Apabila mengikuti pengelompokan tema oleh Waluyo 1991:106-107, puisi ini bertemakan kritik terhadap dunia pendidikan. W. S. Rendra menciptakan
puisi “Seonggok Jagung” tersebut pada tahun 1975. Jika menilik kenyataan sejarah, pada tahun 1974 terjadi peristiwa malari malapetaka 15 Januari. Saat itu
timbul kritik yang keras terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing. Rendra termasuk penyair yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya
industrialisasi akan mengakibatkan rakyat jelata semakin miskin. Ia bersikap terlalu pesimistis terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing, sehingga
kritik yang dikemukakan begitu keras Waluyo, 1987:32. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa secara tidak lagsung penyair mau mengungkapkan
ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini, masalah pendidikan belum teratasi walaupun zaman telah berganti.
4.3.2 Perasaan feeling
Bila kita mencermati perasaan penyair da lam puisi “Seonggok Jagung”,
akan terlihat bahwa penyair sangat prihatin dengan kondisi pendidikan bangsa kita. Keprihatinan penyair tidak disampaikan secara sabar, tetapi penyair
menyampaikan dengan perasaan geram. Perasaan geram itu ditunjukkan penyair karena penyair merasa ketidakadilan sudah begitu merajalela, khususnya
ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Penyair menunjukkan perasaannya tersebut terhadap dunia pendidikan melalui puisi yang diciptakannya dan
mengharapkan masalah pendidikan itu dapat diatasi. Namun, melalui puisinya,
Rendra tidak memberikan jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah pendidikan.
Perasaan penyair yang menunjukkan rasa geramnya terhadap masalah pendidikan, dapat dilihat dari penggunaan kata-kata yang terdapat pada bait
kelima dan bait kedelapan: Bait ke lima
Seonggok jagung di kamar dan seorang seorang pemuda tammat S.L.A.
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Bait ke delapan Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibu kota.
Penggunaan kata-kata tersebut oleh penyair, menggambarkan kurang ada relevansi pendidikan dengan pekerjaan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat
bukan hanya membutuhkan orang yang pandai, tetapi manusia yang peduli dengan keaadaan masyarakat. Penyair merasa ada yang kurang dalam dunia pendidikan
sehingga memperlihatkan bahwa penyair tidak suka dengan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.
4.3.3 Nada dan Suasana
Seorang penyair dalam menulis puisi mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau