Interaksi Kebijakan Fiskal Dan Moneter Di Indonesia Terhadap Variabel Ekonomi Makro Di Indonesia

(1)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

TESIS

Oleh

BENNY ROJESTON MARNAEK NAINGGOLAN

087018044/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

S

E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

N A


(2)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BENNY ROJESTON MARNAEK NAINGGOLAN

087018044/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER DI INDONESIA TERHADAP

VARIABEL EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Benny Rojeston Marnaek Nainggolan

Nomor Pokok : 087018044

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Jonni Manurung, M.S) Ketua

(Dr. Murni Daulay, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Dr. Jonni Manurung, MS

Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, SE., M.Si 2. Dr. Rahmanta, M.Si

3. Drs. Rujiman, MA


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: “INTERAKSI

KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP

VARIABEL EKONOMI MAKRO DI INDONESIA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan,

Yang membuat pernyataan,

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan 087018044/EP


(6)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS dan Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap variabel ekonomi makro, dalam penelitian ini adalah Defisit Anggaran Riil (100*) (Pengeluaran Pemerintah-Pajak/indeks harga konsumen), jumlah uang beredar, kurs, suku bunga BI dan PDB.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s.d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode simultanitas.

Hasil analisa data diketahui bahwa Pertumbuhan ekonomi (PDB) dipengaruhi variabel belanja pemerintah (G), Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs (KURS), pajak (TX) dan tingkat bunga BI (SBI) hanya sebesar 64,4%, Suku Bunga BI (SBI) dipengaruhi variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB sebesar 49,5%.

Kata Kunci: Defisit Anggaran Riil, Jumlah Uang Beredar, Kurs, Suku Bunga BI (SBI) dan PDB.


(7)

THE INTERACTION OF FISCAL AND MONETARY POLICY IN INDONESIAN ON MACROECONOMIC VARIABLES

IN INDONESIAN

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS and Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRACT

This study analyzes the interaction of fiscal and monetary policy on macroeconomic variables, in this study is the Real Budget Deficit (100*) (Government Expenditures-Tax/Consumer Prices Index), The Money Supply, Exchange Rates, Interest Rates and GDP.

The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from the Central Bureau of Statistics of Indonesia and Bank Indonesia. Data collected starting in 1984 s.d 2008. Determination of the number of observations based on the research model. The model used in this research is econometric model with the method of simultaneity.

Results of data analysis known that economic growth (GDP) expenditure variables influenced the government expenditure (GOV), the consumer price index (CPI), exchange rate (EXCHANGE), taxes (TAX) and the interest rate of Bank Indonesia (SBI) is only 64.4%, Interest rates BI (SBI) influenced the variables in the money supply (JUB) and the GDP amounted to 49.5%.

Keywords: The Real Budget Deficit, Money Supply, Exchange Rate, Interest Rate of Bank Indonesia (SBI) and GDP.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan rahmatNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

di Indonesia terhadap Variabel Ekonomi Makro di Indonesia” sebagai tugas akhir pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Sinung Prabowo, SH, selaku Kepala Balai Diklat Keuangan Medan yang memberikan izin kuliah dan dukungan moral dan motivasi diawal pertama pendidikan ini.

2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang memberikan arahan kepada saya sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf pengajar, pegawai,


(9)

khususnya Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.

4. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, selaku Pembimbing I yang banyak memberikan

arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini dapat selesai.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Pembimbing II yang banyak memberikan arahan, bimbingan, motivasi dan pemikiran yang sangat berharga hingga tesis ini dapat selesai.

6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si., Bapak Drs. Rujiman, MA, dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran dan masukan dalam perbaikan penyusunan tesis ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan XVI yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.

Teristimewa kepada Istriku tercinta Betty Romauli Hutapea, S.Si dan anak-anakku tersayang Sheela Victorya Gracetyana Nainggolan dan Sifara Selomitha Nainggolan yang selama ini telah memberikan inspirasi dan spirit serta pengorbanan yang tulus ikhlas mulai masa perkuliahan sampai penulisan tesis ini selesai.


(10)

dan spirit mulai masa perkuliahan sampai penulisan tesis ini. Tidak lupa juga penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik moril dan materil baik selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memohon kepada Tuhan kiranya memberikan balasan pahala yang berlipat ganda bagi semua pihak yang telah memberikan bantuan selama ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Tuhan Yang Maha Esa memberikan limpahan rahmat dan berkatNya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Benny Rojeston M. Nainggolan

2. Tempat/Tgl. Lahir : Lhokseumawe, 12 Desember 1976

3. Agama : Kristen Protestan

4. Pekerjaan : PNS

5. Nama Istri : Betty Romauli Hutapea

6. Anak : 1. Sheela Victorya Gracetyana Nainggolan

2. Sifara Selomitha Nainggolan

7. Nama Orang Tua : 1. Jasmin Nainggolan

2. Rosdiana Simarmata

8. Alamat Rumah : Jl. Tuba II No. 38 Kec. Medan Denai Kota Medan

9. Pendidikan

a. Tahun 1983-1989 : SD Negeri No. 5 Lhokseumawe – Kab. Aceh Utara

b. Tahun 1989-1992 : SMP Negeri 11 Medan

c. Tahun 1992-1995 : SMA Negeri 8 Medan

d. Tahun 1995-1996 : PRODIP I Spesialisasi Anggaran di BPPK Medan

e. Tahun 1998-2003 : STIE Indonesia Jakarta

f. Tahun 2009-2010 : Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Sekolah


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT. ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... .... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II URAIAN TEORITIS ... 10

2.1. Variabel Ekonomi Makro ... 9

2.2. Model IS-LM ... 17

2.3. Kebijakan Fiskal... 23

2.4. Kebijakan Moneter ... 28

2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 37

2.6. Penelitian Terdahulu ... 41

2.7. Kerangka Penelitian ... 45

2.8. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 46

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 46


(13)

3.4. Identifikasi Simultanitas ... 49

3.5. Metode Analisis ... 51

3.6. Uji Stasioner dan Kointegrasi ... 52

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 54

3.8. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit) ... 57

3.9. Definisi Operasional... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1. Kondisi Ekonomi Makro ... 59

4.2. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga ... 63

4.3. Perkembangan Nilai Tukar ... 66

4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan PDB ... 67

4.5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak ... 71

4.6. Hasil Analisis Data dan Pembahasan ... 73

4.7. Hasil Estimasi Model dan Pembahasan ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

5.1. Kesimpulan ... 82

5.2. Saran ... 83


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah………. 4

3.1. Uji Identifikasi Persamaan……… 51

4.1. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga………. 63

4.2. Perkembangan Nilai Tukar (Kurs)……….. 66

4.3. Perkembangan Nilai Tukar (Kurs)……….. 68

4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak 71 4.5. Hasil Pengujian Akar-akar……….. 74

4.6. Uji Kointegrasi……… 75

4.7. Hasil Uji Jarque-Bera……….. 76

4.8. Hasil Uji LM Test………. 76

4.9. Hasil Estimasi Persamaan Struktural PDB dan SBI dalam Program Eviews………. 77


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009. 3

2.1. Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate……….. 18

2.2. Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate……… 19

2.3. Kebijakan Fiskal pada Flexible Exchange Rate………. 21

2.4. Kebijakan Moneter pada Flexible Exchange Rate……… 22

2.5. Kerangka Pemikiran Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Variabel Makro Ekonomi……….. 45

4.1. Perkembangan IHK dan Tingkat Bunga, 1986-2008………… 64

4.2. Perkembangan Kurs Tahun 1986-2008……… 67

4.3. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan PDB, 1986-2008…. 69 4.4. Belanja Pemerintah dan Pajak, 1986-2008……….. 72


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Tabulasi Data……….. 86

2. Regresi Simultan……… 87

3. Uji Stasioner………. 88

4. Uji Stasioner pada 1st Difference……… 90

5. Uji Stasioner pada 2nd Difference……….. 93

6. Uji Kointegrasi………. 95

7. Uji Normalitas Data Persamaan PDB……….. 96


(17)

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA TERHADAP VARIABEL

EKONOMI MAKRO DI INDONESIA

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS dan Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap variabel ekonomi makro, dalam penelitian ini adalah Defisit Anggaran Riil (100*) (Pengeluaran Pemerintah-Pajak/indeks harga konsumen), jumlah uang beredar, kurs, suku bunga BI dan PDB.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Bank Indonesia. Data dikumpulkan mulai tahun 1984 s.d tahun 2008. Penentuan jumlah observasi didasarkan dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode simultanitas.

Hasil analisa data diketahui bahwa Pertumbuhan ekonomi (PDB) dipengaruhi variabel belanja pemerintah (G), Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs (KURS), pajak (TX) dan tingkat bunga BI (SBI) hanya sebesar 64,4%, Suku Bunga BI (SBI) dipengaruhi variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB sebesar 49,5%.

Kata Kunci: Defisit Anggaran Riil, Jumlah Uang Beredar, Kurs, Suku Bunga BI (SBI) dan PDB.


(18)

THE INTERACTION OF FISCAL AND MONETARY POLICY IN INDONESIAN ON MACROECONOMIC VARIABLES

IN INDONESIAN

Benny Rojeston Marnaek Nainggolan, Dr. Jonni Manurung, MS and Dr. Murni Daulay, SE., M.Si

ABSTRACT

This study analyzes the interaction of fiscal and monetary policy on macroeconomic variables, in this study is the Real Budget Deficit (100*) (Government Expenditures-Tax/Consumer Prices Index), The Money Supply, Exchange Rates, Interest Rates and GDP.

The collection of data obtained from secondary data. Sources of data in this study from the Central Bureau of Statistics of Indonesia and Bank Indonesia. Data collected starting in 1984 s.d 2008. Determination of the number of observations based on the research model. The model used in this research is econometric model with the method of simultaneity.

Results of data analysis known that economic growth (GDP) expenditure variables influenced the government expenditure (GOV), the consumer price index (CPI), exchange rate (EXCHANGE), taxes (TAX) and the interest rate of Bank Indonesia (SBI) is only 64.4%, Interest rates BI (SBI) influenced the variables in the money supply (JUB) and the GDP amounted to 49.5%.

Keywords: The Real Budget Deficit, Money Supply, Exchange Rate, Interest Rate of Bank Indonesia (SBI) and GDP.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah dan salah satu diantaranya adalah dalam hal penyediaan sumber pembiayaan pembangunan itu sendiri. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan dapat berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Berkenaan dengan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari dalam negeri, pemerintah memanfaatkan dana dari masyarakat melalui pemanfaatan Product Domestic Bruto (PDB).

Dalam dekade terakhir, beberapa negara baik negara maju maupun emerging

countries mengadopsi kerangka kerja inflation targeting dalam sistem kebijakan

moneter. Inflation targeting merupakan sebuah kerangka dalam sistem kebijakan moneter dengan sasaran tunggal menciptakan stabilisasi tingkat harga. Sebuah konsensus dalam kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik yang harus dipenuhi adalah adanya independensi bank sentral. Menurut Masson (1997), keberhasilan kerangka kerja inflation targeting akan lebih efektif bila diawali dengan implementasi setelah berhasil mencapai disinflasi. Faktor lainnya adalah pentingnya koordinasi yang tinggi


(20)

adanya dominasi fiskal dalam kebijakan moneter. Menurut Sargant dan Wallace (1981), independensi bank sentral belum cukup untuk melihat efektivitas kebijakan moneter. Lebih lanjut Woodford (1994, 2001) dan beberapa ekonom lainnya menyatakan bahwa independensi bank sentral akan tercapai apabila kebijakan fiskal tidak mempengaruhi tingkat harga dan government solvency harus terpenuhi yang lebih dikenal dengan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Menurut teori ini bahwa baik kebijakan moneter maupun fiskal memiliki pengaruh terhadap tingkat harga secara terpisah (Leith and Lewis, 2000).

Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga, sementara di sisi lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Permasalahan utama interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada terjadinya trade-off antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga

memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan

perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makro ekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan makro ekonomi yang memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pengelolaan kebijakan


(21)

fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Stabilitas makro ekonomi dapat dilihat dari adanya penurunan variabel makro ekonomi pada saat krisis menyebabkan variabel makro ekonomi lainnya juga akan terpengaruh. Penurunan nilai tukar rupiah sebagai imbas pasar keuangan global yang mengalami krisis sehingga mempengaruhi variabel makro ekonomi seperti inflasi dan tingkat SBI.

11. 85 12. 14 11. 77 11. 68 11. 06 9. 17 8. 6 8. 31 11. 03 11. 9 10. 38 8. 96 8. 17 7. 36 6. 59 6. 71 6. 88 6. 01 6. 29 6. 52 6. 3 6. 25

5. 776. 06 6. 516. 95

7. 4 8. 257. 75

8. 75 9. 25 9. 5 9. 5 9. 25 9 8. 75 8. 5 8. 25 8 8 8 8 8 8. 25 8. 25 8. 25 8. 25 8. 25 8. 5 9. 5

9. 25 9 9 8. 75

0 2 4 6 8 10 12 14

Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09

Sumber: Bank Indonesia. Data Diolah: 2009

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009 Pada gambar di atas diketahui, bahwa seiring dengan kenaikan inflasi yang merangkak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada Desember 2007, maka dengan penurunan suku bunga SBI tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar. Hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Seiring inflasi yang terus

SBI

Inflasi


(22)

meningkat dengan dorongan belanja pemerintah yang juga meningkat maka PDB akan sulit untuk mencapai tingkat yang diinginkan.

Tabel 1.1. Perkembangan PDB dan Belanja Pemerintah

Tahun PDB

(Milyar Rp)

Belanja Pemerintah (Milyar Rp)

1986 512.063,74 20.737

1987 487.651,86 22.384

1988 497.281,81 26.655

1989 486.445,93 32.543

1990 442.757,32 39.515

1991 453.314,41 44.341

1992 460.094,01 51.773

1993 1.079.136,48 57.712

1994 1.043.845,44 62.502

1995 1.053.300,76 63.722

1996 1.034.648,44 77.631

1997 910.772.63 97.055

1998 437.575,17 1.726.69

1999 434.745,15 231.703

2000 1.389.769,00 221.466

2001 1.440.405,00 341.562

2002 1.505.216,00 322.179

2003 1.577.171,00 376.505

2004 1.656.516,00 427.176

2005 1.750.815,00 509.632

2006 1.847.126,00 667.128

2007 1.963.091,00 757.649

2008 2.082.103,00 985.270

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Keselarasan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang baik. Dari sisi kebijakan fiskal, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah mampu memberikan stimulus untuk


(23)

mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari defisit anggaran yang mampu dikendalikan pada level 1,0% dari PDB pada tahun 2006 meskipun lebih tinggi dari sasaran awal 0,7% dari PDB. Terkendalinya defisit anggaran ini mampu memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5% pada tahun 2006. Sedangkan dari sisi moneter, stabilitas harga tetap terjaga dengan pengendalian inflasi pada level 6,60% oy) dibandingkan awal tahun 2006 yang mencapai 17,03% (y-oy) (Bank Indonesia, 2006). Hal ini juga ditandai dengan menurunnya tingkat suku bunga SBI sehingga kondisi tersebut memberikan sinyal yang positif bagi sektor riil.

Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisa interaksi simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini secara gamblang dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah, pemerintah selaku otoritas fiskal juga memiliki tipikal pertimbangan yang serupa, kecuali bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah


(24)

dengan lainnya. Dalam perkembangannya, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi 4 macam (Basri dan Sabri, 2003), yaitu (i) pembiayaan fungsional (functional

finance), (ii) pengelolaan anggaran (the managed budget approach), (iii) stabilisasi

anggaran otomatis (the automatic stabilizing budget) dan (iv) anggaran belanja berimbang (balanced budget approach). Kebijakan fiskal ini berada pada setiap level pemerintahan yakni pusat dan daerah, dan secara umum tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sejauh ini, tekad yang tertulis pemerintah dalam hal anggaran ini (Badan Analisa Fiskal, 2004) adalah, pertama, menempuh anggaran belanja seimbang dan dinamis di mana pengeluaran total tidak melebihi permintaan total. Kedua, Anggaran dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Tabungan pemerintah merupakan penerimaan dalam negeri di atas pengeluaran rutin yang diusahakan meningkat agar dapat mengurangi kebutuhan bantuan dan hutang luar negeri. Ketiga, dari sisi penerimaan anggaran, dasar perpajakan diusahakan semakin luas lewat intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak. Keempat, di sisi pengeluaran anggaran, prioritas diberikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan dan bukan pada kegiatan-kegiatan rutin. Subsidi-subsidi semakin dikurangi baik untuk perusahaan-perusahaan pemerintah maupun terhadap barang konsumsi, sehingga akan menghemat pengeluaran. Kelima, kebijakan anggaran diarahkan pada sasaran untuk meningkatkan penggunaan barang-barang dan tenaga kerja dari dalam negeri, dengan tujuan agar produksi dalam negeri semakin meningkat. Dan keenam, dalam


(25)

hubungannya dengan perluasan kesempatan kerja, produsen didorong untuk lebih menggunakan teknologi padat karya dengan sedikit menggunakan teknologi padat modal.

Peranan atau fungsi daripada pemerintah di bidang fiskal adalah untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan mengalokasikan sumber daya manusia. Khusus untuk fungsi stabilisasi dan pemerataan, akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi akan lebih efektif dilakukan pemerintah daerah (Kuncoro, 1995).

Pertimbangan utama secara ekonomis mengapa fungsi alokasi lebih baik dilaksanakan oleh daerah adalah efisiensi yang diperoleh dari kedekatan pemerintah sebagai penyedia jasa bagi masyarakat (Badan Analisa Fiskal, 2004). Argumen ini merupakan salah satu titik tolak pemikiran dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Pertimbangan lain yang mendukung desentralisasi fiskal adalah dalam rangka meningkatkan mobilisasi penerimaan sektor pemerintah secara keseluruhan, karena desentralisasi fiskal akan dapat memperluas jaringan pajak (tax net) sehubungan dengan keakuratan informasi basis pajak yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Di samping itu, hal ini juga akan mendorong terjadinya distribusi penduduk dan ukuran daerah yang lebih baik, karena dimungkinkannya daerah memungut pajaknya sendiri.


(26)

1.2. Perumusan Masalah

Pokok-pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Defisit Anggaran Riil (Goverment Expenditure – Pajak/Indeks Harga

Konsumen), Kurs, dan SBI berpengaruh secara simultan terhadap PDB?

2. Apakah jumlah uang beredar dan PDB berpengaruh secara simultan terhadap

SBI?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan Defisit Anggaran Riil (Goverment

Expenditure – Pajak/Indeks Harga Konsumen), Kurs, dan SBI terhadap PDB. 2. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan jumlah uang beredar dan PDB

terhadap SBI.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui sejauhmana interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap variabel makro ekonomi di Indonesia.

2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta variabel makro ekonomi.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dan variabel makro ekonomi.


(27)

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1. Variabel Ekonomi Makro 2.1.1. Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya, perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasional negara tersebut sebagai gambaran bagi Bank Dunia untuk menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokkan besarnya PDB. Dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001).

Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukkan kedalam PDB. Sebagai gambaran, PDB Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikutsertakan produk WNI di luar negeri (Herlambang, 2001).


(28)

Sukirno (2002), mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga negara asing. Sedangkan Wijaya (1997), menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu (biasanya satu tahun).

Menurut Tambunan (2001), ada kecenderungan, atau dapat dilihat sebagai suatu hipotesis, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain pendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia.

2.1.2. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 2003). Dalam rangka kegiatan ekonomi pembangunan, kebutuhan akan dana yang menjadi beban pengeluaran pemerintah terus meningkat, kebutuhan dana yang terus meningkat tersebut tidak boleh dipenuhi melalui pencetakan uang, namun harus didanai dari


(29)

sumber penerimaan negara dari pajak dan pendapatan negara lainnya yang sah, termasuk dari bantuan atau pinjaman atau hutang dari dalam dan luar negeri ataupun dengan mengadakan efisiensi pengeluaran pemerintah (Frans Seda, 2004).

Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat dilakukan dengan terlebih dahulu meningkatkan Pengeluaran Pemerintah (Government Expenditures) untuk merangsang meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam hal ini pemerintah dapat melakukannya melalui: a. Belanja Pegawai. Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari

APBN karena jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai bayar Gaji (W). Apakah yang terjadi dari perubahan W ? Pembayaran atau peningkatan gaji pegawai negeri (PNS) akan berpengaruh pada pendapatan dan seterusnya permintaan permintaan PNS untuk membeli barang-barang atau jasa-jasa. Gaji PNS berubah atau naik, maka pendapatan disposable income sektor rumah tangga bertambah (Yd). Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran

konsumsi (∆C). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu

tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi meningkat dengan C = c Yd = c W, c adalah MPC, selanjutnya efek pengganda

atau proses pelipat (proses multiplier) akan meningkat AD sebesar: 1


(30)

1 c

∆ AD = --- c ∆ Yd = --- ∆ W (2.2) 1 - c 1 - c

MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 , maka dengan ∆ belanja pegawai sebesar Rp. x ,- maka dapat menaikkan ∆AD

sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan meningkatkan PDRB.

b. Belanja Barang/Jasa atau Pengeluaran Pembangunan.

Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama akan menaikkan AD sebesar:

1

∆ AD = --- ∆ G (2.3)

1 - c

Kalau kita asumsi MPC = c = 0,8, maka pengeluaran pembangunan akan meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang tercipta maka akan juga menigkatkan PDRB. Menurut Rahmayanti (2006) peningkatan tarif pajak akan meningkatkan ketidakefisienan dan kepatuhan wajib pajak sehingga dapat mengurangi penerimaan pajak. Selanjutnya Rahmayanti menyatakan bahwa batas untuk meningkatkan tarif pajak adalah sesuatu yang harus ditetapkan dengan hati-hati, di mana globalisasi membuat negara-negara


(31)

lebih terbuka dan persaingan dalam menarik investasi dapat dipengaruhi oleh pajak di suatu negara. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain yang menentukan keputusan untuk berinvestasi namun pajak termasuk tarif pajak masih menjadi bahan pertimbangan yang penting. Memasukkan variabel jumlah penduduk dan perubahan harga dalam menentukan besarnya pengeluaran pemerintah, jelas merupakan hal yang sangat penting. Tetapi hal itu tidak cukup. Terdapat banyak alasan jika kita menganggap bahwa sebagian dari kenaikan pendapatan dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa oleh sektor pemerintah. 2.1.3. Teori Pajak

Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations” (Waluyo, 2006) yang menyatakan bahwa penungutan pajak hendaknya didasarkan pada:

a) Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau

ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan

bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.

b) Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang


(32)

c) Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat-saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.

d) Economy

Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.

Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas, dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (Laksana, 2001) memberikan pandangan yang adil tentang distribusi beban pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas di atas, Musgrave juga menekankan pada tiga azas lainnya yaitu: azas netralitas (neutrality), azas perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).

Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dalam Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung


(33)

menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.

Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik di ekonomi dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak langsung seperti pajak penghasilan.

2.1.4. Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi, bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidak harus dengan persentase yang sama.

Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi, kenaikan tersebut tidak pada waktu yang bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu.


(34)

yang cukup besar, bukan merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya bersifat sementara.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis tidak dapat dikatakan sebagai inflasi.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity

effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional

masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).

2.2. Model IS-LM

Semua pelajar ekonomi pasti mengetahui masalah keseimbangan ekonomi. Hal yang sama juga dipahami mengenai luas kecilnya skala perekonomian sebagai dasar analisis utama. Ketika perekonomian masih dalam kondisi awal, kegiatan ekonomi hanya terdiri dari kegiatan konsumsi, investasi dan pemerintah (C,I,G). Ketika muncul peran hubungan luar negeri, perekonomian kemudian berkembang menjadi kegiatan konsumsi, investasi, pemerintah dan luar negeri (C,I,G,(X-I)). Perekonomian negara yang sudah memasukkan unsur hubungan luar negeri tentu membawa konsekuensi munculnya sistem aliran devisa negara serta sistem nilai tukar mata uang antar negara. Berbicara mengenai perekonomian secara luas, kita semua


(35)

pasti mengetahui sebuah nama Mundell Flemming. Ekonom inilah yang kemudian memodifikasi bentuk analisa IS-LM yang sederhana dengan memasukkan unsur

Balance of Payment (BOP) sehingga analisanya menjadi lebih kompleks. Dari hasil

analisa IS-LM-BOP inilah nantinya dapat dijadikan dasar penentuan apakah kebijakan fiskal atau moneter yang lebih berperan bagi perekonomian suatau negara, berdasarkan sistem nilai tukar negara maupun sistem aliran devisa negara.

Gambar 2.1. Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate

Sebagai contoh ilustrasi ekonomi berada pada kondisi awal di titik A dengan tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku bunga luar negeri (rf). Karena kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana mestinya dan sektor pemerintahlah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan suku bunga domestik menjadi r1. Kenaikan tingkat suku bunga ke r1 menyebabkan


(36)

adanya kenaikan permintaan terhadap rupiah. Hal tersebut juga dapat diartikan tingkat suku bunga domestik lebih tinggi daripada tingkat suku bunga internasional sehingga orang tertarik untuk menabung di domestik. Naiknya demand terhadap Rupiah menyebabkan pemerintah harus menambah supply dari Rupiah (karena kurs tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya kenaikan penawaran terhadap Rupiah inilah yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan impor justru meningkat pesat. Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak

menuju LM1 yang artinya kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi

kembali berpindah menuju titik C dengan tingkat pendapatan naik dari Y menuju Y2.

Kenaikan tingkat pendapatan inilah yang menjadi barometer kesuksesan kebijakan fiskal pada kondisi fixed exchange rate.

Gambar 2.2. Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate


(37)

Dengan ilustrasi yang sama kita dapat menjelaskan jalannya perekonomian pada kondisi krisis dengan kebijakan moneter di dalamnya. Perekonomian diumpamakan berada pada kondisi keseimbangan awal di titik A dengan IS0-LM0.

Perubahan yang terjadi pada fixed exchange rate juga sama di sini hingga terjadinya kenaikan penawaran Rupiah. Adanya peningkatan penawaran Rupiah akan menyebabkan bergeraknya LM ke LM1 sehingga perekonomian berpindah dari titik A

menuju B. Perpindahan kondisi perekonomian dari A menuju B menyebabkan penurunan pada tingkat bunga dari r ke r1 sehingga terjadi aliran modal keluar

(capital outflow) akibat rendahnya tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku bunga internasional. Meningkatnya capital outflow ini akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan valuta asing. Peningkatan permintaan valuta asing di satu sisi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran Rupiah sebagai substitusi valuta asing. Pengurangan penawaran Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva LM sehingga kurva LM kembali bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan

kembali berpindah dari B menuju A. Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan hanya terjadi pada periode jangka pendek sehingga dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan fixed exchange rate, kebijakan moneter tidak efektif dibandingkan kebijakan fiskal.


(38)

Gambar 2.3. Kebijakan Fiskal pada Flexible Exchange Rate

Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending (fiskal ekspansif) akan menggerakkan kurva IS ke kanan atau berpindah dari IS0

menuju IS1. Akibatnya suku bunga domestik mengalami kenaikan dan terjadi capital inflow dari dunia internasional. Dengan kebijakan kurs yang flexible maka kenaikan

permintaan terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs yang menyebabkan harga tukar Rupiah meningkat (apresiasi Rupiah). Efek dari apresiasi Rupiah terhadap perdagangan Indonesia cukup merugikan, sebab secara relatif harga komoditi Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga mengurangi permintaan ekspor kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya apresiasi Rupiah akan kembali menurunkan kurva IS ke kiri dan menurunkan keseimbangan ekonomi dari titik B kembali ke titik A dalam jangka panjang. Jadi dapat disimpulkan pada negara dengan


(39)

kebijakan flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak efektif dibandingkan kebijakan moneter.

Gambar 2.4. Kebijakan Moneter pada Flexible Exchange Rate

Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM sehingga bergeser dari LM0 menuju LM1. Akibatnya tingkat suku bunga domestik

turun dan terjadinya capital outflow ke luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange

rate maka capital outflow akan menaikkan permintaan valuta asing sehingga harga

valuta asing naik atau dengan kata lain terjadi depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah akan menaikkan neraca perdagangan Indonesia dan kurva IS bergeser ke kanan (IS0

-IS1). Keseimbangan akhir berada pada titik C dengan tingkat pendapatan sebesar Y1.

Karenanya dapat disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif untuk diterapkan di suatu negara yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.


(40)

2.3. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi variabel-variabel berikut:

1. Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi, 2. Pola persebaran sumber daya,

3. Distribusi pendapatan.

Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan atas pajak, pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) dan transfer pemerintah (goverment transfer). Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian, khususnya perekonomian Indonesia.

Anggaran belanja negara terdiri dari: 1. penerimaan atas pajak,

2. pengeluaran pemerintah (goverment expenditure), 3. transfer pemerintah (government transfer),


(41)

4. government transfer.

Biaya transfer pemerintah merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak menghasilkan balas jasa secara langsung. Contoh pemberian beasiswa kepada mahasiswa, bantuan bencana alam dan sebagainya. Salah satu pengaruh penerapan kebijakan fiskal adalah pada pendapatan nasional. Pada sistem perekonomian yang tertutup (tidak ada perdagangan internasional) maka pendapatan nasional (Y) dapat tersusun atas konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G). Dirumuskan:

Y = C + I + G (2.4)

Di mana konsumsi (C) sebagai fungsi dirumuskan sebagai:

C = aY + b (2.5)

Pendapatan disposibel (YD) sebagai nilai pendapatan yang dapat dibelanjakan diformulasikan sebagai:

YD = Y – Tx + Tr

YD = C + S (2.6)

Di mana: Tx : Pajak

Tr : Transfer pemerintah S : Saving

Di mana saving dapat difungsikan sebagai:


(42)

Dengan pendekatan matematis dapat ditemukan adanya angka pengganda/

multiplier dalam perekonomian dengan penggunaan kebijakan fiskal, yaitu:

1. Angka pengganda investasi,

2. Angka pengganda konsumsi,

3. Angka pengganda pengeluaran pemerintah,

4. Angka pengganda transfer pemerintah,

5. Angka pengganda pajak.

Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal:

1. Pemantapan koordinasi untuk menjaga sasaran bersama.

2. Harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal untuk mengoptimalkan

pertumbuhan.

3. Mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan.

Suku bunga yang secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap Rupiah adalah:

1. Mengurangi tekanan inflasi.

2. Penyediaan insentif untuk mendukung percepatan sektor riil. 3. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Desentralisasi.

4. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja sebagai stimulus

pembangunan.

5. Memperbaiki pelaksanaan anggaran di daerah-daerah untuk mendukung

percepatan pembangunan.


(43)

7. Pelaporan dan penggunaan belanja APBD.

8. Peningkatan kepastian hukum dan keserasian peraturan pusat dan daerah diprioritaskan.

9. Penegakan hukum persaingan usaha.

10.Sinkronisasi UU Penanaman Modal Tahun 2007 dengan berbagai peraturan daerah & Juklak UU Penanaman Modal.

11.Penyusunan rancangan perubahan UU No. 5/1999 untuk membangun sistem pasar yang lebih sehat.

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan negara atau pengeluaran dan negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiskal. Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran konsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah


(44)

pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). Salah satu kebijakan penting yang berada di dalam otoritas pemerintah adalah kebijakan fiskal, dan pelaku dari kegiatan ekonomi secara makro ialah Negara. Negara berperan untuk mengatur kegiatan ekonomi agar terjaga stabilitas ekonomi dan mensejahterakan rakyatnya agar tidak mengalami kemiskinan dan pengangguran. Salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan pemerintah adalah membuat APBN, mengatur inflasi agar tidak terjadi krisis ekonomi, membangun ekonomi dengan pertumbuhan yang signifikan dan merata.

Pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada kebijakan fiskal yang terwujud dalam APBN. Ketika APBN digunakan sesuai dengan waktu dan tempat yang tepat maka inflasi yang akan terkendali dengan baik sehingga berdampak pada pertumbuhan yang signifikan dan merata dalam ruang lingkup makro yaitu Negara. Untuk itu kita perlu mengkaji peranan pajak dalam kebijakan fiskal yang termasuk dalam sumber penerimaan suatu negara. Agar kita mengetahui seberapa pentingkah pajak dalam suatu negara yang merupakan sumber penerimaan negara. Pajak sudah dikenal sejak ratusan tahun atau lebih seribu tahun yang lalu. Konsep pajak pada masa itu jauh berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah pengalihan harta dari suatu pihak kepada pihak yang lain dengan paksaan yang digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa. Secara bertahap dan melalui berbagai perubahan yang disertai dengan pemberontakan, revolusi atau perlawanan lain, lambat laun dalam masa yang lama, pajak yang berbentuk seperti dahulu mengalami perubahan. Dari ketakutan untuk membayar pajak sampai kepada kesadaran untuk membayar


(45)

pajak. Sistem perpajakan mengalami pelbagai perubahan dari masa lampau hingga sekarang. Bila masa lalu pajak ditetapkan atas kehendak penguasa secara sepihak maka pajak pada masa sekarang telah berubah sebagai suatu keputusan berdasarkan dengan tujuan untuk kepentingan rakyat banyak.

2.4. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exchange rate targeting, monetary targeting,

Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Perry Warjiyo dan Solikin,

2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan


(46)

Instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.

Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut:

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:

a. Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).


(47)

b. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.

c. Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

a. BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rata-rata tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh

stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

b. BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

c. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi

pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen

liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku

bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka panjang.


(48)

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

a. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG

triwulanan.

b. Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.

c. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan

memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

d. Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

a. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:

i. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan


(49)

ii. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion,

asesmen faktor risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset

ekonomi dan kebijakan moneter.

5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1

bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

Operasional pengendalian moneter memiliki 3 prinsip dasar sebagai berikut: Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan moneter. Kemudian pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang


(50)

berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau

interest rate channel, alur harga aktiva atau asset price channel, dan alur kredit atau credit channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari ekspansi moneter adalah

peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi dan penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan meningkatkan investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi sehingga output agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi, nilai perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi inflasi akan menurunkan tingkat bunga riil sehingga nilai tukar mata uang depresiasi, ekspor netto naik dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme transmisi alur kredit atau credit channel terdiri dari alur pinjaman bank atau bank lending channel, alur neraca atau balance sheet channel, alur arus kas atau cash flow channel, alur harga takterantisipasi atau unanticipated price channel, dan alur likuiditas rumah tangga atau household liquidity channel. Mekanisme transmisi alur kredit adalah peningkatan permintaan karena peningkatan kredit perbankan sebagai akibat peningkatan investasi dan konsumsi. Peningkatan investasi dan konsumsi akan mendorong aktivitas ekonomi dan bisnis. Permasalahan dari mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah memilih alur tarnsmisi yang paling efektif dalam meningkatkan aktivitas ekonomi dan bisnis.


(51)

a. Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga

Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu:

Di mana:

m = stok uang nominal, r = tingkat bunga riil, p = ekspektasi tingkat harga,

m  r  y

m  p  r  y

(2.8)


(52)

 = investasi riil, dan y = output riil agregat. b. Mekanisme Transmisi Alur Harga

Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau

exchange rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect.

Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar matauang luar negeri dan depresiasi nilai tukar mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor netto naik dan akhirnya meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

e = nilai tukar mata uang, dan x = ekspor riil netto.


(53)

Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat

mempengaruhi penilaian saham, yang disebut Tobin’s q theory. Tobin

mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk peralatan dan pabrik baru atau investasi.

Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

s = ekspektasi harga saham, dan

q = rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal.

Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat. Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan. Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode


(54)

seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik. Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumberdaya ekonomi selama hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen, dan c = konsumsi riil rumah tangga.

2.5. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Interaksi kebijakan fiskal dan moneter dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Theory of Price Level (FTPL). Teori ini menyebutkan bahwa bila pengambil kebijakan fiskal tidak memenuhi intertemporal budget constraint, maka kebijakan fiskal lebih memberikan pengaruh terhadap tingkat harga. Kebijakan moneter dapat mengontrol stabilisasi harga apabila Ricardian Equivalence terpenuhi. Model dasar FTPL menjelaskan peran jangka pendek kebijakan fiskal sebagai stabilisasi yang konsisten dengan kebijakan moneter yang aktif. Sedangkan kebijakan fiskal yang aktif atau pasif menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, kombinasi stabilisasi dan solvency menjadi tidak kredibel. Adanya pengaruh kebijakan fiskal terhadap inflasi dan output menyebabkan permasalahan time inconsistency dalam


(55)

kebijakan moneter. Kondisi ini akan menimbulkan konflik terhadap solvency hutang pemerintah jangka panjang. Banyaknya kegagalan studi empiris mengenai interaksi kebijakan disebabkan belum dimasukkannya fiscal solvency jangka panjang dalam model. Diawali dengan persamaan intertemporal government budget constraint (IGBC) harus dipenuhi di mana hutang merupakan penjumlahan dari present discount

value dari ekspektasi surplus anggaran (selisih antara pendapatan pajak termasuk seigniorage dengan pengeluaran pemerintah).

Fungsi reaksi kebijakan fiskal dan moneter untuk menggambarkan bagaimana otoritas pengambil kedua kebijakan memiliki preferensi yang sama untuk mencapai stabilisasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Fungsi tujuan kebijakan fiskal dan moneter dapat dibentuk melalui model permintaan dan penawaran agregat.

Dalam jangka pendek, adanya output gap yang positif (Y>Y*) akan diikuti oleh ekspansi kebijakan moneter (penurunan tingkat suku bunga di bawah keseimbangan jangka panjang, ekspansi kebijakan fiskal dan shocks permintaan positif).

Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Sedangkan respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal adalah negatif. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang ketat melalui kenaikan tingkat suku bunga menyebabkan kenaikan tingkat inflasi. Sedangkan respon output terhadap perubahan tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal adalah


(56)

Efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di suatu negara ditentukan oleh sistem nilai tukar negaranya serta sistem aliran devisa luar negeri. Pada suatu negara yang menganut sistem fixed exchange rate dan sistem aliran devisa terkendali, kebijakan fiskal efektif meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan kebijakan moneter. Sementara di negara lain yang menganut sistem nilai tukar yang flexibel serta aliran valuta asing yang bebas, kebijakan moneter akan lebih efektif mengendalikan perekonomian dibandingkan kebijakan fiskal.

Perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga, dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run

Phillips-curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and

Prescott, 1997). Kedua, rational economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, Kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi. Penetapan stabilitas harga sebagaimana dikemukakan di atas akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.


(57)

Namun di sisi lain jika pencapaian kebijakan moneter tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat menekan (sequeze) pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran.

Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dapat mengakibatkan terjadinya defisit anggaran yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi makro. Dampak dari defisit fiskal yang kronis dan besarnya utang pemerintah dapat menimbulkan beberapa akibat (Traclet, 2004). Pertama, Fiskal defisit dapat meningkatkan rasio utang sehingga dapat meningkatkan beban utang dan menurunkan investasi yang produktif. Kedua, Peningkatan jumlah bond yang dikeluarkan untuk menutup fiskal defisit akan menciptakan crowding-out effect, yaitu penurunan investasi swasta yang produktif, sehingga membahayakan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, defisit anggaran pemerintah yang kronis dapat mengakibatkan tingginya inflasi. Beberapa data empiris di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan uang baru untuk pembiayaan defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper inflasi dan gangguan stabilitas makro ekonomi. Sejalan dengan beberapa fakta tersebut maka diperlukan koordinasi kedua kebijakan tersebut. Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk mengetahui dampak dari koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terhadap perekonomian. Pendekatan populer yang sering digunakan adalah pendekatan teori permainan (game theory) untuk mengetahui ketiadaan koordinasi


(58)

didapatkan dari kebijakan bauran (policymix) dari kebijakan moneter dan fiskal jika keputusan dilakukan secara bebas satu dengan lainnya (independent), yaitu:

1. Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter longgar. 2. Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter ketat. 3. Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter longgar. 4. Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter ketat.

Bauran kebijakan dalam kerangka IS-LM didasarkan atas masih belum mempertimbangkan peranan koordinasi sehingga masing-masing bertindak independen. Untuk melihat lebih jauh dampak dari koordinasi kedua kebijakan terhadap kinerja makro ekonomi maka akan digunakan pendekatan teori permainan (game theory). Untuk mengenal lebih jauh tentang pendekatan game theory dalam menganalisa efek ketiadaan koordinasi kebijakan pada kondisi makro ekonomi, penulis membuat suatu monetary-fiscal game lengkap dengan hasil yang akan didapatkan dan kerugian yang haris dibayar oleh masing-masing otoritas, seperti (Bennett dan Loayza, 2002).

2.6. Penelitian Terdahulu

Priadi Asmanto dan Soebagyo (2006), Meneliti tentang Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Regional terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Timur (Periode 1995-2004). Hasil Penelitian adalah selama periode penelitian, kondisi krisis ekonomi dan kebijakan baru (otonomi daerah) memiliki pengaruh yang berarti terhadap stabilitas harga dan


(59)

pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur. Selama periode penelitian, keseluruhan variabel kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur. Akan tetapi dalam empat bagian periode penelitian, terdapat perbedaan dalam tingkat signifikansi variabel moneter dan variabel fiskal dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Jawa Timur. Selama periode sebelum krisis ekonomi, inflasi signifikan dipengaruhi hampir oleh keseluruhan variabel independen, hanya variabel pertumbuhan pengeluaran rutin yang tidak signifikan mempengaruhi inflasi regional di Jawa Timur. Sedangkan dalam periode yang sama, pertumbuhan ekonomi signifikan dipengaruhi hanya oleh pertumbuhan dana yang dihimpun oleh perbankan di daerah dan suku bunga riil. Selama periode krisis ekonomi, hanya variabel pertumbuhan PAD, pertumbuhan pengeluaran rutin, pertumbuhan DPK dan suku bunga riil yang signifikan dalam mempengaruhi inflasi regional di Jawa Timur. Sedangkan selama periode yang sama hanya pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan pengeluaran rutin, pertumbuhan dana yang dihimpun perbankan dari pihak ketiga di daerah dan suku bunga riil signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Yulia Indrawati (2007) meneliti tentang: Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia: Pendekatan Vector Autoregression. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) menunjukkan bahwa adanya shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan


(60)

moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Adanya shocks kebijakan fiskal memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi, dan direspon negatif oleh penggunaan instrumen tingkat bunga. Adanya inovasi kebijakan moneter menyebabkan menurunnya tingkat output atau pertumbuhan ekonomi, dan direspon positif oleh instrumen kebijakan fiskal. Pergerakan tingkat inflasi lebih banyak dikontribusi oleh inovasi dirinya sendiri dan pengeluaran pemerintah sedangkan pergerakan output lebih dikontribusi oleh pergerakan tingkat suku bunga.

Agung Nugroho (2005) melakukan penelitian mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pemerintah di DIY serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan metode perhitungan fixed

effect yang disertai dengan variabel dummy, guna mengukurut derajat desentralisasi

fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta adalah variabel tingkat inflasi dan variabel dummy krisis ekonomi. Di mana keduanya berhubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta. Maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Variabel derajat desentralisasi fiskal menunjukkan nilai koefisien yang positif, namun tidak signifikan secara statistik. Hal ini bertentangan dengan hipotesa penelitian yang menyatakan bahwa derajat desentralisasi fiskal berhubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan


(1)

permintaan dan produksi dan turunnya produksi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Untuk pengaruh positif pada pajak yaitu naiknya pajak akan meningkatkan pemasukan bagi pemerintah, naiknya pemasukan akan mendorong naiknya daya beli masyarakat sehingga PDB akan meningkat.

Hasil regresi untuk tingkat bunga SBI sebesar minus 1,085. Nilai tersebut mengandung arti bahwa setiap peningkatan terhadap tingkat bunga SBI sebesar satu persen maka PDB akan mengalami penurunan sebesar 1,085 persen. Nilai negatif untuk SBI memiliki arti bahwa kenaikkan SBI akan menurunkan jumlah uang beredar sehingga investasi akan menurun dan turunnya investasi akan menurunkan PDB. Naiknya SBI walaupun akan menurunkan inflasi, namun disisi lain akan menurunkan investasi karena uang yang akan diinvestasikan sangat sedikit sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Kemudian untuk persamaan kedua adalah persamaan yang digunakan untuk mengetahui secara simultan terhadap tingkat bunga SBI dari hasil estimasi diketahui persamaan nilai:

LOG(SBI) = 7.0775 - 0.0250 * LOG(JUB) - 0.2964 * LOG(PDB)

Berdasarkan hasil estimasi di atas dapat menunjukkan bahwa R2 = 0.495 yang bermakna bahwa variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB mampu menjelaskan variasi SBI sebesar 49,5 persen dan sisanya sebesar 50,5 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam modal estimasi.


(2)

Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai t-hitung, terdapat semua variabel tidak signifikan mempengaruhi SBI. Tidak signifikan pengaruh jumlah uang beredar dan PDB terhadap SBI sebagai indikasi bahwa interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter kurang signifikan mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia. Tidak signifikan tersebut mengandung arti bahwa setiap peningkatan atau penurunan dari jumlah uang beredar dan PDB, maka SBI belum tentu bergerak sesuai dengan pergerakan yang ditimbulkan oleh jumlah uang beredar dan PDB.

Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa koefisien regresi diketahui bahwa jumlah uang beredar dan PDB berpengaruh negatif terhadap SBI.

Hasil regresi jumlah uang beredar sebesar minus 0,025, di mana setiap peningkatan terhadap jumlah uang beredar satu persen maka tingkat bunga SBI akan menurun sebesar 0,025 persen. Pengaruh negatif dari jumlah uang beredar dan PDB dapat dijelaskan bahwa naiknya harga-harga barang akan mendorong Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat bunga sedangkan terhadap jumlah uang beredar juga sama naiknya jumlah uang beredar akan menurunkan SBI.

Hasil regresi Product Domestic Bruto (PDB) sebesar minus 0,296, di mana setiap peningkatan terhadap Product Domestic Bruto (PDB) satu persen maka tingkat bunga SBI akan menurun sebesar 0,296 persen. Nilai PDB yang negatif mengandung arti bahwa naiknya PDB akan memunculkan kelebihan pendapatan masyarakat sehingga akan mendorong terjadinya inflasi dan uang beredar meningkat, oleh karena itu naiknya PDB akan menurunkan SBI sebagai kebijakan untuk menurunkan jumlah uang beredar dan tingkat bunga SBI.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi (PDB) dipengaruhi variabel belanja pemerintah (GOV), indeks harga konsumen (IHK), kurs (KURS), pajak (TAX) dan tingkat bunga BI (SBI) hanya sebesar 64,4%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ternyata masih banyak variabel lain yang secara akurat mempengaruhi pergerakan dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Nilai tukar (Kurs) dan Defisit Anggaran Riil (100*(GOV-TAX)/IHK) tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (PDB). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel kebijakan moneter melalui SBI lebih berperan dibandingkan dengan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kondisi ekonomi makro khususnya terhadap PDB.

3. Suku bunga BI (SBI) dipengaruhi variabel jumlah uang beredar (JUB) dan PDB sebesar 49,5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ternyata masih banyak variabel lain yang secara akurat mempengaruhi pergerakan dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

4. Jumlah uang beredar (JUB) dan PDB tidak signifikan mempengaruhi SBI sebagai indikasi bahwa interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter kurang


(4)

signifikan mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia. Tidak signifikan tersebut mengandung arti bahwa setiap peningkatan atau penurunan dari jumlah uang beredar dan PDB, maka SBI belum tentu bergerak sesuai dengan pergerakan yang ditimbulkan oleh jumlah uang beredar dan PDB.

5.2. Saran

1. Pemerintah dalam menerapkan kebijakan tingkat suku bunga hendaknya dilakukan dengan sangat hati-hati karena dampaknya terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi (PDB).

2. Kebijakan fiskal bukan hanya memperhatikan target pertumbuhan ekonomi namun hendaknya juga memperhatikan stabilisasi harga karena pengaruhnya yang cukup besar terhadap inflasi.

3. Penting dilakukan koordinasi yang sinergis antara otoritas fiskal dan moneter untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang baik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ario Pratomo, Wahyu dan Hidayat, Paidi. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam Ekonometrika. Cetakan Pertama. Medan. USU Press.

Bank Indonesia. 2003. “Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi”. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, 2005-2006. Laporan Perekonomian Indonesia.

Boediono. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi 3. BPFE. Yogyakarta.

Claeys, Peter. 2005. “Monetary and Budgetary Policy Interaction: An SVAR Analysis of Stabilization Policies, Europian University Institute. March 1st Departemen Keuangan, 2006. Nota Keuangan Republik Indonesia Enders.

Ferdian, Rully. 2001. Independensi BI dalam Mengendalikan Inflasi. tidak dipublikasikan. Yogyakarta. FE UII.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi Ketiga. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Granger, C., W., J., 1969. Investigating Relation by Economics Models and Cross Spectoral Methods. Econometrica, Vol. 37, No. 3, p. 424-438.

Gujarati, Damodar R. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika. Jilid 1. Alih Bahasa Julius Mulyadi. Jakarta. Erlangga.

Hall Hutabarat, Akhis R. 2000. “Pengendalian Inflasi melalui Inflation Targeting”,

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bagian Studi Sektor Riil. Jakarta. Bank Indonesia.

Harris, Richard. 1995. “Cointegration Analysis in Econometric Modelling”. Prentice. Leith, Campbell and Simon Wren-Lewis. 2000. “Interaction Between Monetary and

Fiscal Policy Rule. The Economic Journal. 110.

Mankiw, Gregory N. 2006. Principles of Economics. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Alih Bahasa Chriswan Sungkono. Jakarta. Salemba Empat.


(6)

Manurung, Jonni J., Manurung, Adler H., Saragih, Ferdinand D. 2005. Ekonometrika. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit Elex Media Computindo.

Manurung, Jonni J., Manurung, Adler H. 2009. Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter. Cetakan Pertama. Jakarta. Salemba Empat.

March Masson, P.R, Savastano, M.A, Sharma, S. 1997. The Scope for Inflation Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper WP/97/130 Muscatelli.

Nachrowi, D. 2006. Ekonometrika, untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Cetakan Pertama. Jakarta. Lembaga Penerbit FE UI.

Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Buku II. Edisi ke 1. Cetakan Kesepuluh. Yogyakarta. BPFE UGM.

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Cetakan Pertama. Jakata. PT. Raja Grafindo.

Prapto, Yuwono. 2005. Ekonometrika. Cetakan Pertama. Bandung. Penerbit Andi. Salvatore, Dominick. 2008. Theory and Problem f Micro Economic Theory. 3rd

Edition. Alih Bahasa oleh Rudi Sitompul. Penebit Erlangga. Jakarta.

Simorangkir, Iskandar. 2007. “Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di

Indonesia: Suatu Kajian dengan Pendekatan Game Theory. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Januari.

Sumber data pendukung: www.bi.go.id. www.idx.co.id, www.etrading.co.id, www.bei.co.id, www.danareksaonline.com. http://finance.yahoo.com.

Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta. Rajawali Press.

V. Anton, Patrizio Tirelli and Carinine Trecroci. 2002. “Monetary and Fiscal Policy

Interactions Over the Cycle: Some Empirical Evidence, CESifo Working Paper, No. 817.

Walsh, Carl E. 2001. “Monetary Theory and Policy”. The MIT Press Cambridge. Walter. 2004. “Applied Econometric Time Series”, John Wiley and Sons, Inc.