Pengangkutan Udara Dan Peraturan Hukumnya

berupa dokumen-dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perbuatan sudah dilakukan. Praktek hukum pengangkutan adalah serangkaian perbuatan nyata yang masih berlangsung atau perbuatan yang sudah selesai dilakukan, seperti keputusan hakim atau yurisprudensi serta dokumen hukum, seperti karcis penumpang dan surat muatan barang. Praktik hukum pengangkutan menyatakan secara impiris peristiwa perbuatan piak-pihak sehinggan tujuan pengangkutan itu tercapai dan ada bila yang tidak tercapai. Tidak tercapainya tujuan dapat terjadi karena wanprestasi salah satu pihak atau karena keadaan memaksa force majeur. 51

B. Pengangkutan Udara Dan Peraturan Hukumnya

Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Sesuai dengan undang-undang tersebut pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetap bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. 52 Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara. Sedangkan pesawat udara negara adalah pesawat yang dipergunakan oleh TNI, Polri, dan instansi pemerintah tertentu, yang berfungsi untuk menegakkan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 53 51 Ibid, hal. 7. Sejak berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, Ordonasi Pengangkutan Udara Stb. Nomor 100 Tahun 1939 52 Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 53 Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Universitas Sumatera Utara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini atau belum diganti dengan undang-undang yang baru. Kegiatan pengangkutan udara sipil yang melayani pengangkutan dalam negeri atau keluar negeri hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin dari pemerintah. Penyelenggara Pengangkutan Udara harus berstatus perusahaan badan hukum Indonesia yang menjalankan kegiatan usaha di bidang pengangkutan udara. Perusahaan badan hukum tersebut boleh Badan Usaha Milik Negara BUMN, seperti PT. Garuda Indonesia Airways Persero dan PT. Merpati Nusantara Airlines Persero; boleh juga Badan Usaha Milik Swasta BUMS, seperti PT. Sriwijaya, PT. Metro Batavia, dan PT. Lion Airlines. Jadi, pengangkut pada pengangkutan udara adalah Perusahaan Pengangkutan Udara yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan pesawat udara sipil dengan memungut bayaran. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan juga disebutkan beberapa jenis angkutan udara, yaitu : 1. Angkutan udara niaga Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. 54 a. Angkutan udara niaga dalam negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Angkutan udara niaga dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 55 54 Pasal 1 ayat 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan 55 Pasal 1 ayat 16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Universitas Sumatera Utara b. Angkutan udara luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. 56 2. Angkutan udara bukan niaga Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokonya selain di bidang angkutan udara. 57 3. Angkutan udara perintis Angkutan udara perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. 58 Perusahaan Pengangkutan Udara yang menyelenggarakan pengangkutan udara sipil berjadwal dan tidak berjadwal memiliki izin usaha pengangkutan udara sipil. Izin usaha tersebut diberikan untuk jangka waktu selama perusahaan yang bersangkutan menjalankan usahanya. 59 56 Pasal 1 ayat 17 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Izin usaha pengangkutan udara dicabut apabila perusahaan pengangkutan udara melanggar ketentuan yang telah ditentukan dalam Undang-undang Penerbangan Indonesia, melakukan kegiatan 57 Pasal 1 ayat 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 58 Pasal 1 ayat 18Undang -undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 59 Pasal 16 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Universitas Sumatera Utara yang membahayakan keamanan negara, atau memperoleh izin usaha dengan cara yang tidak sah. 60 Perusahaan pengangkut udara mengangkut penumpang atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan dalam menyelenggarakan pengangkutan udara menggunakan pesawat udara sipil yang mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Perusahaan ini memberikan pelayanan yang layak kepada setiap penumpang atau pengirim barang pengangkutan udara. Selain itu, perusahaan ini pun mengutamakan pengangkutan penumpang atau barang yang pemiliknya telah memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian yang disepakati, berdasarkan karcis penumpang atau dokumen pengangkutan barang yang dimilikinya. Penggunaan pesawat udara sipil asing oleh Perusahaan Pengangkutan Udara asing dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia untuk kegiatan pengangkutan udara sipil berjadwal luar negeri hanya dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. Penggunaan pesawat udara sipil asing oleh Perusahaan Pengangkutan Udara asing atau perorangan dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin terbang dari Menteri Perhubungan. Pengangkutan udara asing atau perorangan yang dimaksud disini misalnya, kegiatan SAR, survei, dan pemetaan serta pameran udara. 61 Pengangkutan udara diadakan dengan perjanjian antara Perusahaan Pengangkutan Udara dan Penumpang atau pemilik barang. Tiket penumpang dan tiket bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan dan 60 Pasal 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 61 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 70. Universitas Sumatera Utara pembayaran biaya pengangkutan. 62 Ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain : Tiket penumpang dan tiket bagasi diterbitkan atas nama, karena itu tidak boleh dialihkan atau diserahkan kepada orang lain. Pihak yang berhak untuk diangkut adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket penumpang tersebut termasuk bagasinya. a. Ordonasi Pengangkutan Udara 1939 tentang tanggung jawab pengangkut udara b. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan d. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara, juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan Internasional. Karena hukum pengangkutan udara yang lebih bersifat Internasional, maka hukum udara dan hukum pengangkutan udara nasional disetiap negara pada umumnya mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari konvensi-konvensi Internasional dalam bidang angkutan udara. Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat internasional, yaitu sebagai berikut : Konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara : a. Konvensi Warsawa Warsaw Convention 1929 62 Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Universitas Sumatera Utara “Convention for The Unifaction of The Rules Relating to International Carriage by Air” adalah nama lengkap dari Warsawa Convention yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia pada tanggal 29 September 1933. Konvensi ini mengatur hal pokok yaitu masalah okumen angkutan udara dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa penting artinya karena ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau tanpa perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi angkutan udara domestik, seperti Inggris, Belanda dan Indonesia. Maka setiap perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama di Indonesia, karena perkembangan dalam hukum udara perdata internsional akan berpengaruh pada hukum udara nasional di Indonesia. Terutama ketentuan terhadap besarnya ganti rugi baik untuk penumpang maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku untuk penerbangan domestik maupun internasional. b. Konvensi Genewa Konvensi ini mengatur tentang “Internasional Recognation of Right in Aircraft”. Dalam Konvensi Genewa ini, Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” dalam hukum Anglosaxon maupun “hipotik” dalam hukum Kontinental atas pesawat udara dan peralatannya dapat diakui secara internsional oleh negara-negara pesertanya. Universitas Sumatera Utara c. Konvensi Roma 1952 Nama lengkap dari konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface”. Ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dn merupakan pengganti dari Konvensi Roma sebelumnya tahun 1933. Konvensi Roma 1952 ini mengatur tentang masalah tanggung jawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operator pesawat terbang asing tersebut. Indonesia tidak ilut serta dalam konvensi ini. d. Protokol Hague 1955 “Protokol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12 Oktober 1929”. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955. Perjanjian ini ditandatangani tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara. e. Konvensi Guadalajara 1961 Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention Supplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier”. Konvensi ini ditandatangani tanggal 18 September 1961 dan mulai berlaku sejak 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh negara pesertanya. Konvensi ini merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa yang Universitas Sumatera Utara mengatur masalah tanggung jawab pengangkut udara terhadap pihak-pihak tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering terjadi pengangkut yang sebenarnya bukanlah pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab karena kesalahan fault liability, tanggung jawab karena praduga presumption liability, dan tanggung jawab mutlak absolute liability. 1. Tangung jawab karena kesalahan Menurut prinsip ini pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini dianut dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum illegal act sebagai aturan umum general rule. Aturan khusus ditentukan dalam undang-undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan. 63 Dalam skripsi ini saya hanya mengkhususkan pada pengangkutan dengan pesawat udara, Perusahaan Pengangkutan Udara yang melakukan kegiatan pengangkutan udara bertanggung jawab atas : 63 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 49. Universitas Sumatera Utara a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam pengangkutan udara dan terjadi dalam pesawat udara, atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara, termasuk pengertian lukanya penumpang adalah cacat fisik danatau cacat mental. b. Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut. c. Keterlambatan pengangkutan penumpang danatau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. 64 2. Tanggung jawab karena Praduga Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut. Hukum pengangkutan Indonesia prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga kedua-duanya dianut. Prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab 64 Pasal 86 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Universitas Sumatera Utara karena praduga adalah pengecualian. Artinya, pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalahlalai, dia dibebaskan dari tanggung jawab. 65 3. Tanggung Jawab Mutlak Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian dan unsur kesalahan tidak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.

C. Pengangkutan Bagasi

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Perlindungan Hak Penumpang Pesawat Udara Pada Pt. Lion Air Medan

5 103 102

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan

38 232 103

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PESAWAT ATAS KETERLAMBATAN PENERBANGAN (FLIGHT DELAYED)

1 4 74

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN UDARA TERHADAP PENUMPANG YANG MENGALAMI KEHILANGAN BARANG (Studi Pada PT Sriwijaya Airlines)

7 53 62

TANGGUNG JAWAB HUKUM MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH PENUMPANG PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DI INDONESIA.

0 2 9

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG MASKAPAI PENERBANGAN YANG DIRUGIKAN AKIBAT TIDAK TERANGKUT DENGAN ALASAN KAPASITAS PESAWAT UDARA (DENIED BOARDING PASSANGER) DITINJAU DARI UU 1/2009 PENERBANGAN.

0 0 2

BAB I PENDAHULUAN - PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KERUGIAN KONSUMEN PENGGUNA BAGASI PESAWAT UDARA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18

BAB II TANGGUNG GUGAT MASKAPAI PENERBANGAN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG KONSUMEN DI BAGASI PESAWAT UDARA 2.1. Hubungan Hukum antara Maskapai Penerbangan dengan Konsumen 2.1.1. Perjanjian Pengangkutan sebagai Dasar Perjanjian antara Maskapai Pe

0 0 49

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG DI BAGASI PESAWAT UDARA 3.1. Upaya Hukum Konsumen Pengguna Bagasi Pesawat udara Udara atas Kerugian Hilang, Musnah, dan Rusaknya Barang di Bagasi Pesawat udara - PERLINDUNGAN

0 1 30

PERLINDUNGAN KONSUMEN MASKAPAI PENERBANGAN PT.CITLINK INDONESIA JIKA JADWAL PENERBANGAN TIDAK EFEKTIF -

0 0 70