Teori lempeng Teori laju

Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatografi erat hubungannya dengan efisiensi kolom. Pada efisiensi kolom terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai pemisahan puncak pada kromatografi, yaitu :

a. Teori lempeng

Dalam teori lempeng dinyatakan bahwa kolom kromatografi digambarkan sebagai suatu seri lapisan tipis horizontal yang disebut lempeng teoritis. Setiap molekul analit akan mengalami keseimbangan antara fase diam dan fase gerak. Pemisahan akan lebih baik jika terjadi keseimbangan berkali- kali dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi jika jumlah lempeng teoritis juga tinggi. Oleh karena itu jumlah teoritis dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kolom Noegrohati, 1994. Hubungan antara waktu retensi t R , lebar alas peak W, dan jumlah lempeng teoritik N dapat dinyatakan dengan persamaan Johnson dan Stevenson, 1978; Munson, 1984: 2 2 54 , 5 16 ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = h R R w t w t N 6 Bilangan lempeng teoritik N berbanding lurus dengan panjang kolom L. Karena panjang kolom yang bermacam-macam, maka diperlukan ukuran keefisienan kolom yang tidak tergantung pada panjang kolom. HETP Height Equivalent to a Theoritical Plate atau H merupakan ukuran keefesienan kolom yang lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang panjangnya berlainan, yang dapat diukur dengan persamaan Munson, 1984: H = HETP = N L 7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

b. Teori laju

Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variable-variabel lain yang menyebabkan terjadinya pelebaran peak, oleh karena itu perlu diketahui teori laju. Pada waktu migrasi, solut mengalami transfer antara fase diam dan fase gerak berkali-kali. Karena solut hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak, migrasi di dalam kolom juga tidak teratur, dan mengakibatkan laju rata- rata solut relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaran peak solut Noegrohati, 1994. Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan Van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut Willard et al., 1988: μ μ μ . . mobile stasionary C C B A H + + + = atau, 8 μ π μ γ λ Dcairan k df k D dp H 2 2 2 1 8 2 2 + + + = 9 Dimana λ = tetapan ukuran ketidakteraturan kemasan dp = diameter rata-rata partikel penyangga D = kedifusian linarut dalam fase gerak k’ = faktor kapasitas μ = kecepatan alir γ = faktor koreksi kelikuan saluran dalam kolom Dari persamaan diatas dapat dilihat terdapat tiga varibel yang mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1 Difusi Eddy , yang dinyatakan sebagai A 2 λdp. Difusi Eddy menggambarkan ketidakhomogenannya kecepatan alir dan panjang lintasan di sekitar partikel yang terpack-ing Gambar 8. Lintasan alir yang tidak sama pasti ditemukan dalam setiap kolom terpack-ing. Suatu molekul solut dapat melewati kolom dekat dinding kolom di mana kerapatan kolom rendah dengan cepat mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil. Sedangkan suatu molekul solut yang melewati bagian tengah kolom, akan mencapai akhir kolom lebih lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom berbeda- beda. Untuk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin. Gambar 9. Difusi Eddy Willard et al., 1988 2 Difusi longitudinal. Nilai B 2 γDμ menyatakan efek dari difusi longitudinal, pergerakan acak dari molekul dalam fase gerak. Pengaruh dari difusi longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada kecepatan fase gerak yang rendahlambat. Kecepatan difusi dari solut yang tinggi pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispers secara aksial sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Transfer massa. Transfer massa dinyatakan dengan nilai C stasionery dan C mobile . C stationary merupakan hasil dari ditahannya solut karena adanya fase diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer tidak terlalu kental. Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 10. Tranfer massa fase diam Willard et al., 1988 C mobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solut dalam fase diam bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut Willard et al., 1988 : Gambar 11. Transfer massa fase gerak Willard et al., 1988 Pada analisis secara KCKT, kondisi percobaan yang menghasilkan puncak yang simetris selalu lebih disukai, karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan pengukuran bilangan lempeng teoritik dan faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak- puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak, serta waktu retensi yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor As, yang diukur pada 10 tinggi puncak. Puncak yang simetri memiliki nilai As sama dengan 1, sedangkan puncak dengan nilai As pada rentang 0,95-1,1 masih dikatakan baik. Parameter lain yang dapat digunakan yaitu peak tailing factor, yang diukur pada 5 tinggi puncak Snyder et al., 1997. Gambar 12. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factors Snyder et al., 1997 Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing dan leading dapat dilihat sebagai berikut : Gambar 13. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam Kuwana, 1980 Gugus silanol yang tidak bereaksi karena adanya halangan sterik dapat memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pengekoran pada puncak kromatogram. Untuk mengurangi jumlah gugus silanol yang masih bebas, reaksi dilanjutkan dengan penambahan trimetilklorosilan yang dapat mencapai gugus silanol karena ukurannya yang lebih kecil dibanding organoklorosilan lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi banyak gugus silanol yang masih bebas, namun tidak semua gugus tersebut dapat tertutupi Skoog et al., 1998. Puncak kromatogram yang tidak simetri tailing dan leading sering dijumpai bila konsentrasi solut dalam fase gerak terlalu besar. Senyawa-senyawa polar juga berpotensi menimbulkan tailing apabila masih terdapat residu gugus silanol pada fase diam. Penyebab tailing yang lain yaitu ketidaksesuian antara solut dan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam, dan faktor yang terjadi di luar kolom, seperti injektor Noegrohati, 1994.

5. Analisis kualitatif dan kuantitatif