LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ikatan pernikahan merupakan suatu bentuk status dimana dua individu bersatu yaitu wanita dan pria yang secara legal dapat hidup bersama dan membentuk keluarga. Mereka terikat secara emosional dan harus membagi segala sesuatu bersama dalam kesulitan maupun kebahagiaan. Semua pasangan suami istri berharap bahwa hubungan pernikahan mereka akan berjalan langgeng. Hal ini tidak dapat berjalan semestinya jika salah satu dari pasangan mereka meninggal dunia. Usia dewasa madya atau paruh baya dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Menurut Rollins dalam Santrock, 2002 pada masa pernikahan dewasa madya, yang sulit dan penuh hambatan akan menjadi lebih baik karena sudah mengalami penyesuaian. Meskipun pasangan mengalami berbagai hambatan dan gejolak dalam hubungan pernikahan tetapi mereka menemukan landasan yang kuat untuk hubungan pernikahan yang kokoh Santrock, 2002. Saat anak-anak mulai tumbuh dewasa dan semakin banyak waktu untuk melakukan aktifitas bersama anak-anak akan mempererat hubungan pernikahan. Apabila salah satu dari pasangan hidup meninggal, maka hal ini akan menimbulkan perubahan dalam hidup karena saat pernikahan sedang berjalan harmonis dan hubungan emosional pun semakin terjalin dengan baik namun tiba- tiba pasangan lainnya meninggal dunia.Perubahan dalah hidup yang ditimbulkan dapat memicu stress pada orang dewasa dan hal ini menjadi masalah dalam kehidupan orang dewasa. Menurut Hurlock 1990 ada empat penyebab stress pada usia dewasa madya salah satunya adalah stress psikologis karena kematian suami atau istri. Dalam skala stress yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe dalam, Gunarsa, 2004 kematian pasangan hidup merupakan stress dengan nilai tertinggi. Penyebab stress umumnya dikarenakan mereka biasa melakukan kegiatan bersama, membagi segala hal bersama dan ketika pasangan hidup meninggal mereka harus menyesuaikan diri dengan mengurus segala sesuatu secara mandiri. Lopata dalam Lee DeMaris, 2007 menyebutkan, kehilangan pasangan lebih banyak dialami oleh wanita. Hal ini dikarenakan wanita mempunyai harapan hidup yang lebih lama daripada pria, dan wanita cenderung menikahi pria yang lebih tua dari dirinya. Beberapa peneliti mengatakan bahwa kecil kemungkinan bagi janda untuk menikah lagi, oleh karena itu janda lebih merasakan kesepian daripada duda Lemme, 1995. Menurut Troll dalam Lemme, 1995 duda menganggap istri sebagai teman baik mereka. Istri adalah pengatur kehidupan dan penghubung untuk keluarga. Ketika istri meninggal, hal tersebut membuat ikatan yang telah dibangun menjadi terputus. Berardo menjelaskan dalam Lemme, 1995 duda mengalami isolasi sosial dan kesedihan yang mendalam. Seperti yang diungkapkan oleh Vinick dalam Lemme, 1995 duda mengalami kesulitan untuk hidup sendiri dan memiliki kebutuhan untuk persahabatan, hal ini menjadikan duda menikah kembali. Troll menjelaskan dalam Lemme, 1995 bahwa stress yang disebabkan karena kematian pasangan sebagian besar dialami oleh wanita. Hal itu dikarenakan wanita kehilangan pendapatan yang didapat dari suami, dan juga karena wanita memiliki kapasitas yang terbatas untuk menghasilkan. Masalah bertambah jika status ekonomi rendah. Wanita yang tadinya tidak bekerja, harus meringankan beban keluarga karena tidak ada lagi suami sebagai pencari nafkah. Wanita harus membiayai kebutuhan sehari-hari dan juga biaya untuk anak-anak. Selain itu, wanita memiliki peran ganda sebagai ayah, ibu dan juga pencari nafkah untuk meringankan beban keluarga. Menurut Lemme 1995 bereavement adalah pengalaman kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian. Sesuatu hal yang penting di lepaskan atau di rampas oleh kematian. Grief adalah derita emosional yang disebabkan oleh kehilangan, menyebabkan stress secara fisik dan psikologis. Hal ini adalah respon yang normal dan natural. Pengalaman yang dapat menyebabkan kesusahan yang mendalam. Menurut Freud dalam Lemme, 1995, grief adalah individu menyelesaikan proses secara berangsur-angsur untuk memutuskan ikatan yang menjepit mereka pada objek yang dicintai dan mengambil energi yang terasosiasi dengan ikatan itu. Energi dapat di investasikan pada hubungan yang lain. Ide pokoknya adalah pulih dari kerusakan karena kematian orang yang dicintai, individu harus memperoleh identitas baru dan mengembangkan otonomi dan hidup bebas setelah berpisah dari orang yang meninggal. Menurut Lemme 1995 ada beberapa proses dalam masa grief. Beberapa tahapan berhubungan dengan emosional, fisik dan reaksi perilaku Hoyer Roodin, 2003. Proses ini juga berdampak secara psikologis, seperti mengalami psikosomatis, depresi, dan gangguan mood Santrock, 2002.Tahap pertama adalah initial response, dimulai dari kematian dan berlanjut sampai kira-kira tiga minggu. Reaksi awal adalah terkejut dan tidak percaya. Individu mungkin merasakan mati rasa, linglung, kosong, dan disorientasi. Tahap kedua adalah intermediate phase. Dimulai sekitar tiga minggu setelah kematian sampai sekitar setahun setelah kematian akan mengalami emosi “roller-coaster”. Marah pada orang yang dicintai, Tuhan, situasi, atau orang lain yang terlihat bahagia, merasa bersalah, rindu dan kesepian biasa terjadi. Tiga perilaku yang menandai fase ini: meninjau kembali bagaimana kematian itu terjadi dan kemungkinan dapat dicegah bagaimana jika dan jika saja, mencari arti kematian mengapa, dan mencari almarhum. Keluarga yang ditinggalkan mungkin merasakan kehadiran almarhum dan berhalusinasi bahwa almarhum melihat dan mendengarkan. Hal ini terutama dapat terjadi jika kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak diduga. Fase terakhir dari bereavement adalah recovery phase, biasanya dimulai pada tahun kedua. Tidur dan nafsu makan sudah kembali normal, inidividu mulai melihat ke depan dan mungkin memulai hubungan yang baru. Worden dalam Lemme, 1995 menjelaskan empat fase dalam berkabung yaitu menerima kenyataan akan kehilangan, mengalami rasa sakit dari dukacita, beradaptasi dengan perubahan lingkungan bahwa orang yang dicintai sudah tidak ada, dan mengambil energi emosional dari hubungan yang sudah berakhir dan menginvestasikannya pada hal lain. Dalam fase recovery, semua tugas-tugas telah terpenuhi. Tetapi, itu tidak berarti proses berkabung selesai. Berkabung akan berlangsung sepanjang hidup walaupun akan berkurang frekuensi dan intensitasnya. Hal ini akan teraktifasi saat mengenang hari peringatan seperti saat pernikahan, ulangtahun, dan liburan Lemme, 1995. Semua perilaku ini akan menurun seiring dengan waktu. Selama proses ini, individu menyadari bahwa penderitaan mulai sedikit berkurang Lemme, 1995. Kebanyakan orang akan berfungsi dengan baik setelah beberapa bulan setelah kematian dan mulai pulih setelah setahun Lemme, 1995. Wanita akan pulih kembali ke kehidupan normal sekitar satu atau dua tahun setelah kematian suami. Janda akan mulai menata kembali kehidupan mereka karena janda mempunyai identitas yang baru dan mulai menata emosi sepeninggal suami Lemme, 1995. Masa bereavement menjadi masa yang cukup sulit, baik bagi pria maupun wanita yang kehilangan pasangannya. Keduanya tetap akan mengalami proses grieving, hanya saja cara mereka mengekspresikannya berbeda-beda. Menurut Martin dan Doka dalam Hoyer dan Roodin, 2003 pria akan mengalami instrumental grievers yang mengalami grief secara intelektual atau secara fisik. Beberapa terlibat dalam aktivitas fisik seperti hobi untuk mengatasi stress setelah ditinggal pasangan. Wanita akan mengalami intuitive grievers. Mereka mengalami beberapa emosi berbeda yang luas dalam waktu yang berbeda. Wanita berbagi emosi dengan keluarga dan teman. Wanita mendapatkan kenyamanan dan dukungan emosional yang lebih daripada pria. Masa menjanda merupakan masalah yang lebih serius bagi wanita, sehingga wanita kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap hilangnya suami. Masalah-masalah masa menjanda tersebut diantaranya kesehatan mental misalnya selalu merasa kesepian, depresi sampai bunuh diri, kehidupan sosial misalnya kurangnya kesempatan untuk tertarik kegiatan di luar rumah, maupun kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya, ekonomi relatif tidak mencukupi dan kesehatan fisik Hurlock, 1990; Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2008. Masalah ini timbul karena pada saat wanita kehilangan suaminya ia harus menjalankan dua peran, mencari nafkah dan mengurus anak-anak. Wanita juga harus melakukan tugas yang biasa dilakukan oleh pria. Kenyataan yang harus dihadapi oleh wanita maupun pria adalah mereka harus menjalani hidup sepeninggal pasangannya. Menjalani hidup sepeninggal pasangan tidaklah mudah. Di perlukan perjuangan yang begitu besar dalam menjalani hari-hari setelah kematian pasangan. Individu akan mengalami perubahan identitas dari menikah ke hidup sendiri. Beberapa sukses melewatinya tergantung pada kemampuan individu mengatasinya, dukungan sosial yang suportif, dan status ekonomi yang aman Lemme, 1995. Oleh karena itu, melihat banyak masalah yang dapat timbul pada wanita usia dewasa madya sepeninggal pasangannya, peneliti tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai proses pengalaman yang terjadi melalui dinamika psikologis yang dialami wanita dewasa madya. Mereka membutuhkan banyak dukungan dari lingkungan sekitar agar tetap kuat dan semangat menjalani hidup sepeninggal pasangan hidupnya.

B. RUMUSAN MASALAH