Pengetahuan Responden terhadap Waktu Rata-rata dilakukannya Pembukaan Jahitan di Rongga Mulut

Menurut LH Silverstein, jenis jarum jahit yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah curved circle needle dengan ukuran 38 dan 12. 11,12 Hal ini dikarenakan jenis jarum jahit tersebut lebih mudah diaplikasikan pada daerah rongga mulut. Hasil penelitian menunjukkan 18 responden yang menjawab jenis jarum jahit yang paling banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah curved circle needle dengan ukuran 38 dan 12, 48 menjawab reversed cutting ukuran 12 dan 14, dan 34 lainnya menjawab rounded body ukuran 14 dan 58 Tabel 8. Berdasarkan hal tersebut, pengetahuan responden terhadap jenis jarum jahit yang paling banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah kurang. Pengetahuan responden terhadap jumlah benang jahit yang diketahui termasuk dalam kategori cukup, dimana sebanyak 60 responden menjawab benar dengan rincian 58 responden menjawab benar dengan skor 2 yaitu menjawab mengetahui 2-5 jenis benang jahit dan sebanyak 2 responden menjawab benar dengan skor 1 yaitu menjawab mengetahui 2 jenis benang jahit, sedangkan 40 lainnya menjawab salah Tabel 9. Pengetahuan responden tentang definisi benang absorbable tergolong baik yaitu sebesar 98 Tabel 10. Benang absorbable merupakan jenis benang yang dapat dicerna oleh enzim atau dapat dihidrolisis oleh cairan tubuh. 3 Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa umumnya responden sangat mengetahui definisi dari benang absorbable. Benang menurut jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi absorbable dan non- absorbable. 1,14 Benang jenis absorbable terbagi atas alami dan sintetik. Jenis benang absorbable yang terbuat dari bahan alami adalah catgut, collagen, cargille membrane, kangaroo tendon, dan fascia lata. 1,14 Sedangkan jenis benang absorbable yang terbuat dari bahan sintetik adalah polyglicolic acid dexon, polyglactic acid vicryl, polydioxanone PDS, dan polytrimethlylene carbonate maxon. 14 Benang non-absorbable juga terbagi atas alami dan sintetik. Benang non-absorbable yang terbuat dari bahan alami adalah silk, linen, dan cotton. 14 Jenis benang non-absorbable yang terbuat dari bahan sintetik adalah nylon, polypropylene, braided polyester, dan polybutester. 14 Sebanyak 62 responden mengetahui jenis benang yang termasuk kedalam jenis benang absorbable Tabel 11 dan sebanyak 72 responden mengetahui jenis benang yang termasuk kedalam jenis benang non-absorbable Tabel 12. Berdasarkan kedua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden mengenai jenis-jenis benang yang termasuk ke dalam jenis benang absorbable dan non-absorbable adalah cukup. Silk ukuran 4-0 dan 3-0 merupakan jenis benang yang paling banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi. 11,15 Silk merupakan jenis benang yang mudah digunakan dan relatif lebih murah bila dibandingkan dengan jenis benang non-absorbable lainnya. Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden mengenai jenis benang yang paling banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi menunjukkan bahwa sebanyak 54 responden menjawab silk, sebesar 26 menjawab catgut, dan 20 lainnya menjawab nylon Tabel 13. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden mengenai jenis benang yang paling banyak dilakukan dalam tindakan pembedahan di bidang kedokteran gigi adalah kurang. Pengetahuan responden mengenai syarat ideal benang jahit tergolong cukup yaitu sebesar 72 Tabel 14. Adapun syarat ideal tersebut adalah memiliki tensile strength yang tinggi, memiliki daya simpul yang baik, tidak menyebabkan alergi atau inflamasi pada jaringan, memiliki daya kapilaritas yang minimum, dan murah. 9,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parirokh M, benang jenis silk menunjukkan akumulasi plak yang lebih banyak dibandingkan dengan benang jenis PVDF berdasarkan hasil observasi dengan scanning electron micrograph pada hari ke 3, 5, dan 7. 2 Benang jenis silk merupakan jenis benang non-absorbable braided multifilament sehingga mudahkan terjadinya penumpukan plak. Selain itu, silk memiliki sifat “wick” atau dapat memfasilitasi bakteri yang berada diatas permukaan luka untuk masuk kedalam luka sehingga dapat menyebabkan inflamasi dan bahkan infeksi. 2 Hasil penelitian menunjukkan hanya 24 responden yang mengetahui jenis benang silk adalah jenis benang yang sangat mudah terjadi penumpukan plak pada permukaan benangnya Tabel 15. Diharapkan penggunaan benang silk dalam tindakan penjahitan luka dapat dikurangi untuk mencegah kemungkinan terjadinya inflamasi dan infeksi pada luka. Benang jahit tersedia dalam berbagai macam ukuran. Semakin besar ukuran diameter suatu benang maka semakin besar pula tensile strength yang dimiliki oleh benang tersebut. 14 Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden mengenai pernyataan yang terkait dengan ukuran dan tensile strength benang jahit diperoleh sebesar 66 responden menjawab benar yaitu benang jahit operasi jenis nylon ukuran 4-0 memiliki diameter yang lebih besar dari benang jahit nylon ukuran 6-0 dan memiliki tensile strength yang lebih besar pula Tabel 16. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengetahuan responden mengenai ukuran dan tensile strength benang adalah cukup. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 72 responden memilih benang jenis silk untuk melakukan tindakan penjahitan luka, sebanyak 12 memilih vicryl, dan 16 responden lainnya memilih catgut Tabel 17. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya responden memilih silk sebagai benang yang akan digunakan dalam tindakan penjahitan luka. Benang jenis silk merupakan jenis benang yang paling banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi. 15 Hal itu disebabkan oleh benang silk memiliki daya simpul yang baik, mudah digunakan, dan relatif lebih murah bila dibandingkan dengan jenis benang yang lain. 15 Sebanyak 86 responden memilih teknik simple interrupted untuk diaplikasikan dalam tindakan penjahitan luka, 12 responden memilih teknik simple continuous, dan 2 lainnya memilih figure-of-eight suture Tabel 20. Simple interrupted suture merupakan teknik penjahitan luka yang paling sering digunakan di bidang kedokteran gigi dan teknik tersebut mudah dilakukan serta relatif aman karena apabila satu jaringan terputus maka jahitan lainnya tidak terganggu. 15 Penjahitan luka sebaiknya dilakukan dengan jarak dan kedalaman yang sama pada kedua sisi daerah insisi, biasanya tidak lebih dari 2-3 mm dari tepi luka dan 3-4 mm dari satu jahitan ke jahitan lainnya. 3,9,10,11,14 Pengetahuan responden tentang jarak ideal yang diperlukan dalam penjahitan luka tergolong baik, yaitu mencapai 80 Tabel 21. Dalam melakukan tindakan penjahitan luka sebaiknya mengikuti prinsip- prinsip dalam penjahitan luka, seperti penetrasi jarum jahit kedalam jahitan harus perpendikular atau tegak lurus terhadap permukaan jaringan, jarum jahit dipegang dengan needle holder pada 23 bagian dari ujung jarum jahit dan 13 bagian dari tempat masuknya atau tempat melekatnya benang, simpul tidak boleh diletakkan tepat diatas garis insisi. Hasil penelitian mengenai prinsip umum penjahitan luka menunjukkan hanya sebanyak 8 responden menjawab benar yaitu penetrasi jarum jahit ke dalam luka harus perpendikular terhadap permukaan jaringan, sementara sebanyak 8 lainnya menjawab simpul pada penjahitan luka diletakkan tepat diatas garis insisi, dan 84 lainnya menjawab jarum jahit dipegang dengan needle holder pada 13 bagian dari ujung jarum jahit dan 23 bagian dari tempat masuknya atau tempat melekatnya benang Tabel 22. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden mengenai prinsip umum penjahitan luka adalah kurang. Teknik penyimpulan jahitan sebaiknya harus disesuaikan dengan jenis benang yang digunakan. 11 Pada jenis benang sintetik, baik absorbable maupun non- absorbable, sebaiknya menggunakan teknik surgeon’s knot untuk mencegah terjadinya wound dehiscence akibat lepasnya jahitan. 11 Sedangkan pada benang jenis silk, chromic gut, atau catgut dianjurkan untuk memakai teknik penyimpulan slip granny knot. 11 Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 36 responden mengetahui tentang pernyataan yang berkaitan dengan penggunaan simpul dalam penjahitan luka, dimana surgeon’s knot dapat digunakan pada jahitan yang menggunakan benang jenis sintetik, baik absorbable maupun non-absorbable sedangkan 64 lainnya tidak Tabel 23. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden dalam hal penggunaan simpul adalah kurang. Jahitan pada daerah kulit biasanya dibuka setelah 7 hingga 10 hari, sedangkan daerah mukosa dibuka setelah 5-7 hari sejak dilakukannya penjahitan luka. 1 Jika pembukaan jahitan dilakukan pada waktu kurang dari 5 hari dimana proses penyembuhan masih dalam tahap inflamasi sehingga proses penutupan luka belum terjadi sehingga dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya infeksi dan penyembuhan luka yang lebih lambat. Sebaliknya, jika pembukaan jahitan dilakukan lebih dari 7 hari maka kemungkinan untuk terjadinya infeksi juga akan meningkat akibat peningkatan akumulasi plak dan bakteri pada permukaan benang yang akan mengkontaminasi luka. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 74 responden mengetahui lama waktu rata-rata yang diperlukan untuk melakukan pembukaan benang jahit di rongga mulut, yaitu 5-7 hari Tabel 24. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden mengenai waktu rata-rata dilakukannya pembukaan jahitan adalah cukup.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Pengetahuan responden tentang alat dan bahan penjahitan luka termasuk dalam kategori baik 76 - 100 dalam hal alat-alat yang diperlukan dalam penjahitan luka dan definisi benang absorbable. Pengetahuan responden termasuk kategori cukup 56-75 dalam hal jumlah benang jahit yang diketahui, alasan dilakukannya penjahitan luka, jenis-jenis benang absorbable dan non-absorbable, syarat ideal benang jahit, dan pernyataan yang terkait dengan tensile strength benang jahit. Sedangkan pengetahuan responden termasuk kategori kurang 56 dalam hal definisi penjahitan luka, jenis jarum jahit dan benang jahit yang paling banyak digunakan, dan jenis benang yang mudah terjadi penumpukan plak. Pengetahuan responden tentang teknik penjahitan luka termasuk dalam kategori baik 76-100 dalam hal jarak jahitan ke tepi luka. Pengetahuan responden termasuk dalam kategori cukup 56-75 dalam hal waktu rata-rata dilakukannya pembukaan benang jahit. Sedangkan pengetahuan responden tergolong dalam kategori kurang 56 dalam hal pernyataan terkait dengan prinsip umum penjahitan luka dan penggunaan simpul. Hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 responden berpengetahuan baik, 54 responden berpengetahuan cukup, dan 44 responden berpengetahuan kurang.

6.2 SARAN

Penelitian yang dilakukan pada 50 orang mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu : 1. Diharapkan terdapat penelitian selanjutnya tentang penjahitan luka pada dokter gigi, sehingga dapat menjadi perbandingan apakah ilmu yang didapat selama pendidikan teraplikasi. 2. Diharapkan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik agar meningkatkan pengetahuan tentang penjahitan luka untuk mengoptimalkan proses penyembuhan luka. DAFTAR PUSTAKA 1. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 3 rd ed., New Delhi: Jaypee., 2012: 68-79. 2. Parirokh M, Asgary S, Eghbal MJ, Stowe S, et al. A scanning electron microscope study of plaque accumulation on silk and PVDF suture materials in oral mucosa. Int Endod J 2004; 37: 776-81. 3. Modi M. Critical evaluation of suture materials and suturing techniques in implant dentistry. Int J Clin Implant Dent 2009; 12: 31-40. 4. Kim JS, Shin SI, Herr Y, Park JB, et al. Tissue reactions to suture materials in the oral mucosa of beagle dogs. J Periodontal Implant Sci 2011; 41: 185-91. 5. Javed F, Al-Askar M, Almas K, Romanos GE, et al. Review article: Tissue reactions to various suture materials used in oral surgical interventions. ISRN Dentistry 2012: 1-5. 6. Balamurugan R, Mohamed M, Pandev V, Katikaneni HK, et al. Clinical and histological comparison of polyglicolic acid suture with black silk suture after minor oral surgical procedure. http:www.Ncbi.nlm.nih.govpubmed23151703 Agustus 20, 2014. 7. Moore UJ. Eds. Principles of oral and maxillofacial surgery. 6 th ed., USA: Wiley Blackwell., 2011: 99-101. 8. Peterson LJ, Ellis E, Hupp JR, Tucker MR. Eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4 th ed., St. Louis: Mosby., 2003: 85-92. 9. Jenkins WS, Brandt MT, Dembo JB. Suturing principles in dentoalveolar surgery. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 2002; 14: 213-29. 10. Ghosh PK. Synopsis of oral and maxillofacial surgery: An update overview. New Delhi: Jaypee., 2006: 117-9. 11. Silverstein LH, Kurtzman GM. A review of dental suturing for optimal soft- tissue management. Compendium 2005; 263: 163-8. 12. Silverstein LH, Kurtzman GM, Shatz PC. Suturing for optimal soft-tissue management. J Oral Implantology 2009; 352: 82-90. 13. Fragiskos FD. Oral surgery. New York: Springer., 2007: 66-7. 14. Balaji SM. Textbook of oral maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier., 2007: 104-15. 15. Kurtzman GM. Silverstein LH, Shatz PC, Kurtzman D. Suturing for surgical success. http:www.dentistryindia.in Agustus 20, 2014. 16. Andersson L, Kahnberg KE, Pogrel MA. Oral and maxillofacial surgery. Singapore: Blackwell Publishing Ltd., 2010: 151-3. 17. Srinivasulu K, Kumar ND. A review on properties of surgical suture and applications in medical field. Int J Research Engineering Tech 2014; 22: 85- 96. 18. Rothrock JC. Alexander’s care of the patient in surgery. 15 th ed., Canada: Elsevier Mosby., 2011: 186-207. 19. Szarmach RR, Livingston J, Rodeheaver GT, Thacker JG, et al. An innovative surgical suture and needle evaluation and selection program. J Long-Term Effects Med Implants 2002; 124: 211-29. 20. Aderriotis D, Sandor GKB. Outcomes of irradiated plyglactin 910 vicryl rapide fast-absorbing suture in oral and scalp wounds. J Assoc Dent Canadienne 1999; 656: 345-7. 21. Boros M. Surgical technique: Textbook for medical students. Szeged: Innovariant Ltd., 2006: 29-82. 22. Ramsey C, Koch F. The role of sutures in wound healing. http:infectioncontroltoday.comarticles200109the-role-of-sutures-in-wound- healing.aspx Agustus 22, 2014. 23. Sadig W, Almas K. Risk factors and management of dehiscent wounds in implant dentistry. Implant Dent 2004; 132: 140-5. 24. Abi Rached RSG, Toledo BEC, Okamoto T. Reaction of the human gingival tissue to different suture materials used in periodontal surgery. Braz Dent J 1991; 2: 103-13. 25. Alexander JW, Kaplan JZ, Altemeier WA. Role of suture materials in the development of wound infection. Ann Surg 1966; 1652: 192-9. 26. Meyle J. Suture materials and suture technique. Perio 2006; 34:253-68. 27. Dunn DL. Wound closure manual. http:www.uphs.upenn.edusurgery EducationfacilitiesmeaseyWound_Closure_Manual.pdf Agustus 20, 2014. 28. Mirkovis SM, Dzambas LD, Selakovic SD. Influence of different types of surgical suture material on the intensity of tissue reaction in oral cavity. http:www.doiserbia.nb.rsimgdoi0352-490620080352-49060815091M .pdf Agustus 22, 2014. 29. Orsted H, Keast D, Forest-Lalande L, Megie MF. Basic principles of wound healing. http:www.wrha.mb.caprofessionalswoundcaredocumentsPrinci plesWoundHealing_WCCSpring2011.pdf Agustus 22, 2014. 30. Postlethwait RW, Willigan DA, Ulin AW. Human tissue reaction to sutures. http:www.ncbi.nlm.nih.govpmcarticlesPMC1343743 Agustus 20, 2014. 31. Budiharto. Pengantar ilmu perilaku kesehatan dan pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC., 2008: 18-9. 32. Efendi F, Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika., 2008: 101-2.

Dokumen yang terkait

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Bell’s Palsy Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Desember 2014 – Januari 2015

4 62 54

Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU Tentang Anestetikum Lokal

6 75 49

Tingkat Pengetahuan penggunaan Antibiotik Oleh Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU Periode september 2013 – maret 2014

4 77 84

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut FKG USU pada penanganan trauma maksilofasial periode November – Desember 2015

0 6 66

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Tentang Fase Penyembuhan Luka Pasca Ekstraksi Gigi Di Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fkg Usu Periode April-Mei 2016

0 0 9

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang fase penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU

0 1 9

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang fase penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU

0 0 3

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang fase penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan - Tingkat Pengetahuan Tentang Penjahitan Luka Pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode 8-31 Oktober 2014

0 0 20

Tingkat Pengetahuan Tentang Penjahitan Luka Pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode 8-31 Oktober 2014

0 0 15