Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Singkong Manihot esculenta dikenal masyarakat dengan nama lain ketela pohon. Tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan, tumbuh subur di daerah sub tropis dan tropis. Masyarakat Indonesia telah mengenal tanaman ini sebagai salah satu sumber pangan dan pakan ternak. Daerah budidaya singkong yang cukup besar di Indonesia adalah Lampung dan Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data BPS Badan Pusat Statistik, produksi singkong Indonesia pada tahun 2015 adalah 21,8 juta ton. Tingginya produksi singkong ini sebanding dengan pemanfaatannya sebagai bahan makanan. Bagian yang biasa dimanfaatkan yaitu bagian daging umbi dan daun. Umbi singkong telah banyak diolah menjadi aneka produk antara lain; tepung singkong, tepung tapioka, tepung mocaf, bioetanol, sorbitol, gula cair, monosodium glutamat, tiwul dan berbagai produk pangan lainnya sedangkan daun singkong digunakan sebagai bahan dasar sayuran. Industri pengolahan umbi singkong menjadi tepung tapioka di Indonesia pada umumnya tidak menggunakan sistem yang tepat dalam mengolah limbah sehingga menyebabkan berbagai permasalahan bagi lingkungan sekitar. Menurut penuturan warga Dusun Tulung, Pundong, Bantul, limbah cair yang dihasilkan pada proses pengendapan pati yang dapat menyebabkan aroma tidak sedap dan berbagai sumber penyakit seperti gatal- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI gatal apabila tersentuh oleh kulit secara langsung. Air sisa pengendapan pati mempunyai potensi menjadi bahan baku pangan karena kandungan karbohidrat tinggi sekitar 68 Naufalin, 2002. Salah satu alternatif pemanfaatan limbah cair tepung tapioka adalah mengolah menjadi nata yang disebut nata de cassava. Ketersediaan limbah cair tapioka sebagai bahan pembuat nata melimpah dan mudah didapat. Berdasarkan pengamatan di salah satu pembuat pati tapioka yang terletak di Dusun Nangsri, Pundong, Bantul, untuk memproduksi pati tapioka dari 2 kuintal singkong akan menghasilkan limbah cair sebanyak 300 liter. Di Pundong, terdapat sekitar 120 pembuat pati tapioka dengan kapasitas produksi sekitar 4 kuintal singkong dalam sebuah industri rumah tangga sehingga dihasilkan jumlah limbah cair sebanyak 72.000 liter. Nata de cassava merupakan inovasi baru produk makanan berserat yang bersaing dalam industri makanan di Indonesia. Nata de cassava merupakan jenis makanan terdiri dari selulosa dietary fiber yang dihasilkan dari limbah cair tepung tapioka melalui proses fermentasi yang melibatkan bakteri A. xylinum. Karakteristik nata pada umumnya berwarna putih, kenyal dan transparan dengan bentuk padat. Nata dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan fungsional untuk keperluan diet, memperbaiki proses pencernaan karena sebagai sumber serat yang baik dan berfungsi untuk mengatasi kelebihan kolesterol. Umumnya, nata yang sering dijumpai di pasaran adalah nata de coco yaitu nata dengan bahan dasar air kelapa. Air kelapa berfungsi sebagai media pertumbuhan bakteri A. xylinum karena nutrisinya lengkap dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan sebagai media dalam pembuatan nata sama seperti air kelapa karena mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi. Proses fermentasi nata melibatkan aktivitas bakteri A. xylinum yang membutuhkan nutrisi meliputi jumlah karbon dan nitrogen dalam proses pertumbuhannya. Nutrisi tersebut tidak cukup hanya berasal dari media yang digunakan. Salah satu nutrisi yang penting dalam proses metabolisme bakteri adalah sumber nitrogen yang ditambahkan dalam media fermentasi. Sumber nitrogen yang digunakan umumnya berasal dari urea atau ZA dikarenakan harganya yang murah. Namun sumber nitrogen ini bukan merupakan bahan makanan alami. Penggunaan sumber nitrogen dari pupuk urea tidak membahayakan bagi kesehatan karena jumlah yang digunakan sedikit dan habis terpakai oleh bakteri dalam proses metabolisme. Namun, masyarakat sudah mempunyai pola pikir yang beralih menggunakan bahan alami sehingga terdapat kekhawatiran tidak aman jika mengkonsumsi nata yang menggunakan sumber nitrogen anorganik dari urea. Oleh karena itu, penggunaan sumber nitrogen anorganik perlu diganti sumber nitrogen organik yang salah satunya berasal dari sari kecambah kacang hijau. Menurut Triyono et al. 2010 kacang hijau Phaseolus radiatus memiliki kandungan protein berkisar antara 20-35 . Saat berkecambah kandungan protein tauge kacang hijau akan meningkat dibandingkan kandungan awal pada biji yang disebabkan sintesa protein menjadi asam amino. Selama proses perkecambahan sehingga sangat berpeluang digunakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebagai sumber nitrogen alami yang baik dalam pembuatan nata Ernawati, 2012. Menurut Melina 2016 dalam penelitiannya menerangkan bahwa penggunaan jus kecambah kacang hijau berpengaruh terhadap ketebalan dan rendemen nata de besusu. Nutrisi lain yang digunakan untuk perkembangan bakteri A. xylinum adalah sumber karbon. Dalam proses pembuatan nata biasanya digunakan gula tebu sebagai sumber karbonnya. Namun harga gula tebu di Indonesia lumayan tinggi yaitu Rp12.000,00kg sehingga membuat biaya produksi pada industri penghasil nata meningkat. Oleh karena itu diperlukan alternatif sumber karbon yang lain untuk mengatasi ketergantungan pemakaian gula tebu. Penggunaan molase sebagai sumber karbon merupakan salah satu alternatif pengganti gula pasir. Pada industri pembuatan gula tebu, proses pemutihan gula akan menghasilkan produk sampingan berupa cairan kental berwarna cokelat yang disebut molase. Molase umumnya belum banyak dimanfaatkan sehingga hanya dibuang dalam bentuk limbah. Salah satu contoh pemanfaatan molase adalah sebagai bahan baku dalam industri fermentasi alkohol. Menurut Simanjuntak 2009, molase mempunyai total gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 40-55. Menurut Tjandra 2001, dalam molase juga terkandung sejumlah mineral dan vitamin yang dapat berperan sebagai koenzim yang diperlukan untuk mengontrol kerja enzim ekstraseluler dari bakteri A. xylinum. Kelebihan pemanfaatan molase sebagai sumber karbon adalah lebih ekonomis dan bahan yang melimpah ketersediaannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Irdawati et al. 2013, konsentrasi molase memberikan pengaruh paling nyata terhadap ketebalan nata pada teh kombucha sehingga menjadi dasar penggunaan molase pada penelitian ini. Perbedaan penelitian ini dibanding penelitian yang dilakukan oleh Irdawati et al. 2013 adalah mengenai variabel terikat dan bahan dasar yang digunakan. Variabel terikat dalam penelitian ini selain ketebalan nata adalah rendemen dan terdapat uji organoleptik untuk melihat tanggapan panelis mengenai nata yang dihasilkan. Pada penelitian ini menggunakan bahan dasar limbah cair tapioka sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Irdawati et al. 2013 menggunakan teh kombucha sebagai bahan dasar pembuatan nata. Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan molase sebagai sumber karbon adalah bakteri A. xylinum tidak dapat tumbuh pada media dengan total gula lebih dari 40 sedangkan molase mempunyai total gula 40-55 Tjandra, 2001. Total gula ini belum termasuk total gula yang terdapat dalam limbah cair tepung tapioka yang merupakan media pertumbuhan bakteri. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut perlu diketahui berapa konsentrasi molase supaya menghasilkan karakteristik nata de cassava yang baik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Variasi Konsentrasi Molase Terhadap Produktivitas dan Karakteristik Nata de cassava Dengan Kecambah Sebagai Sumber Nitrogen.

B. Rumusan Masalah