Potensi Konflik Antara Peternak Babi Dengan Masyarakat Sekitar Daerah Simalingkar B di Medan (Studi Kasus di Daerah Gang Maju III Lingkungan X Simalingkar B,Kwala Bekala, Medan)

(1)

POTENSI KONFLIK ANTARA PETERNAK BABI

DENGAN MASYARAKAT SEKITAR DAERAH

SIMALINGKAR B DI MEDAN

(Studi Kasus di Daerah Gang Maju III Lingkungan X Simalingkar B,Kwala Bekala, Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

DISUSUN OLEH

Muhammad Ridho Riyansyah 090901002

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul POTENSI KONFLIK ANTARA PETERNAK BABI DENGAN MASYARAKAT SEKITAR SIMALINGKAR B DI MEDAN (Studi Kasus di Daerah Gang Maju III Lingkungan X Simalingkar

B,Kwala Bekala, Medan)”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Ridwan Yahya SE dan Ibunda Suriyantie yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah persembahan yang dapat ananda berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti ananda. Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan FISIP USU serta selaku dosen penguji penulis


(3)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP USU serta selaku dosen penguji penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Muba Simanuhurk, M.Si, selaku Dosen Pembimbing, mengucapkan terima kasih kepada beliau atas kesediaannya dalam memberikan pengarahan-pengarahan ataupun masukkan bagi skripsi penulis.

4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty serta bang Abel yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi

5. Kepada kedua orang tua ku tersayang papah Ridwan Yahya SE dan mamak Suriyanti terimakasi atas kasisayang yang tulus kepada saya dari kecil sampai saat ini, tidak henti-hentinya memberikan semangat, tidak pernah putus asa untuk mendorong saya menyelesaikan skripsi

yang sudah lama ini, terimakasi juga atas dukungannya, do’anya dan

dananya selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga penulis dapat membanggakan kedua orangtua penulis.

6. Kepada kedua kakak dan adik saya tersayang Rizky Riyantie dan Nurkhaliz Riyantie yang selalu memberikan semangatnya dan selalu mengingatkan saya untuk mengerjakan skripsi ini.


(4)

7. Kepada seluruh keluarga penulis bude Ningsih ,wak Hajjah , kak Wid ,kak Put, serta keluarga penulis yang tidak bisa penulis ungkapkan semuanya yang selalu memberikan arahan serta nasihat untuk mengerjakan skripsi

8. Kepada Kepala Lingkungan yakni Bapak Asnadi, yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian Lingkungan X Kwala Bekala.

9. Para Informan yang ada di Gang Maju yang bersedia memberikan waktunya, untuk memberikan informasi mengenai Potensi Konflik Antara Masyarakat Dan Peternak Babi, terimakasih untuk pengertiannya yang telah bersedia menerima kehadiran penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

10. Kepada yang tersayang Riya Badriyah dan keluarga, yang selalu membantu dan memberikan semangat, motivasi kepada penulis.

11. Buat teman-teman stambuk penulis di Departeman Sosiologi FISIP USU yakni Mai Yuliarti, Siti Rukmana, Winda Kataren, Winda purwani, risman, Nova, Irvin, Dede, Bima, Dewi, Kiki, Nasrul, Tian dan semua teman-teman Sosiologi 09 yang tidak biasa saya sebutkan namanya satu-persatu, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelasaikan skripsi ini.

12. Semua pihak yang turut membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(5)

Atas dukungan berbagai pihak tersebut, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan.

Medan, 24 April 2015

Penulis


(6)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Potensi Konflik Antara Peternak Babi

Dengan Masyrakat Sekitar Daerah Simalingkar B di Medan (Studi Deskriftif di Daerah Gang Maju III Lingkungan X Simalingkar B,Kwala Bekala, Medan), berawal dari ketertarikan penulis terhadap adanya kemajemukan yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya potensi konflik di masyrakat. Salah satunya adalah Kota Medan Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang ada diIndonesia. Masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun. Masyarakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain.

Dengan beragamnya masyarakat kota Medan, mustahil tidak ada konflik dikota Medan. Apalagi konflik yang berhubungan dengan masalah perbedaan kepentingan. Di kota Medan banyak masyarakat yang mengandalkan hidup dalam sektor peternakan. Baik peternakan hewan berkaki dua maupun hewan berkaki empat. Peternakan itu sendiri banyak terdapat di pinggiran kota Medan. Peternakan yang terdapat dikota Medan sendiri tidak jarang dapat menimbulkan permasalahan yang dapat memicu potensi konflik dikalangan masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah masyarakat di sekitra peternakan babi serta tokoh agama yang merupakan warga Gang Maju Kelurahan Kwala Bekala. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi konflik antara peternak babi dan masyarakat sekitar di Kelurahan Kwala Bekala muncul karena adanya keresahan di masyrakat terhadap peternakan babi yang berada di dekat pemukimam warga. Potensi konflik yang terjadi di sebabkan oleh beberapa factor diantaranya aoma bau yang disebabkan limbah kotoran babi yang menumpuk dikandang sehingga menyebarkan aroma yang sangat menyengat serta pakan yang diperuntukkan untuk ternak babi mempunyai aroma yang dapat menimbulkan polusi udara. Pencemaran air sungai yang di sebabkan oleh pembuangan limbah kotoran ternak kedalam sungai membuat air sungai Kwala tidak dapat dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu factor yang mempengaruhi potnesi konflik adalah kerusakan ekosistem air sungai yang disebabkan kurangnya kesadaran para peternak babi akan kelestarian lingkungan , para peternak babi menggunakan cairan kimia untuk membersihkan kandang babi miliknya, serta membuang limbah hasil permbersihan kandang babi ke aliran sungai. Hal ini menyebabkan matinya ikan-ikan dilaut akibat cairan kimia yang digunakan oleh para peternak tersebut. Kata Kunci : Potensi Konflik


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL……… BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusa Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penulisan ... 8

1.4 Manfaat Penulisan ... 9

1.5 Defenisi Konsep ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...11

2.1 Interaksi Sosial ...11

2.2 Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial……..…….……….12

2.3 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial ……….… ... 14

2.3.1 Proses Disosiatif... 14


(8)

2.3.3 Ciri-ciri Interaksi Sosial………... 22

2.3.4 Faktor-faktor Interaksi Sosial……… 23

2.4 Konflik………...…... 31

2.5 Jenis Konflik………... 41

2.6 Faktor Penyebab Konflik………... 42

2.7 Tahapan Konflik………... 46

2.8 Jenis Konflik………. 47

2.9 Dampak Konflik………... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Jenis Penelitian ... 53

3.2 Lokasi Penelitian ... 54

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 54

3.3.1 Unit Analisis ... 54

3.3.2 Informan ... 54

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 55

3.5 Interpretasi Data ... 57


(9)

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 58

BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 60 4.2. Interprestasi Data ... 62

4.2.1 Profil Informan ... 62 4.2.2 Munculnya Peternakan Babi di Kelurahan Kwala Bekala

………... 69 4.2.3 Pro dan Kontra Kemunculan Peternakan Babi di Kwala Bekala………... 71 4.2.4 Sumber Potensi Konflik……….. 73

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan... 84 5.2. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... ….. 37

Tabel 4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencahrian... 39

Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 41


(11)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Potensi Konflik Antara Peternak Babi

Dengan Masyrakat Sekitar Daerah Simalingkar B di Medan (Studi Deskriftif di Daerah Gang Maju III Lingkungan X Simalingkar B,Kwala Bekala, Medan), berawal dari ketertarikan penulis terhadap adanya kemajemukan yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya potensi konflik di masyrakat. Salah satunya adalah Kota Medan Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang ada diIndonesia. Masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun. Masyarakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain.

Dengan beragamnya masyarakat kota Medan, mustahil tidak ada konflik dikota Medan. Apalagi konflik yang berhubungan dengan masalah perbedaan kepentingan. Di kota Medan banyak masyarakat yang mengandalkan hidup dalam sektor peternakan. Baik peternakan hewan berkaki dua maupun hewan berkaki empat. Peternakan itu sendiri banyak terdapat di pinggiran kota Medan. Peternakan yang terdapat dikota Medan sendiri tidak jarang dapat menimbulkan permasalahan yang dapat memicu potensi konflik dikalangan masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah masyarakat di sekitra peternakan babi serta tokoh agama yang merupakan warga Gang Maju Kelurahan Kwala Bekala. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi konflik antara peternak babi dan masyarakat sekitar di Kelurahan Kwala Bekala muncul karena adanya keresahan di masyrakat terhadap peternakan babi yang berada di dekat pemukimam warga. Potensi konflik yang terjadi di sebabkan oleh beberapa factor diantaranya aoma bau yang disebabkan limbah kotoran babi yang menumpuk dikandang sehingga menyebarkan aroma yang sangat menyengat serta pakan yang diperuntukkan untuk ternak babi mempunyai aroma yang dapat menimbulkan polusi udara. Pencemaran air sungai yang di sebabkan oleh pembuangan limbah kotoran ternak kedalam sungai membuat air sungai Kwala tidak dapat dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu factor yang mempengaruhi potnesi konflik adalah kerusakan ekosistem air sungai yang disebabkan kurangnya kesadaran para peternak babi akan kelestarian lingkungan , para peternak babi menggunakan cairan kimia untuk membersihkan kandang babi miliknya, serta membuang limbah hasil permbersihan kandang babi ke aliran sungai. Hal ini menyebabkan matinya ikan-ikan dilaut akibat cairan kimia yang digunakan oleh para peternak tersebut. Kata Kunci : Potensi Konflik


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Konflik dapat diartikan sebagai hubungan antar dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Pengertian ini harus dibedakan dengan kekerasan, yaitu sesuatu yang meliputi tindakan, perkataan, sikap atau berbagai struktur dan sistem yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensinya secara penuh. (Fisher,et.al., 2001) .

Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi (jadi bersifat defensif), akan tetapi juga bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya. Dari catatan sejarah kita dapat melihat bagaimana orang-orang Roma yang berkonflik dan memusnahkan penduduk carthago; dan bagaimana imigran-migran eropa membinasakan eksistensi suku-suku india (Narwoko 2004;68-69).

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik -konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya (tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam


(13)

pemusnahan simbolik alias melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujui).

Kecuali perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan pun menimbulkan konflik. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi malahan antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar kelompok.

Kepentingan-kepentingan yang berbeda pun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana. Kepentingan para peternak babi dengan masyarakat sekitar misalnya jelas berbeda dan salah-salah bisa berbenturan kedalam suatu konflik yang keras (suyanto 2004;68-69).

Untuk mengatasi hal itu, cara terbaik menyelesaikan konflik bukanlah meredamnya dengan kekerasan (penggunaan satuan tentara) karena potensi konflik akan tetap hidup seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meledak bila ada kesempatan melainkan dengan memahaminya guna menemukan penyebab-penyebabnya (Suparlan 2003:27).

Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang ada diIndonesia. Masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun. Masyarakat ini mencerminkan kondisi masyarakat


(14)

Indonesia yang plural dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain.

Dengan beragamnya masyarakat kota Medan, mustahil tidak ada konflik dikota Medan. Apalagi konflik yang berhubungan dengan masalah perbedaan kepentingan. Di kota Medan banyak masyarakat yang mengandalkan hidup dalam sektor peternakan. Baik peternakan hewan berkaki dua maupun hewan berkaki empat. Peternakan itu sendiri banyak terdapat di pinggiran kota Medan. Peternakan yang terdapat dikota Medan sendiri tidak jarang dapat menimbulkan permasalahan yang dapat memicu potensi konflik dikalangan masyarakat. Pasalnya keberadaan ternak babi ini sangat mengganggu masyarakat muslim yang berada di sekitar petenakan. Selain mengeluarkan bau yang tidak sedap, kotoran berupa limbah cair dan padat yang dikeluarkan juga mencemari lingkungan karena tidak diolah secara tuntas. Selain itu ternak babi tersebut berada di daerah padat penduduk serta dekat dengan rumah ibadah masyarakat muslim.

Akhir-akhir ini seperti yang penulis ketahui banyak masyarakat kota Medan yang mempermasalahkan adanya peternakan babi yang ada disekitar mereka. Diketahui bahwa di kota Medan terdapat lokasi ternak babi yang sangat banyak yang hampir merata mengelilingi kota Medan. Dimulai dari Medan Belawan, Marelan, Helvetia, Sunggal, Selayang, Tuntungan, Amplas, Area, Kota Medan Denai, serta Medan Johor.


(15)

Kecamatan Medan johor juga terdapat peternakan babi yang berada di daerah padat penduduk. Peternakan babi tersebut berada tidak jauh dari rumah warga yang ada disekitarnya. Contohnya saja peternakan yang berada didaerah Gang Maju Lingkungan X Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor.

Kelurahan kwala bekala merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Medan johor. Jumlah penduduk kelurahan kwala bekala sebanyak 35529 jiwa. Dimana jumlah penduduk yang beragama islam sendiri berjumlah 10.687 jiwa. Sedangkan penduduk yang beragama Kristen berjumlah 17120 jiwa dan yang beragama katolik berjumlah 6803 jiwa . Kelurahan Kwala Bekala sendiri banyak terdapat kandang babi yang berada di dekat rumah penduduk (Kelurahan Kwala Bekala, 2011).

Salah satu daerah yang paling banyak dikelilingi ternak babi adalah daerah Gang Maju dimana hampir disetiap lokasi padat penduduk terdapat kandang babi yang berdiri disekitar mereka. Setiap harinya masyarakat disekitar sini mendapatkan dampak yang sangat terasa dengan adanya peternakan babi ini sendiri. Misalnya masyarakat sekitar setiap harinya harus mencium aroma yang tidak sedap dari kandang babi tersebut.

Selain itu masyarakat juga menerima dampak pencemaran lingkungan disekitar mereka. Dikarenakan setiap harinya para peternak babi membuang limbah hasil dari peternakan babi ke aliran sungai kwala yang berada di sekitar mereka. Dengan cara menarik pipa dari kandang dan ditujukan ke pinggiran sungai kwala sehingga membuat air sungai tidak layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari mereka.


(16)

Banyak penduduk kelurahan Kwala Bekala menganut agama islam. Dalam ajaran agam islam, babi merupakan hewan yang diharamkan. Baik itu dagingnya, darahnya serta yang berhubungan dengan hewan berkaki empat ini. banyak masyarakat yang mengeluh dengan adanya ternak babi disekitar mereka, pasalnya dalam menjalankan ibadah puasa setiap harinya mereka harus menghirup udara yang tidak sedap yang dikeluarkan oleh peternakan babi yang ada disekitar mereka.

Oleh karena itu banyak masyarakat yang mulai berontak dengan keberadaan ternak babi tersebut, dikarenakan ternak babi tersebut memberikan dampak yang negative bagi penduduk sekitar. Seperti pencemaran udara, pencemaran air juga dapat memberikan wabah penyakit pada masyarakat sekitar.

Sejarah awalnya daerah tersebut merupakan daerah lahan garapan. Penduduk lokal yang menghuni daerah tersebut merupakan orang-orang melayu. Dimana penduduk lokal tersebut merupakan pemeluk agama islam. Banyak dari orang-orang tersebut menjadi tuan tanah. Dikarenakan penduduk lokal tersebut hampir keseluruhan memiliki tanah yang luas.

Dalam mengelola tanah penduduk lokal tidak memperjual-belikan tanah yang mereka miliki. Namun mereka memberikan tanahnya sebagai warisan kepada anak-anaknya. Masuknya peternak babi didaerah tersebut dimulai pada awal tahun 1980. Dimana para peternak babi yang mempersunting putra-putri penduduk lokal. Perkawinan mereka merupakan perkawinan campuran. Dimana para peternak babi yang menganut agama non muslim mengawini putra dan putri penduduk lokal yang menganut agama islam. Dari perkawinan mereka, para orang


(17)

tua memberikan warisan untuk anak-anaknya untuk digunakan membangun rumah serta menunjang kehidupan mereka.

Tidak disangka pada awal tahun 1984 salah seorang pendatang yang sudah mengawini putri penduduk lokal tersebut mendirikan peternakan babi didaerah ini. Namun peternakan tersebut tidak berada dekat dengan penduduk lokal. Peternakan ini terletak jauh dan terkesan sembunyi-sembunyi, dikarenakan saat itu untuk memlihara babi para peternak masih tidak berani. Semakin memasuki tahun 90-an banyak dari para penduduk lokal yang menjuali tanahnya kepada pendatang dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak.

Diiringi dengan penjualan tanah didaerah ini peternakan babi pun semakin bertumbuh didaerah ini. Para peternak babi tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam memelihara babinya namun mereka semakin terang-terangan beternak babi diderah ini. Bahkan kandangnya berdekatan dengan rumah penduduk lokal. Oleh karena itu semakin banyaknya kandang babi yang terdapat didaerah ini sering menimbulkan problem bagi kelompok masyarakat lainnya. Dikarenakan masyarakat sekitar yang sudah gerah akan polusi yang didapat serta dampak yang diterima.

Pasalnya masalah ini bukanlah masalah sehari-hari yang didapatkan oleh masyarakat tersebut, namun masalah ini merupakan masalah yang berkepanjangan. Hal ini memicu keberatan dari warga sekitar peternakan babi ini. Masyarakat sekitar tidak tinggal diam, mereka segera melaporkan apa yang mereka alami kepada pemerintah agar pemerintah dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan peternakan babi yang ada disekitar mereka.


(18)

Selain itu hal ini juga membuat kerukunan antar umat beragama menjadi berkurang. Pasalnya dalam memandang para peternak babi ini, masyarakat beranggapan bahwa peternak babi ini tidak mengerti akan kehidupan yang layak dan sehat. Dikarenakan kurangnya kesadaran peternak babi ini dalam menjaga lingkungan yang asri.

Pemerintah pun tidak tinggal diam dengan keresahan warganya. Pemerintah mengeluarkan peraturan peraturan Walikota nomor 23 Tahun 2009 tentang larangan dan pengawasan usaha peternakan hewan berkaki empat. Peraturan ini dibuat untuk melarang masyarakat ataupun kelompok untuk memelihara ternak berkaki empat di daerah kota Medan.

(http://www.pemkoMedan.go.id/info_detail.php?id=261desember2013). Tidak hanya dengan peraturan semata Pemko Medan langsung bergerak dengan melakukan razia terhadap ternak babi yang ada didaerah tersebut. Namun razia tersebut mendapatkan perlawanan dari para pemilik peternakan babi tersebut. Banyak dari kaum laki-laki membawa senjata tajam untuk melawan petugas yang merazia sedangkan kaum ibu-ibunya melawan dengan melakukan aksi membuka pakaian mereka dihapadan petugas Satpol PP.

Dengan adanya perlawanan yang dilakukan masyarakat peternak babi, Pemko Medan seakan tidak memiliki ketegasan dalam merelokasi peternakan babi itu sendiri. Ketidaktegasan pemerintah membuat para peternak masih dapat memelihara hewan ternaknya sebagaimana biasanya. Hal ini membuat masyarakat mulai mendesak pemerintah agar lebih amanah dalam menjalankan peraturan yang di buat. Keresahan yang dialami masyarakat musemakin menjadi-jadi


(19)

sehingga timbul berbagai tuntutan kepada pemerintah baik dari masyarkat itu sendiri maupun organisasi yang ada di kota Medan.

.Oleh karena itu kurangnya rasa kebersamaan serta tidak terciptanya interaksi yang baik antara masyarakat sekitar peternakan babi dengan para peternak babi yang seharusnya manusia itu merupakan mahluk sosial yang tidak

dapat hidup sendiri, membuat peneliti tertarik mengambil judul “ Potensi Konflik Antara Peternak Babi dengan Masyarakat sekitar”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah:

1. Bagaimana potensi konflik yang terjadi dikalangan masyarakat peternak babi dengan masyarakat sekitarnya?

2. Bagaimana interaksi social masyarakat dengan para peternak peternak babi disekitar mereka?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis sumber potensi konflik yang terjadi di daerah Lingkungan X Kelurahan Kwala Bekala Medan

2. Untuk mengetahui interaksi social masyarakat sekitar terhadap masyarakat peternak terjadi di daerah Lingkungan X Kelurahan Kwala Bekala Medan 1.4. Manfaat Penelitian


(20)

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan dibidang ilmu sosial.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah, serta diharapkan dapat menambah wawasan pembaca guna mengetahui potensi konflik yang terjadi.

1.5. Defenisi konsep

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya

1. Potensi konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. 2. masyarakat sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup

(atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 INTERAKSI SOSIAL

Pengertian Interaksi Sosial Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya.

Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process.

Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan


(22)

Interaksi Sosial Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi.

1. Kontak Sosial

Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soerjono Soekanto : 59) yaitu sebagai berikut :

a. Antara orang perorangan Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaankebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota.


(23)

b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat.

c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan partai politik lainnya. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara. 2. Komunikasi

Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain aatau orang lain. Hal ini


(24)

kemudain merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.

Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok. Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yangterjadi karena salah paham yang masing-masing tidak mau mengalah.

2.3 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

2.3.1 Proses Disosiatif

Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan system social masyarakat bersangkutan. Apakah suatu masyarakat lebih menekankan pada salah satu bentuk oposisi, atau lebih menghargai kerja sama, hal itu tergantung pada unsure-unsur kebudayaan terutama yang menyangkut system nilai, struktur masayarakat dan system sosialnya. Factor yang paling menentukan adalah system nilai masyarakat tersebut.


(25)

Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawanseseoran atau sekelompok manusia, untuk mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya makanan, tempat tinggal serta lain-lain factor telah melahirkan beberapa bentuk kerja sama dan oposisi. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Perlu dijelaskan bahwa pengertian struggle for existence juga dipakai untuk menunjuk kepada suatu keadaan di mana manusia yang satu tergantung pada kehidupan manusia yang lainnya, keadaan mana menimbulkan kerja sama untuk dapat tetap hidup.

Perjuangan ini mengarah pada paling sedikit tiga hal yaitu perjuangan manusia melawan sesame, perjuangan manusia melawan makhluk-makhluk jenis lain serta perjuangan manusia melawan alam. Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahuan, oposisi atau proses-proses yang disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :

1. Persaingan (competition)

Suatu proses social, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian public atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Ada beberapa bentuk persaingan, di antaranya :


(26)

1) Persaingan ekonomi. Timbul karena terbatasnya persediaan apabila dibandingkan dengan jumlah konsumen.

2) Persaingan kebudayaan. Menyangkut persaingan kebudayaan, keagamaan, lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, dan sebagainya.

3) Persaingan kedudukan dan peranan. Di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan-keingian untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan yang terpandang.

4) Persaingan ras. Perbedaan ras baik karena perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut dan sebagainya, hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atas perbedaanperbedaan dalam kebudayaan.

Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1) Menyalurkan keinginan-keinginan individu ata u kelompok yang bersifat kompetitif

2) Sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.


(27)

3) Merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan social

4) Alat untuk menyaring para warga golongan karya (fungsional) yang akhirnya akan menghaslkan pembagian kerja yang efektif.

Hasil suatu persaingan terkait erat dengan berbagai factor, antara lain :

1) Kepribadian seseorang

2) Kemajuan masyarakat

3) Solidaritas kelompok

4) disorganisasi

2. Kontravensi (contravention)

Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses social yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian.

1. Bentuk-bentuk kontravensi

Menurut Leopold von Wiese, dan Howard Becker, ada 5, yaitu a) Yang umum meliputi perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan


(28)

menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan, dan mengacaukan rencana pihak lain.

b) Yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di depan umum, memaki melalui selembaran surat, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain, dan sebagainya.

c) Yang intensif mencakup penghasutan, menyebarkan desasdesus, mengecewakan pihak lain, dsb.

d) Yang rahasia, seperti mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat, dll.

e) Yang taktis, misalnya mengejutkan lawan, mengganggu atau membingungkan pihak lain, seperti dalam kampanye parpol dalam pemilihan umum.

2. Tipe-tipe Kontravensi

Menurut von Wiese dan Becker terdapat tiga tipe umum kontravensi yaitu kontravensi generasi masyarakat 9 bentokan antara generasi muda dengan tua karena perbedaan latar belakang pendidikan, usia dan pengalaman), kontravensi yang menyangkut seks (hubungan suami dengan istri dalam keluarga) dan kontravensi parlementer (hubungan antara golongan


(29)

mayoritas dengan minoritas dalam masyarakat baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga-lembaga legislative, keagamaan, pendidikan, dan seterusnya).

Selain tipe-tipe umum tersebut ada ada pula beberapa kontravensi yang sebenarnya terletak di antara kontravensi dan pertentangan atau pertikaian,yang dimasukkan ke dalam kategori kontravensi, yaitu :

a) Kontravensi antar masyarakat

b) Antagonism keagamaan

c) Kontravensi intelektual

d) Oposisis moral

Kontravensi, apabila dibandingkan dengan persaingan dan pertentangan bersifat agak tertutup atau rahasia.

3. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses social di mana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan. Peyebab terjadinya pertentangan, yaitu :

1) Perbedaan individu-individu


(30)

3) Perbedaan kepentingan

4) Perbedaan sosial

Pertentangan-pertentangan yang menyangkut suatu tujuan, nilai atau kepentingan, sepanjang tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan social di dalam srtuktur social tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif. Masyarakat biasanya mempunyai alat-alat tertentu untuk menyalurkan benih-benih permusuhan, alat tersebut dalam ilmu sosiologi dinamakan safety-valve institutions yang menyediaka objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak yang bertikai ke arah lain. Bentuk-bentuk pertentangan antara lain :

1) Pertentengan pribadi

2) Pertentangan rasial

3) Pertentangan antara kelas-kelas social, umumnya disebabkan oleh karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan.

4) Pertentangan politik

5) Pertentangan yang bersifat internasional.

Akibat dari bentuk-bentuk pertentangan adalah sebagai berikut :

1) Bertambahnya solidaritas “in-group” atau malah sebaliknya yaitu terjadi goyah dan retaknya persatuan kelompok


(31)

2) Perubahan kepribadian

3) Akomodasi, dominasi dan takluknya satu pihak tertentu

2.3.4 Jenis-jenis Interaksi Sosial Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu:

1. Interaksi antara Individu dan Individu

Pada saat dua individu bertemu, interaksi sosial sudah mulai terjadi. Walaupun kedua individu itu tidak melakukan kegiatan apa-apa, namun sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan dalam diri masing-masing. Hal ini sangat dimungkinkan oleh faktor-faktor tertentu, seperti bau minyak wangi atau bau keringat yang menyengat, bunyi sepatu ketika sedang berjalan dan hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain.

2. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok.

Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu kesatuan bukan sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan. Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda pada zaman perang fisik. 3. Interaksi antara Individu dan Kelompok. Bentuk interaksi di sini berbedabeda sesuai dengan keadaan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.


(32)

2.3.5 Ciri-ciri Interaksi Sosial

Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang

2. Ada komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol

3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedan berlangsung

4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

Tidak semua tindakan merupakan interaksi. Hakikat interaksi terletak pada kesadaran mengarahkan tindakan pada orang lain. Harus ada orientasi timbal-balik antara pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa menghiraukan isi perbuatannya: cinta atau benci, kesetiaan atau pengkhianatan, maksud melukai atau menolong.

2.3.6 Faktor-faktor Interaksi Sosial

Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks, tetapi padanya dapat kita beda-bedakan beberapa faktor yang mendasarinys, baik secara tunggal maupun bergabung, yaitu (vide Bonner, Social Psychology, no. 3):


(33)

1. Faktor Imitasi

Gabriel Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial sebenarnya berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Misalnya bagaimana seorang anak belajar berbicara. Mula-mula ia mengimitasi dirinya sendiri kemudian ia mengimitasi kata-kata orang lain. Ia mengartikan kata-kata juga karena mendengarnya dan mengimitasi penggunaannya dari orang lain.

Lebih jauh, tidak hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi juga cara-cara lainnya untuk menyatakan dirinya dipelajarinya melalui proses imitasi. Misalnya, tingkah laku tertentu, cara memberikan hormat, cara menyatakan terima kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan lain-lain. Selain itu, pada lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang.

Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatanperbuatan yang baik. Peranan imitasi dalam interaksi sosialjuga mempunyai segi-segi yang neatif. Yaitu, apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah salah atau secara moral dan yuridis harus ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi orang banyak, proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan


(34)

kolektif yang meliputi jumlah serba besar. Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang berlangsung juga pada faktor sugesti.

Dengan kata lain, adanya peranan imitasi dalam interaksi sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu manusia yang mendangkalkan kehidupannya. Imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang diuraikan oleh Gabriel tarde, melainkan merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku di antara orang banyak.

2. Faktor Sugesti

Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama. Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar dirinya; sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Sugesti dalam ilmu jiwa sosial dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.


(35)

Secara garis besar, terdapat beberapa keadaan tertentu serta syarat-syarat yang memudahkan sugesti terjadi, yaitu:

a. Sugesti karena hambatan berpikir Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang dikenainya mengambil alih pandangan-pandangan dari orang lain tanpa memberinya pertimbangn-pertimbangan kritik terlebih dahulu. Orang yang terkena sugesti itu menelan apa saja yang dianjurkan orang lain.

Hal ini tentu lebih mudah terjadi apabila ia – ketika terkena sugesti – berada dalam keadaan ketika cara-cara berpikir kritis itu sudah agak terkendala. Hal ini juga dapat terjadi – misalnya – apabila orang itu sudah lelah berpikir, tetapi juga apabila proses berpikir secara itu dikurangi dayanya karena sedang mangalami rangsangan-rangsangan emosional. Misalnya: Rapat-rapat Partai Nazi atau rapat-rapat raksasa seringkali diadakan pada malam hari ketika orang sudah cape dari pekerjaannya. Selanjutnya mereka pun senantiasa memasukkan dalam acara rapat-rapat itu hal-hal yang menarik perhatian, merangsang emosi dan kekaguman sehingga mudah terjadi sugesti kepada orang banyak itu. b. Sugesti karena keadaan pikiran terpecah-pecah (disosiasi)

Selain dari keadaan ketika pikiran kita dihambat karean kelelahan atau karena rangsangan emosional, sugesti itu


(36)

pun mudah terjadi pada diri seseorang apabila ia mengalami disosiasi dalam pikirannya, yaitu apabila pemikiran orang itu mengalami keadaan terpecah-belah. Hal ini dapat terjadi

– misalnya – apabila orang yangbersangkutan menjadi bingung karena ia dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungannya. Apabila orang menjadi bingung, maka ia lebih mudah terkena sugesti orang lain yang mengetahui jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya itu.

Keadaan semacam ini dapat pula menerangkan mengapa dalam zaman modern ini orang-orang yang biasanya berobat kepada dokter juga mendatangi dukun untuk memperoleh sugestinya yang dapat membantu orang yang bersangkutan mengatasi kesulitan-kesulitan jiwanya.

c. Sugesti karena otoritas atau prestise Dalam hal ini, orang cenderung menerima pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu apabila pandangan atau sikap-sikap tersebut dimiliki oleh para ahli dalam bidangnya sehingga dianggap otoritas pada bidang tersebut atau memiliki prestise sosial yang tinggi.

d. Sugesti karena mayoritas Dalam hal ini, orang lebih cenderung akan menerima suatu pandangan atau ucapan apabila ucapan itu didukung oleh mayoritas, oleh sebagian


(37)

besar dari golongannya, kelompknya atau masyarakatnya.

e. Sugesti karena ”will to believe” Terdapat pendapat

bahwa sugesti justru membuat sadar akan adanya sikap-sikap dan pandangn-pandangan tertentu pada orang-orang. Dengan demikian yang terjadi dalam sugesti itu adalah diterimanya suatu pandangan tertentu karena sikap-pandangan itu sebenarnya sudah tersapat padanya tetapi dalam kedaan terpendam. Dalam hal ini, isi sugesti akan diterima tanpa pertimbangan lebih lanjut karena pada diri pribadi orang yang bersangkutan sudah terdapat suatu kesediaan untuk lebih sadar dan yakin akan hal-hal disugesti itu yang sebenarnya sudah terdapat padanya.

3. Fakor Identifikasi

Identifikasi adalah sebuah istilah dari psikologi Sigmund Freud. Istilah identifikasi timbul dalam uraian Freud mengenai cara-cara seorang anak belajar norma-norma sosial dari orang tuanya. Dalam garis besarnya, anak itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan terdapat norma-norma dan peraturan-peraturan yang sebaiknya dipenuhi dan ia pun mempelajarinya yaitu dengan dua cara utama.

Pertama ia mempelajarinya karena didikan orangtuanya yang menghargai tingkah laku wajar yang memenuhi cita-cita tertentu dan menghukum tingkah laku yang melanggar


(38)

norma-normanya. Lambat laun anak itu memperoleh pengetahuan mengenai apa yang disebut perbuatan yang baik dan apa yang disebut perbuatan yang tidak baik melalui didikan dari orangtuanya. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan seorang lain.

Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi anak dan tidak hanya merupakan kecenderungan untuk menjadi seperti seseorang secara lahiriah saja, tetapi justru secara batin. Artinya, anak itu secara tidak sadar mengambil alih sikap-sikap orangtua yang diidentifikasinya yang dapat ia pahami norma-norma dan pedoman-pedoman tingkah lakunya sejauh kemampuan yang ada pada anak itu. Sebenarnya, manusia ketika ia masih kekurangan akan norma-norma, sikapsikap, cita-cita, atau pedoman-pedoman tingkah laku dalam bermacammacam situasi dalam kehidupannya, akan melakukan identifikasi kepada orang-orang yang dianggapnya tokoh pada lapangan kehidupan tempat ia masih kekurangan pegangan.

Demikianlah, manusia itu terus-menerus melengkapi sistem norma dan cita-citanya itu, terutama dalam suatu masyarakat yang berubah-ubah dan yang situasi-situasi kehidupannya serba ragam. Ikatan yang terjadi antara orang yang mengidentifikasi dan orang tempat identifikasi merupakan ikatan


(39)

batin yang lebih mendalam daripada ikatan antara orang yang saling mengimitasi tingkah lakunya.

Di samping itu, imitasi dapat berlangsung antara orang-orang yang tidak saling kenal, sedangkan orang-orang tempat kita mengidentifikasi itu dinilai terlebih dahulu dengan cukup teliti (dengan perasaan) sebelum kita mengidentifikasi diri dengan dia, yang bukan merupakan proses rasional dan sadar, melainkan irasional dan berlangsung di bawah taraf kesadaran kita.

4. Faktor Simpati

Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan sebagaimana proses identifikasi. Akan tetapi, berbeda dengan identifikasi, timbulnua simpati itu merupakan proses yang sadar bagi manusia yang merasa simpati terhadap orang lain. Peranan simpati cukup nyata dalam hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih.

Patut ditambahkan bahwa simpati dapat pula berkembang perlahan-lahan di samping simpati yang timbul dengan tiba-tiba. Gejala identifikasi dan simpati itu sebenarnya sudah berdekatan. Akan tetapi, dalam hal simpati yang timbal-balik itu, akan dihasilkan suatu hubungan kerja sama di mana seseorang ingin lebih mengerti orang lain sedemikian jauhnya sehingga ia dapat


(40)

merasa berpikir dan bertingkah laku seakan-akan ia adalah orang lain itu.

Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat suatu hubungan di mana yang satu menghormati dan menjunjung tinggi yang lain, dan ingin belajar daripadanya karena yang lain itu dianggapnya sebagai ideal. Jadi, pada simpati, dorongan utama adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain, sedangkan pada identifikasi dorongan utamanya adalah ingin mengikuti jejaknya, ingin mencontoh ingin belajar dari orang lain yang dianggapnya sebagai ideal.

Hubungan simpati menghendaki hubungan kerja sama antara dua atau lebih orang yang setaraf. Hubungan identifikasi hanya menghendaki bahwa yang satu ingin menjadi seperti yang lain dalam sifat-sifat yang dikaguminya. Simpati bermaksud kerja sama, identifikasi bermaksud belajar.

2.2 Konflik

Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak Iawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama adalah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dan yang bersaing, maka dalam konflik tujuannya adalah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi


(41)

tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan perluasan dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau perang antar dua kelompok atau Iebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang.

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap adisintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.

Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara karena harus istirahat supaya dapat melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain setelah itu.

Para ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, adalah sebagai hasil dan konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam


(42)

masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi relevan dengan model konflik adalah model ketaraturan yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.

Dahrendorf, salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada dalam masyarakat; Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata. Oleh karena itu warga sebuah masyarakat akan tergolong dalam mereka yang mempunyai dan yang miskin dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai tindakan manusia maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.


(43)

Bila kita mengikuti model Dahrendorf diatas, maka secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-potensi konflik karena setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab. Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan. Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan sewenang-wenang dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya.

Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekankarena perbuatan pihak Iawan, yang dalam


(44)

keadaan mana si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak Iawan, yang perasaan kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang merugikan dari pihak Iawannya. Kebencian yang mendaiam dari si pelaku yang selalu kalah biasanya terwujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik dan verbal diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.

Konflik fisik yang menyebabkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka dia akan berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, agar merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan tersebut.

Ketidak adilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat,


(45)

dan komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai menurut norma -norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku daiam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antar sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai acuan untuk memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bersama-sama menempati sebuah wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.

Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang akan membekas dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya peristiwa tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, karena tidak berani atau tidak mampu untuk melawannya, atau karena tertutup oleh berbagai kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-wenang tersebut.


(46)

Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompokkelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-kata lain, dala konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masingmasing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar golongan yang mewakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak Iawan mereka lihat sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan.

Selain konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda yang semula adalah teman baik, akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila mempunyai atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-cirii dari


(47)

pihak lawan akan digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001:4).

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama,

karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan

perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam

juga memiliki aspek “sosial space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.

Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat


(48)

hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).

Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan .kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik .

Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba -tiba (Ritzer, 2002:156). Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikno, dkk,2004:29). Konflik muncul ketika individu


(49)

saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuan dan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu.

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakankedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.

Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk ; pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001:6).

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar


(50)

teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi sosial yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi (Soekanto, 2002:98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.

2.3 Jenis-Jenis Konflik

Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk khusus, yaitu sebagai berikut:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.


(51)

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara.

2.4 Faktor Penyebab Konflik

Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagain besar atau semua pihak yang terlibat. Penyebab konflik menurut Dahrendorf adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi, konflik bukan hanya materi (ekonomi saja).

Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial. Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu. Contohnya, kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan membentuk sebuah


(52)

rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif maupun yang destruktif.

Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Ia mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan menjadi fakta tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan.

Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik. Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik, mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan dalam konflik.

Sementara itu, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Teori kesalahpahaman antarbudaya


(53)

berpandangan berbeda, teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dan cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu yang memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah otoritas yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya sedangkan kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.

Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai kekuasaan. Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi. Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan. Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.

Sedangkan menurut menurut perspektif sosiologi (Soekanto, 2002: 98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses dimana


(54)

individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuann ya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.

Adapun yang menjadi faktor penyebab konflik, antara lain yaitu:

1. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akanterpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyengkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu. 4. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahanperubahan

nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahantersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.


(55)

2.3 Tahapan Konflik

Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda (Fisher,2001:19-20). Tahap-tahap ini adalah :

1. Pra-Konflik : merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/ atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.

2. Konfrontasi : pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis : ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Akibat : kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.


(56)

5. Pasca-Konflik : akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

2.6 Jenis Konflik

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan konflik sosial horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik latent, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya.

Seperti di Indonesia, konflik sosial vertikal ini dapat dicermati dari beberapa upaya daerah yang melepaskan diri dari belenggu pemerintahan pusat. Konflik ini semakin tidak akan terkendali karena pendekatan penyelesaian masalah diwarnai dengan pendekatan militer. Peranan aparat militer masih mendominasi daripada diplomasi politik dan kultural. Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya intensitas konflik vertikal, khususnya di Indonesia antara lain:

1. Luapan kekecewaan dan ketidakpuasan terhdap perilaku pemerintah dan aparatur pemerintah yang secara sistematis mengeksploitasi sumber daya alam daerah-daerah demi kepentingan orang-orang yang brkuasa.


(57)

2. Pemerintah pusat dengan berdalih pembangunan seringkali semena-mena merampas dan menduduki hak-hak penduduk lokal di suatu daerah. Menurunya kepercayaan masyarakat daerah pada pemerintah karena pemerintah tidak lagi memihak dan melayani kepentingan-kepentingan tuntutan masyarakat tetapi secara terencana memperdaya masyarakat. 3. Terbukannya ruas sosial (sosial space). Hal ini merangsang terjadinya

konflik vertikal dan tanpa disadari mendorong masyarakat untuk bereuphoria sebagai bentuk balas dendam atau sekedar melepas rasa ketidakpuasan pada pejabat pemerintah.

4. Tidak tertutup kemungkinan konflik vertikal ini terjadi karena ditunggangi oleh sekelompok elit yang rakus dan haus kekuasaan.

Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku, golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal adalah:

1. Saling mengklaim dan menguasai sumber daya alam yang mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan. 2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari

ketimpangan-ketimpangan ekonomi antara kaum pendatang dan penduduk lokal. Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal lelah yang kemudian dapat mengausai


(58)

pasar dan peluang ekonomi sering dilihat sebagai penjajahan ekonomi.

3. Dorongan emosional kesukuan karena ikatan-ikatan norma tradisional. Konflik ini dapat juga muncul disebabkan karena kefanatikan ajaran ideologi tertentu .

4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan orang-orang yang haus kekuasaan.hal ini didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah, juga diikuti oleh rendahnya kesadaran social.

2.7 Dampak Konflik

Menurut Soerjono Soekanto (1989:90), akibat negatif yang timbul dari sebuah konflik sosial sebagai berikut.

1. Bertambahnya Solidaritas Anggota Kelompok yang Berkonflik

Jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka solidaritas antarwarga kelompok tersebut akan meningkat dan bertambah berat. Bahkan, setiap anggota bersedia berkorban demi keutuhan kelompok dalam menghadapi tantangan dari luar.

2. Jika Konflik Terjadi pada Tubuh Suatu Kelompok maka akan Menjadikan Keretakan dan Keguncangan dalam Kelompok Tersebut

Visi dan misi dalam kelompok menjadi tidak dipandang lagi sebagai dasar penyatuan. Setiap anggota berusaha menjatuhkan anggota lain dalam kelompok yang sama, sehingga dapat dipastikan kelompok tersebut tidak akan bertahan dalam waktu yang lama.


(1)

Konflik terbuka inilah yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat , apabila tidak dapat dicegah oleh pihak penguasa. Konflik terbuka yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian materil ini melibatkan dua aktor utama konflik. Perasaan benci yang bersifat laten hanya akan berkembang pada tahap kekerasan bila timbul oleh pengaruh-pengaruh yang disebutkan di atas sehingga konflik hanya bersifat fluktuatif. Efek konflik yang telah mencapai pada tahap kekerasan dan menelan korban diidentifikasi bersifat positif dan negatif.

Pemerintah yang seharusnya sebagai institusi yang memberikan rasa aman kepada warganya justru mendapat tantangan dari warganyacuntuk menunjukan realisasi peraturan yang dibuat oleh warga nya sendiri. Pemerintah yang seharusnya menjadi penengah diantara masyarakat justru belum dapat menjalan kan peran nya sebagai institusi yang mempunyai wewenang.

Bapak mahadi mengungkap kan hal sebagai berikut :

“Setidak nya apa bila belum bisa menertibkan ternak babi , yah maunya di berikan sosialisasi tentang kesehatan lingkungan, agar para peternakan babi menjaga kebersihan lingkungan disekitarnya. Mana lagi nanti ada mushola yang akan dibangun di dekat sini, mungkin membuat kekhusukan para jemaah akan berkurang dalam menjalan kan ibadah.” (Wawancara: 11 juni 2015)

Realisasi dana yang di kucurkan pemerintah untuk memindahkan peternakan babi yang berada dekat dengan permukiman penduduk ke daerah pinggiran kota . Namun hal itu belum dapat dilaksanakan di daerah ini. Seperti yang diungkapkan Bapak Hamdan :


(2)

“ Saya pernah membaca Koran tentang dana yang dikucurkan pemerintah untuk memindahkan peternakan yang berada di tengah permukiman penduduk ke daerah pinggiran kota , namun itu belum terjadi didaerah ini.” (Wawancara: 11 juni 2015).

Tidak adanya tindakan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah membuat masyarakat menjadi ambigu. Karena dari keseluruhan informan yang diwawancarai hampir kesemuanya menyatakan hal yang sama tentang timbulnya potensi konflik antara masyarakat dengan peternak babi serta masyarakat dengan pemerintah.


(3)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari data yang diperoleh dan diuraikan di atas, maka peneliti menarik kesimpulan penting sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang menyebabkan potensi konflik antara masyarakat dengan peternak babi adalah :

 Tidak adanya sosialisasi tentang kebersihan kandang yang memenuhi standar, membuat kandang-kandang babi yang ada disekitar masyarakat menjadi tidak layak digunakan sehingga dapat mengundang wabah penyakit

 Penggunaan cairan kimia untuk pembersihan kandang ternak babi menimbulkan limbah yang berbahaya bagi manusia dan hewan yang ada di sekitar. Pembuangan limbah langsung kesungai dapat merusak ekosistem yang ada disekitar kandang babi

 Kurangnya ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan peternakan yang berada dekat dengan pemukiman penduduk membvat masyarakat kehilangan rasa percaya terhadap pemerintah  Pencemaran air yang ditimbulkan dari limbah kotoran babi

membuat air yang ada disungai tidak dapat digunakan untuk membantu kegiatan sehari-hari masyarakat.

 Bau yang tidak enak yang ditimbulkan dari kandang babi  Keberadaan peternakan yang terlalu dekat dengan pemukiman


(4)

 Tidak adanya kesadaran dari peternak babi tentang kebersihan lingkungan

b. factor yang menyebakan kemunculan peternak babi adalah permasalahan ekonomi, dimana para peternak babi perlu kehidupan yang lebih layak dan serba berkecukupan.

5.2 Saran

 Untuk mencegah terjadinya potensi konflik yang akan terjadi antara masyarakat dengan para peternak babi, diharapkan pemerintah menjalankan peraturan yang dibuat.

 Pemerintah harus lebih ekstra memberikan sosialisasi terhadap masyarakat baik para peternak babi atau pun warga tentang kesadaran akan kebersihan lingkungan mereka. Agar terhindar dari penyebaran wabah penyakit.

 Untuk para peternak babi sebaiknya tidak membuang limbah bekas membersihkan kandang ke sungai , dikarenakan dapat merusak kelangsungan hidup ekosistem yang ada di sekitar peternakan.  Pemerintah harus berkonsultasi dengan para peternak babi agar

para peternak babi mau memindahkan peternakan nya ke daerah yang tidak padat penduduk


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. 1992. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya : usaha Nasional Burhan, Bungin. 2007. Peneliptian Kualitatif, Jakarta : Kencana

Fisher,dkk, 2001. Mengelola Konflik ; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta : The British Council, Indonesia

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial. Jogjakarta, Ar-Ruzz Media Hidayana M. Irwan.`Choesin M. Ezra. 2003. Antropologi Indonesia. Depok, FISIP UI

Jhonson, Paul, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Alih bahasa, Robert. M.Z. Lawang, Jakarta : Gramedia

Moleong, Lexy J,Dr,2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja

Narwoko J. Dwi, Bagong Suryanto. 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Poloma, Margaret. M, 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali Press.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media. Rosdakarya

Setiadi, Elly M. 2012. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar Edisi Kedua, Jakarta : Fajar Interpratama


(6)

Soekantoe, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press. Sunarto, Kamanto. 2003. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Indonesia Universitas Press.

Sumber Lain :