e-Learning Sistem E-Learning Program Studi Diploma 3 Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara

2.7 e-Learning

2.7.1 Pengenalan e-Learning

Istilah e-Learning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar yang menguraikan tentang definisi e-Learning dari berbagai sudut pandang. Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya dari Darin E. Hartley [Hartley, 2001] yang menyatakan: e-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. LearnFrame.Com dalam Glossary of e-Learning Terms [Glossary, 2001] menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa: e-Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet , jaringan komputer, maupun komputer standalone. Rosenberg 2001 menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Bahkan Onno W. Purbo 2002 menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet . Perkembangan e-Learning dari masa ke masa berdasarkan pendapat Cross 2002 adalah seperti di bawah: Universitas Sumatera Utara 1990: CBT Computer Based Training Era dimana mulai bermunculan aplikasi e-Learning yang berjalan dalam PC standalone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi berupa materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia video dan audio dalam format MOV, MPEG-1 atau AVI. Perusahaan perangkat lunak Macromedia mengeluarkan tool pengembangan bernama Authorware , sedangkan Asymetrix sekarang bernama Click2learn juga mengembangkan perangkat lunak bernama Toolbook . 1994: Paket-Paket CBT Seiring dengan mulai diterimanya CBT oleh masyarakat, sejak tahun 1994 muncul CBT dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara massal. 1997: LMS Learning Management System Seiring dengan perkembangan teknologi internet di dunia, masyarakat dunia mulai terkoneksi dengan Internet . Kebutuhan akan informasi yang cepat diperoleh menjadi mutlak, dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Disinilah muncul sebutan Learning Management System atau biasa disingkat dengan LMS. Perkembangan LMS yang semakin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang ada dengan suatu standard . Standard yang muncul misalnya adalah standard yang dikeluarkan oleh AICC Airline Industry CBT Committee , IMS, IEEE LOM, ARIADNE, dsb. Universitas Sumatera Utara 1999: Aplikasi e-Learning Bebasis Web Perkembangan LMS menuju ke aplikasi e-Learning berbasis Web secara total, baik untuk pembelajar learner maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs portal yang pada saat ini boleh dikata menjadi barometer situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar dunia. Isi juga semakin kaya dengan berpaduan multimedia, video streaming , serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standard , berukuran kecil dan stabil. Pengembangan pembelajaran berbasis e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk pembelajaran berbasis internet , maka pendapat Haughey 1998 perlu dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning . Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet , yaitu “ web course, web centric course, dan web enhanced course ”. “ Web course ” adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet . Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh. “ Web centric course ” adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar tanpa tatap muka jarak jauh dan tatap muka konvensional. Sebagian materi disampaikan melalui internet , dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk Universitas Sumatera Utara mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut. Model “ web enhanced course ” adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet , membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet , dan kecakapan lain yang diperlukan. Secara lebih rinci Rosenberg 2001 mengkategorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-learning , yaitu: a. E-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning , sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut. b. E-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet . CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa digolongkan sebagai e-learning . Universitas Sumatera Utara c. E-learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradigma tradisional dalam pelatihan. Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-learning adalah pemanfaatan teknologi internet . E-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet . Oleh karena itu e-learning dapat digunakan dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam pendidikan konvensional fungsi e-learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco 2001 menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut: a. E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line . b. E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD- ROM, dan pelatihan berbasis komputer sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi. c. E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.

2.7.2 Kategori e-Learning

Seperti halnya definisi, pengkategorian e-learning pun tidak bisa dilakukan dengan mudah mengingat banyaknya pendapat akan aspek yang mendasari kategorisasi e- Universitas Sumatera Utara learning . Ada dua kategorisasi yang digunakan, yaitu tipe e-learning berdasarkan interaksi dengan sistem dan kategorisasi dengan framework 4-tier Model dari IBM.

2.7.2.1 Interaksi antara Sistem dan Manusia

Ditinjau dari segi interaksi antara sistem dengan manusia maka ada tiga kategori dasar dari e-learning , yaitu:

1. Synchronous Learning

Pada pembelajaran synchronous kondisinya mirip dengan pembelajaran konvensional hanya saja pada e-learning hal ini tidak ditandai dengan kehadiran secara fisik. Pada bentuk synchronous ini pendidik instruktur, peserta didik dan rekan-rekannya melakukan “pertemuan” secara online di internet . Melakukan proses belajar mengajar seolah sedang berada pada ruang fisik yang sama.

2. Self-directed Learning

Pada kategori ini peserta didik melakukan pembelajaran secara mandiri dengan mengakses berbagai referensi dan bahan belajar yang disediakan. Tidak ada instruktur ataupun waktu khusus untuk berdiskusi dengan sesama peserta didik. Masing-masing peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan kebutuhannya.

3. Asynchronous collaborative Learning

Kategori ini mengkombinasikan karakteristik dari kedua kategori sebelumnya. Peserta didik belajar secara mandiri namun tetap berkomunikasi dengan peserta didik lainnya Universitas Sumatera Utara maupun dengan pendidik walaupun tidak harus di waktu khusus. Penggunaan email, instant message Yahoo Messenger, Gtalk ataupun board pada forum dapat digunakan sebagai media komunikasi dan interaksi baik dengan pendidik maupun sesama peserta didik. Tidak ada bentuk yang sempurna karena ketiganya cocok untuk berbagai situasi yang berbeda. Tabel berikut ini akan menjelaskan secara lebih detail tentang karakteristik, kelebihan, dan kelemahan dari masing-masing kategori e-learning di atas. Tabel 2.3 Kategori Dasar e-learning No. Kategori Ciri Kelebihan Kelemahan 1 Synchronous Dipandu oleh instruktur Terjadwal Kolaboratif Familiar bagi peserta didik karena mirip dengan pembelajaran konvensional Adanya komunikasi antara peserta didik Keberadaan pendidik menjadikan proses belajar menjadi lebih terjamin Memerlukan waktu khusus Ada biaya untuk instruktur Memerlukan bandwidth dan kecepatan internet yang memadai dan setara untuk semua peserta didik. 2 Self-directed Peserta didik belajar secara mandiri Tidak terjadwal On demand proses belajar dapat dilakukan kapanpun Sesuai untuk peserta didik yang memiliki rasa ingin tahu besar dan aktif mencari sumber belajar Tidak adanya pendidik sebagai penjamin kualitas proses belajar Tidak cocok untuk peserta didik yang menyukai belajar secara berkelompok 3 Asynchronous Dipandu oleh instruktur Tidak terdjadwal sepenuhnya, Adanya instruktur dapat menjamin kualitas dari proses pembelajaran. Tidak mendukung komunikasi dengan cepat karena tidak adanya jadwal khusus Universitas Sumatera Utara sesama peserta didik dapat “bertemu” tetapi tidak dalam waktu yang sama. Kolaboratif Peserta didik dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya dan referensi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masih memungkinkan pembelajaran secara kolaboratif.

2.7.2.2 IBM 4-Tier Learning Model

IBM 4-Tier Learning Model adalah sebuah framework untuk penerapan e-learning di dalam sebuah organisasi. IBM sebagai salah satu perusahaan terbesar dan tertua pada bidang teknologi informasi menerapkan framework ini pada sistem pelatihan staf di internal perusahaan. Gambaran dari 4-Tier Learning Model dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.2 4-Tier Learning Model Framework ini berpedoman bahwa sistem e-learning membutuhkan berbagai pendekatan untuk situasi yang berbeda. Satu bentuk tidak akan selalu cocok untuk Universitas Sumatera Utara berbagai situasi. Pada dasarnya IBM 4-Tier Model adalah kategorisasi cara belajar yang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:

1. Learn from information

Pada tier ini seorang peserta didik belajar secara mandiri self-directed menggunakan berbagai bahan belajar yang sesuai untuk kebutuhannya. Tier ini sesuai untuk proses belajar mengajar yang peserta didiknya mampu melakukan konstruksi sendiri atas pengetahuan yang dipelajarinya tanpa bantuan dari sesama peserta didik maupun instruktur.

2. Learn from interaction

Pada tier ini peserta didik belajar secara mandiri dari berbagai bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda dengan tier sebelumnya, pada tier ini peserta didik juga berinteraksi secara aktif dengan bahan belajar tersebut. Tier ini lebih banyak diterapkan pada proses pembelajaran yang bersifat simulatif di mana peserta didik dituntut untuk selalu “berkomunikasi” dengan bahan belajar.

3. Learn from Collaboration

Pada tier ini peserta didik menggunakan e-learning secara bersama dan terhubung secara online dengan peserta didik lainnya serta instruktur via jaringan atau internet . Berbagai media yang bisa digunakan semacam chat room, email dan instant message digunakan sebagai alat berkomunikasi. Para peserta didik dapat “bertemu” pada waktu yang sama synchronous atau meninggalkan pesan dan topik pembicaraan pada Universitas Sumatera Utara berbagai forum diskusi online dan mendapatkan respon dari peserta didik yang lain atau instruktur beberapa saat kemudian.

4. Learn from Colocation

Tier ini sama dengan pembelajaran konvensional di mana peserta didik bertemu satu dengan lainnya pada waktu dan ruang kelas yang sama. Para pendesain IBM 4 Tier Model meyakini bahwa tier khusus untuk pembelajaran konvensional harus tetap ada. Hal ini didasari opini bahwa teknologi tidak akan pernah mengubah beberapa aspek pokok dari proses pembelajaran semacam pengalaman berdiskusi dengan sesama peserta didik dan pendidik, komunikasi non-verbal, dan adaptasi yang lebih mudah dengan pembelajaran konvensional. Untuk lebih memahami keempat tier tersebut dapat diamati pada gambar berikut ini: Mahasiswa Gambar 2.3 Learn from Information Mahasiswa Gambar 2.4 Learn from Interaction Universitas Sumatera Utara Mahasiswa Dosen Gambar 2.5 Learn from Collaboration Mahasiswa Dosen Gambar 2.6 Learn from Colocation Beberapa situasi proses belajar mungkin bisa dilakukan oleh diri sendiri. Sebaliknya proses belajar yang lain membutuhkan kerjasama antar peserta didik terutama dalam berdiskusi mencari solusi dari suatu permasalahan. Karakteristik lain adalah kadangkala diperlukan kombinasi antar e-learning dengan berbagai bentuk pembelajaran konvensional, hal inilah yang dikenal sebagai blended learning Wahono,2007.

2.7.3 Membangun e-Learning

Menurut Henderson ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membangun sebuah sistem e-learning : 1. Menentukan Tujuan dari Sistem e-learning Pada tahap ini pengembang sistem harus menentukan apa yang ingin dicapai dengan adanya e-learning tersebut. Tahap ini biasanya dengan mudah dilupakan akibat antusiasme berlebihan dari pengembang sistem e-learning . Universitas Sumatera Utara Pada akhirnya e-learning tersebut tidak akan sesuai dengan kebutuhan calon pengguna dan tidak memberikan hasil yang diharapkan. 2. Memulai Sistem dalam Skala Kecil Beberapa pengembang memilih untuk memulai sistem e-learning langsung pada skala besar. Hal ini kurang baik ditinjau dari segi manajemen resiko karena proyek dalam skala besar juga memiliki resiko kegagalan yang besar pula. Sebaiknya e-learning dimulai terlebih dahulu pada sebuah unit yang kecil dan dievaluasi sepenuhnya terlebih dahulu untuk menjadi model bagi sistem dalam skala yang lebih besar. 3. Mengkomunikasikan dengan Peserta Didik Menerapkan sebuah sistem baru akan memberikan tingkat keberhasilan lebih baik apabila sasaran dari sistem tersebut memahami dengan baik sistem tersebut. Demikian pula dengan e-learning , apabila peserta didik memahami tentang sistem yang dibangun dan dikembangkan maka mereka dapat turut memberikan bantuan untuk mencapai tujuan e-learning tersebut. Didasari alasan tersebut maka pengembang sistem e-learning seharusnya selalu mengkomunikasikan sistem yang sedang coba dibangun kepada peserta didik. 4. Melakukan Evaluasi secara Kontinyu Evaluasi terhadap sistem dan segenap aspeknya perlu dilakukan secara terus menerus untuk menjamin keberhasilan penerapan e-learning . Membandingkan hasil belajar peserta didik dengan pembelajaran secara konvensional dapat memberikan justifikasi apakah sistem e-learning yang dikembangkan memenuhi standar keberhasilan proses pembelajaran atau tidak. Universitas Sumatera Utara 5. Mengembangkan sistem dalam skala lebih besar Setelah sistem mencapai keberhasilan dalam skala kecil maka selanjutnya adalah mengembangkan sistem dalam skala lebih besar. Menambah jumlah peserta didik, mata pelajaran, model evaluasi dan berbagai aspek pembelajaran lainnya dapat dilakukan dengan mengacu model dari skala yang lebih kecil yang telah dikembangkan sebelumnya. Seperti tampak pada gambar berikut ini: Gambar 2.7 Memulai Sistem dari Skala Kecil dan Memperluasnya Secara Bertahap

2.7.4 Keterbatasan dan Keuntungan e-Learning

2.7.4.1 Keterbatasan

1. Budaya

Penggunaan e-learning menuntut budaya self learning , di mana seseorang memotivasi diri sendiri agar mau belajar. Sebaliknya, pada sebagian besar budaya pelatihan di Indonesia, motivasi belajar lebih banyak tergantung pada pengajar. Apabila pengajarnya terasa cocok dan menyenangkan, motivasi pelajar bertambah, begitu pula Universitas Sumatera Utara sebaliknya. Budaya dan kebiasaan pengguna teknologi pelajar pun berbeda-beda. Apabila mereka tidak terbiasa menggunakan komputer, implementasi e-learning akan memakan waktu lebih lama. Effendi dan Zhuang, 2005, hal:15

2. Teknologi

Karena teknologi yang digunakan beragam, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak sejalan dengan yang sudah ada dan terjadi konflik teknologi sehingga e-learning tidak berjalan baik. Sebagai contoh, ada beberapa paket pelajaran e-learning yang hanya dapat dijalankan di browser Explorer . Oleh karena itu, kompatibilitas teknologi yang digunakan harus diteliti sebelum memutuskan menggunakan suatu paket e-learning . Effendi dan Zhuang, 2005, hal:16

3. Infrastruktur

Internet belum menjangkau semua kota di Indonesia. Layanan broadband baru ada di kota-kota besar. Akibatnya, belum semua orang atau wilayah belum dapat merasakan e-learning dengan internet . Effendi dan Zhuang, 2005, hal:16

2.7.4.2 Keuntungan

1. Lebih mudah mendapatkan materi atau informasi. 2. Bisa mendapatkan materi yang lebih banyak. 3. Pembelajaran lebih efektif dan efisien waktu. 4. Dapat mengetahui materi lebih awal. 5. Melatih mahasiswa lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Universitas Sumatera Utara BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

3.1 Analisis Sistem