Kerangka Teori Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara pribadi dengan melihat perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya pada permasalahan pembentukan suatu peraturan daerah. Tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain. Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai pembentukan peraturan daerah dikaitkan dengan peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara , belum pernah dilakukan. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Karena itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”. 70 Tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 71 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 72 Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya. 73 Menurut teori jenjang norma hukum stufentheorie, Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada 70 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia, 1982, hal. 37. 71 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983, hal. 42. 72 Ibid. 73 Ibid. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 norma yang lebih tinggi superior dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya inferior. 74 Adolf Merkl mengembangkan stufentheorie dengan mengemukakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah das Doppelte Rechtsantlitz dimasa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum itu mempunyai masa berlaku rechtskraht yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang di atasnya itu dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. 75 Hans Nawiasky salah seorang murid Hans Kelsen berpendapat, selain norma hukum berlapis dan berjenjang, norma hukum dalam suatu negara juga berkelompok-kelompok. 76 Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : Kelompok I : Staatsfundamentalnorm norma Fundamental Negara Kelompok II : Staatsgrundgesetz Aturan DasarPokok Negara Kelompok III : Formell Gesetz Undang-Undang ’Formal’ Kelompok IV: Verordnung Autonome Satzung Aturan Pelaksana Aturan Otonom 77 Istilah Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonegoro dalam pidatonya pada acara Dies natalis Universitas Airlangga 10 Nopember 1955 dengan ’Pokok Kaidah Fundamentil Negara’, 78 Kemudian Joeniarto, disebut dengan istilah 74 Hans Kelsen, General Theory of Law and State,New York : Russell Russel, 1945, hal, 113 75 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 26 76 Ibid, hal. 27 77 Ibid,sebagaimana dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als Syatem lichen Grundbegriffe, EinsiedenlnZurichKoln, Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31. 78 Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila, cet. 7, Jakarta: Bina Aksara, 1988 hal. 27. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 ’Norma Pertama’, 79 sedangkan oleh A. Hamid S. Attamimi disebut dengan istilah ’Norma Fundamental Negara’. 80 Aturan dasar atau aturan pokok negara ini merupakan landasan bagi pembentukan Undang-undang Formell Gesetz dan peraturan yang lebih rendah, 81 seperti peraturan pelaksana dan peraturan otonom Verordnung Autonome Satzung yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya. 82 Aturan dasar atau aturan pokok negara Indonesia tertuang dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang sering disebut konvensi ketatanegaraan dan peraturan pelaksana dan peraturan otonom Verordnung Autonome Satzung yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya. Tesis ini didasarkan pada teori jenjang norma hukum stufentheorie bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi superior dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya inferior, karena dalam pembentukan Peraturan Daerah Perda didasarkan pada asas bahwa 79 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, Jakarta : Bina Aksara, 1982 hal. 6. 80 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah negara” studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I Pelita VI, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta,1990, hal.359. 81 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 30. 82 Ibid, hal. 39. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau hirarki perundang-undangan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang bertentangan dengan kepentingan umum danatau Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasanUmum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain. Sebagai salah satu sumber hukum dalam hirarki perundang-undangan Indonesia 83 Pasal 136 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa 83 Sebagaimana Pasal 7 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan Jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah. 84 Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 85 Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah 86 dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat 87 UU No. 32 tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara Pemerintah daerah dan DPRD membentuk kebijakan publik yang menentukan. 88 Kesemua hal yang berkaitan dengan itu pembentukan Peraturan Daerah berlangsung dalam proses perundang-undangan. 89 Tentang proses perundang- undangan M. Solly Lubis 90 menyebutkan sebagai proses pembuatan peraturan negara. Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan rancangan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. Proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya. 91 Maka peraturan perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah 84 Pasal 140 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 85 Pasal 136 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 86 Rozali Abdullah, op. cit hal 131. 87 ibid , hal. 133 88 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 232. 89 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada,1996, hal.185. 90 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: PT Alumni, 1983, hal 13. 91 Faried Ali, Op. cit. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 produk atau hasil dari kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. Peraturan perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari kegiatan perundang-undangan. 92 Selanjutnya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merumuskan pengertiannya, yakni proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Sedang Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dari defenisi pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pendapat beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Pembentukan Peraturan Daerah adalah: 1. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan; 2. Dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan; 3. Dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 92 M Solly Lubis, ”Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi sebagai pelaksanaan Hak politik”, dilaksanakan oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 2 Mei 2007. hal. 2. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 Secara politik, kedudukan Peraturan Daerah tidak lain merupakan produk hukum lembaga legislatif daerah. 93 Peraturan Daerah sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. 94 Pemerintah, termasuk Pemerintah daerah, dalam merumuskan suatu kebijakan kadangkala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung mengumpulkan berbagai preferensi daripada untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari satu atau sektor lain. 95 Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya, sehingga penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan. 96 Tentu saja tidak diinginkan adanya Perda yang menunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya, 97 yang akan mengakibatkan Perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh politik. Asas keterbukaan perlu diperhatikan dalam pembentukannya, artinya dalam dalam penyusunan prolegda sebagai tahap perencanaan, pembentukan Peraturan 93 Ni’matul Huda, Op cit. hal 238-239 94 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta : LP3ES, 2001, hal. 9. 95 Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005,hal. 263. 96 Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, Jakarta : Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1997, hal. 10. 97 Mulyana W. Kusumah, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,Jakarta : Rajawali, 1986, hal. 29 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan kesempatan berpatisipasi dalam penyusunan prolegda agar prolegda benar-benar aspiratif. 98 Penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja dengan instansi lain yang terkait. sebagaimana arahan Presiden pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2006 yang menyatakan, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Peraturan Daerah itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi. 99 Upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan termasuk Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, sehingga tersusun secara sistematis dan tidak tumpang tindih perlu melibatkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. 100 Dengan landasan teori yang dikemukakan diatas, maka analisa dan pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini akan terjawab dengan baik secara 98 Lihat Pasal 5 huruf g dan Penjelasan UU No. 10 tahun 2004. 99 Dikutip dari Arahan Presiden pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2006. 100 Lihat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.341586SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008 teoritis maupun secara praktis sebagaimana terjadi dalam praktek hukum di bidang Pembentukan Perda.

2. Konsepsi