi yang diberikan oleh guru. Anak pun diharapkan mampu menyampaikan pendapat, perasaan serta isi pikirannya meski belum runtut. Dengan demikian, anak juga harus mempunyai perbendaharaan kosakata yang cukup untuk anak seusianya.

d. Kesiapan Emosional

Kesiapan emosional yang paling penting adalah menyangkut kemandirian. Setidaknya anak ketika berada di kelas, dia sudah duduk di bangku sendiri, tidak tergantung pada siapa-siapa, dan mau mengikuti perintah. Kesiapan emosional lainnya ditunjukkan dengan kesiapan anak menerima situasi baru.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah anak yang menjadi peserta didik dalam jalur pendidikan pra sekolah. Faktor-faktor yang harus dimiliki anak ketika mulai memasuki Taman Kanak-kanak adalah kesiapan fisik, kesiapan sosial, kesiapan kognitif dan kesiapan emosional.


(34)

2. Ciri-ciri Anak Pra Sekolah

Menurut Freeman dan Munandar (1997), pada masa usia pra sekolah anak memiliki beberapa perilaku yang tampak menonjol. Perilaku-perilaku tersebut adalah:

a. Mengamati segala sesuatu. Menjelajahi segala macam tempat (lingkungannya), dan haus akan pengalaman.

b. Memiliki rasa ingin tahu yang besar, sering bertanya dan terkadang tidak puas akan jawaban yang diberikan sehingga terkadang membuat orang dewasa menjadi kewalahan.

c. Memiliki sifat spontan dan cenderung menyatakan pikiran, perasaan sebagaimana adanya tanpa merasa ada hambatan.

d. Senang terhadap pengalaman baru. Suka bereksperimen, berpetualang, dan terbuka terhadap rangsangan-rangsangan baru.

e. Memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang tampak jika orang dewasa menyempatkan untuk mendengarkan ungkapan-ungkapannya dan mencermati perilakunya.

Perilaku-perilaku tersebut diatas merupakan ciri khas yang hampir dimiliki oleh anak usia pra sekolah. Ciri-ciri tersebut memperlihatkan perilaku kemandirian dan kreativitas anak yang alamiah, karena disini anak tidak memiliki batasan untuk melakukan apapun sehingga anak dapat bebas mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya sendiri. Setiap perkembangan individu memiliki tahap-tahap perkembangan yang berpotensi untuk mengembangkan kemampuan individu. Setiap anak adalah unik dan


(35)

merupakan pelajar yang aktif. Pada masa usia pra sekolah, dengan melihat perilaku-perilaku yang ditonjolkannya, merupakan masa yang efektif untuk mulai memberikan rangsangan-rangsangan yang dapat meningkatkan kemandirian anak.

Menurut pendirian ilmu jiwa modern (Kartono, 1982), beberapa ciri khas pada masa anak-anak adalah sebagai berikut;

a. Bersifat egosentrisme-naif

b. Mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang sifatnya primitif dan sederhana.

c. Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan sebagai satu totalitas

d. Sikap hidup yang fisiognomis.

Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak pra sekolah memiliki beberapa ciri-ciri khas yang cukup menonjol. Ciri-ciri khas tersebut antara lain mengamati segala sesuatu, memiliki rasa ingin tahu yang besar, spontan, senang terhadap pengalaman baru, dan daya imajinasi yang tinggi.

3. Tugas-tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah

Pada setiap tahapan perkembangan, setiap individu memiliki tugas yang harus dilakukannya agar dapat melewati tahap tersebut. Anak usia pra sekolah berada dalam tahap perkembangan masa awal anak-anak. Oleh karena itu, tugas perkembangan yang harus dilakukannya adalah tugas


(36)

perkembangan pada masa awal anak-anak Adapun tugas-tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh anak-anak pada masa ini menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1982) antara lain sebagi berikut;

a. Belajar memakan makanan padat. b. Belajar berjalan.

c. Belajar berbicara.

d. Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh. e. Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya f. Mempersiapkan diri untuk membaca

g. Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati nurani.

B. KEMANDIRIAN BELAJAR 1. Pengertian Kemandirian

Kemandirian merupakan salah satu unsur kepribadian yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Dengan kemandirian, maka manusia dapat mengembangkan sendiri kemampuan yang dimilikinya, serta mampu memecahkan masalahnya sendiri. Sebagai unsur yang dianggap penting, maka kemandirian perlu dikembangkan karena perkembangan kualitas manusia sangat erat kaitannya dengan kemandirian dan faktor- fakor yang mempengaruhinya. Karena manusia yang ingin berkembang adalah manusia yang mampu berusaha untuk mandiri. Selain itu, kemandirian juga tidak mempunyai batasan usia. Kemandirian ada di semua rentang usia, hanya


(37)

tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta remaja sangatlah berbeda (Sumarsih, 2006)

Menurut Lindzey dan Aronson (dalam Pelawi, 2004) mengemukakan bahwa orang yang mandiri menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang besar, serta secara relatif jarang mencari perlindungan kepada orang lain dan mempunyai rasa ingin menonjol. Lie dan Prasasti (dalam Sumarsih, 2006) mengatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian adalah sikap yang harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani keidupan tanpa ketergantungan kepada orang lain. Kemandirian pada anak sangat penting karena merupakan salah satu life skill yang perlu dimiliki (Astuti dalam Sumarsih, 2006).

Masa kritis bagi perkembangan kemandirian anak berlangsung pada usia 2-3 tahun. Karena pada usia ini, tugas utama perkembangan anak adalah untuk mengembangkan kemandirian (Erikson, 1950). Kebutuhan untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar 2-3 tahun akan menimbulkan terhambatnya kemandirian yang maksimal. Kemandirian baru akan tercapai secara penuh pada akhir masa remaja, namun kemandirian tidak akan pernah tercapai atau hanya akan tercapai


(38)

sebagian jika perkembangan pada masa awal anak-anak tidak memberi dasar yang baik (Wall, 1975). Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri (Nakita, 2005).

Anak-anak yang tidak dilatih mandiri sejak usia dini, akan menjadi individu yang tergantung sampai remaja bahkan sampai dewasa nanti. Bila kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai anak pada usia tertentu dan anak belum mau melakukan, maka si anak bisa dikategorikan sebagai anak yang tidak mandiri. Kemandirian anak ditandai dengan adanya kemauan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya: makan tanpa harus disuapi, mampu memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri, dan kegiatan-kegiatan lain tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian akan dicapai oleh anak melalui proses belajar atau pendidikan (Nakita, 2005). Faktor yang mendasari perkembangan kemandirian anak adalah faktor pendidikan orang tua serta hubungan orang tua-anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya, sehingga mampu menjalani kehidupan tanpa ketergantungan pada orang lain


(39)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian seseorang, antara lain yaitu:

a. Faktor-faktor Kodrati 1) Usia

Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode berahir (Hurlock, 1979). Menurut Sumarsih (2006), bahwa kemandirian ada di semua rentang usia, hanya tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian, kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak sekolah, serta remaja sangatlah berbeda.

Sutton menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri sesuai dengan usia artinya semakin bertambah usia seseorang, perilaku mandri akan semakin berkembang dan perilaku tergantung akan semakin berkurang (dalam Masrun dkk, 1986).

2) Jenis Kelamin

Perbedaan sifat-sifat yang dimilki oleh pria dan wanita bisa disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan pada pengalaman sewaktu kecil. Hurlock (1974) menyatakan bahwa ada perbedaan sifat kemandirian pada laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri dan


(40)

menangung resiko serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif dan originalitas daripada perempuan.

3) Urutan Kelahiran

Adler (dalam pelawi, 2004) mencoba menjelaskan adanya perbedaan kepribadian pada anak dari urutan kelahiran yang berbeda. Anak dihadapkan pada masalah bagaimana bersaing untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.

Masrun dkk (1986), mengatakan bahwa peranan faktor urutan kelahiran dalam mepengaruhi kemandirian, bekerja secara tidak langsung yaitu melalui kebutuhan seeorang akan perhatian dari lingkungannya. Pada masa anak-anak perhatian dari lingkungan khusunya orang tua sangat berarti bagi anak.

b. Faktor Lingkungan

1) Lingkungan Permanen

Lingkungan permanen meliputi pendidikan dan pekerjaan. Pendidikan seseorang tidak hanya berasal dari sekolah tetapi juga dari masyarakat. Pendidikan formal yang didapat oleh seeorang dapat meningkatkan kemandirian dan perkembangan kesadaran diri. Pendidikan dari masyarakat atau lebih dikenal dengan pendidikan informal dialami oleh anak dalam ligkungan sosialnya. Pendidikan ini diperoleh secara langung ketika mereka berusaha melepaskan diri dari lingkungan keluarganya dan mengelompok dengan teman sebayanya dalam usaha untuk mendapatkan dirinya. Perkembangan


(41)

ke arah individualitas yang mantap merupakan aspek penting dalam perkembangan seseorang untuk mandiri.

Menurut Masrun dkk (1986), pekerjaan bagi seseorang bukan semata-mata sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai pengisi waktu dan merupakan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan menuntut pemanfaatan waktu yang khuus dan relatif lama, maka interaksi yang terjadi dalam lingkungan kerja ikut mempengaruhi diri seseorang

2) Lingkungan Tidak Permanen

Robinson dan Shaver (dalam Pelawi, 2004) mengatakan bahwa faktor lingkungan yang tidak permanen, yaitu peristiwa-peristiwa penting dalam hidup yang mengakibatkan terganggunya integritas kepribadian seseorang untuk sementara waktu, contoh; kematian orang yang dicintai, bencana alam dan lain-lain.

Menurut Kartawijaya dan Kuswanto (2004), kunci kemandirian anak sebenarnya ada di tangan orang tua. Beberapa hal yang dapat membentuk kemandirian anak antara lain:

a. Rasa percaya diri

Rasa percaya diri terbentuk ketika anak memperoleh kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang mampu dikerjakan sendiri oleh anak. Rasa percaya diri dapat dibentuk sejak anak masih bayi.


(42)

b. Kebiasaan

Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Jikalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, anak akan menjadi individu yang selalu tergantung pada orang lain.

c. Disiplin

Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, terlebih dahulu harus didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang tua.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian. Faktor-faktor terebut terdiri dari faktor kodrati dan faktor lingkungan. Faktor kodrati yang mempengaruhi kemandirian meliputi usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan permanen yang terdiri dari pendidikan dan pekerjaan serta lingkungan tidak permanen misalnya bencana alam, kematian orang yang dicintai, dan lain-lain. Selain itu, peranan orang tua dalam hal ini pola auh orang tua juga dapat mempengaruhi kemandirian anak.

3. Aspek-aspek Kemandirian

Menurut Havighurst (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian memiliki empat aspek, yakni:


(43)

a. Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah sendiri.

b. Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk membina relasi secara aktif. c. Aspek emosi, yaitu kemampuan untuk mengelola emosinya sendiri. d. Aspek ekonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur ekonomi sendiri.

Nashori (1999) menyebutkan bahwa kemandirian mengandung beberapa aspek. Aspek-aspek yang terdapat dalam kemandirian antara lain: a. Bebas

Bebas dapat terlihat dengan tindakan yang disesuaikan dengan keinginan sendiri tanpa pengaruh dan paksaan dari orang lain.

b. Mempunyai Inisiatif

Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang menjadi persoalan dalam hidupnya

c. Gigih dan ulet

Gigih dapat berarti berusaha dengan tekun dan tanpa putus asa mengejar prestasi dan merealisasikan harapan dan keinginan- keinginannya

d. Percaya pada diri sendiri

Percaya diri artinya dengan mantap dan dengan penuh kepercayaan terhadap kemampuan sendiri berusaha untuk mencapai kepuasan diri.


(44)

e. Pengendalian diri

Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan diri untuk menyesuaikan keinginan sendiri dan mempengaruhi lingkungan atau memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Kemandirian secara psikologis dianggap penting karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu: aspek percaya diri, bebas, inisiatif, gigih dan ulet serta pengendalian diri. Percaya diri dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri untuk melakukan tindakan dengan usaha sendiri. Bebas dapat ditunjukkan dengan adanya tindakan yang dilakukan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan. Gigih dan ulet dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk bertekun dalam suatu tugas. Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk memperhatikan lingkungannya.

4. Kemandirian Belajar Anak Usia Pra Sekolah

Masa pra sekolah merupakan periode yang sangat penting dalam perkembangan anak, karena interaksi sosial yang terjadi pada masa tersebut akan menentukan dasar sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan orang lain, kelompok maupun kehidupan sosial secara luas (Kibtiyah, 2003). Menurut peraturan pemerintah no. 27 tahun 1990, yang dimaksud dengan


(45)

pendidikan pra sekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Tujuan didirikannya pendidikan pra sekolah adalah untuk membantu meletakan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.

Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan pra sekolah. Menurut Bambang (dalam Hartono, 2005) prinsip belajar di TK adalah bermain. Meski hanya bermain, tetapi banyak manfaatnya yaitu anak bisa mengembangkan seluruh potensinya lewat bermain sehingga saat terjun ke sekolah formal sesungguhnya dia bisa memahami keberadaan di lingkungannya bahwa ia punya tanggung jawab, bisa mengikuti peraturan, tata tertib, dan disiplin-disiplin yang diberikan. Siskandar (dalam Damayanti, 2005) mengatakan bahwa program kegiatan belajar di sekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri serta melatih anak untuk hidup bersih dan sehat serta kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.

Kemandirian yang harus dikembangkan oleh setiap anak terutama oleh anak TK banyak jenisnya, salah satunya adalah kemandirian dalam hal belajar. Kemandirian belajar merupakan salah satu hal yang penting bagi


(46)

siswa dalam mengembangkan kemampuannya. Dengan belajar secara mandiri, maka diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Adapun pengertian kemandirian belajar menurut Abu Ahmadi (1990) merupakan belajar secara mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Disini siswa dituntut untuk memiliki inisiatif, keaktifan dan keterlibatan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar. Menurut Tresna sastra Wijaya (dalam Wahyuningtyas, 2004), kemandirian belajar dapat berarti studi bebas mengatur sendiri atau belajar dengan tenaga sendiri, belajar memutuskan sendiri, mengatur sendiri atau belajar dengan kecepatan sendiri. Abas (2007) menjelaskan bahwa kemandirian belajar dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.

Kemandirian anak usia pra sekolah berada pada tahap pra operasional, yaitu dimana anak sudah mampu melakukan tingkah laku simbolis. Anak tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal. Karena pada taman kanak-kanak, pembelajaran yang diberikan lebih menekankan pada pengalaman langsung pada benda maupun manusia, maka kemandirian belajar yang dilakukan pun lebih pada aktivitas fisik/ motorik kasar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kemandirian belajar adalah kemampuan anak untuk belajar dengan tenaga dan usaha sendiri tanpa selalu bergantung kepada orang lain. Adapun


(47)

ciri-ciri kemandirian belajar pada anak TK adalah sebagai berikut: memiliki sikap bebas, mempunyai inisiatif, gigih dan ulet, memiliki kepercayaan diri, serta memiliki pengendalian diri.

C. KELEKATAN

1. Pengertian Kelekatan

Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak, karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam Hurlock, 1973). Kelekatan merupakan salah satu gejala adanya saling ketertarikan pada manusia.

Adapun yang dimaksud dengan pengertian kelekatan menurut Ainsworth (dalam Pelawi, 2004) merupakan suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus. C, Wenar & P, Kerig (2000), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan cinta yang berkembang antara anak dan ibu dalam tahun pertama kehidupannya.

Menurut Freeney dan Noller (Rachmawatie, 2002) kelekatan diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki, keinginan atau hasrat untuk dapat bersama orang-orang tertentu. Kelekatan ditandai dengan adanya saling ketergantungan yang kuat, ikatan emosional yang timbal balik dan intens. Rini (2002) menjelaskan bahwa kelekatan adalah sebuah


(48)

proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat emosional dan terjadi secara intens (terus menerus) dan timbal balik (resiprokal) antara bayi/anak dengan pengasuh (orang tua).

2. Teori Kelekatan

Menurut Hartup (dalam Pratidarmanastiti, 2003) kelekatan pada anak dapat ditinjau dari 2 segi. Segi yang pertama menunjukkan bahwa kelekatan terjadi karena proses belajar, sedangkan segi yang lain menyatakan bahwa kelekatan merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi dan eksplorasi benda-benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain. Dari ciri khas tersebut, muncullah kelekatan. Pendapat yang kedua ini dianggap lebih mendekati kenyataan. Kelekatan merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi.

Ada 2 teori yang mengemukakan mengenai kelekatan: Teori Differensiasi

Teori ini didasarkan pendapat Bowlby (1951). Dalam teori ini menjelaskan mengenai perbedaan antara ketergantungan dan kelekatan. Menurut teori ini, ketergantungan dipandang sebagai


(49)

kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas dari identitas orangnya. Kemudian yang dimaksud dengan kelekatan dalam teori ini adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang- orang tertentu saja. Biasanya orang pertama yang dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah atau saudara-saudaranya.

Menurut teori differensiasi ini, anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih usia 6 tahun. Baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan-ikatan dengan orang dewasa lainnya.

Teori Parallel

Teori ini didasarkan pada teori Maccoby dan Masters (1970). Teori ini berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan menunjukkan kelekatan terhadap orang-orang dewasa maupun pada anak-anak sebaya lainnya. Sebelum usia satu tahun anak akan mencari obyek lekatnya pada satu orang saja, biasanya ibunya. Masih menurut teori ini, kelekatan anak pada anak-anak sebayanya dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah laku anak.

(Pratidarmanastiti, 2003)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai kelekatan pada anak, yaitu teori differensiasi


(50)

yang dikemukakan oleh John Bowlby dan teori parallel yang didasarkan padateori Maccoby dan Masters.

3. Gaya Kelekatan

Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000) , gaya kelekatan terdiri dari 2 macam yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment) dan gaya kelekatan tidak aman (insecure attachment). Masing-masing gaya kelekatan pada anak itu, akan mempengaruhi anak dalam menghadapi lingkungannya.

a. Kelekatan Aman (Secure Attachment)

Hubungan kelekatan yang aman antara pengasuh dengan anak dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif terhadap anak, merawat serta memenuhi kebutuhan anak secara tepat. Pengasuh yang memiliki sensitifitas dan responsifitas yang baik biasanya memiliki ciri-ciri: (1)memiliki respon yang konsisten terhadap kebutuhan anak misalnya: dengan secara rutin memberi makan, merawat serta memeluk anak dengan tulus, tidak meninggalkan anak ketika merengek tetapi secara tepat dapat menenangkan si anak. (2) mampu menunjukkan kasih sayang secara tepat misalnya: sering melakukan kontak mata dengan anak, mengasuh dan menjaga anak, mengajak berbicara, menunjukkan kesabaran dan kehangatan. Sehingga dengan demikian anak akan merasa aman dan nyaman, dan menganggap pengasuh sebagai tempat berlindung yang baik Chisholm (1996),. Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000) kelekatan aman terjadi apabila


(51)

pengasuh peka terhadap kebutuhan anak serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.

Menurut Rini (2002), kelekatan yang aman akan dialami oleh individu yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orang tua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua. Hubungan kelekatan antara orang tua dan anak tersebut dapat mempengaruhi beberapa hal antara lain rasa percaya diri, kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli pada orang lain serta disiplin. Selain itu, kelekatan yang baik juga akan menumbuhkan perkembangan intelektual dan psikologis yang sehat.

Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000), kelekatan memiliki 2 apek dasar yaitu pengasuhan dan situasi baru (meliputi perpisahan, pertemuan kembali, eksplorasi dan karakteristik umum). Penerapan kedua aspek tersebut dalam gaya kelekatan aman:

1) Pengasuhan

Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.

2) Situasi Baru a) Perpisahan


(52)

Anak yang secure mungkin atau tidak mungkin merasa terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi terbatas dalam mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak ada bersamanya.

b) Pertemuan kembali

Anak yang secure mampu memiliki kemampuan untuk menerima kembali dan menyambut positif pengasuh, serta menjadi nyaman.

c) Eksplorasi

Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengasuh.

d) Karakteristik Umum

Anak yang secure mengembangkan citra diri positif, memiliki rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan aman dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif terhadap anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak. Anak yang secure memberikan respon yang positif terhadap pengasuh, dan memiliki keyakinan dalam bertindak. Mereka sebenarnya tidak menyukai perpisahan dengan pengasuh dan akan menjadi terbatas dalam mengekplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak bersamanya, namun


(53)

mereka memiliki kemampuan untuk menyambut secara positif pengauhnya ketika terjadi pertemuan kembali dan merasa tenang. Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengauh. Mereka juga mengembangkan citra diri yang positif dan percaya diri terhadap kemampuannya.

b. Kelekatan Tidak Aman (Insecure Attacment)

Insecure attachment berkembang disebabkan karena pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan terhadap kebutuhan anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).

Insecure attachment dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu: gaya kelekatan menghindar (Avoidant insecure) dan gaya kelekatan cemas ( Anxious insecure).

1) Gaya Kelekatan Menghindar (Avoidant insecure)

Gaya kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak. Disini pengasuh menggabungkan antara perasaan marah dan jengkel ketika dekat dengan anak. Keadaan ini dapat menyebabkan hilangnya rasa nyaman pada anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000). Selain itu, pengasuh juga lalai dan sembrono dalam merawat anak,


(54)

memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.

Berdasarkan hasil penelitian Collins dan Read (dalam Pelawi, 2004) terbukti bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar merasa tidak percaya pada ketersediaan orang lain, merasa tidak nyaman dengan kedekatan dan keintiman serta tidak takut ditinggal. Menurut penelitian Kobak dan Sceery (dalam Bartholomew dan Horowitz, 1991) menunjukkan bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi kurang dapat mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang terbuka, tidak dapat menyandarkan diri pada orang lain dan menggunakan orang lain sebagai tempat yang aman, serta lebih cenderung mengontrol dalam hubungan persahabatan.

Penerapan aspek kelekatan dalam gaya kelekatan menghindar adalah sebagai berikut:

1) Pengasuhan

Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak. 2) Situasi Baru


(55)

Anak yang avoidant jarang menunjukkan kesedihan atau kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya. b) Pertemuan Kembali

Anak yang avoidant cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan

c) Eksplorasi

Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang avoidant cenderung terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak dengan orang lain.

d) Karakteristik Umum

Anak yang avoidant akan mengembangkan diri sebagai anak yang bebas dan suka menentang

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gaya kelekatan menghindar adalah kelekatan yang terjadi karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak. Anak yang avoidant jarang menunjukkan kecemasan ketika terjadi perpisahan, dan cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan. Dalam mengeksplorasi lingkungan, mereka terlihat terlalu asyik sendiri dan cenderung menghindari kontak dengan


(56)

orang lain. Anak avoidant menjadi terlalu bebas dan suka menentang.

2) Gaya Kelekatan Cemas (Anxious insecure)

Gaya kelekatan cemas berkembang karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan ditandai dengan unpredictability/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi, pengasuh terlalu dekat dengan anak dan terlalu cemas pada kebutuhan anak, sehingga dia akan terlalu mencampuri semua kebutuhan anak. Bahkan pengasuh akan merasa bersalah dan sedih apabila dirasa tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan si anak (Chisholm, 1996). Tetapi di sisi lain dia tidak terlibat atau mudah marah pada suatu waktu. Ketidakstabilan ini berakar dari tingginya harapan yang tidak realistik dari si ibu atau pengasuh bahwa dia dapat sepenuhnya mencintai dan melindungi si anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000)

Individu dengan gaya kelekatan cemas memiliki ciri mengembangkan model mental dirinya merupakan orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri dan merasa kurang berharga serta mengembangkan model mental mengenai orang lain sebagai orang yang mudah berubah-ubah pendapat dan mempunyai komitmen yang rendah dalam berhubungan. Menurut Collins dan Read (1990) individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai keyakinan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain, kepercayaan diri rendah, kurang asertif dan merasa takut dtinggal


(57)

atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang kurang menolong dan susah untuk dimengerti.

Lebih lanjut lagi menurut penelitan Ainswoth (dalam Pelawi, 2004) membuktikan bahwa anak-anak yang lekat cemas menunjukkan tingkah laku ambivalen terhadap kedatangan ibu. Mereka tampak mengalami konflik, disatu sisi memperlihatkan kecenderungan untuk dekat dengan ibu, tetapi begitu digendong ibunya mereka meminta segera diturunkan dengan menunjukkan ekspresi emosi yang berlebihan.

Penerapan aspek-aspek kelekatan dalam gaya kelekatan cemas adalah sebagai berikut:

1) Pengasuhan

pengasuh kurang tepat dalam memberi respon, unpredictabillity/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri semua hal mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak terlibat dengan anak.

2) Situasi Baru a) Perpisahan

Anak yang anxious merasa sangat terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka menunjukkan kecemasan dan kesedihan ketika ditinggalkan pengasuh.


(58)

b) Pertemuan Kembali

Anak akan menunjukkan tingkah laku ambivalen, di satu sisi dia tidak ingin berpisah dengan pengasuhnya namun ketika didekati akan marah dan menjauhkan pengasuh.

c) Eksplorasi

Dalam mengeksplorasi lingkungan, anak yang anxious memiliki kemampuan eksplorasi yang terbatas/kurang.

d) Karakteristik Umum

Anak yang anxious mengembangkan citra diri sebagai orang yang tidak percaya diri serta terlalu asyik dengan pengasuh.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gaya kelekatan cemas adalah gaya kelekatan yang terjadi karena pengasuh kurang tepat dalam memberi respon, unpredictabillity/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri semua hal mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak terlibat dengan anak. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada si anak. Anak akan menunjukkan tingkah laku ambivalen, di satu sisi dia tidak ingin berpisah dengan pengasuhnya namun ketika didekati akan menolak. Anak yang juga kurang memiliki kemampuan mengeksplorasi lingkungannya sehingga eksplorasi mereka


(59)

menjadi terbatas. Hal ini disebabkan karena anak terlalu asyik dengan pengauhnya.

Secara ringkas, pembedaan mengenai gaya kelekatan yang didasarkan pada kedua aspeknya yaitu pengasuhan dan situasi baru ( yang meliputi perpisahan, pertemuan kembali, eksplorasi serta karakteristik umu) dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel I: Aspek Gaya kelekatan

Aspek Secure

attachment Avoidant attachment Anxious attachment A.Strange Situation.

1. Perpisahan Mungkin atau tidak mungkin merasa terganggu; terbatas dalam ekplorasi Jarang menunjukkan kesedihan. Sangat merasa terganggu. 2. Pertemuan kembali. Menyambut positif atau menjadi nyaman. Mengabaikan atau menolak pengasuh. Menunjukkan tingkah laku ambivalent, mengggabungkan antara keinginan


(60)

untuk dekat dengan

menjauhkan pengasuh. 3. Eksplorasi Mengeksplorasi

secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan pengasuh.. Terlalu asyik sendiri, cenderung mengabaikan kontak/hubungan dengan orang lain. Kurang atau terbatas. 4. Karakteristik umum Aman, percaya, memiliki ekspresi emosi

Terlalu bebas. Terlalu asyik dengan pengasuh.

B. Pengasuhan sensitif; cepat dan tepat dalam memberikan respon yang hangat terhadap kebutuhan anak. Menjaga jarak, merasa jengkel dan marah ketika dekat. Tidak dapat ditebak dalam memberikan respon yang berkenaan dengan kebutuhann atau perasaan anak.


(61)

D. Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya Kelekatan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemandirian merupakan unsur kepribadian yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Semua orang tanpa terkecuali, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dituntut untuk bisa bersikap mandiri. Menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi, karena itu kemandirian dapat mengantar orang menjadi makhluk yang produktif dan efisien serta membawa dirinya ke arah kemajuan.

Adapun pengertian kemandirian itu sendiri mengandung aspek bebas atau tidak mudah terpengaruh, mempunyai inisiatif, gigih, percaya pada diri sendiri dan pengendalian diri (Nashori, 1999). Karena itu, maka orang diharapkan dapat melakukan suatu perbuatan yang dilaksanakan atas kehendak sendiri, bebas tanpa tekanan dari pihak lain, dilakukan dengan penuh percaya diri serta adanya pengendalian diri yang baik karena setiap manusia juga harus bisa memperhatikan kepentingan orang lain.

Salah satu kemandirian yang harus dilaksanakan adalah belajar. Adapun kemandirian belajar dalam penelitian ini adalah suatu keadaan atau kondisi


(62)

aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa selalu bergantung kepada orang lain yang dilakukan oleh seorang anak ketika berada di sekolah (Abas, 2007). Kemandirian itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; usia,jenis kelamin, status sosial, serta pola asuh orang tua. Berbicara mengenai pola asuh orang tua, maka erat kaitannya dengan adanya kelekatan. Karena dalam pola asuh terjadi interaksi antara anak dan orang tua, maka akan menimbulkan kelekatan.

Adapun yang dimaksud dengan kelekatan yaitu suatu ikatan yang bersifat emosional pada seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau figur lekat dan berlangsung secara terus menerus. Perkembangan gaya kelekatan dipengaruhi oleh sensitivitas dan responsivitas figur lekat terhadap kebutuhan seorang anak. Kelekatan pada manusia terjadi sepanjang rentang kehidupannya. Pada semua tahap kehidupannya seseorang selalu membutuhkan figur lekatnya. Kelekatan pada masa awal anak-anak mempunyai peranan penting bagi anak itu sendiri. Bukti-bukti penelitian yang menunjukkan pentingnya hubungan awal yang baik antara ibu dan anak terhadap kemampuan berinteraksi sosial merupakan penjelasan-penjelasan dari teori-teori kelekatan yang dicetuskan pertama kali oleh John Bowlby (1981). Kelekatan awal ini dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi kompetensi interaksi sosial dan kemampuan untuk membentuk hubungan yang dekat pada masa dewasa (Sroufe dalam Bell dkk, 1983). Ainsworth, Bowlby dan Sroufe (dalam Bell dkk, 1983), mengatakan bahwa fungsi kelekatan bagi anak-anak melibatkan


(63)

perkembangan rasa percaya diri yang mendorong individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang tepat.

Telah diketahui bahwa setiap individu memiliki gaya kelekatan yang berbeda-beda. Masing-masing gaya kelekatan ini terbukti dapat mewarnai kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai akibat dari bekerjanya model mental yaitu penilaian, kepercayan dan harapan individu baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Para penyelidik telah membuktikan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan dengan adaptasi dan emosional seseorang pada masa dewasa (Belsky dan Rutten dalam Bartholomew dan Horowitz, 1991).

Gaya kelekatan aman merupakan gaya kelekatan dimana pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak. Anak yang secure memberikan respon yang positif terhadap pengasuh, dan memiliki keyakinan dalam bertindak. Mereka sebenarnya tidak menyukai perpisahan dengan pengasuh dan akan menjadi terbatas dalam mengekplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak bersamanya, namun mereka memiliki kemampuan untuk menyambut secara positif pengauhnya ketika terjadi pertemuan kembali dan merasa tenang. Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengasuh. Mereka juga mengembangkan citra diri yang positif dan percaya diri terhadap kemampuannya. Hal tersebut dapat membentuk anak menjadi pribadi yang aktif, mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup tinggi serta


(64)

memiliki sifat yang bersahabat dan mau bekerja sama serta memiliki kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli pada orang lain serta disiplin Dengan adanya penilaian dan harapan terhadap diri sendiri dan orang lain secara positif maka individu mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup tinggi. Dengan demikian, anak akan memiliki kemandirian belajar yang tinggi, karena semua aspek kemandirian belajar dapat terpenuhi.

Gaya kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak. Anak yang mengalami kelekatan menghindar akan menyebabkan anak kurang bisa bekerja sama, dalam mengeksplorasi lingkungan dangkal, selain itu karena kurangnya pengawasan dari pengasuh menyebabkan anak menjadi terlalu bebas dan kurang terkendali sehingga menyebabkan dia menjadi anak yang suka menentang dan kurang disiplin. Dengan demikian, kemandirian belajar anak avoidant cukup tinggi dan lebih baik dibandingkan anak yang memiliki kelekatan cemas meskipun tidak sebaik kemandirian belajar anak yang memiliki kelekatan aman.

Gaya kelekatan cemas berkembang karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan kurang tepat dalam memberi respon, unpredictabillity/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri semua hal


(65)

mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak terlibat dengan anak. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada si anak. Dalam gaya kelekatan ini, anak akan mengembangkan model mental sebagai anak yang mempunyai keyakinan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain, kepercayaan diri rendah, kurang asertif dan merasa takut dtinggal atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang kurang menolong dan susah untuk dimengerti. Sehingga dengan demikian dapat menyebabkan anak menjadi individu yang tidak mandiri, tidak berani megeksplorasi lingkungan. Selain itu, dia juga termasuk anak yang kurang bisa menjalin hubungan dengan teman-temannya karena terlalu lekat dengan pengasuhnya, akibatnya dia tidak bisa bekerja sama dengan teman-temannya. Karena hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kemandirian belajar anak yang memiliki kelekatan cemas cukup rendah, karena banyak aspek dari kemandirian belajar yang belum terpenuhi.

Berdasarkan hal ini, peneliti berasumsi bahwa gaya kelekatan yang dialami oleh seorang anak pada masa bayi, akan berpengaruh terhadap kemandirian belajar anak di dalam kelas. Secara singkat, dapat dilihat pada bagan dinamika psikologis berikut ini:


(66)

(67)

E. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah: 1. Ada perbedaan kemandirian belajar ditinjau dari gaya kelekatan yang

dialami oleh anak.

Adapun hipotesis minor yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 2. Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang

tinggi dibandingkan anak yang mengalami gaya kelekatan menghindar. 3. Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang

tinggi dibandingkan anak yang mengalami gaya kelekatan cemas.

4. Anak yang mengalami kelekatan menghindar memiliki kemandirian belajar yang tinggi dibandingkan anak yang mengalami gaya kelekatan cemas.


(68)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah penelitian komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang berbentuk perbandingan dari dua sampel atau lebih (Hadi, 2001). Penelitian ini disebut penelitian komparatif karena penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan tingkat kemandirian belajar ditinjau dari gaya kelekatan yang dialami oleh anak TK.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu: Variabel bebas (Independent Variable): Gaya Kelekatan.

Variabel tergantung (Dependent Variable): Kemandirian Belajar.

C. Definisi Operasional

1. Kemandirian Belajar

Pengertian kemandirian belajar menurut Abas (2007) merupakan keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa selalu bergantung pada orang lain Dimana aktivitas belajar ini yang dilaksanakan di


(69)

Ciri-ciri anak yang mampu belajar secara mandiri (berdasarkan komponen-komponen kemandirian menurut Nashori) adalah:

a. Bebas

Pada anak TK, aspek ini ditunjukkan dengan adanya kesempatan kepada anak untuk melakukan eksplorasi dan aktivitas yang diinginkan secara bebas.

b. Mempunyai Inisiatif

Pada anak TK, apsek ini dapat ditunjukkan dengan adanya kemauan untuk bertanya pada guru, adanya inisiatif untuk bermain bersama temannya tanpa harus disuruh.

c. Gigih dan ulet

Pada anak TK, aspek ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan dia untuk mengerjakan tugas yang diebrikan oleh guru dengan tekun, berusaha menyelseaikan tugas yang sulit.

d. Percaya pada diri sendiri

Pada anak TK, aspek ini dapat ditunjukkan dengan kemauan anak untuk mengekspresikan dirinya misal: dengan bernyanyi di depan kelas, berani menjadi pemimpin bagi teman-temannya.

e. Pengendalian diri

Pada anak TK, aspek ini dapat terlihat dengan adanya kepatuhan anak terhadap perintah guru, adanya kemauan anak untuk bekerja sama dan berbagi dengan teman-temannya


(70)

Kemandirian belajar dalam penelitian ini akan diungkap dalam lima komponen yang telah dijelaskan diatas dan diukur dengan menggunakan skala rating kemandirian belajar yang diisi oleh guru wali kelas. Data yang diperoleh berasal dari jawaban yang diberikan oleh guru. Semakin tinggi skor total kemandirian belajar anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandirian belajarnya. Sebaliknya, semakin rendah skor total kemandirian belajar anak, semakin rendah pula tingkat kemandirian belajar anak.

2. Gaya Kelekatan

Yang dimaksud dengan gaya kelekatan adalah suatu bentuk ikatan yang bersifat emosional dan terjadi secara intens (terus menerus) dan timbal balik (resiprokal) antara bayi/anak dengan pengasuh (orang tua).

Gaya kelekatan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala pelaporan orang tua (Parent report scale). Pengaktegorian gaya kelekatan yang dialami oleh anak, berdasarkan skor Z terbesar. Skala kelekatan ini akan diberikan pada orang tua atau pengasuh. Skala kelekatan ini disusun dengan mengacu pada teori C. Wenar dan P. Kerig (2000) tentang macam-macam gaya kelekatan, dimana dalam penelitian ini ada 3 macam gaya kelekatan yang akan diteliti yaitu gaya kelekatan aman, kelekatan menghindar serta kelekatan cemas. Aspek dasar yang melandasi ketiga macam gaya kelekatan ini adalah aspek pengasuhan dan situasi baru/strange situation (yang meliputi: perpisahan, pertemuan, eksplorasi, dan karakteristik umum)


(71)

Pembedaan ketiga gaya kelekatan dilakukan berdasarkan pada kedua aspek tersebut yaitu pengasuhan dan situasi baru. Adapun penerapan kedua aspek tersebut dalam masing-masing gaya kelekatan dijelaskan sebagai berikut:

a. Kelekatan Aman 1) Pengasuhan

Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.

2) Situasi Baru a) Perpisahan

Anak yang secure mungkin atau tidak mungkin merasa terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi terbatas dalam mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak ada bersamanya.

b) Pertemuan kembali

Anak yang secure mampu memiliki kemampuan untuk menerima kembali dan menyambut positif pengasuh, serta menjadi nyaman. c) Eksplorasi

Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengasuh.


(72)

d) Karakteristik Umum

Anak yang secure mengembangkan citra diri positif, memiliki rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.

b. Kelekatan Menghindar 1) Pengasuhan

Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.

2) Situasi Baru a) Perpisahan

Anak yang avoidant jarang menunjukkan kesedihan atau kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya.

b) Pertemuan Kembali

Anak yang avoidant cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan

c) Eksplorasi

Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang avoidant cenderung terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak dengan orang lain. d) Karakteristik Umum

Anak yang avoidant akan mengembangkan diri sebagai anak yang bebas dan suka menentang


(1)

Tests of Normality

,947 32 ,118 ,887 19 ,028 ,969 30 ,503 gaya kelekatan

aman cemas hindar kemandirian belajar

Statistic df Sig. Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2,177 2 78 ,120

1,660 2 78 ,197

1,660 2 65,750 ,198

1,812 2 78 ,170

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean kemandirian belajar

Levene

Statistic df1 df2 Sig.


(2)

Oneway

Descriptives

kemandirian belajar

32 113,38 7,052 1,247 110,83 115,92 19 95,26 10,203 2,341 90,35 100,18 30 98,17 6,550 1,196 95,72 100,61 81 103,49 11,137 1,237 101,03 105,96 aman

cemas hindar Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for

Mean

Descriptives

kemandirian belajar

100 125 68 107 84 116 68 125 aman

cemas hindar Total

Minimum Maximum

Test of Homogeneity of Variances

kemandirian belajar

2,177 2 78 ,120

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

ANOVA

kemandirian belajar

5262,896 2 2631,448 44,052 ,000 4659,351 78 59,735

9922,247 80 Between Groups

Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Post Hoc Tests


(3)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kemandirian belajar

18,112* 2,238 ,000 15,208* 1,964 ,000 -18,112* 2,238 ,000 -2,904 2,266 ,410 -15,208* 1,964 ,000 2,904 2,266 ,410 18,112* 2,238 ,000 15,208* 1,964 ,000 -18,112* 2,238 ,000 -2,904 2,266 ,612 -15,208* 1,964 ,000 2,904 2,266 ,612 (J) gaya kelekatan

cemas hindar aman hindar aman cemas cemas hindar aman hindar aman cemas (I) gaya kelekatan

aman

cemas

hindar

aman

cemas

hindar Tukey HSD

Bonferroni

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.


(4)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kemandirian belajar

12,76 23,46 10,52 19,90 -23,46 -12,76 -8,32 2,51 -19,90 -10,52 -2,51 8,32 12,63 23,59 10,40 20,01 -23,59 -12,63 -8,45 2,64 -20,01 -10,40 -2,64 8,45 (J) gaya kelekatan

cemas hindar aman hindar aman cemas cemas hindar aman hindar aman cemas (I) gaya kelekatan

aman cemas hindar aman cemas hindar Tukey HSD Bonferroni

Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.

Homogeneous Subsets

kemandirian belajar 19 95,26 30 98,17 32 113,38 ,375 1,000 gaya kelekatan cemas hindar aman Sig. Tukey HSDa,b

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,594. a.

The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

b.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Perbedaan Konsep Diri Akademis Ditinjau Dari Gaya Kelekatan Siswa

0 46 124

PERBEDAAN KOMPETENSI SOSIAL REMAJA DITINJAU DARI GAYA KELEKATAN DENGAN TEMAN SEBAYA

1 10 75

RISIKO PENYALAHGUNAAN NAPZA DITINJAU DARI KELEKATAN ORANGTUA-ANAK DAN KELEKATAN TEMAN SEBAYA Risiko Penyalahgunaan Napza Ditinjau Dari Kelekatan Orangtua-Anak Dan Kelekatan Teman Sebaya.

3 8 16

PERBEDAAN KEMAMPUAN BERHITUNG DITINJAU DARI GAYA BELAJAR ANAK PADA ANAK TK KELOMPOK B TK AISIYAH DESA Perbedaan Kemampuan Berhitung Ditinjau Dari Gaya Belajar Anak Pada Anak Tk Kelompok B Tk Aisiyah Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali

0 4 12

PERBEDAAN KEMAMPUAN BERHITUNG DITINJAU DARI GAYA BELAJAR ANAK PADA ANAK TK KELOMPOK B TK AISIYAH DESA KALIGENTONG, Perbedaan Kemampuan Berhitung Ditinjau Dari Gaya Belajar Anak Pada Anak Tk Kelompok B Tk Aisiyah Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel, Kabup

0 3 14

PENDAHULUAN Perbedaan Kemampuan Berhitung Ditinjau Dari Gaya Belajar Anak Pada Anak Tk Kelompok B Tk Aisiyah Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali Tahun 2012/2013.

0 2 10

PERBEDAAN KEMAMPUAN MENGINGAT DITINJAU DARI GAYA BELAJAR.

0 0 10

PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR DITINJAU DARI PERSEPSI ANAK TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA Perbedaan Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Persepsi anak Terhadap Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Sulung dan Anak Bungsu.

0 1 14

Perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan - USD Repository

0 0 214

PERBEDAAN TINGKAT KELEKATAN ANAK DENGAN IBU DITINJAU DARI JENIS TEMPERAMEN ANAK

1 1 135