BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan, mulai sejak masa kehamilan, bayi dan anak balita, pra-sekolah, anak Sekolah Dasar SD, remaja dan
dewasa sampai usia lanjut. Anak SD perlu diperhatikan dengan baik karena disamping jumlahnya banyak yaitu sekitar 30 dari jumlah penduduk, program gizi
pada kelompok ini berdampak luas tidak saja pada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan masa kini, tetapi juga yang secara langsung mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia di masa datang Direktorat Gizi Masyarakat, 2005. Anak-anak usia SD berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan sangat
aktif, oleh karena itu mereka membutuhkan makanan yang memenuhi kandungan gizi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa peran gizi terhadap peningkatan fisik, mental, dan intelektual cukup kuat, namun dari beberapa data penelitian mengenai keadaan gizi anak sekolah
menunjukkan angka gangguan pertumbuhan yang cukup tinggi. Data sejumlah provinsi di Indonesia menunjukkan masalah gizi kurang pada anak sekolah masih
memprihatinkan Pari, 2001. Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak-anak sekolah baik
di kota maupun pedesaan di Indonesia, didapatkan kenyataan bahwa pada umumnya berat dan tinggi badan rata-rata anak SD berada di bawah ukuran normal. Tidak
jarang pula pada anak SD ditemukan tanda-tanda penyakit gangguan gizi, baik dalam bentuk ringan maupun berat Moehji, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data Departemen kesehatan, kurang lebih 28,04 anak Indonesia mengalami ketidakcukupan gizi, termasuk diantaranya anak-anak di kota besar. Hasil
Survei Kesehatan Nasional Surkesnas 2004, gizi baik pada anak usia sekolah dan remaja umur 5-17 tahun sebesar 74 , gizi kurang 18 dan gizi lebih sebesar 8 .
Prevalensi gizi kurang paling tinggi pada anak usia sekolah dasar, yaitu sebesar 21 Anonimous, 2008. Lebih dari sepertiga 36,1 anak Indonesia juga tergolong
pendek ketika memasuki usia sekolah. Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan
dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan kurang memadainya pelayanan dan kesehatan lingkungan Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut, 2007.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia. Pada tahun 1996, untuk mengatasi gizi kurang pada anak-anak
sekolah di daerah miskin dan terpencil diselenggarakan Program Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah PMT-AS. Melalui program ini siswa-siswi SD
memperoleh makanan tambahan minimal 3 kali dalam seminggu. Tiap porsi makanan harus mengandung minimal 300 kalori Moehji, 2003. Bentuk dan jenis makanan
yang disajikan tidak berupa makanan lengkap seperti nasi dan lauk pauknya, tetapi berupa makanan jajanan atau makanan kecil dengan tetap memperhatikan aspek mutu
dan keamanan pangan. Anak-anak umumnya sudah dapat memilih dan menentukan makanan apa
yang disukai dan mana yang tidak, serta pada usia ini anak-anak gemar sekali jajan. Jajan yang mereka beli sudah tentu adalah makanan yang mereka senangi saja. Jika
Universitas Sumatera Utara
jajanan yang dipilih kurang nilai gizinya seperti es dan gula-gula maka dapat memengaruhi keadaan gizi anak Moehji, 2003.
Makanan jajanan umumnya digemari anak sekolah dan diperkirakan meningkat mengingat semakin terbatasnya anggota keluarga mengolah makanan
sendiri, disamping karena faktor lain seperti karena makanan jajanan itu praktis, murah serta cita rasa yang lebih menarik, dan juga karena jajan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat itu sendiri Judarwanto, 2008. Data pembelian makanan dan minuman jadi berdasarkan Survei Sosial
Ekonomi Nasional SUSENAS yang dikumpulkan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik di seluruh Indonesia memperlihatkan selama tahun 1999-2004 sekitar 80
rumah tangga di Indonesia mengaku jajan membeli makanan dan minuman jadi. Selama kurun waktu itu persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk
jajan meningkat dari 10,9 pada tahun 1999 menjadi 12,4 pada tahun 2004 Suleeman, 2006.
Jajan bagi anak sekolah merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah karena memiliki peran sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan energi sebab
aktivitas fisik di sekolah yang tinggi apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi, pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan kebiasaan
penganekaragaman pangan sejak kecil dan memberikan perasaan meningkatnya gengsi anak di mata teman-temannya di sekolah Khomsan, 2003. Makanan jajanan
menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36, protein 29 dan zat besi 52 Judarwanto, 2008. Hasil penelitian Wahyu Nuryati 2005, makanan
jajanan di sekolah memberikan sumbangan 12,14 terhadap rata-rata asupan energi
Universitas Sumatera Utara
dalam total makanan yang dikonsumsi sehari pada murid golongan umur 7-9 tahun dan 10,53 pada murid laki-laki dan 9,60 pada murid perempuan golongan umur
10-12 tahun. Akan tetapi, jajan juga memiliki aspek negatif seperti nafsu makan menurun,
kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin dan makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit Irianto, 2007. Keamanan
makanan jajanan juga masih diragukan sebab sangat beresiko terhadap cemaran biologis maupun kimia yang dapat mengganggu kesehatan. Penelitian Badan
Pengawasan Obat dan Makanan BPOM pada tahun 2003 yang dilakukan terhadap 9.465 sampel jajanan sekolah, ternyata hasilnya 80 dari semua jajanan yang diteliti
mengandung bahan-bahan yang membahayakan kesehatan, seperti formalin, boraks, natrium siklamat, rhodamin B, dan sakarin Siswono, 2005.
Umumnya anak-anak SD jajan pada waktu istirahat sekolah karena pada saat itu perut sudah terasa lapar. Kebiasaan jajan pada anak sekolah dikarenakan anak
mendapat uang saku dari orang tua, disamping juga karena dorongan rangsangan dari dalam seperti rasa lapar dan rangsangan dari luar seperti bujukan teman dan para
pedagang makanan jajanan. Hasil penelitian Ernita Ginting 2007, seluruh murid SD yang menjadi sampel mengaku bahwa mereka jajan setiap hari di sekolah dengan
frekuensi membeli makanan jajanan umumnya dua kali dan alasan mereka jajan adalah karena lapar, kepingin, diajak teman, maupun karena iseng.
Survei awal penelitian yang dilakukan pada murid kelas IV, V dan VI SD Negeri no. 060822 kecamatan Medan Area didapatkan bahwa seluruh murid mengaku
mendapat uang saku setiap harinya sehingga mereka pasti membeli jajanan di sekolah
Universitas Sumatera Utara
setiap hari pada jam istirahat. Makanan jajanan yang dapat mereka beli beraneka ragam sebab selain pedagang kantin sekolah, ada 7 pedagang yang berjualan di luar
pagar sekolah. Adapun makanan jajanan yang dijual di kantin maupun di sekitar lingkungan sekolah antara lain nasi goreng, miesop, mie goreng, gorengan, donat,
kue, keripik, jambu biji, es, chiki-chiki, bakso, sosis, nuget, sate, opak, molen, roti bakar, burger, dan lain-lain. Banyaknya jenis jajanan yang dijajakan di lingkungan
sekolah tersebut memungkinkan sumbangan energi yang cukup besar bagi anak sekolah dari makanan jajanannya. Dalam hal kesehatan, jika dilihat secara visual,
sebagian murid secara fisik kelihatan kurus dan kecil dan menurut informasi pihak sekolah, penjaringan kesehatan juga tidak dilakukan secara teratur rutin.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui kecukupan energi dan protein anak SD serta sumbangan energi dan protein dari
makanan jajanan.
1.2. Perumusan Masalah